HUKUM MENGKODLO SHOLAT DAN MENGHAJIKAN ORANG YANG SUDAH MATI
HUKUM MENGQHODHO SHOLAT DAN MENGHAJIKAN ORANG YANG SUDAH MENINGGAL
Kalau ada orang meninggal.
Dan orang tersebut jarang ibadah
Ibadah apa saja yang boleh di ganti/dikerjakan oleh ahli nya?
Dan ibadah apa saja yang tidak bisa di ganti oleh ahli nya?
Mengqodho’ sholat bagi mayit terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama’Syafiiyah.
Dalam I’anatut Tholibin :
( فائدة ) من مات وعليه صلاة فلا قضاء ولا فدية وفي قول كجمع مجتهدين أنها تقضى عنهلخبر البخاري وغيره ومن ثم اختاره جمع من أئمتنا وفعل به السبكي عن بعض أقاربه ونقل ابن برهان عن القديم أنهيلزم الولي إن خلف تركة أن يصلى عنه كالصوم وفي وجه عليه كثيرون من أصحابنا أنه يطعم عن كل صلاة مدا وقال المحب الطبري يصل للميت كل عبادة تفعل واجبة أو مندوبة
Barang siapa meninggal dunia dan padanya terdapat kewajiban shalat maka tidak ada qadha dan bayar fidyah.
Menurut segolongan para mujtahid sesungguhnya shalatnya juga di Qadhai berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan lainnya karenanya segolongan imam cenderung memilih pendapat ini dan Imam Subki juga mengerjakannya untuk sebagian kerabat-kerabat beliau.
Ibn Burhan menuqil dari qaul qadim wajib bagi wali bila mayit meninggalkan warisan untuk menshalati atas namanya seperti halnya puasa, sebagian ulama pengikut syafi’i memilih dengan mengganti setiap satu shalat satu mud.
Syekh Muhib at Thobri berkata :
“Akan sampai pada mayat setiap ibadah yang di kerjakan baik berupa ibadah wajib ataupun sunah.
Kalau mayit,waktu hidupnya sudah berkewajiban haji,tapi tidak naik haji,terus meninggal.
Apa bisa di gantikan?
Boleh mewakilkan haji berdasarkan Hadist,
Yang di antaranya dari Ibnu ‘Abbas RA:
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ ( ص ) فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ , أَفَأَحُجُّ عَنْهَا ؟ قَالَ : نَعَمْ حُجِّي عَنْهَاأَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضَيَتَهُ ؟ أُقْضُوا اللَّهَ, فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
Sesungguhnya seorang wanita dari Juhainah telah datang kepada Nabi saw., dan bertanya :
:
“Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk berhaji, namun ia meninggal dunia sebelum berhaji. Apakah boleh aku menggantikan berhaji darinya?”.
Nabi menjawab :
“ Hajikanlah. Bukankah kalau ibumu berhutang engkau harus membayarnya? Bayarlah, karena haq Allah itu lebih patut dibayar”.(HR.Bukhori).
Fathul Bari : juz IV/hal 64.
كَانَ الْفَضْلُ رَدِيْفَ النَّبِيِّ ( ص ) فَجَاءَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثَعَمِ فَجَعَلَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَ تَنْظُرُ إِلَيْهِ, فَجَعَلَ النَّبِيُّ ( ص ) يَصْرِفُ وَجْهَ الْفَضْلِ إِلَى الشِّقِّ اْلآخَرِ , فَقَالَتْ: إِنَّ فَرِيْضَة اللَّهِ أَدْرَكَتْ أَِبِيشَيْخًا كَبِيْرًا لاَ يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ ، أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ: نعم وَ ذَلِكَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ
Adalah Al-Fadhl dibonceng Nabi saw.; maka datang seorang wanita dari Khatsa’am, Al-Fadhl pun melihat wanita itu, dan wanita itu pun melihat Al-Fadhl, maka Nabi saw. memalingkan wajah Al-Fadhl kearah lain. Wanita itu berkata : “Sesungguhnya kewajiban Allah telah datang kepada ayahku yang sudah sangat tua, dan tidak mampu lagi naik kendaraan. Apakah aku boleh menghajikannya?”.
Nabi saw. menjawab:
“Ya (boleh)”. Peristiwa itu terjadi pada Haji Al-Wada’”. (HR.Bukhori).
Fathul Bari : juz III/hal. 378.
dan juga dalam juz : IV hal 67.