CINTA MUSLIMAH SEJATI Bag.10
Aku tidak bisa menjawabnya, aku malu mengatakan yang sesungguhnya, kalau aku tidak membawa uang sedikitpun, jadi aku hanya nyengir saja.
”Baiklah bu guru, apa ada solusi yang lain…? Dia bertanya lagi, nadanya menunjukan keheranan, tapi juga menunjukan kebijakan hatinya.
Aku masih belum menjawab, entah aku tidak bisa berpikir dengan jernih. Sementara dia masih menunggu jawabanku, tangannya naik ke kepala menggaruk rambut hitamnya yang lebat.
“Dia pasti tak sabar lagi” begitu aku membatin
Matanya yang seperti mata elang tiba tiba berputar mengawasi, meneliti sekeliling, seperti mata elang yang sedang mengincar mangsa, kemudian dia dengan sigap melangkah melewatiku menyusuri jalan di belakangku, tak sampai 15 meter, dia berhenti memungut gelas plastik bekas air mineral yang mungkin di jatuhkan tadi malam oleh penumpang bus malam, jalan ini memang kalau malam sering di lewati bus jurusan ibu kota sebagai alternatif, kemudian dia berusaha membersihkan gelas plastik itu dari sisa sisa air dengan sapu tangan merah hatinya. Setelah itu dia kembali melewatiku yang hanya diam tertegun mengawasi seperti patung.
“Maaf bu guru… Tolong buka jok motornya”. Dia menyuruhku dengan ramah agar membuka jok motor yang hanya ku pegangi dari tadi, sedangkan dia menuju motornya.
Aku hanya menyelidik tanpa bertanya mengenai apa yang di lakukanya. Dengan mata ini aku melihat dengan jelas, dia memegang kran bensin di bawah tangki motornya, lalu tangan kananya melepas selang kecil yang menghubungkan ke karburator mesin di bawah kran itu, gelas air mineral yang tadi di letakan di bawah selang yang sudah di lepas tadi, tungkai kran di putar ke arah atas, sehingga mengucurlah bensin dari kran yang tadi di lepas selangnya dan tertampung di gelas plastik bekas mineral, terlihat gelas itu segera akan penuh, maka dia memutar kembali tungkai kran ke arah semula, sehingga berhenti mengalirlah bensin itu, kemudian dia membawa gelas itu ke arahku, aroma has bensin tercium dengan santer. Dia kemudian membuka tutup tangki bensin motorku yang sudah ku buka joknya sedari dia menyuruh tadi, lalu gelas plastik di tangan kananya di tuangkan ke dalamnya, sehinggga habislah bensin yang ada di gelas plastik itu, dia melakukanya dengan cekatan dan hati hati, sehingga tak terasa sudah 6 kali dia bolak balik melakukan itu.
Aku hanya memperhatikan tanpa bisa berkomentar, entah kenapa?
“Saya rasa sudah cukup bu guru”. Dia berkata menerangkan kepadaku yang masih tertegun. Sambil menutup jok motor dan tentu di dahului menutup tangki bensin, dia membuang jatuh gelas plastik bekas air mineral tadi dengan hampir tanpa bersuara.
“Coba di starter bu guru…”. ujarnya
“Ya saya coba”. Jawabku dengan malu dan harap.
Alhamdulillah motorku sudah bisa hidup lagi, ku lihat dia sedang membenahi dengan cekatan kran bensin di motornya yang tadi di bukanya, dia kemudian mengelap tanganya denga sapu tangan merah hati miliknya, setelah selesai dia meletakan sapu tangan itu di selipkan di antara speedometer motornya, tidak di taruh di sakunya karena sudah kotor, dia sama sekali tidak memperhatikanku, ku lihat dia menaiki motornya dan menstaternya hingga bersuara greng greng greng… kemudian dia menoleh kepadaku, tersenyum sambil melambaikan tangan, senyum yang manis sekali… lalu ngeng….. dia pergi meninggalkanku.
Aku baru sadar, aku belum berterima kasih, aku hanya memperhatikan sambil tertegun dari tadi… betapa bodohnya aku..
Hai tunggu…. panggilku dengan agak keras, aduh bagaimana ini…
Aku segera tancap menyusulnya, tapi dia sama sekali tak terkejar, bahkan kini aku sudah sampai di gerbang sekolah, aku memutuskan untuk belok ke sekolah daripada terus mengejar tanpa tahu dia sudah berada di mana karena cepat sekali lari motornya.
Aku masih terus mengingatnya, mengingat senyumnya, mengingat orang yang telah menolongku,…
Apakah dia manusia..?
Atau benar benar malaikat…?
Ganteng sekali dia, ramah, baik dan.. senyumnya itu yang membuatku sebagi wanita pasti merasa bagaimana….
Di parkiran sekolah, aku segera turun dari motor, berlari menuju ruang kelas, anak anak sudah sedang menulis, ada tulisan di papan tulis yang setelah ku amati adalah tulisan pak kepala sekolah.
Aku tersenyum kecut, betapa ku teringat, pasti akan di marahi oleh kepala sekolah.
Aku mengajar anak anak dengan semangat sekali, hingga tiba tiba bel berbunyi tanda akhir jam pelajaranku.
Aku segera berkemas menuju mejaku di kantor sekolah, ku salami semua guru guru yang perempuan sambil tersenyum dan berbasa basi yang tak basi. Teman teman guru semua yang ada di sekolah ini telah ku anggap sebagai senior seniorku, sehingga aku juga sangat hormat pada mereka tak terkecuali yang pria, sehingga merekapun menghormatiku walau aku terbilang yang paling muda.
Mereka selalu ku mintai saran dan masukan setiap aku ada hal yang belum sepenuhnya mengerti, sehingga mereka benar benar merasa aku memang bagian dari mereka.
Baru dua menit aku duduk di belakang meja kerjaku, pak ilham yang merupakan guru TU datang menemuiku.
“Bu Ashfie… di panggil pak kepala sekolah di ruanganya”.
“Ya pak…siap”. jawabku dengan senyum
Aku segera bangkit menuju ruangan kepala sekolah, kepala sekolah di sini memang luar biasa, luar biasa disiplin, luar biasa keras, luar biasa jujur, luar biasa amanah, dan luar biasa senang bershodaqoh. Beliau di sekolah ini paling sering bagi bagi rejeki kepada sesama guru, sehingga walaupun dia keras, tetap di sukai dan sekaligs di segani oleh guru yang lain. Dan bahkan sekolah MI ini mampu bersaing dengan sekolah SDN yang ada di satu kecamatan karena memang jasa jasa beliau yang banyak sekali. Bahkan sekolah MI ini menjadi salah satu yang terbaik di tingkat distrik hingga kapupaten.
“Bismillah….”. aku melangkahkan kaki menuju ruangan kepala sekolah, yang sudah bisa di tebak akan apa yang aku alami, aku pasti akan di nasehati, di ceramahi dan kasarnya di marahi karena terlambat datang, tanpa mahu tahu apa alasan keterlambatanku.
“Assalamu’alaikum….”. salamku dengan hati hati dan sopan
“Wa’alaikum salam…” terdengar jawaban dari kepala sekolah, dari nadanya terasa tidak ada getaran marah. Aku sedikit lega.
“Masuk bu..”. kepala sekolah menyuruhku masuk sambil mempersilahkan duduk di kursi satu satunya yang ada di depan meja kerjanya.
Aku duduk sambil senyum dan mengangguk dengan sangat hati hati, sehingga tanpa menimbulkan suara sama sekali, takut membuat beliau tersinggung dan marah.