Syariat Islam dan Kewajiban Mengenal Allah
Ilmu syariat dan Ma’rifatullah
Syariat yang seperti kita kenal selama ini jika digambarkan adalah perilaku yang kita ketahui selama ini. Kalau dalam islam contohnya adalah shalat, puasa, Ibadah Haji dan sebagainya. Syariat adalah sesuatu yang bisa dibaca dan terlihat secara kasat mata. Allah senciptakan semuanya berpasang-pasangan, ada siang ada malam, ada laki-laki ada perempuan, ada baik ada buruk, ada cantik ada jelek dan begitu seterusnya. Seperti firman Allah:
“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (Al Qur’an, 36:36)
Ketika kita berada disebuah pengadilan, dan kita menjadi saksi dalam sebuah perkara maka kita harus tau persis kejadian perkara tersebut, misalkan anda menjadi saksi tentang pencurian mobil, atau maling ayam. Ketika kita bertindak sebagai saksi, tentunya kita harus tau kejadian perkara dan tahu semata-mata yang mencuri adalah si ‘Budi’ (misalnya). Ketika kita tidak mengetahui kejadian perkara apalagi tidak menyaksikan si Budi itu tadi, maka kita sudah dianggap seorang saksi yang meragukan.
Begitu pula ketika kita mengucap:
أشهدُ أنْ لا إلهَ إلاَّ الله
وأشهدُ أنَّ محمّدًا رسولُ الله
(ASHHADU ALLA ILAHA ILLALLAH, WA ASHHADU ANNA MUHAMMADAR-RASULULLAH)
“Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang harus di sembah selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah”
Kalimat “Aku Bersaksi…” jika kita dalam sebuah pengadilan, dan kita menyatakan bahwa kita adalah sebagai saksi, dan tentunya sebagai seorang saksi, kita harus tau kronologis perkara dan menyaksikan kejadiannya langsung tentang perkara bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah kita sudah “mengenal Allah“? Apakah kita sudah “menyaksikan Allah“? Sehingga kita berani bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?
Jika selama ini kita sudah melakukan atau melaksanakan syareat islam, itu sangatlah bagus dan dianjurkan dalam hukum islam. Tugas selanjutnya adalah kita harus mengenal Allah, agar kita menjadi saksi yang benar-benar menyaksikan bahwa Allah itu ada. Dan menjalankan dua hukum yang sebenarnya harus kita jalankan agar tidak pincang. Seperti yang penulis sebutkan diatas, ada siang tentunya ada malam, ada hitam tentunya ada putih, ada pria ada wanita, ada baik ada jahat, ada kanan ada kiri, ada depan ada belakang, ada atas ada bawah dan ada Syariat, tentunya ada Hakikat
Ketika kita berucap: La ilaha illa allah… Tapi kita masih menduakannya, itu berarti belum meyakini secara Batin, baru dohir atau lisan saja.. Salah satu contoh yang sangat sepele, ketika kita sakit, tentunya secara umum kita pergi kedokter dan ternyata besok sembuh. Pertanyaan secara umum, kira-kira siapa yang menyembuhkan? yang menyembuhkan adalah Dokter…. (secara umum seperti itu) nah dengan salah satu contoh sederhana tersebut, berarti kita sudah ingkar pada Allah, karena yang maha menyembuhkan hanyalah Allah. Kemudian, ketika kita sakit kepala, atau sakit gigi biasanya menyuruh istri atau suami kita untuk membelikan obat di warung, sebut saja “Para**x”. Dan ketika kita minum obat tersebut, ternyata besoknya sembuh. Lalu apakah kita mengingat Allah? Hal-hal kecil ini lah yang kadang tidak kita pikirkan, kita menganggap hanya menyembah batu, patung, gunung saja yang dianggap syirik. Kita tidak tahu bahwa dokter dan obat saja sudah membuat kita musrik.
Ini memang terasa aneh, dan mungkin dianggap janggal oleh kita, tapi kenyataannya memang seperti itu. Karena hampir semua yang di ajarkan adalah sebatas syariat saja, jarang sekali ustadz atau kyai yang mengajarkan Hakikat.
Belajar Tauhid itu wajib, bagaimana kita menyatukan antara lisan dengan perbuatan, “menyaksikan dan merasakan bahwa Allah itu Ada“. Tauhid adalah ilmu dasar Ketuhanan dan salah satu ilmu Hakekat yang wajib kita pelajari agar menyeimbangkan iman kita. Dengan keyakinan tauhid yang kuat, insya Allah semua yang kita lakukan akan berjalan dengan baik. Semua yang kita lakukan seperti makan, minum, berjalan, bekerja semuanya seolah olah kita di saksikan oleh Allah, bersikap, berbicara, melihat, mendengar, merasakan hanya karena Allah. Jika Kita sudah sampai diposisi ini, maka itu lah yang disebut “Manunggaling Kawula Gusti…”.