KEHARAMAN BERPUASA DI HARI RAYA DAN HARI TASYRIQ
Ibadah harus dilakukan berdasarkan aturan. Ibadah tanpa aturan, tidak akan membuahkan pahala, bahkan justru menjadi sebab dosa. Sehingga tidak heran, ketika ada orang yang ahli ibadah, namun dia justru menjadi ahli neraka. Sebagaimana yang dialami para rahib, yang menghabiskan hidupnya untuk beribadah di kuilnya.
Demikian pula puasa. Semua orang memahami, puasa adalah ibadah yang nilainya luar biasa. Namun jika puasa ini dilakukan tanpa aturan, puasa ini justru akan menjadi sumber dosa dan bukan pahala.
Ada puasa yang di haramkan di dalam islam, seperti :
1. Puasa di hari raya
Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الفِطْرِ وَالنَّحْرِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang puasa pada saat idul fitri dan hari berkurban.” (HR. Bukhari 1991, Ibn Majah 1721).
Dalam hadis lain, dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkhutbah, menjelaskan hukum terkait idul fitri dan idul adha,
هَذَانِ يَوْمَانِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِهِمَا: يَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ، وَاليَوْمُ الآخَرُ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ
“Ini adalah dua hari,dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk melakukan puasa pada hari itu: pada hari kalian selesai melaksanakan puasa (idul fitri) dan hari kedua adalah hari dimana kalian makan dari hasil kurban kalian.” (HR. Bukhari 1990 dan Muslim 1137).
An-Nawawi menjelaskan,
قد أجمع العلماء على تحريم صوم هذين اليومين بكل حال، سواء صامهما عن نذر أو تطوع أو كفارة أو غير ذلك، ولو نذر صومهما متعمداً لعينهما، قال الشافعي والجمهور: لا ينعقد نذره ولا يلزمه قضاؤهما. وقال أبو حنيفة: ينعقد، ويلزمه قضاؤهما.
“Ulama sepakat haramnya puasa di dua hari raya, apapun puasanya. Baik puasa karena nazar, sunah, kafarah, atau sebab lainnya. Jika ada orang uang bernazar puasa pada hari raya, Imam Syafii dan mayoritas ulama mengatakan, ‘Nazarnya batal dan dia tidak wajib qadha.’ Sementara Abu Hanifah mengatakan, ‘Nazarnya sah, dan dia wajib mengqadhanya.’” (Syarh Shahih Muslim, 8/15)
2. Puasa di hari tasyriq
Dari Nubaisyah Al-Hudzali, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Hari-hari tasyriq adalah hari makan dan minum.” (HR. Muslim 1141)
An Nawawi rahimahullah memasukkan hadits ini di Shahih Muslim dalam Bab “Haramnya berpuasa pada hari tasyriq”.
Ibnu ‘Abdil-Barr menegaskan bahwa ulama sepakat tentang larangan ini. Beliau menyatakan,
وأما صيام أيام التشريق فلا خلاف بين فقهاء الأمصار فيما علمت أنه لا يجوز لأحد صومها تطوعا
“Tentang puasa pada hari-hari tasyriq, maka tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama di berbagai negeri bahwasannya tidak diperbolehkan bagi seorang pun untuk berpuasa sunnah ketika itu” (At-Tamhiid, 12/127).
Al-Hafidz Ibn Rajab menjelaskan sebab larangan puasa di hari tasyrik,
إنما نهى عن صيام أيام التشريق لأنها أعياد المسلمين مع يوم النحر، فلا تصام بمنى ولا غيرها عند جمهور العلماء خلافاً لعطاء في قوله: إن النهي يختص بأهل منى، وإنما نهى عن التطوع بصيامها سواء وافق عادة أو لم يوافق
‘Dilarang berpuasa hari tasyrik, karena hari tasyrik termasuk hari raya kaum muslimin, bersambung dengan hari raya kurban. Karena itu, tidak boleh puasa padaha hari tasyrik, baik di Mina maupun lainnya menurut mayoritas ulama. Tidak sebagaimana pendapat Atha yang mengatakan bahwa larangan ini hanya khusus bagi mereka yang sedang berada di Mina. Yang dilarang adalah puasa sunah, baik itu puasa rutinitas maupun bukan rutinitas.’ (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 292).