AGAR MANTAN KORUPTOR OPTIMIS MENATAP MASA DEPAN
وَكُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ
Setiap daging yang tumbuh dari barang haram, maka neraka lebih berhak terhadapnya. (HR at-Thobarani).
مَنْ أَكَلَ الحَرَامَ عَصَتْ جَوَارِحُهُ شَاءَ أَمْ أَبَى ، عَلِمَ أَوْ لَمْ يَعْلَمْ
Orang yang memakan barang haram, maka tubuhnya akan bermaksiat, dia mau atau tidak mau, dia tahu atau tidak tahu. (Imam Sahl at-Tustari).
Hadits dan nasehat di atas menunjukkan betapa beratnya konsekwensi makanan haram. Sebab, daging, darah, atau tenaga yang berasal dari makanan haram secara otomatis memiliki kecenderungan kuat untuk digunakan melakukan barang haram. Manusia, secara fisik dan psikis, sangat dipengaruhi oleh apa yang dia makan. Jika makanannya halal, maka hal itu akan menjadi pendorong kuat bagi dia untuk memegang teguh perilaku halal. Jika yang dia makan haram, maka kekuatan imannya akan runtuh, dan dia menganggap perilaku haram sebagai suatu yang lumrah serta wajar. Maka, merupakan suatu yang amat rasional apabila disebutkan bahwa daging yang tumbuh dari makanan haram, lebih layak berada di neraka.
Lalu, apakah pintu surga sudah terkunci untuk orang yang pernah memakan barang haram?
Tidak demikian. Tidak ada dosa apapun yang menyebabkan pintu harapan tertutup rapat. Sebesar apapun dosa yang dilakukan oleh seseorang, pintu harapan masih terhampar luas, selagi dia masih memiliki kesempatan untuk bertaubat. Justru, putus harapan, merupakan suatu yang dikutuk oleh Allah. Manusia harus memiliki harapan untuk mendapatkan pengampunan, karena jika dia sudah hilang harapan, maka dia tidak akan berusaha untuk menghilangkan dosa tersebut dengan cara bertaubat.
Boleh jadi, daging, darah atau tenaga yang awalnya tumbuh dari barang haram, lambat laun akan mengalami metamorfosis dari hitam ke putih, dari hasrat buruk ke kecenderungan baik, dari neraka ke surga. Dengan catatan, dia menjalani taubatnya dengan sungguh-sungguh.
Sebagaimana telah maklum, taubat hampir pasti diterima jika memenuhi seluruh syaratnya, begitu pula hampir pasti ditolak jika tidak memenuhi syarat-syaratnya.
Ulama merumuskan syarat taubat ke dalam tiga hal, yaitu:
(1) Berhenti dari perbuatan dosanya
(2) Menyesal
(3) Berkomitmen kuat untuk tidak mengulangi.
Jika dosanya terkait dengan hak sesama manusia, maka ada tambahan syarat keempat, yaitu istihlal, yakni mendapatkan maaf dan kerelaan dari pemiliknya, dengan cara meminta maaf dan mengganti jika berupa harta benda.
Syarat yang keempat tidak terlalu sulit jika si pemilik hanyalah satu orang yang masih hidup dan kadar hak milik yang harus diganti masih terjangkau. Namun, akan menjadi berbeda jika misalnya orang yang pernah ia ambil haknya sangatlah banyak, tidak jelas siapa saja orangnya, tidak jelas apakah mereka masih hidup atau sudah mati, dan jumlah harta yang diambil sangatlah banyak, atau bahkan seluruh harta yang dimilikinya berasal dari mencuri, korupsi, menipu, merampok dan semacamnya.
Terkait dengan hal itu, Imam al Ghazali dalam Ihya Ulumiddin dan Imam al Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an memberikan penjelasan, intinya sebagaimana berikut :
Pertama
Orang yang seluruh hartanya berasal dari barang haram, maka untuk bertaubat dia harus melepaskan diri dari seluruh harta tersebut, kecuali pakaian minimal untuk sekadar menutup aurat saat sholat dan makanan yang ia butuhkan pada hari itu. Imam al-Qurthubi menyatakan, kadar inilah yang boleh diambil dari hak milik orang lain, saat kondisi darurat.
Kedua
Jika sebagian hartanya berasal dari barang haram, dan sebagian yang lain adalah harta halal, sementara keduanya sudah bercampur baur sampai tidak dapat dibedakan, maka dia harus melepas kadar dari harta yang haram sampai dia yakin bahwa yang tersisa benar-benar halal. Kadar yang dia ragukan kehalalan juga harus dilepas. Jika misalnya yang dia yakini halal hanya sepertiga, maka dua pertiga hartanya harus dia lepas.
