INILAH KEBENARAN SEJATI DARI DZAT YANG MAHA SUCI
Sebagaimana yang telah disampaikan, bahwa Rosululloh shollallohu alaihi wasallam sendiri yang mencontohkan bahwa tidak semua yang tidak dilakukan oleh Beliau adalah perkara terlarang
Kholid bin Walid pun berkata, Wahai Rosululloh, apakah daging dhab (mirip biawak) itu haram? Beliau menjawab: Tidak, namun di negeri kaumku tidak pernah aku jumpai daging tersebut, maka aku enggan (memakannya). Kholid berkata, Lantas aku mendekatkan daging tersebut dan memakannya, sementara Rosululloh melihatku dan tidak melarangnya. (HR Muslim 3603)
Kalau yang tidak dilakukan oleh Rosululloh belum tentu perkara terlarang, maka begitupula perkara yang tidak dilakukan oleh para Shohabat belum tentu perkara terlarang.
Sehingga kelirulah perkataan :
“Lau Kaana Khoiran Lasabaquunaa ilaihi” yang diartikan oleh mereka sebagai
“Kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentulah para Shohabat telah mendahului kita mengamalkannya” sebagai dasar untuk melarang perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para Shohabat karena perkataan tersebut bukan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan bukan pula sabda Rosul shollallhu alaihi wasallam.
Bagi kaum muslim, perkara larangan bersumber dari Alloh Azza wa Jalla dan disampaikan oleh RosulNya
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rosululloh bersabda :
“Di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thobarani).
Rosululloh mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhori).
Rosul saw bersabda:
“Apa-apa yang Alloh halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Alloh, karena sesungguhnya Alloh tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca surat (Maryam: 64):
“Dan tidak sekali-kali Robbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshohihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)
Rosul saw bersabda :
“Orang muslim yang paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan (dilarang) bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan (dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR Bukhori 6745, HR Muslim 4349, 4350)
Bahkan perkataan “Lau Kaana Khoiran Lasabaquunaa ilaihi” mirip dengan perkataan orang-orang kafir dalam firmanNya
“waqola alladziina kafaruu lilladziina aamanuu lau kaana khoiran maa sabaquunaa ilaihi wa-idz lam yahtaduu bihi fasayaquuluuna haadzaa ifkun qodiimun”
“Kalau sekiranya di (Al-Qur’an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang lama”. (QS al Ahqof [46]:11 ).
Perlu ada penyelidikan lebih lanjut mengapa perkataan “Lau Kaana Khoiran Lasabaquunaa ilaihi” ada dalam kitab Ibnu Katsir pada tafsir (QS al Ahqaaf [46]:11) karena perkataan “Lau Kaana Khoiran Lasabaquunaa ilaihi” tidak ada kaitannya dengan ayat yang ditafsir.
Maksud (QS al Ahqaaf [46]:11) adalah bahwa orang-orang kafir itu mengejek orang-orang Islam dengan mengatakan: “Kalau sekiranya Al-Qur’an ini benar tentu kami lebih dahulu beriman kepadanya daripada mereka orang-orang miskin dan lemah itu seperti Bilal, ‘Ammar, Suhaib, Habbab rodhiyallohu anhum dan sebagainya.
Dari susunan kata “Lau Kaana Khoiran Lasabaquunaa ilaihi” tidak ada satupun yang dapat diterjemahkan sebagai para Shohabat
Memang ada perkataan “Lau Kaana Khoiran Lasabaquunaa ilaihi” dalam kitab Ibnu Katsir pada tafsir ayat yang lain yakni pada (QS An-Najm [53] ayat 38 dan 39) namun beliau menuliskan yang artinya :
“Dan perbuatan itu juga tidak pernah dinukil dari para Sahabat. Sekiranya hal itu merupakan suatu hal yang baik, niscaya mereka akan mendahuli kita semua dalam mengamalkannya”.
Jadi ada pernyataan para Shohabat terlebih dahulu sehingga kata ganti mereka artinya para Shohabat.
Namun Ibnu Katsir tidak bermaksud mengatakan bahwa seluruh perbuatan yang tidak dilakukan oleh para Shohabat adalah perkara dosa atau terlarang melainkan terbatas pada pendapat Ibnu Katsir terhadap pendapat masyhur dari Imam Syafi’i tentang pengiriman pahala bacaan al-Qur’an.
Ibnu Katsir dalam membuat kitab tafsir memilih metodologi tafsir bil ma’tsur.
Sebagaimana yang telah disampaikan bahwa kitab tafsir yang mempergunakan metodologi tafsir bil ma’tsur bukanlah kitab yang memuat hasil ijtihad dan istinbat.
Kitab tafsir yang menggunakan metodologi tafsir bil ma’tsur adalah penafsiran sebatas menyampaikan ayat Al Qur’an dan Hadits maupun pendapat ulama yang terkait dengan ayat yang ditafsirkan
Begitupula kitab Al Umm, kitab yang disusun bersama murid Imam Syafi’i adalah kitab induk atau kitab sumber atau kumpulan “bahan mentah” serupa dengan kitab hadits hanya sebatas meriwayatkan belum termasuk penjelasan atau hasil ijitihad dan istinbat.
Jadi untuk keperluan berijtihad dan beristinbat (menetapkan hukum perkara) atau menggali hukum dari sumber tersebut atau menetapkan sesuatu boleh atau tidak boleh dilakukan atau sesuatu jika ditinggalkan berdosa atau sesuatu jika dikerjakan berdosa, berdasarkan sumber tersebut maka diperlukan ilmu untuk memahami Al Qur’an dan Hadits seperti ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, shorof, balaghoh (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu fiqih maupun ushul fiqih dan lain lain
Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam dalam kitab beliau Qawaid Al Ahkam (2/337-339) menyatakan bahwa menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, shorof, balaghoh (ma’ani, bayan dan badi’) adalah termasuk bid’ah hasanah dan hukumnya wajib. Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana kaidah ushul fiqih :
“Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka hukumnya wajib”.
Kompetensi selengkapnya jika ingin menggali langsung dari Al Qur’an dan As Sunnah adalah sebagaimana yang disampaikan oleh KH. Muhammad Nuh Addawami sebagai berikut,
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-quran dan as-sunnah diturunkan Alloh dan disampaikan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushohah dan balaghoh yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, shorof, balaghoh (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafadz-lafadz dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada lafadz dzohir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qoth’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang shohih dan yang lainnya dan mengetahui para rowi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan kemampuannya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
– Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
– Imam Malik bin Anas;
– Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
– Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waroqot hal 23 pada baris ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian mereka sama-sama muqollid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan muqollid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain
Oleh karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada salah satu dari Imam Madzhab yang empat.
Orang-orang yang meninggalkan Imam Madzhab yang empat memang sering mengungkapan pendapat seperti “kita harus mengikuti hadits shohih. Bukan mengikuti ulama. Al-Imam Al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shohha al-hadits fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu shohih, maka hadits itulah mazhabku)”.
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shohih yang menurut pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shohih adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shohih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.
Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status) keshohihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”
Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang shohih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal.” [“Majmu’ Syarh Al-Muhadzab” 1/105]
Perlu kita ingat bahwa hadits yang telah terbukukan dalam kitab-kitab hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal 300.000 hadits). Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Imam Madzhab yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah
Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau masalah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“
Oleh karena kita belum sepenuhnya memiliki kemampuan sebagai ahli istidlal atau belum sepenuhnya memiliki kemampuan berijtihad dan beristinbat, maka kita ikuti saja penjelasan dari para pengikut Imam Syafi’i apa yang dimaksud dengan pendapat masyhur Imam Syafi’i tentang pahala bacaan.
Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshori dalam dalam Fathul Wahab :
أما القراءة فقال النووي في شرح مسلم المشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابنا يصل وذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل إليه ثواب جميع العبادات من صلاة وصوم وقراءة وغيرها وما قاله من مشهور المذهب محمول على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع بل قال السبكي الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت نفعه وبين ذلك وقد ذكرته في شرح الروض
“Adapun pembacaan al-Qur’an, Imam an-Nawawi mengatakan didalam Syarh Muslim, yakni masyhur dari madzhab asy-Syafi’i bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayyit, sedangkan sebagian ashhab kami menyatakan sampai, dan kelompok-kelompok ‘ulama berpendapat bahwa sampainya pahala seluruh ibadah kepada mayyit seperti sholat, puasa, pembacaan al-Qur’an dan yang lainnya. Dan apa yang dikatakan sebagai qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila pembacaannya tidak di hadapan mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya bahkan Imam as-Subkiy berkata : “yang menunjukkan atas hal itu (sampainya pahala) adalah hadits berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila diqoshodkan (ditujukan) dengan bacaannya akan bermanfaat bagi mayit dan diantara yang demikian, sungguh telah di tuturkannya didalam syarah ar-Roudloh”. (Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’i [2/23]).
Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj :
قال عنه المصنف في شرح مسلم: إنه مشهور المذهب على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو القارئ ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع له
“Sesungguhnya pendapat masyhur adalah diatas pengertian apabila pembacaan bukan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), pembacanya tidak meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya untuk mayyit” (Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj lil-Imam Ibn Hajar al-Haitami [7/74].)
Imam Nawawi berkata
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمهُ اللَّه: ويُسْتَحَبُّ أنْ يُقرَأَ عِنْدَهُ شيءٌ مِنَ القُرآنِ، وَإن خَتَمُوا القُرآن عِنْدهُ كانَ حَسناً
“Imam asy-Syafi’i rohimahulloh berkata : “disunnahkan agar membaca sesuatu dari al-Qur’an disisi quburnya, dan apabila mereka mengkhatamkan al-Qur’an disisi quburnya maka itu bagus” (Riyadlush Sholihin [1/295] lil-Imam an-Nawawi ; Dalilul Falihin [6/426] li-Imam Ibnu ‘Allan ; al-Hawi al-Kabir fiy Fiqh Madzhab asy-Syafi’i (Syarah Mukhtashor Muzanni) [3/26] lil-Imam al-Mawardi dan lainnya.
قال الشافعى : وأحب لو قرئ عند القبر ودعى للميت
Imam Syafi’i mengatakan “aku menyukai sendainya dibacakan al-Qur’an disamping qubur dan dibacakan do’a untuk mayyit” ( Ma’rifatus Sunani wal Atsar [7743] lil-Imam al-Muhaddits al-Baihaqi.)
Imam Ahmad semula mengingkarinya karena atsar tentang hal itu tidak sampai kepadanya namun kemudian Imam Ahmad ruju’
قال الحافظ بعد تحريجه بسنده إلى البيهقى قال حدثنا أبو عبدالله الحافظ قال حدثنا ابو العباس بن يعقوب قال حدثنا العباس بن محمد قال سألت يحي بن معين عن القرأءة عند القبر فقال حدثنى مبشر بن أسماعيل الحلبي عن عبد الرحمن بن اللجلاج عن أبيه قال لبنيه إذا أنا مت فضعونى فى قبرى وقولوا بسم الله وعلى سنه رسول الله وسنوا على التراب سنا ثم إقرأوا عند رأسى أول سوره البقرة وخاتمتها فإنى رأيت إبن عمر يستحب ذلك ,قال الحافظ بعد تخريجه هذا موقوف حسن أخريجه أبو بكر الخلال وأخريجه من رواية أبى موسى الحداد وكان صدوقا قال صلينا مع أحمد على جنازة فلما فرغ من ذفنه حبس رجل ضرير يقرأ عند القبر فقال له أحمد يا هذا إن القراءة عند القبر بدعة فلما خرجنا قال له محمد بن قدامة يا أبا عبد الله ما تقول فى مبشر بن إسماعيل قال ثقة قال كتبت عنه شيئا قال نعم قال إنه حدثنى عن عبد الرحمن بن اللجلاج عن أبيه أنه أوصى إذا دفن أن يقرؤا عند قبره فاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصى بذلك قال فقال أحمد للرجل فليقرأ. اه
al-Hafidh (Ibnu Hajar) berkata setelah mentakhrijnya dengan sanadnya kepada al-Baihaqi, ia berkata ; telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah al-Hafidz, ia berkata telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas bin Ya’qub, ia berkata, telah menceritakan kepada kami al-‘Abbas bin Muhammad, ia berkata, aku bertanya kepada Yahya bin Mu’in tentang pembacaan al-Qur’an disamping qubur, maka ia berkata ; telah menceritakan kepadaku Mubasysyir bin Isma’il al-Halabi dari ‘Abdur Rohman bin al-Lajlaj dari ayahnya, ia berkata kepada putranya, apabila aku telah wafat, letakkanlah aku didalam kuburku, dan katakanlah oleh kalian “Bismillah wa ‘alaa Sunnati Rosulillah”, kemudian gusurkan tanah diatasku dengan perlahan, selanjutnya bacalah oleh kalian disini kepalaku awal surah al-Baqoroh dan mengkhatamkannya, karena sesungguhnya aku melihat Ibnu ‘Umar menganjurkan hal itu. Kemudian al-Hafidh (Ibnu Hajar) berkata setelah mentakhrijnya, hadits ini mauquf yang hasan, Abu Bakar al-Khollal telah mentakhrijnya dan ia juga mentakhrijnya dari Abu Musa al-Haddad sedangkan ia orang yang sangat jujur. Ia berkata : kami sholat jenazah bersama bersama Ahmad, maka tatkala telah selesai pemakamannya duduklah seorang laki-laki buta yang membaca al-Qur’an disamping qubur, maka Ahmad berkata kepadanya ; “hei apa ini, sungguh membaca al-Qur’an disamping qubur adalah bid’ah”. Maka tatkala kami telah keluar, berkata Ibnu Qudamah kepada Ahmad : “wahai Abu Abdillah, apa komentarmu tentang Mubasysyir bin Isma’il ? “, Ahmad berkata : tsiqah, Ibnu Qudamah berkata : engkau menulis sesuatu darinya ?”, Ahmad berkata : Iya. Ibnu Qudamah berkata : sesungguhnya ia telah menceritakan kepadaku dari Abdur Rohman bin al-Lajlaj dari ayahnya, ia berpesan apabila dimakamkan agar dibacakan pembukaan al-Baqoroh dan mengkhatamkannya disamping kuburnya, dan ia berkata : aku mendengar Ibnu ‘Umar berwasiat dengan hal itu, Maka Ahmad berkata kepada laki-laki itu “lanjutkanlah bacaaanmu”.
Abdul Haq berkata : telah diriwayatkan bahwa Abdullah bin ‘Umar –rodliyallohu ‘anhumaa- memerintahkan agar dibacakan surah al-Baqarah disisi quburnya dan diantara yang meriwayatkan demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman
Berkata Muhammad bin ahmad almarwazi : “ Saya mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Jika kamu masuk ke pekuburan, maka bacalah Fatihatul kitab, al-ikhlas, al falaq dan an-nas dan jadikanlah pahalanya untuk para penghuni kubur, maka sesungguhnya pahala itu sampai kepada mereka. Tapi yang lebih baik adalah agar sipembaca itu berdoa sesudah selesai dengan: “ Ya Alloh, sampaikanlah pahala ayat yang telah aku baca ini kepada si fulan …” (Hujjatu Ahlis sunnah waljamaah hal. 15)
Jadi kesimpulannya Al Imam Syafi’i ~rohimahulloh mensyaratkan sampai pahala bacaan jika memenuhi salah satu dari syarat-syarat berikut
1. Pembacaan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit),
2. Pembacanya meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit
3. Pembacanya mendo’akannya untuk mayyit
Ada yang mengatakan pahala bacaan tidak akan sampai kepada ahli kubur karena salah memahami sabda Rosululloh shollallohu alaihi wasallam, Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfa’at baginya dan anak sholeh yang selalu mendoakannya.” (HR Muslim 3084)
Apa yang dimaksud “terputus segala amalannya” ?
Hadits itu hanya mengatakan “inqatha’a ‘amaluhu , terputus amalnya maknanya adalah setiap manusia setelah meninggal dunia maka kesempatan beramalnya sudah terputus atau apapun yang mereka perbuat, seperti penyesalan atau minta ampun ketika mereka memasuki alam barzakh tidak akan diperhitungkan lagi amalnya kecuali amal yang masih diperhitungkan terus adalah apa yang dihasilkan dari amal yang mereka perbuat ketika masih hidup seperti,
1. Sedekah jariyah
2. Ilmu yang bermanfaat bagi dirinya dan yang disampaikan kepada orang lain
3. Mendidik anak sehingga menjadi anak sholeh yang selalu mendoakannya
Hadits tersebut tidak dikatakan, “inqata’a intifa’uhu”, “terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat”.
Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang mengamalkan itu kepada si mayyit maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepada si mayyit.
Contohnya Rosululloh shollallohu alaihi wasallam menegaskan bahwa si mayyit akan mendapatkan manfaat dari sedekah yang dilakukan oleh keluarga yang diatas namakan kepadanya
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا
Telah bercerita kepada kami Isma’il berkata telah bercerita kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah rodliallohu ‘anha bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam: Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan bershodaqah. Apakah aku boleh bershodaqah atas namanya? Beliau menjawab: Ya bershodaqohlah atasnya. (HR Muslim 2554)
Dari Aisyah ra bahwa Rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai kewajiban shoum (puasa) maka keluarganya berpuasa untuknya” (HR Bukhori dan Muslim)
Dari Ibnu Abbas bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi dan bertanya: “Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya?
Rosul menjawab: Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? bayarlah hutang Alloh, karena hutang Alloh lebih berhak untuk dibayar” (HR Bukhori)
Contoh si mayyit mendapatkan manfaat dari amal yang dilakukan oleh bukan keluarga.
Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya Nabi bersabda: “Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya” (HR Ahmad)
Rosululloh shollallohu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa sedekah tidak selalu dalam bentuk harta
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا وَاصِلٌ مَوْلَى أَبِي عُيَيْنَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ الدِّيلِيِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ
Telah menceritakan kepada kami Abdulloh bin Muhammad bin Asma` Adl Dluba’i Telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun Telah menceritakan kepada kami Washil maula Abu Uyainah, dari Yahya bin Uqail dari Yahya bin Ya’mar dari Abul Aswad Ad Dili dari Abu Dzar bahwa beberapa orang dari shohabat Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam bertanya kepada beliau, Wahai Rosululloh, orang-orang kaya dapat memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka sholat seperti kami sholat, puasa seperti kami puasa dan bersedekah dengan sisa harta mereka. Maka beliau pun bersabda: Bukankah Alloh telah menjadikan berbagai macam cara kepada kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah (HR Muslim 1674)
Adapula yang mengaitkan pahala bacaan dengan firman Alloh Allah ta’ala , “wa-an laysa lil-insaani illaa maa sa’aa”, “dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS An Najm [53]:39)
Ayat Al-Qur’an itu tidak menafikan adanya kemanfaatan untuk seseorang dengan sebab usaha orang lain. Ayat itu hanya menafikan “kepemilikan seseorang terhadap usaha orang lain”. Alloh Subhanahu wa ta’ala hanya mengabarkan bahwa “laa yamliku illa sa’yah (orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri).
Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang mengusahakannya. Jika dia mau, maka dia boleh memberikannya atau mensedekahkannya kepada orang lain dan begitupula jika ia mau, dia boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri.
Jadi huruf “lam” pada lafadz “lil insani” itu adalah “lil istihqoq” yakni menunjukan arti “milik”.
Sesunggunya ayat (QS An Najm [53]:39) terkait kuat dengan ayat sebelumnya yakni tentang dosa bukan tentang pahala.
“allaa taziru waaziratun wizra ukhraa”, “(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (QS An Najm [53]:38)
Begitulah cara kaum Yahudi atau yang dikenal sekarang kaum Zionis Yahudi menghasut atau melancarkan ghozwul fikri (perang pemahaman) terhadap kaum muslim dengan menyebarluaskan potongan-potongan ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits untuk menimbulkan perpecahan di antara kaum muslim.
Jadi sesungguhnya dalam bentuk lengkapnya adalah :
“(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya) Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu)” (QS An Najm [53]:38 s/d 42)
Kaum Yahudi sudah berhasil mensesatkan kaum Nasrani bahwa seseorang dapat menanggung atau menebus dosa orang lain.
Padahal sudah dijelaskan
” Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati. Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima berkat kebenarannya, dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya” (Jehezkiel 18:20)
Dijelaskan bahwa kebaikan (pahala) dan kefasikan (dosa) adalah milik orang yang melakukannya
Kebaikan (pahala) dapat diberikan kepada orang lain namun dosa tidak dapat diberikan atau ditanggung oleh orang lain
Firman Alloh ta’ala yang artinya
“(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (QS Al Najm [53]:38)
“Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain” (QS Al Israa [17]:15)
“Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfaat sesuatu syafa’at kepadanya dan tidak (pula) mereka akan ditolong.” (QS Al Baqarah [2]:123)
Begitupula dalam syarah Thohawiyah hal. 456 bahwa :
“ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan ” (QS Yaa Siin [36]:54)
Ayat ini tidak menafikan hadiah pahala terhadap orang lain karena pangkal ayat tersebut adalah : “Pada hari dimana seseorang tidak akan didzolimi sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan ”
Jadi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa yang dinafikan itu adalah disiksanya seseorang sebab kejahatan orang lain, bukan diberikannya pahala terhadap seseorang dengan sebab amal kebaikan orang lain.
Sedangkan berdoa kepada Alloh dengan bertawassul pada Rosululloh yang telah wafat atau para Wali Alloh dengan amal kebaikan berupa hadiah bacaan Al Qur’an, pada hakikatnya adalah salah satu metode berdoa dan salah satu pintu (misykat) dari pintu-pintu untuk menghadap Alloh Subhanahu wa ta’ala. Maksud sesungguhnya adalah Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Prof. DR. Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani dalam mengatakan :
Ketahuilah bahwa orang yang bertawassul dengan siapa pun itu karena ia mencintai orang yang dijadikan tawassul tersebut. Karena ia meyakini kesholihan, kewalian dan keutamaannya, sebagai bentuk prasangka baik terhadapnya. Atau karena ia meyakini bahwa orang yang dijadikan tawassul itu mencintai Alloh SWT, yang berjihad di jalan Alloh. Atau karena ia meyakini bahwa Allah SWT mencintai orang yang dijadikan tawassul, sebagaimana firman Alloh : يحبّونهم ويحبّونه atau sifat-sifat di atas seluruhnya berada pada orang yang dijadikan obyek tawassul.
Jika anda mencermati persoalan ini maka anda akan menemukan bahwa rasa cinta dan keyakinan tersebut termasuk amal perbuatan orang yang bertawassul. Karena hal itu adalah keyakinan yang diyakini oleh hatinya, yang dinisbatkan kepada dirinya, dipertanggungjawabkan olehnya dan akan mendapat pahala karenanya.
Orang yang bertawassul itu seolah-olah berkata, “Ya Tuhanku, saya mencintai fulan dan saya meyakini bahwa ia mencintai-Mu. Ia orang yang ikhlas kepadaMu dan berjihad di jalanMu. Saya meyakini Engkau mencintainya dan Engkau ridlo terhadapnya. Maka saya bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku kepadanya dan dengan keyakinanku padanya, agar Engkau melakukan seperti ini dan itu.
Namun mayoritas kaum muslimin tidak pernah menyatakan ungkapan ini dan merasa cukup dengan kemaha-tahuan Dzat yang tidak samar baginya hal yang samar, baik di bumi maupun langit. Dzat yang mengetahui mata yang berkhianat dan isi hati yang tersimpan.
Orang yang berkata : “Ya Alloh, saya bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, itu sama dengan orang yang mengatakan : Ya Alloh, saya bertawassul kepada-Mu dengan rasa cintaku kepada Nabi-Mu. Karena orang yang pertama tidak akan berkata demikian kecuali karena rasa cinta dan kepercayaannya kepada Nabi. Seandainya rasa cinta dan kepercayaan kepada Nabi ini tidak ada maka ia tidak akan bertawassul dengan Nabi. Demikian pula yang terjadi pada selain Nabi dari para wali.
Dari Al Haitsam ibn Khanas, ia berkata : “Saya berada bersama Abdulloh Ibn Umar. Lalu kaki Abdulloh mengalami kram. “Sebutlah orang yang paling kamu cintai !”, saran seorang lelaki kepadanya. “Yaa Muhammad,” ucap Abdulloh. Maka seolah-olah ia terlepas dari ikatan.
Dari Mujahid, ia berkata, “Seorang lelaki yang berada dekat Ibnu Abbas mengalami kram pada kakinya. “Sebutkan nama orang yang paling kamu cintai,” kata Ibnu Abbas kepadanya. Lalu lelaki itu menyebut nama Muhammad dan akhirnya hilanglah rasa sakit akibat kram pada kakinya.
Jadi jelaslah bahwa kaum muslim yang bertawassul dengan Rosululloh shollallohu alaih wasallam yang sudah wafat atau dengan orang alim yang sudah wafat misalnya sama sekali tidak menyembahnya. Tetapi ia mengetahui bahwa mereka memiliki keistimewaan di sisi Alloh dengan memiliki ilmu. Lalu ia bertawassul dengannya karena keistimewaannya tersebut.
Sebagaimana kaum muslim yang berziarah kubur sambil berdoa kepada Alloh di sisi kuburan dengan bertawassul kepada ahli kubur yang telah meraih manzilah (maqom atau derajat) disisiNya adalah beribadah kepada Alloh bukan meminta pertolongan atau menyembah atau beribadah kepada ahli kubur.
Kaum muslim sangat paham dan sangat yakin bahwa yang mengabulkan doa mereka dan memberikan pertolongan hanyalah Alloh Azza wa Jalla bukan ahli kubur atau bukan pula orang yang ditawassulkan
Pada studi kasus tersebut dapat kita kita ketahui bahwa kaum muslim ketika berziarah kubur selain mendoakan ahli kubur sekaligus berdoa kepada Alloh untuk kepentingannya sendiri dengan bertawassul pada ahli kubur dengan amal kebaikan berupa hadiah bacaan Al Qur’an
Jadi, secara umum obyek yang dijadikan tawassul sebenarnya tidak membutuhkan pahala bacaannya namun sebagai jalan agar inti doa yang kita panjatkan sampai (wushul) kepada Alloh Azza wa Jalla karena obyek yang dijadikan tawassul adalah orang-orang yang telah meraih manzilah (maqom atau derajat) dekat dengan Alloh atau obyek yang dijadikan tawassul adalah orang-orang yang berperan dalam kehidupan kita seperti orang tua (para pendahulu) atau guru-guru kita.
Kesimpulannya bertawassul adalah adab dalam berdoa, suatu bentuk penghormatan kepada obyek yang dijadikan tawassul sebelum kita memanjatkan doa sebenarnya kepada Alloh Azza wa Jalla dengan harapan doa lebih mustajab.
Begitupula pada hakikatnya bersholawat kepada Nabi -shollallohu alaihi wasallam adalah termasuk berdoa kepada Alloh dengan bertawassul pada Rosululloh yang sudah wafat
Anas bin Malik r.a meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shollallohu alaihi wasallam bersabda: “Tiada doa kecuali terdapat hijab di antaranya dengan di antara langit, hingga bersholawat atas Nabi shollallohu alaihi wasallam, maka apabila dibacakan sholawat Nabi, terbukalah hijab dan diterimalah doa tersebut, namun jika tidak demikian, kembalilah doa itu kepada pemohonnya“.
Para Shohabat ketika duduk dalam sholat (tahiyyat), bertawasul dengan menyebut nama-nama orang-orang sholeh yang telah wafat maupun dengan para malaikat, namun Rosululloh shollallohu alaihi wasallam mengajarkan untuk menyingkatnya menjadi “Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin”, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba Alloh yang sholeh baik di langit maupun di bumi“
Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafidzh telah menceritakan kepada kami Ayahku telah menceritakan kepada kami Al A’masy dia berkata; telah menceritakan kepadaku Syaqiq dari Abdulloh dia berkata; Ketika kami membaca sholawat di belakang Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, maka kami mengucapkan: ASSALAAMU ‘ALALLAHI QABLA ‘IBAADIHI, ASSALAAMU ‘ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU ‘ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA FULAAN (Semoga keselamatan terlimpahkan kepada Alloh, semoga keselamatan terlimpah kepada Jibril, Mika’il, kepada fulan dan fulan). Ketika Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam selesai melaksanakan sholat, beliau menghadapkan wajahnya kepada kami dan bersabda: Sesungguhnya Alloh adalah As salam, apabila salah seorang dari kalian duduk dalam sholat (tahiyyat), hendaknya mengucapkan; AT-TAHIYYATU LILLAHI WASH-SHOLAWAATU WATH-THAYYIBAATU, ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA ROHMATULLAHI WA BAROKAATUH, ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH SHOLIHIIN, (penghormatan, rohmat dan kebaikan hanya milik Alloh. Semoga keselamatan, rohmat, dan keberkahan tetap ada pada engkau wahai Nabi. Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Alloh yang sholih). Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang sholih baik di langit maupun di bumi, lalu melanjutkan; ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLOH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA ROSUULUH (Aku bersaksi bahwa tiada Dzat yang berhak disembah selain Alloh, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya). Setelah itu ia boleh memilih do’a yang ia kehendaki. (HR Bukhori 5762)
Dalam hadits di atas , Rosululloh bersabda “Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi“
Jadi pada kenyataannya setiap muslim, setiap hari selalu bertawassul dengan penduduk langit yakni bertawassul dengan muslim yang sudah wafat dan meraih manzilah (maqom/derajat) disisiNya beserta para malaikat dengan mengucapkan “ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH SHOLIHIIN”
Oleh karenanya berdoa setelah sholat lebih mustajab karena sholat berisikan pujian kepada Alloh, bertawassul dengan bersholawat kepada Nabi -shollallohu alaihi wasallam dan penduduk langit
Abu Umamah menceritakan bahwa Rosululloh shollallohu alaihi wasallam ditanya tentang doa yang paling didengar oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Beliau menjawab:
“Di pertengahan malam yang akhir dan setiap selesai sholat fardlu.” (HR Tirmidzi)
Rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda “Jika salah seorang di antara kalian berdoa maka hendaknya dia memulainya dengan memuji dan menyanjung Alloh, kemudian dia bersholawat kepada Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, kemudian setelah itu baru dia berdoa sesukanya.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan dishohihkan oleh At Tirmidzi)
Begitupula dalam susunan doa setelah sholat, sebelum doa inti, kita bertawassul dengan memohonkan ampunan kepada kaum muslim yang telah wafat.
“Astaghfirullohal adzim li wali waa lidaiya wali jami il muslimina wal muslimat wal mukminina wal mukminat al ahya immin hum wal amwat”
“Ampunilah aku ya Alloh yang Maha Besar, kedua ibu bapaku, semua muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat yang masih hidup dan yang telah mati.”
Sebaliknya para penduduk langit yakni kaum muslim yang telah meraih manzilah (maqom atau derajat) disisiNya atau muslim yang dekat dengan Alloh atau para kekasih Alloh (wali Alloh) walaupun mereka telah wafat atas kehendak Alloh Azza wa Jalla dapat mendoakan kaum muslim yang masih hidup.
Rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya perbuatan kalian diperlihatkan kepada karib-kerabat dan keluarga kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka mendapatkan kabar gembira, namun jika selain daripada itu, maka mereka berkata: “Ya Alloh, janganlah engkau matikan mereka sampai Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau memberikan hidayah kepada kami.” (HR. Ahmad dalam musnadnya).
Rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda, “Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Alloh. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada Alloh buat kalian.” (Hadits ini diriwayatkan oelh Al Hafidh Isma’il al Qodli pada Juz’u al Sholaati ‘ala al Nabiyi Shollalohu alaihi wasallam. Al Haitsami menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits shohih)
Permasalahan timbul dari mereka yang tidak mendalami perkara ghoib sehingga ada di antara mereka berkeyakinan bahwa “orang yang telah wafat tidak bisa memberikan manfaat kepada orang yang masih hidup”.
Bahkan ada di antara mereka yang berkata seperti ini :
“Tongkat itu lebih berguna daripada Nabi Muhammad shollallohu alaihi wasallam, karena tongkat bermanfaat, bisa dipakai untuk memukul ular, sedang Nabi Muhammad Shollallohu alaihi wasallam telah wafat dan tidak ada sedikitpun kemanfaatan yang tersisa darinya”.
Mereka ada juga mengatakan bahwa “orang sudah mati tidak dapat mendoakan atau memperingatkan orang yang masih hidup”.
Salah satu ulama panutan mereka bertanya dengan pertanyaan seperti ini :
“Berarti kuburan nabi lagi kosong dong ?”
Pertanyaan ini terkait jika Rosululloh shollallohu alaihi wasallam dikehendaki oleh Alloh Azza wa Jalla bertemu dengan seseorang yang masih hidup.
Ahli kubur mereka bertemu dengan orang yang masih hidup tentu tidak dengan jasad mereka yang sudah terkubur.
Ahli kubur mendengar tidak dengan telinga, melihat tidak dengan mata, berbicara tidak dengan mulut.
Ahli kubur dapat bertemu dengan orang yang masih hidup contohnya ketika sedang bermimpi
Orang yang sedang bermimpipun mendengar tidak dengan telinga, melihat tidak dengan mata, berbicara tidak dengan mulut.
Hal yang harus kita ingat adalah bahwa manusia yang sudah wafat pada hakikatnya hanya berpindah alam saja dan mereka masih melakukan perbuatan namun sudah tidak diperhitungkan lagi apa yang mereka lakukan sebagai amal perbuatan.
Oleh karenanya orang-orang yang bertemu dengan Rosululloh shollallohu alaihi wasallam setelah wafat tidak dikatakan sebagai Shohabat namun sebagai saudara Rosululloh
Kaum muslim yang meraih manzilah (maqom/derajat) disisiNya maka mereka menjadi penduduk langit serupa dengan para malaikat
Firman Alloh Azza wa Jalla yang artinya, “Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Alloh, Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al Hadid [57]:1)
Penduduk langit juga bisa menyaksikan hamba-hamba kekasih Tuhan di bumi sebagaimana dinyatakan Rosululloh :
“Sesungguhnya para penghuni langit mengenal penghuni bumi yang selalu mengingat dan berzikir kepada Alloh bagaikan bintang yang bersinar di langit.”
Dalam Al Qur’an dinyatakan dalam ayat, “Untuk mereka kabar gembira waktu mereka hidup di dunia dan di akhirat.” (QS Yunus/10:64).
Para ulama tafsir mengomentari ayat ini sesuai dengan pengalaman shohabat Nabi Muhammad, Abu Darda’, yang menanyakan apa maksud ayat ini. Rosululloh menjelaskan, “Yang dimaksud ayat ini ialah mimpi baik yang dilihat atau diperlihatkan Alloh Subhanahu wa ta’ala kepadanya.”
Dalam ayat lain lebih jelas lagi Alloh berfirman :
“Alloh memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya.” (QS al-Zumar [39]:42).
