SEKOLAH GENDER TUNGGAL DI AMERIKA MENGADOPSI SISTEM PENDIDIKAN PON PES
Sekolah Gender Tunggal di Amerika Mengadopsi Sistem Pendidikan di Pondok Pesantren
Sistem pendidikan di Pondok Pesantren memiliki kekhasan tersendiri, dimana antara santri putri dan putra adalah dipisahkan. Tidak hanya tempat tinggalnya saja yang dipisah, ruang belajar/ ngaji, ruang makan juga dipisah. Apalagi ruang mandi dan WC, ya jelas dipisah. Bagi sebuah pesantren ini sudah menjadi ciri khas. Diantara alasan pemisahan tersebut adalah untuk mencegah terjadinya kemaksiatan.
Kondisi ini jauh berbeda dengan sistem pendidikan di sekolah-sekolah umum, mulai dari TK sampai SMA/SMK. Bahkan sekolah-sekolah yang berada dalam naungan Departemen Agama seperti MI, MTs, dan MA sekarang muridnya sudah mulai banyak yang bercampur laki-laki perempuan dalam tiap kelasnya. Mungkin zaman sekarang terlihat aneh jika tiba-tiba ada sekolah disekitar kita yang hanya menerima murid perempuan saja atau laki-laki saja. Mungkin juga akan dianggap kuno, mengingat zaman sudah global. Kedudukan laki-laki dan perempuan kian tak ada batasnya.
200 sekolah gender tunggal berkembang di Amerika Serikat
Tetapi uniknya, ditengah zaman global seperti sekarang, justru di Amerika Serikat, negara yang jadi simbol kapitaslime dan kebebasan itu malah memberlakukan homogenisasi siswa pada beberapa sekolah. Adalah Dinas Pendidikan Kota Hartford negara bagian Connecticut Amerika Serikat yang pada April 2008 lalu mengeluarkan kebijakan akan membuka sekolah untuk satu jenis kelamin. Tetapi kebijakan itu baru sebuah rintisan untuk satu sekolah saja dengan murid laki-laki semua. Rencananya tahun 2009 akan dibuka sekolah khusus siswa perempuan.
Di Connecticut mungkin tergolong baru, tetapi di Amerika Serikat secara keseluruan model sekolah gender tunggal sudah berkembang lama. Bahkan jumlahnya kian meningkat tiap tahunnya. Pada tahun 2002, jumlah sekolah satu jenis kelamin tak lebih dari 6 sekolah. Tetapi pada tahun 2008, jumlahnya sudah mencapai 100 sekolah.Diperkirakan jumlah itu akan terus meningkat. Fenomena lain yang berkembang di Amerika Serikat adalah pemisahan kelas antara siswa laki-laki dan perempuan. Meskipun mereka berada dalam satu sekolah.
Kebanyakan dari sekolah-sekolah satu gender itu bukan sebagai sekolah agama, tetapi sekolah umum. Kebijakan itu sebagai langkah baru dalam penggenjotan mutu akademik siswa. Seperti halnya yang dilakukan di Connecticut tersebut. Dalam berbagai penelitian, siswa laki-laki di sekolah-sekolah di Connecticut memiliki nilai matematika yang jeblok, dan selalu kalah dengan nilai dari siswa perempuan. Penyebabnya, siswa laki-laki dianggap punya banyak masalah yang kemudian mempengaruhi dalam proses belajarnya. “Secara umum murid laki-laki memiliki banyak masalah ketimbang perempuan,” tutur Tyrone Richardson, koordinator guru matematika di sebuah sekolah unggulan di Hartford.
Tyrone merupakan guru matematika yang menonjol di kota itu. Ia sering dimintai masukan oleh dinas pendidikan setempat terkait mutu kemampuan matematika para siswa, dan ia pula yang ditunjuk dinas pendidikan untuk merancang sekolah khusus tersebut.
New York Times edisi akhir Maret 2008 lalu menulis, bahwa yang jadi sasaran utama sekolah khusus itu adalah murid laki-laki dari sekolah biasa yang memang nilai matematikanya anjlok. Diperkirakan, jika mereka bertahan disekolah lama tak akan ada peningkatan, bahkan putus sekolah. “Banyak diantara mereka tidak punya harapan,” lanjut Mr. Tyrone.
Data menunjukkan, bahwa tahun 1997, sebanyak 3.500 murid laki-laki di Hartford mendapat skorsing keras dari sekolah lantaran nilai matematikanya jelek. Sedang siswa perempuan sebanyak 2.236 murid. Jumlah siswa yang dikeluarkan sebanyak 111 murid, dan 75% diantaranya adalah laki-laki.