Memang, ada sebagian Sufi yang melepas seluruh hartanya jika sudah bercampur dengan barang haram. Imam Abu Thalib al-Makki bercerita, ada seorang Waro’ memiliki sekeping dinar. Dinar itu jatuh dari saku bajunya ke tanah. Dia menundukkan tubuh untuk memungut. Ternyata, di tanah itu ada dua keping dinar. Maka, dia meninggalkan semuanya.
Apakah langkah semacam ini harus diambil jika harta kita tercampur barang haram? Setidaknya, ada tiga pendapat ulama.
Imam al Qurthubi tidak setuju dengan langkah tersebut, bahkan menyebutnya sebagai bentuk ghuluw (berlebih-lebihan dalam agama). Beliau menyatakan, jika harta sudah bercampur baur sehingga tidak bisa dibedakan, maka yang menjadi pedoman kepemilikan adalah nilai nominalnya, bukan ‘ain atau personalia barangnya.
Pendapat al Qurthubi berbeda jauh dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau pernah ditanya mengenai kasus di atas.
Beliau menjawab, “Tinggalkanlah semua, sampai dia yakin mana uang yang merupakan miliknya.” Beliau juga pernah menggadaikan sebuah perkakas. Ketika jatuh tempo, penerima gadai membawa dua perkakas yang sama. Imam Ahmad tidak bisa membedakan mana yang milik beliau dan mana yang bukan, maka beliau menolak semuanya.
Imam al Ghazali lebih moderat, beliau mengkompromikan dua kecenderungan ini. Meskipun pada dasarnya beliau memiliki pendapat yang sama dengan al Qurthubi, namun beliau menganggap langkah di atas merupakan bentuk kehati-hatian yang patut diapresiasi. Standarnya, dalam kisah itu, dia boleh mengambil satu dinar. Akan tetapi, tidak salah jika dia meninggalkan semuanya, bahkan hal itu termasuk bentuk kewaro’ an.
Ketiga
Cara melepaskan diri dari harta haram adalah harus mengembalikannya kepada pemilik atau ahli warisnya jika masih bisa di identifikasi. Jika tidak bisa diidentifikasi atau pemiliknya sangat banyak sehingga tidak mungkin mengembalikannya satu persatu, maka solusinya disedekahkan kepada fakir miskin, dengan niat sebagai sedekah dari pemilik aslinya. Menurut Imam al Qurthubi, bisa pula ditasarufkan untuk kemaslahatan umat Islam.
Imam al Ghazali menyatakan bahwa menyedekahkan kepada fakir miskin jauh lebih baik daripada meninggalkannya begitu saja. Memang ada tokoh-tokoh sufi yang memilih untuk meninggalkan harta haram yang jatuh ke tangan mereka dengan begitu saja, seperti yang dilakukan oleh Imam al Fudhail bin Iyadh. Beliau pernah mendapatkan uang dua dirham. Sejurus kemudian beliau tahu bahwa uang tersebut tidak jelas asal usulnya. Maka, beliau membuangnya seraya berkata, “Aku tidak akan menyedekahkan sesuatu yang tidak baik.”
Langkah al Fudhail ini, kata Imam al-Ghazali, sangat bisa dipahami. Namun, menurut beliau, ada banyak dalil Hadits dan Atsar yang menyatakan bahwa sebaiknya harta tersebut diberikan kepada fakir miskin. Mengenai tidak bolehnya bersedekah dengan memakai uang haram, hal itu jika bersedekah atas nama diri sendiri. Jika sedekah tersebut di niati sebagai sedekah dari pemilik aslinya, maka persoalannya menjadi berbeda.
Nalarnya begini, jika uang itu kita lemparkan ke laut, maka uang itu sia-sia, tidak ada manfaat yang kembali kepada diri kita, kepada pemilik, dan juga kepada fakir miskin. Namun jika uang itu kita ‘berikan’ ke tangan fakir miskin, maka pemiliknya akan mendapatkan pahala dan barokah do’a dari si penerima, sementara si penerima bisa mendapatkan manfaat dari harta tersebut.
Apakah pemilik aslinya bisa mendapatkan pahala, padahal dia tidak berniat shodakoh?
Bisa saja, karena dalam beberapa Hadits diterangkan, bahwa orang yang menanam pohon, dia mendapatkan pahala ketika buah pohon itu di makan oleh manusia atau hewan. Padahal, nyaris tidak ada petani yang menanam padi dengan niat bersedekah kepada burung pipit. Iya kan?
Wallohu a’lam bis showab…