SIAPAKAH WALI ANAK ZINA
Saat ini bekerja di luar negeri merupakan alternatif bagi mereka yang menemui jalan buntu dalam memenuhi kebutuhan hidup.
“Setiap usaha pasti menjumpai resiko”.
Demikian adagium(pepatah) lama mengatakan.
Kabar TKI yang mengais nafkah di luar negeri membuat kita mengelus dada. Betapa tidak, kabar TKW yang menjadi korban aksi “behind the selimut” kerap nongkrong di surat kabar terkemuka indonesia. Bahkan tidak jarang perlakuan tidak senonoh(zina) tersebut membuahkan keturunan. Kesedihan makin memuncak tatkala mereka di paksa pulang ke daerah asalnya dengan membawa anak yang tak di rencana.
Kemudian entah karena saking cintanya atau takut kehilangan isteri, sang suami yang sudah menunggu lama kepulangan isteri tercinta dari negeri orang, hanya menerima dengan lapang dada anak made in luar negeri tersebut untuk tinggal bersamanya. Padahal suami sangat tahu bahwa anak itu bukan hasil peras keringat banting lututnya.
Pertanyaanya adalah : siapakah wali dari anak tersebut?
Syara’ memberlakukan perwalian dalam pernikahan sebagai wujud antisipasi tercorengnya nama baik keluarga. Oleh karenanya, seorang wali di sunnahkan menawarkan putri putrinya kepada orang yang sholeh. Seperti yang di lakukan Sayyidina Umar Ra.yang menawarkan putrinya Sayyidah Hafshoh kepada para sahabat dan akhirnya d nikahi oleh Baginda Nabi Saw. Bahkan Nabi Syu’aib menawarkan putrinya kepada Nabi Musa As. Sebagaiman di terangkan di dalam Al qur’an surat Al Qosos ayat 27 :
قَالَ إِنِّيْ أُرِيْدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِيْ ثَمَانِيَحِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُريْدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِيْ إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّالِحِيْنَ
“Berkata dia(Syu’aib)” Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah satu dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah(suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu, dan kamu insyaAlloh akan mendapatiku termasuk orang orang yang baik”.
Secara global, hak perwalian nikah di tetapkan dengan dua hal :
1. Melalui jalur nasab seperti ayah, kakek dan seterusnya
2. Melalui jalur hukum, seperti wali hakim(penghulu) atau muhakkam(seorang lelaki adil yang di minta menjadi wali nikah).
Seperti dalam penjelasan penjelasan kitab, bahwa perwalian wanita merupakan sesuatu yang telah di tetapkan dalam hadits, seperti hadits yang di riwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban Roh. :
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ وَمَا كَانَ مِنْ نِكَاحٍ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بَاطِلٌ
“Tidak ada pernikahan(yang sah) kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi, ernikahan yang tidak semacam itu maka batal”.(HR.Ibnu Hibban).
Perwalian melalui jalur nasab merupakan perwalian primer dalam pernikahan, sedangkan perwalian melalui jalur hukum merupakan perwalian yang di lakukan ketika tidak ada wali nasab atau karena nasab tidak mau menikahkan.
Prosedur perwalian melalui jalur nasab dapat di lakukan ketika secara syara’ seorang perempuan nasabnya mengikuti seorang ayah, jika nasab seorang anak tidak tersambung dengan sang ayah(seperti anak zina), maka ia tidak memiliki wali dari nasab. Dengan demikian waliyang dapat menikahkanya adalah hakim atau muhakkam.
Sebagaimana di jelaskan dalam sebuah hadits :
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَالسُّلْطَانُ وَلِيٌّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
“Tidak ada nikah yang sah kecuali dengan wali dan sulthon(penghulu) adalah wali bagi orang yang tidak memliki wali.(HR. Al Baihqi)
Kesimpulan :
Wali dari anak hasil zina adalah hakim(penghulu) atau muhakkam(seorang lelaki adil yang di minta menjadi wali nikah.
Apakah salah sang suami menerima kehadiran anak hasil zina tersebut untuk tinggal bersamanya?
Agama islam mensyari’atkan pernikahan dengan berbagai syarat dan ketentuan sebagai wujud kepedulian syara’ atas nasab seseorang. Sebab, persolalan nasab(jalur keturunan) adalah aspek urgen dalam tatanan syari’at. Persoalan nasab sangat berkaitan dengan problematika waris, wali nikah dan yang lainya.
Di tetapkan dalam syari’at islam bahwa ikatan nasab seorang anak dapat menyatu dengan ayahnya jika ia di lahirkan dari hubungan yang terangkum dalam bingkai pernikahan yang sah, atau wathi syubhat(hubungan badan karena kekeliruan, seperti seorang lelaki menyetubuhi seorang wanita yang ia kira adalah isterinya).
Nasab seorang anak yang terlahir dari ibunya otomatis menyambung kepada ayahnya ketika tidak ada sesuatu yang mengarahkan untuk menentangnya. Akan tetaapi jika ada hal yang memicu bahwa anak tersebut di yakini bukan merupakan hasil hubungan pernikahan suami isteri, maka suami wajib mengelak bahwa anak tersebut adalah anaknya, seperti anak yang lahir dari hasil perselingkuhan isteri.
Seorang anak yang terlahir dapat di pastikan anak sang suami atau bukan melalui 4 golongan :
1. Anak yang di katakan bukan anak sang suami secara dzohir dan bathin tanpa membutuhkan sumpah li’an, yakni anak yang terlahir kurang dari 6 bulan terhitung mulai dari kemungkinan terjadinya hubungan intim, atau terlahir setelah 4 tahun terhitung dari kemungkinan terjadinya hubungan intim.
2. Mengikuti nasab suami secara dzohir, baik hukum waris dan sebagainya. Namun, sang suami wajib mengelak melalui sumpah li’an, yakni anak yang terlahir lebih dari enam bulan atau 4 tahun lebih dari kemungkinan hubungn itim, namun suami yakin atau mempunyai prasangka yang kuat bahwa anak tersebut bukan anaknya, seperti ketika ia belum sama sekali berhubungan intim dengan isterinya, atau terlahir kurang dari enam bulan dari hubungan intim, atau terlahir lebih dari empat tahun pasca hubungan intim, atau terlahir setelah enam bulan, namun setelah terjadinya pensterilan dengan kurun waktu satu haid serta terdapat tanda tanda isteri telah selingkuh. Maka sang suami berdosa jika tidak mengelak bahwa anak yang terlahir adalah bukan anaknya atau tetap mengakui bahwa anak yang terlahir adalah anaknya.
3.Mengikuti nasab suami secara dzohir. Namun, suami tidak wajib untuk mengelaknya, yakni ketika sang suami tidak mempunyai prasangka yang kuat bahwa anak yang lahir tersebut bukan anaknya, karena terdapat beberapa ketentuan :
a. Suami telah melakukan pensterilan dengan kurun waktu satu haid
b. Sang anak terlahir setelah enam bulan
c. idak terdapat tanda tanda sang isteri telah berselingkuh
4. Mengikuti nasab suami dan haram sang suami mengelaknya bahkan terdapat hadits yang menyatakan kufur terhadap yang melakukanya, yakni jika ia mempunyai prasangka yang kuat bahwa sang anak adalah anaknya, atau ia masih bimbang karena sang anak terlahir setelah enam bulan atau lebih sampai 4 tahun, dan ia belum mensterilkan isterinya setelah hubungan intim.
Kewajiban untuk mengelak atau mengakui sang anak berlandaskan haditsnya Imam Abi Hurairoh Ra.:
أَيُّمَاامْرَأَةٍ أَدْخَلَتْ عَلَى قَوْمٍ مَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ فَلَيْسَتْ مِنَ اللهِ فِيْ شَيْءٍ وَلَنْ يُدْخِلَهَا اللهُ جَنَّتَهُ وَأَيُّمَا رَجُلٍ جَحَدَ وَلَدَهُ وَهُوَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ احْتَجَبَ اللهُ مِنْهُ وَفَضَحَهُ عَلَى رُؤُسِ الْأَوَّلِيْنَ وَالْأَخِرِيْنَ
“Perempuan manapun yang menggolongkan anak sebuah komunitas yang bukan golonganya,maka Alloh tidak akan memberkahiNYA dan tidak akan memasukan ke surgaNYA. Laki laki manapun yang mengelak anaknya tetapi ia tetap memandangnya(mengakui bahwa ia anaknya), maka Alloh akan menghalanginya dan akan mencelanya di hadpan para pendahulu pendahulu dan setelahnya”.(HR. Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Hakim dan Baihaqi).
Perincian di atas dapat menyimpulkan dan menjawab pertanyaan di atas dengan perincian :
– Jika maksud menerima adalah tinggal bersama, maka boleh dan tidak bersalah jika tidak menimbulkan persepsi anak zina nasabnya mengikutinya.
– Jika maksud menerimanya adalah istilhaq(pengakuan nasab), maka tidak boleh atau haram, jika yakin anak tersebut adalah anak hasil zina atau prasangka yang kuat bahwa anak tersebut adalah anak hasil zina.
–
Referensi :
Al Hawi Kabir juz 8 hal.446 dan juz 11 hal.74
Tausyih ‘Ala Ibni Qosim hal. 201
Hasyiyah Al Jamal juz 4 hal. 176
I’anatuth Tholibin juz 3 hal 308
Fiqhul Islamy Wa Adillatuh juz 9 hal. 669
Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab juz 21 hal.316 dan juz 17 hal.411
Anwarul Masalik hal.245
Al Bajuri juz 2 hal.165
Kifayatul Akhyar juz 2 hal.121
Bujairomi ‘Alal Khotib juz 4 hal.32
Bughyatul Mustarsyidin hal.235-236