ES CREAM MAGNUM MENURUT MUI

ES CREAM MAGNUM MENURUT MUI

MUI                 Es cream magnum sempat membuat geger masyarakat kita, geger karena rasanya yang enak, juga geger karena status kehalalanya yang di perdebatkan.

Memang sempat ada kontroversi, tapi MUI juga sudah melakukan klarifikasi..

label halal yang ada di kemasan es krim tersebut dikeluarkan oleh MUI setelah dilakukan pengkajian oleh para pakar dan ulama di BPOM MUI tentunya..

jadi kita tidak perlu cemas..

Menurut pendapat yang kuat hukumnya suci, karena mengamalkan pada asalnya, disamakan dengan jukh (sutra halus yang dikenal dengan nama kain laken) yang sudah masyhur dalam perkataan orang banyak bahwa pembuatannya dicampur dengan gajih babi, kecuali bila sudah ada kejelasan yang nyata terbuat dari tulang babi.

Keterangan :

فـائدة مهـمة) وهي مـااصـله الطهـارة وغلب على الظن تنــجسه لغــلبة النجـاسة فى مـثله , فيه قولان معروفــان بقــولي الاصل والظاهر اوالغـالب, ارجـحها انه طاهر عملا بالاصل المتــيقن لانه اضـبط من الغـالب المخـتـــلـف بالاحوال والازمـان. وذلك كـثياب خمار وحائض وصبــيان وأوانى متديـــنين بالنجــاسة وورق يغـلب نــثره على نجس ولعاب صبي وجـوج اشــتهر عمله بشـحم الخــنزير وجبن شامي اشـتهر عمله بأنفحــة الخنـزير وقد جاءه صلى الله عليه وسلم جـبنة من عندهم فــأكل منهاولم يســئل عن ذلك. ذكره شيخـنا فى شرح المنهــاج .اهـ

Artinya :

FAEDAH PENTING

      Sesungguhnya sesuatu yang aslinya suci kemudian kuat dugaan menjadi najis karena bercampur dengan sesuatu yang najis maka dalam hal ini terdapat dua pendapat yang terkenal.

Pendapat yang lebih unggul adalah bahwa itu suci berdasarkan keasliannya yang telah meyakinkan dan karena lebih kuat ketimbang sekedar dugaan yang bisa berubah ubah dengan perubahan waktu dan tempat, demikian ini seperti Khomr dan Jukh (sejenis kain sutera).

Dalam al Mugni disebutkan bahwa Ibnu Sholah pernah ditanya tentang jukh yang popular dalam omongan orang banyak bahwa didalamnya mengandung lemak babi, Ibnu Sholah menjawab : “Ia tidak bisa dihukumi najis sampai kenajisannya benar-benar menjadi nyata”.

REFERENSI :

Hamisy I’anatut Tholibin juz I hal. 104.

Leave your comment here: