Pernyataan bahwa berdoa dan memohon pertolongan kepada orang yang telah mati adalah syirik

Begitu juga, melarang mereka berdoa dan memohon pertolongan kepada orang – orang yang telah mati. Karena doa adalah ibadah yang hanya boleh dihadapkan kepada Allah semata, Allah berfirman : “Maka janganlah kamu (di dalamnya) menyembah seseorangpun di samping menyembah Allah”. (QS. Al Jin : 18) “Janganlah kamu menyembah apa – apa yang tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat yang demikian itu maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang – orang yang dhalim”. (Qs. Yunus : 106). Artinya termasuk orang – orang yang musyrik. Rasulullah Saw bersabda : “Doa itu adalah ibadah”. “Apabila kamu memohon maka mohonlah kepada Allah, apabila kamu minta pertolongan maka minta pertolonganlah kepada Allah”.
Seseorang yang meninggal telah terputus amalannya dari manusia lain, maka dia sangat butuh sekali untuk didoakan dan dimohonkan keampunan dan Rahmat baginya bukan justru berdoa kepadanya selain Allah karena Nabi Saw bersabda : “Apabila manusia itu mati maka terputuslah semua amalannya kecuali tiga perkara: sedekah, jariyah (yang mengalir), ilmy yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakannya”. Bagaimana bisa berdoa kepadanya selain Allah? Begitu pula berhala, kayu, batu, bulan, matahari dan bintang – bintang tidak boleh sama sekali berdoa dan mohon pertolongan kepada semua itu. Demikian pula kepada penghuni kubur, sekalipun mereka adalah para Nabi atau orang – orang yang shaleh. Begitu pula para malaikat dan jin, tidak bolehberdoa kepada mereka di damping berdoa kepada Allah. Allah berfirman: “Janganlah kamu menyembah apa – apa yang tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat yang demikian itu maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang – orang yang dhalim”. (QS. Yunus : 106)
Disini, Allah menghukum kafir siapa saja yang menjadikan para malaikat dan para Nabi sebagai Tuhan – Tuhan tenpat berdoa dan mohon pertolongan. Padahal Allah sama sekali tidak memerintahkan mereka berbuat demikian. Dalam Shahih Muslim dan Jabir radiyallahu anhum,beliau berkata: “Rasulullah Saw melarang mangapur (mengecat) kuburan, duduk dan membangun diatasnya”. Hal ini dilarang, dikarenakan ia membawa kepada syirik. Membangun di atas kuburan, mengapur (mengecat), memberi pakaian (kelambu) dan mendirikan kubah diatasnya, semua ini merupakan sarana yang membawa kepada pengagungan, pengkultusan serta berdoa kepada penghuninya. Adapun duduk di atas kuburan tidak dibolehkan karena kuburan itu terhormat, tidak boleh dihinakan. Oleh karena itu, tidak boleh duduk, buang air kecil dan besar di atasnya, begitu juga bersandar kepadanya dan menginjaknya. Semua ini dilarang, demi menghormati mayat seorang muslim.
Seorang muslim itu terhormat di masa hidupnya dan juga setelah matinya. Oleh karena itu tidak boleh diinjak kuburannya, tidak boleh dirusak tulang belulangnya. Begitu pula tidak boleh duduk, buang air kecil dan membuang sampah di atasnya, semua ini adalah terlarang. Mayat seorang muslim tidak boleh dihinakan dan tidak boleh pula dikultuskan, seperti berdoa kepadanya selain Allah. Kuburannya tidak boleh dilecehkan, diinjak, dijadikan tempat buang sampah dan berbagai macam kotoran lainnya. Agama Islam sangat adil, diperintahkannya kita menghormati kuburan, mendoakan dan memohon keampunan bagi para penguninya. Disamping itu, kita dilarang menyakiti mereka seperti membuang berbagai kotoran, sampah dan duduk di atas kuburan mereka.
Mengenai masalah ini, dalam sebuah hadits Shahih Rasulullah Saw bersabda: “Janganlah kamu sekalian duduk di atas kuburan dan janganlah shalat dengan menghadapnya”. Jadi, tidak boleh menjadikannya sebagai kiblat shalat dan tidak boleh duduk di atasnya. Dengan demikian, syari’at Islam memadukan antara dua perkara. Pertama, larangan pengkultusan terhadap penghuni kubur, duduk di atas kuburnya. Menginjak atau bersandar kepadanya serta membuang kotoran diatasnya. Semua ini dilarang. Dengan demikian, seorang mukmin tahu bahwa syari’at Islam adalah syari’at yang adil, tidak membolehkan berbuat syirik dan juga tidak boleh menyakiti dan mengina. Rasulullah Saw dan orang shaleh boleh didoakan, dimohonkan ampun baginya dan diucapkan salam kepadanya, ketika berziarah ke kuburan mereka. Adapun berdoa kepada selain Allah, tidak boleh.
Kita tidak boleh mengatakan kepada penghuni kubur “Wahai tuanku, bantulah saya, bantlah saya!”, atau “Tolonglah saya!” atau “Bantulah saya menyelesaikan ini!”. Semua ini hanya kita minta kepada Allah. Dan juga tidak boleh menghina penghuni kubur dengan membuang kotoran di atasnya atau menginjaknya. Semua itu tidak boleh. Adapun meminta bantuan kepada orang yang masih hidup, diperbolehkan. Karena secara kongkrit dia mampu melakukan hal – hal yang diperbolehkan secara syara’. Sebagaimana Allah firmankan sehubungan dengan kisah Musa. “Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya”. (QS. Al Qashash: 15)
Musa ketika itu hidup dan kepadanya seorang Bani Israil meminta bantuan agar ia mengalahkan musuhnya yaitu seorang dari suku Qibhti. Demikian pula hubungan manusia dengan saudara dan kerabatnya, mereka tolong – menolong ketika berada di sawah, ketika memperbaiki rumah, memperbaiki mobil dan kebutuhan – kebutuhan lainnya. Mereka diperbolehkan tolong – menolong dalam masalah kongkrit yang mampu mereka lakukan. Begitu juga lewat telefon, surat menyurat, telegram, dan teleks, semua ini termasuk kerjasama dalam masalah kongkrit yang mampu dikerjakan. Tetapi minta pertolongan yang sifatnya ibadah, tidak diperbolehkan. Kita tidak boleh mengatakan kepada orang yang masih hidup maupun sudah mati: “Sembuhkan penyakitku”, atau “Kembalikan barangku yang hilang”, dengan keyakinan bahwa ia mengetahui rahasia ghaib dalam masalah itu.
Dan tidak boleh mengatakan: “Tolonglah kami mengalahkan musuh kami”, maksudnya dengan kekuatan ghaibnya. Adapun meminta bantuan kepada orang yang masih hidup dalam masalah kongkrit yang mampu ia laksanakan seperti minta bantuan senjata atau hutang piutang, hal itu diperbolehkan. Begitu pula, tidak masalah minta kepada seorang dokter agar ia mengobati penyakit. Adapun dengan mengatakan “Sembuhkan saya”, dengan keyakinan bahwa ia memiliki ilmu ghaib dalam masalah ini, hal itu tidak diperbolehkan, sebagaimana lazimnya dilakukan orang – orang sufi dan lainnya. Hal ini termasuk kufur. Karena manusia tidak mampu mengatur alam ini. Ia hanya mampu melakukan hal – hal yang kongkrit dan dokter berbuat sesuatu yang sifatnya kongkrit yaitu melalui obat- obatan.
Demikian juga seseorang yang masih hidup melakukan usaha – usaha kongkrit, membantumu dengan tangannya, menolongmu, meminjamkan sejumlah harta kepadamu atau bantuan untuk membangun atau memberimu suku cadang mobil, atau membantu dengan rekomendasi kepada orang yang akan menolongmu. Semua ini adalah masalah- masalah konkrit yang diperbolehkan dan tidak termasuk kategori beribadah atau meminta bantuan kepada mayit dan sejenisnya.
Kebanyakan para pelaku syirik, samar bagi mereka masalah – masalah ini. Padahal permasalahannya jelas sekali, tidak samar kecuali bagi orang yang benar – benar jahil. Tolong menolong dengan orang yang masih hidup diperbolehkan dengan syarat – syarat yang telah dikemukakan tadi. Sedangkan berdoa meminta bantuan kepada orang mati dan bernadzar untuknya, tidak diperbolehkan. Masalah ini tidak asing lagi di kalangan ulama, dan mereka sepakat bahwa perbuatan ini termasuk syirik akbar. Tidak ada pertentangan antara ulama di masa sahabat, tabi’in dan generasi seterusnya. Demikian juga membangun masjid di atas kuburan bukan suatu hal yang asing lagi di kalangan ulama, karena Islam secara tegas melarangnya.
