KEMELUT DI DALAM RUMAH TANGGA
KEMELUT DALAM RUMAH TANGGA
Deskripsi
Usia pernikahan Dino dan Dini sudah memasuki tahun ke-7. Namun sejauh ini, dari pernikahan mereka masih juga belum dikaruniai sibuah hati. Tentu saja hal itu menimbulkan kegelisahan dan sempat mengusik keharmonisan keluarga mereka. Sampai akhirnya, di suatu kesempatan Dino tak kuasa menahan keinginan yang sudah lama dipendamnya. Dino mengungkapkan, ingin menikah lagi. Tak ayal, hal itu membuat Dini goncang. Dini tak mau merasakan panasnya terbakar api cemburu karena dimadu, tapi ia juga tak kuasa untuk berpisah dengan Dino. Akhirnya untuk mengatasi kemelut rumah tangganya itu, Dini memutuskan untuk meminta bantuan pada seorang kiyai, dengan meminta mahabbah, agar suaminya tidak menikah lagi.
Pertanyaan
a. Dalam perspektif fiqh, apakah persetujuan istri pertama menjadi suatu pertimbangan?
Jawaban
a. Persetujuan istri pertama bukanlah sebagai syarat sahnya melaksanakan nikah dengan istri ke dua, hanya saja perizinan tersebut dipertimbangkan sebagai bentuk mu’asyarah bil ma’ruf .dan dalam madzhab hanbali perizinan istri pertama dipertimbangkan dalam hal hak faskh yang diberikan pada istri pertama ketika pada saat akad dengan istri pertama ada perjanjian untuk tidak berpoligami atau tradisi setempat istri pertama tidak memberikan izin untuk berpoligami. Terlebih lagi ketika melihyat peraturan pemerintah tentang pengaturan poligami yang mengharuskan adanya izin istri pertama mampu kuat untuk mempertimbangkan izin dari istri pertama demi terciptanya mu’asyarah bil ma’ruf dan memenuhi perjanjian.
Referensi
1. Al-Fiqhu al-Islami vol.9 hlm 6669
2. Mahasin Taaddudu Zawjat hlm.18
3. Al-Inshâf juz III hlm. 156
4. Arsyif Multaqo Ahlu Hadits vol.1 hlm. 1689
5. Kasysyâf al-Qina’ juz V hlm. 390
6. Al-Mughî Syarh al-Kabîr juz VII hlm. 71
7. Bughyah al-Murtasydin hlm. 91
Pertanyaan
b. Bagaimana hukum menikah dengan istri kedua tanpa persetujuan istri pertama?
Jawaban
b. Hukum menikah dengan istri ke dua tanpa persetujuan istri pertama adalah sah dan tidak haram menurut madzhab Syafi’i. Sedangkan menurut madzhab Hanbali dalam kitab Ar-Raudl wal Murabba’ sah dan tidak haram. Dan dalam kitab Hanbali yang lain seperti Al-Mugni dll, hukumnya sah dan haram. Perincian hukum dalam madzhab Hanbali tersebut terkait dengan ketika pada saat aqad nikah dengan istri pertama ada perjanjian untuk tidak berpoligami atau kebiasaan wanita setempat tidak ada kerelaan untuk dipoligami.
Hanya saja jika dikaitkan dengan peraturan pemerintah yang mengharuskan ada izin dari istri pertama hukumnya haram.
Referensi
1. Idem dengan referensi sub a.
2. Ar-Raudl al-Murabba’, vol. 1, hlm. 340
3. Al-Mughni Ibnu Qudamah, vol. 15, hlm. 61
4. Durus ‘Umdat al-Fiqhi, vol. 6, hlm. 343
5. ‘Asyrah an-Nisa’, vol. 1, hlm. 28
Pertanyaan
c. Bolehkah memahabbahi suami untuk kepentingan sebagaimana di atas?
Jawaban
c. Hukum seorang istri memahabbahi suami adalah boleh, dengan syarat:
– Tidak ada dloror
– Media atau lafad-lafadnya yang digunakan bukan sesuatu yang tidak bermakna dan tidak bertentangan dengan syari’at
– Pelakunya ahli syari’at
Referensi
1. Hasyiyah ad-Dasuqi vol.18 hlm. 290
2. Al-Fiqhu ala Madzahibil Arba’ah vol.5 hlm.225
3. Syarhul Bahjah vol.17 hlm.350
4. Is’adur Rofiq vol.2 hlm.93
Pertanyaan
d. Apakah istri diperbolehkan mengajukan gugatan cerai dengan alasan tidak mau dimadu?
Jawaban
d. Seorang istri meminta cerai sebab alasan tidak mau dimadu adalah khilaf antara madzahib :
= Syafi’iyyah: tidak boleh sebab dalam syafi’iyyah pengajuan cerai hanya dalam kasus istri tidak dinafkahi atau istri mempunyai aib.
= Hanbali: Boleh bila disyaratkan dalam aqad atau menjadi kebiasaan wanita setempat.
= Malikiyyah:
– Bila istrinya disakiti oleh suaminya maka boleh menggugat cerai.
– Ketika terjadi percekcokan.
Referensi
1. Al-Fiqh al-Islami, vol. 9, hlm. 495
2. Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, vol. 29.57
3. At-Tasyri’ al-Jana’I, vol. 1, hlm. 53
4. Is’adur Rofiq, vol.2 hlm.93