MUSABAQOH TILAWATIL QUR’AN

MUSABAQOH TILAWATIL QUR’AN

 MUSABAQAH TILAWATIL QUR’AN

MTQN

“Dewasa ini di Indonesia muncul opini negatif dari sebagian orang tentang MTQ, seperti mencari nafkah lewat MTQ, menghambur-hamburkan uang negara, penipuan kolektif atas nama al-Qur’an, bahkan bagi yang ilmunya masih pas pasan malah membid’ah bid’ahkan(lihat postingan BID’AH BID’AH AL QUR’AN MENURUT TUKANG BID’AH), dll. Di satu sisi memang ungkapan ini tidak bisa dipungkiri, namun ada juga manfaat yang perlu terus dikembangkan. Oleh karenanya, seperti apakah fiqh tentang MTQ ini sesungguhnya?

Sejarah MTQ di Indonesia

Secara historis, diadakannya MTQ di Indonesia adalah karena Islam merupakan agama dakwah, yakni agama yang menugaskan umatnya untuk menyebarkan dan menyiarkan Islam kepada seluruh umat manusia. Sebagai rahmat bagi seluruh alam, Islam dapat menjamin terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia, bilamana ajaran Islam yang mencakup segenap aspek kehidupan itu dijadikan sebagai pedoman hidup dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Dan demi menindaklanjuti hal di atas, maka pemerintah Indonesia melalui Departemen Agama (saat ini bernama Kementrian Agama) selalu melakukan evaluasi terhadap pengembangan dakwah al-Qur’an dengan cara mengadakan perlombaan di dalamnya, dan kegiatan tersebut lebih dikenal dengan sebutan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ).

Sejak MTQ Nasional I tahun 1968 sampai saat ini, cabang dan golongan yang dimusabaqahkan terus berkembang. Lebih-lebih setelah dibentuknya Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) pada tahun 1977, di mana MTQ juga diarahkan sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan pengamalan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari [LPTQ Nasional, 2008], termasuk pada tahun 1988-nya, dimana pertama kali dilaksanakan perlombaan baru yang sangat artistik dan bergengsi berupa Musabaqah Syarhil Qur’an (MSyQ), dan dijuarai oleh peserta dari Lampung itu sendiri sebagai bagian dari kafilah ahl al-bait.

Bahkan, untuk memberikan rasa yang nyaman di dalam per-musabaqah-an maka dibuatlah aturan sebagai pegangan dan acuan dalam penyelenggaraan MTQ bagi semua pihak yang berkepentingan, yaitu ; Pengurus LPTQ, Peserta Musabaqah, Dewan Hakim, Pimpinan Kafilah, Penyelenggara Musabaqah, Pejabat Pemerintah, sampai dengan Masyarakat pada umumnya.

Jika diperhatikan secara seksama maksud diadakannya MTQ ini, maka pastinya tidak akan ada satu pertanyaanpun dan pernyataan negatif yang akan muncul dibenak setiap diri kaum muslimin tentang MTQ. Termasuk ungkapan mencari rezeki, penghamburan uang negara, sampai kepada ungkapan penipuan secara kolektif atas nama al-Qur’an. Pada dasarnya, ungkapan seperti ini tidak akan pernah muncul, kecuali dari orang-orang yang pernah ikut aktif di dalam MTQ. Padahal, jika ungkapan negatif ini disandingkan dengan`         ungkapan positif yang sesungguhnya juga ada di dalam MTQ. Seperti pemberian penghormatan atas nama daerah, baik secara moril maupun materil terhadap pecinta al-Qur’an, maka ia dapat menjadi forum peningkatan kualitas melalui final examination yang berlangsung secara lokal sampai internasional, bahkan sebagai arena bersilaturahmi antar para pecinta al-Qur’an.

Melalui penjelasan di atas, maka muncul pertanyaan besar yang harus segera dicarikan jawabannya. Seperti, bagaimana hukum me-musabaqah-kan al-Qur’an, dan bagaimana pandangan fiqh menyikapi dualisme pemikiran yang sangat kontradiktif dalam menyikapi MTQ? Berikut ini penjelasannya.

Fiqh MTQ

Untuk pertanyaan pertama ini, kita mengkategorikannya melalui hukum taklif yang ada di dalam ilmu fiqh, yakni mubah, wajib, haram, sunah, dan makruh. Dengan pendekatan maqashid al-syari’ah (maksud disyari’atkannya suatu hukum) yang terdiri dari tiga bagian, yakni bersifat primer (dharuri), skunder (hajiy), dan tersier (tahsini). Adapun yang bersifat primer, cara kerjanya adalah, untuk menjaga agama, kehormatan atau jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dan rangkuman dari prinsip maqashid al-syari’ah adalah “menciptakan kemaslahatan dan mencegah kerusakan” dengan mendudukkan maksud Tuhan dan maksud mukallaf. [lihat al-Ghazali “al-Mustashfa” dan al-Syatibi “al-Muwafaqat”].

Melalui pendekatan ini, maka dapatlah ditarik hukum asal dari musabaqah al-Qur’an adalah mubah (boleh), hal ini di dasarkan pada satu kaidah hukum yang menyebutkan bahwa “asal dari sesuatu yang baru adalah boleh, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya”. Namun, ia dapat juga menjadi sunah makruh, haram, bahkan juga bisa menjadi wajib.