Tidak hanya matematika yang jelek, secara keseluruhan dalam nilai rapor murid laki-laki juga banyak yang rendah. Dalam ujian melalui tes Connecticut Academic Performance Test, muri perempuan dengan gampang menyelesaikan soal. Sementara murid laki-laki merasa kesulitan, terutama soal matematika dan sains. Murid perempuan juga lebih unggul dalam pelajaran membaca, bahasa dan menulis.
Kacaunya nilai akademik murid-murid di Hartford juga disebabkan latar belakang keluraga. Banyak dari siswa yang akademiknya anjlok tersebut keluarganya ditahan karena kasus pencurian, narkoba dan lain-lain. Maklum Connecticut merupakan negara bagian yang kurang makmur. “Kasihan mereka. Mereka tumbuha dalam keluraga yang tidak sehat,” kata Douglas McCroy anggota DPRD dari Partai Demokrat. Ia juga menjabat sebagai wakil kepala sekolah di salah satu sekolah di Connecticut, yaitu di SMA Bulkeley.
Douglas, selain menjadi anggota legislatif dan menjadi wakil kepala sekolah juga menjadi pentolan perancangan sekolah satu gender tersebut bersama-sama Tyrone. “Yang kita hadapi menyangkut isu keselamatan. Anda tidak bisa membiarkan begitu banyak dijalanan tanpa masa depan,” terang Douglas.
Di luar negara bagian Connecticut, para pejabat sekolah memandang sekolah untuk pria saja atau perempuan saja merupakan alternatif yang perlu dipertimbangkan. “Sitem ini akan berhasil jika dikerjakan dengan baik,” ujar Ben Wright, konsultan yang merancang sekolah gender di Seattle dan Philadelphia.
Keberadaan sekolah untuk satu gender di Amerika Serikat juga mengundang pro dan kontra. Kata Prof. Cornelius Riordan, selama ini masih terdapat perbedaan pendapat yang cukup tajam dari kedua pihak. Selama tiga tahun pula, Prof. Riordan mencoba melakukan riset terhadap sekolah-sekolah satu jenis kelamin.
Dari 40 riset terhadap manfaat tidaknya sekolah satu jenis kelamin, belum ada yang berani menyatakan bahwa sekolah untuk satu jenis kelamin khusus memiliki pengaruh signifikan terhadap prestasi akademik. “Kedua pihak punya kekuatan sama,” kata sang profesor itu.
Tetapi, Steven J. Adamowski, pengawas sekolah di kota Hartford mengatakan, “Sebagai sebuah metode, bagus juga kalau ini dicoba. Dari survei nasional yang saya baca, murid disekolah gender tunggal akan berprestasi lebih baik,” kata Steven optimis.
Tiga tahun riset
Optimisme Steven ditunjang paparan Dr. Leonard Sax, Direktur Eksekutif Asosiasi Sekolah Gender Tunggal. Pada pertengahan Mei 2008 lalu, Dr. Leonard memimpin rapat asosiasi tesebut. Dalam rapat itu disampaikan hasil penelitian selama tiga tahun yang dilakukan para ahli dari Stetson University, Florida yang membandingkan kinerja kelas untuk murid gender tunggal dan campuran. Penelitian dilakukan di SD Woodwan Avenue, tak jauh dari kampus Stetson University.
SD tempat penelitian tersebut, sebearnya memiliki siswa campuran, laki-laki dan perempuan. Tetapi selama riset ada kelas yang dikhususkan bagi satu gender saja. Obejk penelitian adalah kelas laki-laki, kelas perempuan dan kelas campuran.
Kepada kelas-kelas tersebut, suasana dan tugas-tugas dibuat sama. Misal jumlah muridnya sama, komposisi demografisnya sama, serta tingkat kecerdasannya. Pelajarannya juga disamakan. Guru yang mengajar dibekali pelatihan yang sama, serta menggunakan cara yang sama pula.
Lantas murid-murid tersebut diberi tes kecakapan nasional yang diselenggarakan oleh negara bagian. Tesnya bernama Florida Comprehensive Assesment Test. Hasilnya:
• dikelas campuran, 37% murid laki-laki dinilai cakap, sedang murid perempuan 59% dinilai cakap
• dikelas perempuan murid-muridnya 75% dinilai cakap
• dikelas laki-laki murid-muridnya 86% dinilai cakap
Dalam rencana sekolah gender tunggal yang akan dibuka mulai tahun ajaran 2008-2009 itu untuk kelas 7-12. diperkirakan jumlah murid terjaring antara 300-600 anak. Karena belum punya kampus sendiri, rencananya pemerintah akan meyewa ruang kosong di kompleks perkantoran di tengah kota. Dalam setahun berjalan, direncanakan sekolah tersebut sudah memiliki kampus sendiri.
Sumber: http://edubenchmark.com/ , disadur dari tulisan Iwan Qodar Himawan (mantan Pimred GATRA) dalam majalah Forum Tenaga Kependidika Direktorat Tenaga Kependidikan Ditjen PMPTK DEPDIKNAS.