Maka hal ini tidak boleh samar bagi seorang ulama. Maka sekali lagi, hendaklah para ulama senantiasa bertakwa kepada Allah di mana saja mereka berada dan hendaklah mereka menasehati manusia dan mengajarkan syari’at Allah kepada mereka tanpa basa basi dan tanpa memilah – milah, baik penguasa, orang kecil ataupun pejabat. Semua mereka diingatkan dengan perkara – perkara yang diharamkan Allah dan mereka dibimbing kepada syari’at Allah. Inilah kewajban para ulama di mana saja mereka berada. Baik melalui lisan, tulisan, buku, ceramah umum dan lain – lain. Termasuk juga lewat telefon, teleks dan sarana – sarana lain yang ada dewasa ini yang dapat digunakan untuk penyebaran dakwah dan menasehati umat. Kami mohon hidayah kepada Allah bagi semua, tiada daya dan upaya melainkan dengan izin Allah.
Jawaban Habib Munzir Al Musawa
Jelas bahwa larangan Allah swt menyembah pada selain Allah swt, bukan melarang tawassul atau minta bantuan pada manusia, berbeda dengan yang dijelaskan merka diatas dalam hal ini, ia membelokkan makna sangat jauh dari tujuan ayat, alangkah bodohnya jika pendapat semacam ini disebut fatwa? Perbuatan sunnah Rasul saw dibelokkan menjadi perbuatan musyrik.
Bukankah anak – anak Nabi Ya’qub as (kakak – kakak Nabi Yusuf as) meminta pada ayahnya agar ayahnya beristighfar untuk mereka? “Wahai ayah kami tolong mintakan pengampunan pada Allah untuk kami, sungguh kami telah berbuat salah, maka ia (Ya’qub as) berkata : Aku akan mohonkan pengampunan pada Allah untuk kalian, sungguh Tuhanku Maha Pengampun dan Berkasih Sayang” (QS. Yusuf : 97-98) Apakah Nabi Yaqub as ini membenarkan kemusyrikan anak anaknya..? Kenapa mereka minta diistighfari oleh ayahnya..?, kenapa berperantara pada ayahnya..?, kenapa tidak langsung saja pada Allah..?, kenapa Allah menyebut ayat ini dalam Alqur’an..?
Bukankah perbuatan ini ditiru oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum lalu Allah swt memuji mereka ? “Ketika mereka telah berbuat dhalim atas diri mereka sendiri lalu mereka datang padamu (wahai Muhammad), lalu mereka beristighfar pada Allah didepanmu, lalu Rasul (saw) beristighfar untuk mereka, maka mereka akan dapati Allah Maha Menerima taubat mereka dan berkasih sayang” (QS. Annisa : 64).
Al Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya menukil syarah ayat ini diriwayatkan oleh Al Utbiy bahwa ia sedang duduk dimakam Rasul saw, lalu datang seseorang dan berkata : “Salam sejahtera wahai Rasulullah, aku dengan firman Allah swt yang berbunyi : “Ketika mereka telah berbuat dhalim atas diri mereka sendiri lalu mereka datang padamu (wahai Muhammad), lalu mereka beristighfar pada Allah didepanmu, lalu Rasul (saw) beristighfar untuk mereka, maka mereka akan dapati Allah Maha Menerima taubat mereka dan berkasih sayang”, dan kini aku datang padamu wahai Nabi, beristighfar dihadapanmu atas dosa dosaku, dan minta syafaat padamu kepada Tuhanku”. Lalu pria itu pergi dan aku (Al Utbiy) tertidur, dan aku bermimpi Rasul saw dan berkata : “Wahai Utbiy, kejar orang itu, katakan padanya bahwa Allah swt sudah mengampuninya” (Tafsir Imam Ibn Katsir QS. Annisa : 64). Riwayat ini juga diriwayatkan oleh Al Imam Nawawi dalam kitabnya Al Majmu’.
Tentunya mimpi tak bisa dipakai dalil, namun tentuya yg kita bahas adalah perbuatan meminta pada kubur Nabi saw yang terjadi sebelum mimpi tsb, jika perbuatan itu syirik maka Imam Al Utbiy akan menegurnya, dan Imam Ibn Katsir akan menjelaskan bahwa minta di kuburan itu syirik, dan demikian pula Imam Nawawi. Sebagaimana kita ketahui bahwa Imam Ibn Katsir adalah murid Ibn Taimiyah, dan fatwa Imam Ibn Katsir sangat dipakai oleh para kalangan anti maulid, namun lihat sendiri bahwa Imam Ibn Katsir ini membolehkan minta pada ahli kubur, demikian pula Hujjatul Islam Al Imam Nawawi, dan sama sekali tak menyebutkan bahwa perbuatan itu syirik.