Kapan ia bisa menjadi sunnah? yakni ketika musabaqah tersebut berjalan apa adanya dengan niat hanya untuk menambah pahala ibadah dengan tidak ada niatan untuk melakukan kecurangan. Ia juga bisa berhukum makruh, ketika ada niat di dalam musabaqah hanya untuk kepentingan pribadi bukan mujtama’ (sosial), seperti menyediakan persyaratan fiktif, dll. Ia juga bisa menjadi haram, ketika terlihat secara nyata dan bersifat umum bahwa musbaqah tersebut bermuatan negatif, seperti penipuan secara kolektif yang dilakukan oleh (Markus) MTQ, baik dari peserta, oficial, sampai dengan Dewan Hakimnya. Bahkan, musabaqah juga dapat menjadi wajib hukumnya, ketika anak-anak tidak lagi cinta al-Qur’an, para penghafal, penafsir, penulis, dan pendakwah al-Qur’an minim jumlahnya, dan berkemungkinan punah.

Hukum wajib terebut ditelaah melalui tiga pendekatan primer (al-dharuri) di dalam maqashid al-syari’ah.

Yakni yang pertama adalah menjaga agama, di mana al-Qur’an adalah kitab umat Islam yang menjadi sumber inspirasi kaum muslimin sedunia, namun kemudian ia tidak tersentuh lagi, dan berkemungkinan agama akan tersebut tinggal sebuah nama saja.

Yang kedua adalah menjaga akal, di mana akal harus terus diselaraskan dengan ruh al-Qur’an yakni akhlaknya, sebagaimana akhlak nabi adalah al-Qur’an, dan ketika akal ini diselaraskan yang selainnya yang tidak qur’ani, maka pasti akalnya akan mudah terpengaruh dengan hal-hal yang negatif.

Dan yang ketiga adalah menjaga keturunan, di mana fungsi keturunan adalah untuk membuat deposito akhirat atau bagian dari amal jariah kita. Oleh karenanya, ketika keturunan mulai menjauhi al-Qur’an, dan berkemungkinan punahnya ahli-ahli al-Qur’an, maka sudah barang tentu ia akan menjadi racun di dalam kehidupan orang tuanya bahkan orang lain di dunia bahkan di akhirat.

Sedangkan hukum musabaqah saat ini, menurut hemat penulis, musabaqah masih berada ditataran hajiy, di mana ia berfungsi untuk menghilangkan kesulitan atau menja­dikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi. Atau bahkan hanya ditataran tahsini, di mana ia dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan pemelihara­an lima unsur pokok.

Lalu bagaimana hukumnya ketika ada unsur negatif seperti yang telah penulis paparkan di awal tulisan ini? Dalam hal ini, kaidah fiqh telah menyebutkan bahwa jika bercampur antara yang halal dengan yang haram maka hukumnya haram. Secara tekstual kita dapatkan bahwa hukum musabaqah al-Qur’an adalah haram, karena disatu sisi musabaqah ada manfaatnya, dan disatu sisi ada kejelekannya.

Memang tidak bisa disalahkan jika ada yang berpendapat demikian, karena itulah indahnya perbedaan. Namun, sesungguhnya perlu kita lihat lagi tentang pembagian haram. Haram di dalam ilmu ushul fiqh dibagi menjadi dua bagian, yang pertama haram lidztihi, yakni haram karena perbuatan itu atau haram karena zatnya, seperti membunuh, berzina, mencuri, dll. dan yang kedua haram lighairihi, yakni haram karena berkaitan dengan perbuatan lain yang datang kemudian, seperti jual beli yang hukum asalnya mubah, namun karena ada adzan jum’at maka ia menjadi haram.

Berdasarkan penjelasan ini, maka dapat difahami bahwa keharaman musabaqah adalah bukan lidzatihi, akan tetapi lighairi. Karena keharamannya, seperti melakukan kecurangan dan penipuan secara kolektif atas nama al-Qur’an adalah datang belakangan yang dilakukan oleh oknum, atau dalam bahasa yang ngetren saat ini adalah markus (makelar kasus) MTQ.

Untuk itu, dalam menghadapi MTQ kita harus berbenah diri untuk meraih kemaslahatan kolektif, bukan personal. Dengan jalan saling terbuka dan siap menerima kritikan yang membangun, baik dari unsur internal maupun eksternal. Jangan malah bersifat eksklusif, bahkan otoriter dalam menerapkan aturan. Mari gunakan hati sebagai acuan untuk mengelola akal dan perbuatan, sehingga dapat menerima kemaslahatan dan mencegah kerusakan.

Imam al-Ghazali pernah berkata :

“Tidak dapat diragukan lagi bahwa keteladanan dari orang-orang yang ikhlash dan bijak, lebih mudah diresapi oleh orang lain, maka jika ungkapan itu lahir dari hati maka akan akan mudah tertanam di dalam hati orang yang mendengar ungkapan tersebut”.

Wallahu a’lam.

  1. hamid says:

    bisa di jelaskan terjemahannya tidak? ini setiap posting cuma referensi tapi terjemahannya tidak di terjemahkan, kita kan bukan orang pintar kaya anda

    • zentijany says:

      Mas hamid yang kami hormati, sebenarnya bahwa keterangan bahasa indonesia yang ada di dalam postingan adalah merupakan penjelasan dari ayat atau hadits juga kitab yang kami jadikan referensi, insyaAlloh di lain postingan dan yang selanjutnya akan kami usahakan seperti yang anda inginkan. Terima kasih dan mohon maaf yang sebesar besarnya.

Leave your comment here: