PENJELASAN TENTANG SHOLAWAT DAN WASIYAT TAQWA SEBAGAI RUKUN KHUTBAH
Saya ingin menanyakan tentang rukun khutbah Jumat. Rukun khutbah menurut yang saya baca dalam kitab fiqh Islam Sulaiman Rosyid:
1. membaca hamdalah,
2. membaca syahadat
3. membaca shalawat,
4. berwasiat/taqwa,
5. membaca ayat al Quran,
6. mendoakan kaum mukmin dan muslim.
Yang perlu saya tanyakan:
- Dalam membaca sholawat itu, nama Muhammad saw harus didzahirkan atau cukup shalallahu alaihi wa alihi
- Di dalam berwasiat/ taqwa itu apakah harus dengan kalimat Ittaqullah atau boleh dengan lainnya.
- Kalimat taqwa itu apa harus dibaca pada kedua khutbah atau cukup pada khutbah pertama saja?
Jawaban:
- Dalam membaca sholawat kepada Nabi Besar Muhammad saw, khutbah pertama maupun kedua sebagai rukun khutbah yang kedua, nama Nabi Muhammad saw, harus diucapkan dan tidak boleh hanya dengan memakai dlomir (kata ganti) sebagaimana yang saudara contohkan, meskipun dlomir tersebut ada tempat rujuknya karena nama Nabi Besar Muhammad saw tersebut sudah diucapkan sebelumnya.
Untuk itu, saudara saya persilahkan membuka kitab I’anatut Thalibin juz 2 halaman 65 (cetakan Toha Putra Semarang) dan kitab fiqh lain yang mu’tabar.
- Dalam berwasiat taqwa sebagai rukun khutbah yang kedua, tidak harus dengan kalimat Ittaqullah. Tetapi boleh dengan kalimat yang lain, asalkan isinya mengajak untuk bertaqwa dan bertaat kepada Allah. Dalilnya juga disebutkan dalam kitab tersebut di atas yang juz dan halamannya sama.
Hamdalah (pujian kepada Allah) shalawat kepada Nabi Besar Muhammad saw dan wasiat taqwa, adalah tiga rukun khutbah yang harus dibaca pada khutbah pertama dan kedua. Dalilnya lihat Ianatut Thalibin Juz 2 halaman 65-66:
فَلاَيَكْفِى اللهُمَّ سَلِّمْ الخ اى لِعَدَمِ الإتْياَِنِ بِلَفْظِ الصَّلاَةِ. وَلاَ يَكْفِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِالإتيَانِ بِالضَّمِيْرِ بَدَلَ الإسْمِ الظَّاهِرِ قِيَاسًا عَلَى التَّشَهُّدِ … وَإنْ تَقَدَّمَ لِنَّبِيِ صلى الله عليه وسلم فِى الكَلاَمِ ذِكْرٌ اى إسْمٌ يَرْجِعُ إلَيْهِ الضَّمِيْرُ. وَلاَيَتَعَيَّنُ لَفْظُهَا اى الوَصِيَّةَ بِالتَقْوَى لاَنَّ الفَرْضَ الوَعْظُ وَالحَمْلُ عَلَى طَاعَةِ اللهِ فَيَكْفِى مَا دَلَّ عَلَى المَوْعِظَةِ. طَوِيْلاً كَانَ أو قَصِيْرًا كَأَطِيْعُ اللهَ وَرَاقِبُوهُ وَيُشْتَرَطُ أَنْ يَأتِيَ … بِكُلٍّ مِنَ الارْكَانِ الثَّلاثَةِ وَهِى الحَمْدَلَةُ وَالصَّلاَةُ عَلى النَّبِيِ صلى الله عليه وسلم وَالوَصِيَّةُ بِالتَّقْوَى.
dan tidak cukup mengucapkan “Allahumma sallim dst… karena tidak mendatangkan lafadz sholawat. Dan tidak cukup mengucapka ‘Shalallahu Alaihi’ dengan mendatangkan dlomir sebagai ganti dari isim dzahir karena mengkiaskan pada ‘tasyahud’ meskipun dalam pembicaraan sebelumnya nama Nabi telah disebutkan sebagai tempat kembali dari dlomir tersebut. Juga tidak harus menjelaskan lafadz wasiat dengan ucapan taqwa karena tujuannya adalah memberi nasehat dan membawa kepada ketaatan kepada Allah, sehingga cukup dengan lafadz yang menunjukkan kepada nasehat, baik panjang maupun pendek, seperti ‘Atii-ullah wa roqiibuhu (taatlah kamu sekalian kepada Allah dan hendaklah kamu sekalian mohon pengawasan oleh Allah) dan disyaratkan mendatangkan rukun-rukun khutbah yang tiga, yaitu hamdalah, sholawat dan wasiat dengan taqwa pada masing-masing khutbah pertama dan kedua.