Istighatsah adalah memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya, untuk sebagian kelompok muslimin hal ini langsung di vonis syirik, namun vonis mereka itu hanyalah karena kedangkalan pemahamannya terhadap Syariah Islam. Pada hakekatnya memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya adalah hal yang diperbolehkan selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih dan diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah swt, tak pula terikat ia masih hidup atau telah wafat, karena bila seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata, karena seluruh manfaat dan mudharrat berasal dari Allah swt. Maka kehidupan dan kematian tak bisa membuat batas dari manfaat dan mudharrat kecuali dengan izin Allah swt, ketika seseorang berkata bahwa orang mati tak bisa memberi manfaat, dan orang hidup bisa memberi manfaat, maka ia dirisaukan telah jatuh dalam kekufuran karena menganggap kehidupan adalah sumber manfaat dan kematian adalah mustahilnya manfaat, padahal manfaat dan mudharrat itu dari Allah, dan kekuasaan Allah tidak bisa dibatasi dengan kehidupan atau kematian.
Sama saja ketika seorang berkata bahwa hanya dokterlah yang bisa menyembuhkan dan tak mungkin kesembuhan datang dari selain dokter, maka ia telah membatasi Kodrat Allah swt untuk memberikan kesembuhan, yang bisa saja lewat dokter, namun tak mustahil dari petani, atau bahkan sembuh dengan sendirinya. Terkadang kita tak menyadari bahwa kita lebih banyak mengambil manfaat dalam kehidupan ini dari mereka yang telah mati daripada yang masih hidup, sungguh peradaban manusia, tuntunan ibadah, tuntunan kehidupan, modernisasi dan lain sebagainya. Kesemua para pelopornya telah wafat, dan kita masih terus mengambil manfaat dari mereka, muslim dan non muslim, seperti teori Einstein dan teori – teori lainnya, kita masih mengambil manfaat dari yang mati hingga kini, dari ilmu mereka, dari kekuatan mereka, dari jabatan mereka, dari perjuangan mereka, Cuma bedanya kalau mereka ini kita ambil manfaatnya berupa ilmunya, namun para shalihin, para wali dan muqarrabin kita mengambil manfaat dari imannya dan amal shalihnya, dan ketaatannya kepada Allah.
Rasul saw memperbolehkan Istighatsah, sebagaimana hadits beliau saw : “Sungguh matahari mendekat di hari kiamat hingga keringat sampai setengah telinga, dan sementara mereka dalam keadaan itu mereka ber-istighatsah (memanggil nama untuk minta tolong) kepada Adam, lalu mereka ber-istighatsah kepada Musa, Isa, dan kesemuanya tak mampu berbuat apa – apa, lalu mereka ber-istighatsah kepada Muhammad saw” (Shahih Bukhari hadits No.1405), juga banyak terdapat hadits serupa pada Shahih Muslim hadits No.194, Shahih Bukhari hadits No.3162, 3182, 4435, dan banyak lagi hadist – hadits shahih yang Rasul saw menunjukkan ummat manusia ber-istighatsah pada para Nabi dan Rasul. Bahkan riwayat Shahih Bukhari dijelaskan bahwa mereka berkata pada Adam, Wahai Adam, sungguh engkau adalah ayah dari semua manusia.. dst.. dst…dan Adam as berkata : “Diriku..diriku.., pergilah pada selainku.., hingga akhirnya mereka ber-istighatsah memanggil – manggil Muhammad saw, dan Nabi saw sendiri yang menceritakan ini, dan menunjukkan beliau tak mengharamkan istighatsah.
Maka hadits ini jelas–jelas merupakan rujukan bagi istighatsah, bahwa Rasul saw menceritakan orang – orang ber-istighatsah kepada manusia, dan Rasul saw tak mengatakannya syirik, namun jelaslah istighatsah di hari kiamat ternyata hanya untuk Sayyidina Muhammad saw. Demikian pula diriwayatkan bahwa dihadapan Ibn Abbas ra ada seorang yang keram kakinya, lalu berkata Ibn Abbas ra : “Sebut nama orang yg paling kau cintai..!”, maka berkata orang itu dengan suara keras.. : “Muhammad..!”, maka dalam sekejap hilanglah sakit keramnya (diriwayatkan oleh Imam Hakim, Ibn Sunniy, dan diriwayatkan oleh Imam Tabrani dengan sanad hasan) dan riwayat ini pun diriwayatkan oleh Imam Nawawi pada Al Adzkar. Jelaslah sudah bahwa riwayat ini justru bukan mengatakan musyrik pada orang yang memanggil nama seseorang saat dalam keadaan tersulitkan, justru Ibn Abbas ra yang mengajari hal ini.
Kita bisa melihat kejadian Tsunami di Aceh beberapa tahun yang silam, bagaimana air laut yang setinggi 30 meter dengan kecepatan 300 km dan kekuatannya ratusan juta ton, mereka tak menyentuh masjid tua dan makam makam shalihin, hingga mereka yang lari ke makam shalihin selamat. Inilah bukti bahwa istighatsah dikehendaki oleh Allah swt, karena kalau tidak lalu mengapa Allah jadikan di makam – makam shalihin itu terdapat benteng yang tak terlihat membentengi air bah itu, yang itu sebagai isyarat Illahi bahwa demikianlah Allah memuliakan tubuh yang taat pada-Nya swt, tubuh – tubuh tak bernyawa itu Allah jadikan benteng untuk mereka yang hidup.., tubuh yang tak bernyawa itu Allah jadikan sumber Rahmat dan Perlindungan-Nya swt kepada mereka mereka yang berlindung dan lari ke makam mereka.
Kesimpulannya : mereka yang lari berlindung pada hamba – hamba Allah yang shalih mereka selamat, mereka yang lari ke masjid – masjid tua yang bekas tempat sujudnya orang – orang shalih maka mereka selamat, mereka yang lari dengan mobilnya tidak selamat, mereka yang lari mencari tim SAR tidak selamat.. Pertanyaannya adalah : kenapa Allah jadikan makam sebagai perantara perlindungan-Nya swt? kenapa bukan orang yang hidup? kenapa bukan gunung? kenapa bukan perumahan?. Jawabannya bahwa Allah mengajari penduduk bumi ini beristighatsah pada shalihin.
Walillahittaufiq
Mengenai kuburan :
Berkata Imam Ibn Hajar : “Berkata Imam Al Baidhawiy : ketika orang yahudi dan nasrani bersujud pada kubur para Nabi mereka dan berkiblat dan menghadap pada kubur mereka dan menyembahnya dan mereka membuat patung patungnya, maka Rasul saw melaknat mereka, dan melarang muslimin berbuat itu, tapi kalau menjadikan masjid di dekat kuburan orang shalih dengan niat bertabarruk dengan kedekatan pada mereka tanpa penyembahan dengan merubah kiblat kepadanya maka tidak termasuk pada ucapan yg dimaksud hadits itu” (Fathul Bari Al Masyhur Juz 1 hal 525)
Berkata Imam Al Baidhawiy : bahwa Kubur Nabi Ismail as adalah di Hathiim (disamping Miizab di ka’bah dan di dalam masjidilharam) dan tempat itu justru afdhal shalat padanya, dan larangan shalat di kuburan adalah kuburan yang sudah tergali (Faidhulqadiir Juz 5 hal 251) Jelaslah bahwa yang dimaksud shalat menghadap kuburan adalah yang langsung berhadapan dengan kuburan yang telah digali, bukan kuburan yang tertutup tembok atau terhalang dinding. Dan Rasul saw menyalatkan seorang yang telah dikuburkan, beliau shalat gaib menghadap kuburannya tanpa dinding atau penghalang, yaitu langsung menghadap kuburan (Shahih Muslim) Mengenai membangun kubur dengan tabut, bangunan, hal ini dilarang untuk umum, dan diperbolehkan untuk kubur para Nabi, Ulama dan Shalihin, untuk menghidupkan ziarah dan tabarruk pada mereka. (Rujuk: I’anatutthaalibin Juz 3 hal 236, Tuhfatul Muhtaj bisyarhil Minhaj Juz 11 hal 424, Mughniy Almuhtaj bisyarhil Minhaj Juz 4 hal 365, Nihayatul Muhtaj ilaa syarhil Minhaj Juz 8 hal 395 dll).