HUKUM MEMBAYAR PAJAK SEKALIGUS DINIATI ZAKAT
PERTANYAAN :
Assalaamu alaikuum..
Deskripsi Masalah :
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional.Akan tetapi, disisi lain banyak kasus yang berkaitan dengan wajib pajak, yang notabene banyak para oknum atau bahkan sebuah instansi memonopoli perpajakan. Seperti kasusnya pegawai pajak yang memonopoli wajib pajak atau menihilkan pembayaran pajak pada sebuah instansi yang kena wajib pajak. Efeknya mereka tidak membayarkan ke kementrian perpajakan, akan tetapi instansi terkait yang kena pajak memberikan fee kepada pegawai pajak tersebut, sehingga mengakibatkan kerugian Negara hingga milyaran rupiah.
Kasus yang baru-baru ini terjadi seperti yang diberitakan liputan6 petang SCTV (22/4/2014) adalah kasus yang dialami Bank Central Asia (BCA) terkait penetapan mantan Ketua Badan Pemerikasa Keuangan (BPK) sebagai tersangka oleh KPK dalam dugaan korupsi permohonan keberatan pajak yang diajukan BCA. BCA mengklaim telah memenuhi kewajiban dan menjalankan haknya sebagai wajib pajak. Dipihak lain KPK mendapatkan bukti kuat adanya permainan pajak yang merugikan Negara sebesar Rp 375 miliar.Mantan Ketua BPK tersebut ditetapkan sebagai tersangka dalam kapasitas sebagai Dirjen pajak periode 2002-2004. Ia diketahui mengabulkan keberatan pajak BCA yang mengakibatkan Negara merugi.Disisi lain masyarakan kelas bawah juga merasa keberatan atas wajib pajak yang setiap tahunnya naik seperti pajak tanah, bangunan, pertokoan, sepeda motor dan lain-lain. Sehigga dari hati mereka menyatakan bahwa wajib pajak hanya sekedar membayar, akan tetapi uangnya dikorupsi dan digelapkan oleh Oknum pemerintahan. Sehingga masyarakat umum enggan untuk membayar pajak.
Pertanyaan :
- Bagaimana hukum membayar pajak menurut kacamata islam ?
- Bagaimana padangan fikih perihal memanipulasi pembayaran pajak seperti fenomena di atas ?
- Bagaimana solusinya ketika rakyat secara umum keberatan membayar pajak dan lari dari kewajiban tersebut ?
- Bolehkah membayar wajib pajak diniati membayar zakat ?
Mohon dibantu untuk menjawabnya, insya Allah akan dibahas dalam BAHTSU AL MASAIL AL DINIYYAH AL WAQI’IYYAH VIII PUTRA PONDOK PESANTREN KHOZINATUL ‘ULUM BLORA
JAWABAN :
Wa’alaikum salam
Kalau kita berpegangan dengan madzhab Syafi’i, maka hukumnya sebagaimana sudah maklum.
Ta’bir di bawah adalah berkaitan dengan penarikan kharaj (pajak) oleh imam sebagai pengganti ‘usyur (penarikan sepersepuluh dari zakat pertanian) maka hukumnya boleh.
Hal itu disamakan dengan ketika imam dengan ijithadnya menarik zakat dengan qimah.
Dengan demikian, hal diatas tidak berlaku untuk selain imam, kecuali jika sudah masuk kategori mujtahid atau taqlid kepada madzhab yang memperbolehkan.
Catatan:
Pertama:
Berikut ta’bir di atas dan terjemahannya:
وَلَوْ أَخَذَ الْإِمَامُ الْخَرَاجَ عَلَى أَنْ يَكُونَ بَدَلًا عَنْ الْعُشْرِ كَانَ كَأَخْذِهِ الْقِيمَةَ فِي الزَّكَاةِ بِالِاجْتِهَادِ فَيَسْقُطُ بِهِ الْفَرْضُ، وَإِنْ نَقَصَ عَنْ الْوَاجِبِ تَمَّمَهُ اهـ
Jika imam menarik kharaj sebagai pengganti ‘usyur, maka hal itu saa seperti ketika dia menarik zakat dengan qimah dengan ijtihad.Dengan penarikan tsb maka gugurlah kefardhuan mengeluarkan zakat.Jika masih ada kekurangan maka orang yang ditarik harus menyempurnakannya.
Kedua:
Kebolehan diatas, jika memang imam melakukannya dengan ijithad atau taqlid yang benar, jika tidak maka kharaj (pajak) tidak bisa dijadikan sebagai pengganti zakat.
Imam Ibnu Hajar menjelaskan dalam Kitab Tuhfatul Muhtaj juz 12 halaman 101:
بِهَذَا يُعْلَمُ أَنَّ الْمَكْسَ لَا يُجْزِئُ عَنْ الزَّكَاةِ إلَّا إنْ أَخَذَهُ الْإِمَامُ أَوْ نَائِبُهُ عَلَى أَنَّهُ بَدَلٌ عَنْهَا بِاجْتِهَادٍ أَوْ تَقْلِيدٍ صَحِيحٍ لَا مُطْلَقًا خِلَافًا لِمَنْ وَهِمَ فِيهِ
Pajak tidak bisa diniati zakat ( zakatnya tidak sah ) :
حاشية البجيرمي على شرح منهج الطلاب – (2 / 59)ولو نوى الدافع الزكاة والآخذ غيرها كصدقة تطوع أو هدية أو غيرها فالعبرة بقصد الدافع ولا يضر صرف الآخذ لها عن الزكاة إن كان من المستحقين فإن كان الإمام أو نائبه ضر صرفهما عنها ولم تقع زكاة ومنه ما يؤخذ من المكوس والرمايا والعشور وغيرها فلا ينفع المالك نية الزكاة فيها وهذا هو المعتمد ويؤيده إفتاء ابن الرداد شوبري أي لأن ما يأخذونه من ذلك لا يصرفونه مصرف الزكاة كما قرره شيخنا ح ف
Wallaahu A’lam.