PERBEDAAN ANTARA KEKALNYA ALLOH DAN KEKALNYA MAKHLUK
Persamaan antara kekalnya Allah dan kekalnya akhirat hanya dalam segi bahasa dan pengungkapannya saja, sedangkan esensinya jelas berbeda. Jadi meskipun Allah mengungkapkan kekekalan surga dan neraka (alam akhirat) beserta seluruh penghuninya dengan kata-kata “khâlidîn”, bukan berarti secara prinsip kekekalan Allah dan akhirat adalah sama. Perbedaan tersebut adalah:
Pertama, kekalnya Allah adalah esensial (dzâtiy), karena Dzat Allah bukan benda, jadi tidak akan pernah mengalami perubahan apapun selama-lamanya. Sedangkan selain Allah adalah aksidental (‘aridhi-badali), yakni benda-benda surga atau neraka bisa mengalami perubahan dan pergantian, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat berikut:
كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا لِيَذُوقُوا الْعَذَابَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَزِيزًا حَكِيمًا.
Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa’ [4]: 56).
Demikian juga makanan dan minuman yang terdapat di dalam surga, ia bisa menjadi tenaga dan tambahan energi, namun selanjutnya akan hilang, lalu diganti dengan makanan dan minuman yang lain. Begitu seterusnya. Semua itu menunjukkan bahwa kendati surga dan neraka dikekalkan oleh Allah, namun kekekalannya tidak esensial, terbukti unsur-unsurnya masih mengalami perubahan-perubahan. Hal ini sangat berbeda dengan kekekalan Allah.
Kedua, kekalnya Allah adalah wajib secara akal, dan mustahil akan berakhir. Demikian juga kekekalan-Nya mustahil mengalami perubahan atau pergantian. Sedangkan kekalnya makhuk secara akal adalah tidak wajib. Yakni menurut akal, makhluk bisa kekal bisa juga tidak; tergantung kehendak Allah. Bila Allah menghendaki kekal, seperti akhirat, maka ia menjadi kekal. Dan bila Dia tidak menghendaki kekal, seperti dunia dan seluruh isinya, maka ia tidak akan kekal. Demikianlah arti yang sesungguhnya dari penggalan ayat “illâ mâ syâ’a rabbuka” (kecuali jika Tuhanmu menghendaki [yang lain]).
Namun demikian, secara realita (bukan secara akal), akhirat adalah kekal abadi, karena Allah menghendakinya kekal tanpa batas. Inilah arti yang terkandung dalam firman Allah selanjutnya, “‘athâ’an ghaira majdzûdz” (sebagai karunia yang tiada putus-putusnya). Dengan kata lain, sebagaimana uraian dalam ilmu teologi Islam (ilmu kalam) bahwa kekalnya akhirat adalah mungkin secara akal dan realitanya memang terjadi demikian (jâ’iz ‘aqlan wa wâqi’ syar‘an), sedangkan ketidak-kekalan akhirat adalah mungkin secara akal, namun realitanya tidak demikian (jâ’iz ‘aqlan wa ghairu wâqi‘ syar‘an). Adapun kekalnya Allah wajib dan terjadi secara akal dan kenyataan (wâjib wa wâqi‘ ‘aqlan wa syar‘an), dan ketidak-kekalan Allah adalah tidak mungkin secara akal dan kenyataan (mustahîl ‘aqlan wa syar‘an).