Rosululloh bersabda, “sebagaimana engkau tidur begitupulah engkau mati, dan sebagaimana engkau bangun (dari tidur) begitupulah engkau dibangkitkan (dari alam kubur)”
Rosululloh shollallohu alaihi wasallam telah membukakan kepada kita salah satu sisi tabir kematian. Bahwasanya tidur dan mati memiliki kesamaan, ia adalah saudara yang sulit dibedakan kecuali dalam hal yang khusus, bahwa tidur adalah mati kecil dan mati adalah tidur besar.
Penduduk langit dapat bertemu dengan manusia yang masih hidup
Abdulloh Ibnu Abbas r.a. pernah berkata, “ruh orang tidur dan ruh orang mati bisa bertemu diwaktu tidur dan saling berkenalan sesuai kehendak Alloh Subhanahu wa Ta’ala kepadanya, karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang menggenggam ruh manusia pada dua keadaan, pada keadaan tidur dan pada keadaan matinya.”
Ibnu Zaid berkata, “Mati adalah wafat dan tidur juga adalah wafat”.
Al-Qurtubi dalam at-Tadzkiroh mengenai hadits kematian dari syeikhnya mengatakan: “Kematian bukanlah ketiadaan yang murni, namun kematian merupakan perpindahan dari satu keadaan (alam) kepada keadaan (alam) lain.”
Para ulama tasawuf yang kasyaf mengabarkan bahwa secara garis besar alam terdiri dari
Alam nasut (alam mulk / alam jasad)
Alam malakut (alam mitsal)
Alam jabarut (alam ruh)
Alam lasut
Alam lasut adalah alam derajat/tingkatan/maqom nya di atas Alam Jabarut
Alam Jabarut, adalah alam yang “paling dekat” dengan aspek-aspek Ketuhanan, penghuni alam Jabarut adalah ‘sesuatu yang bukan Allah dalam aspek Ahadiyyah’, melainkan derivasi (turunan) dari aspek Ahadiyyah yang tertinggi selain apa pun yang ada. Misal penghuni alam ini adalah Nafakh Ruh (Tiupan Ruh Alloh) yang mampu manghidupkan jasad, Ruh Al-Quds.
Alam Malakut adalah suatu alam yang tingkat kedekatan dengan aspek Allohnya lebih rendah dari Alam Jabarut, namun masih lebih tinggi dari Alam Mulk. Baik Alam Jabarut maupun Alam Malakut, keduanya adalah realitas atau wujud yang tidak dapat ditangkap oleh indera jasadiah kita. Indera jasad biasanya hanya bisa menangkap sesuatu yang terukur secara jasad, sedang Alam Jabarut dan Alam Malakut memiliki ukuran melampui ukuran jasad. Misal penghuni Alam Malakut adalah malaikat, An-nafs(jiwa).
Alam Mulk, adalah alam yang tingkat kedekatannya dengan aspek Alloh adalah yang paling rendah. Dalam wujudnya terbagi menjadi 2, yang tertangkap oleh indera jasad dan yang ghoib (dalam arti tidak tertangkap/terukur) bagi indera jasad. Jadi karena keterbatasan indera jasad kita, ada wujud yang sebetulnya bukan penghuni alam-alam yang lebih tinggi dari alam Mulk, tetapi juga tidak tertangkap kemampuan indera jasad.
Yang terukur oleh indera jasad contohnya tubuh atau jasad manusia, jasad hewan, jasad tumbuhan. Penghuni alam Mulk yang tidak terukur oleh indera jasad contohnya adalah jin dengan segala kehidupannya. Jin dengan segala kehidupannya bisa dimengerti oleh indera-indera malakuti (indera-indera an-nafs/jiwa)
Manusia hidup di dua alam sekaligus, tubuh (jasad) kita hidup di alam fisik, terikat dalam ruang dan waktu. Para ulama menyebut alam fisik ini sebagai alam nasut, alam yang bisa kita lihat dan kita raba, Kita dapat menggunakan pancaindera kita untuk mencerapnya. Sementara itu, ruh kita hidup di alam ghaib (metafisik), tidak terikat dalam ruang dan waktu. Para ulama menyebut alam ini alam malakut. Bukan hanya manusia, segala sesuatu mempunyai malakutnya.
Firman Alloh ta’ala yang artinya :
“Maka Mahasuci (Alloh) yang di tangan-Nya malakut segala sesuatu. Dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.’ (QS. Yasiin [36]:83);
“Dan demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim, malakut langit dan bumi.” (QS. Al-An’am [6]:75)
Ruh kita, karena berada di alam malakut, tidak dapat dilihat oleh mata lahir kita. Ruh adalah bagian batiniah dari diri kita. Ia hanya dapat dilihat oleh mata batin. Ada sebagian di antara manusia yang dapat melihat ruh dirinya atau orang lain. Mereka dapat menengok ke alam malakut. Kemampuan itu diperoleh karena mereka sudah melatih mata batinya dengan riyadloh kerohanian atau karena anugrah Alloh ta’ala (al-Mawahib al-Robbaniyyah).
Para Nabi, para wali Alloh (shiddiqin), dan orang-orang sholeh seringkali mendapat kesempatan melihat ke alam malakut itu. Kesempatan ini yang disebut dengan kasyaf (mukasyafah), terbukanya hijab atau tabir pemisah antara hamba dan Tuhan. Alloh Azza wa Jalla membukakan tabir bagi kekasih-Nya untuk melihat, mendengar, merasakan, dan mengetahui hal-hal ghoib atau dapat memasuki alam malakut.
Ditanyakan kepada Imam Ibn Hajar Al-Haitami Rodhiyallohu ‘anhu (semoga Alloh memberikan kemanfaatan atas ilmunya), “Apakah mungkin zaman sekarang seseorang dapat berkumpul dengan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga dan mengambil Ilmu langsung dari beliau?”
Imam Ibn Hajar menjawab: ”Ya, hal itu dapat terjadi, dan telah dijelaskan bahwa berkumpul dan mengambil ilmu dari Nabi secara langsung adalah sebagian dari karomah wali-wali Alloh seperti Imam al-Ghozali, Al-Barizi, Taaj ad-Diin as-Subki, dan al-‘Afiif al-Yafi’i yang mana mereka adalah ulama-ulama madzhab Syafi’i, serta Qurthubi dan Ibn Abi Jamroh yang mana mereka adalah ulama-ulama madzhab Maliki.
Dan dikisahkan, bahwasanya ada Wali Alloh menghadiri majlis ilmunya seorang yang faqih, kemudian seorang faqih yang sedang mengajar tersebut meriwayatkan sebuah hadits, lalu Wali tersebut berkata, “Hadits itu bathil.” Maka Sang faqih pun berkata, “Bagaimana bisa engkau mengatakan kalau hadits ini bathil, dari siapa?”
Sang Wali menjawab, “Itu Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sedang berdiri di hadapanmu dan Beliau bersabda: [Inniy lam aqul hadzal hadits] -Sesungguhnya aku tidak mengucapkan hadist ini-“
Lalu faqih tersebut dibukakan hijabnya dan beliau pun dapat melihat Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam. (al-Fatawa al-Haditsiyyah li Ibn Hajar al-Haitami)
Jadi bertemu dengan Rosululloh shollalloh alaihi wasallam dalam keadaan terjaga dengan pandangan kasyaf (mukasyafah) atas kehendak Alloh Azza wa Jalla. Bukan Rosululloh shollallohu alaihi wasallam mendatangi orang yang masih hidup di alam kasat mata yang kotor ini.
Orang-orang yang telah meraih manzilah (maqom atau derajat) dekat dengan Alloh Subhanahu wa Ta’ala dapat membantu orang lain untuk dapat melihat alam malakut dengan doa dan tentunya dengan izinNya seperti contoh riwayat berikut ini :
Pada suatu hari Abu Bashir berada di Masjid A-Harom. la terpesona menyaksikan ribuan orang yang bergerak mengelilingi Ka’bah, mendengarkan gemuruh tahlil, tasbih, dan takbir mereka. Ia membayangkan betapa beruntungnya orang-orang itu. Mereka tentu akan mendapat pahala dan ampunan Tuhan.
Imam Ja’far Al-Shodiq ra, ulama besar dari keturunan cucu Rosululloh shollallohu alaihi wasallam, menyuruh Abu Bashir menutup matanya. Imam Ja’far mengusap wajahnya. Ketika ia membuka lagi matanya, ia terkejut. Di sekitar Ka’bah ia melihat banyak sekali binatang dalam berbagai jenisnya- mendengus, melolong, mengaum. Imam Ja’far berkata, “Betapa banyaknya lolongan atau teriakan; betapa sedikitnya yang haji.”
Apa yang disaksikan Abu Bashir pada kali yang pertama (penglihatan pertama) adalah bentuk tubuh-tubuh manusia. Apa yang dilihat kedua kalinya (penglihatan kedua) adalah bentuk-bentuk ruh mereka.
Seperti tubuh, ruh mempunyai rupa yang bermacam-macam: buruk atau indah; juga mempunyai bau yang berbeda: busuk atau harum. Rupa ruh jauh lebih beragam dari rupa tubuh. Berkenaan dengan wajah lahiriah, kita dapat saja menyebut wajahnya mirip binatang, tapi pasti ia bukan binatang. Ruh dapat betul-betul berupa binatang -babi atau kera.
Firman Alloh ta’ala yang artinya :
“Katakanlah: apakah akan Aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk kedudukannya di sisi Alloh, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Alloh, di antara mereka ada yang dijadikan kera dan babi dan penyembah Thoghut? Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus”. (QS Al-Maidah [5]: 60)
Al-Ghozali menulis: ‘Al-Khuluq dan Al-Khalq kedua-duanya digunakan. Misalnya si Fulan mempunyai khuluq dan khalq yang indah -yakni indah lahir dan batin. Yang dimaksud dengan khalq adalah bentuk lahir, yang dimaksud dengan khuluq adalah bentuk batin. Karena manusia terdiri dari tubuh yang dapat dilihat dengan mata lahir dan ruh yang dapat dilihat dengan mata batin. Keduanya mempunyai rupa dan bentuk baik jelek maupun indah. Ruh yang dapat dilihat dengan mata batin memiliki kemampuan yang lebih besar dari tubuh yang dapat dilihat dengan mata lahir. Karena itulah Alloh memuliakan ruh dengan menisbahkan kepada diri-Nya.
Firman Alloh ta’ala yang artinya :
‘Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, Aku menjadikan manusia dan’ tanah. Maka apabila telah kusempurna kan kejadiannya dan kutiupkan kepadanya ruhku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.’ (QS. Shaad [38]:71-72).
Alloh menunjukkan bahwa jasad berasal dari tanah dan ruh dari Tuhan semesta alam. (Ihya Ulum Al-Din, 3:58).
Khuluq -dalam bahasa Arab- berarti akhlak. Ruh kita menjadi indah dengan akhlak yang baik dan menjadi buruk dengan akhlak yang buruk. Dalam teori akhlak dari Al-Ghozali, orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya, akan memiliki ruh yang berbentuk babi; orang yang pendengki dan pendendam akan memiliki ruh yang berbentuk binatang buas; orang yang selalu mencari dalih buat membenarkan kemaksiatannya akan mempunyai ruh yang berbentuk setan (monster) dan seterusnya.
Oleh karenanya untuk memperindah bentuk ruh kita, kita harus melatih dan membiasakan akhlak yang baik. Meningkatkan kualitas spiritual, berarti mernperindah akhlak kita. Kita dapat simpulkan dari doa ketika bercermin :
“Allahumma kama ahsanta kholqi fa hassin khuluqi”.
(Ya Alloh, sebagaimana Engkau indahkan tubuhku, indahkan juga akhlakku)