PERNIKAHAN NABI YUSUF AS DENGAN ZULAIKHA YANG PENUH KONTROVERSI

PERNIKAHAN NABI YUSUF AS DENGAN ZULAIKHA YANG PENUH KONTROVERSI
وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الأبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ
“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan Dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke sini.” Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung.” (QS Yusuf: 23)
Al-Qur’an mengawali kisah Yusuf saat ia masih muda. Ia bermimpi melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan bersujud padanya (Yusuf [12]:4). Mimpi itu ia beritahukan kepada ayahnya, Ya’qub yang menyuruhnya agar tidak memberitahukan mimpi itu kepada saudara-saudaranya yang pencemburu (Yusuf [12]:5). Yusuf juga merupakan anak yang paling disayangi Yaqub, sehingga saudaranya merasa cemburu dan mereka merencanakan suatu rencana untuk membuang Yusuf (Yusuf [12]:8). Saudara-saudara Yusuf meminta izin pada Yaqub untuk membawa Yusuf pergi bersama mereka, dan mereka diizinkan. Dalam perjalanan, Yusuf dimasukkan ke dalam sumur dan ditinggal pergi oleh saudara-saudaranya hingga kemudian ia ditemukan oleh kafilah dagang yang kemudian menjualnya di Mesir. Orang yang membeli Yusuf adalah Qithfir, seorang raja Mesir yang mempunyai julukan Al Aziz.
Kisah dan sejarah merupakan satu unsur penting yang terdapat dalam Al Qur’an. Darinya, Allah memberikan kepada umat Islam berbagai pelajaran penting yang dapat diambil hikmahnya. Berbicara tentang kisah, tentu tak lepas dari tokoh-tokoh yang menjadi penggerak cerita tersebut. di antara banyak tokoh yang diceritakan dalam Al Qur’an, mulai dari para rasul yang shalih sampai seorang kafir yang sombong, ada salah satu tokoh yang cukup menggelitik, yaitu wanita yang menggoda Nabi Yusuf ‘alaihis-salam untuk berzina.
Al Qur’an menyebutnya dengan istilah ‘istri Al Aziz’, sedangkan masyarakat luas mengenalnya dengan sebutan ‘Zulaikha.’ Ada apa dengan wanita ini?
Setiap pasangan suami istri pasti berharap menjadi pasangan sejati, penuh cinta dan rahmat, serta langgeng sampai ke anak cucu. Sebab itu, banyak orang meminta kepada Allah untuk menyatukan pasangan suami istri layaknya Nabi Adam dan Hawa, Nabi Yusuf dan Zulaikha, serta Nabi Muhammad Saw dan Khadijah. Do’a pun dirangkai dengan indah, sebagaimana berikut:
اَللَّهُمَّ اَلِّفْ بَيْنَهُمَا بِمَحَبَّتِكَ كَمَا اَلَّفْتَ بَيْنَ آدَمَ وَحَوَّى وَاَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا اَلَّفْتَ بَيْنَ يُوْسُفَ وَزُلَيْخَا وَمُحَمَّدٍ وَخَدِيْجَةِ اْلكُبْرَى وَأَصْلِحْ جَمْعَهُمَا فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَهَبْ لَهُمَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَقُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْهُمَا مِنْ عِبَادِكَ النَّافِعِيْنَ عَلَى دِيْنِكَ وَلِمَصَالِحِ اْلمُؤْمِنِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
“Ya Allah, satukan mereka berdua (pengantin laki-laki dan perempuan) dengan cinta-Mu, sebagaimana Engkau satukan antara Nabi Adam dan Hawa. Satukanlah keduanya sebagaimana Engkau satukan Nabi Yusuf dan Zulaikha, Nabi Muhammad Saw dan Khadijah al-Kubra. Baikanlah penyatuan keduanya di dunia dan akhirat, berikanlah rahmat dan ‘penyejuk mata kepada keduanya. Jadikanlah keduanya hambam-Mu yang bermanfaat terhadap agama-Mu dan kemaslahatan orang-orang yang beriman, berkat rahmat-Mu, wahai Tuhan Yang Maha Penyayang.”
Banyak orang bertanya, dalam al-Quran tidak disinggung sedikitpun tentang pernikahan antara Nabi Yusuf dan Zulaikha, bahkan al-Quran menggambarkan bahwa Zulaikha adalah perempuan yang tidak baik, yang mendurhakai suaminya, serta menggoda Nabi Yusuf untuk melakukan perbuatan mesum.
Pertanyaannya, “Benarkah Nabi Yusuf dan Zulaikha menikah, dan menjadi pasangan sejati, penuh cinta dan rahmat, serta langgeng ke anak cucu, sebagaimana yang diceritakan secara turun temurun?” Atau, “Apakah kisah ini hanya israliyat yang tidak berdasar?”
Ada sebagian umat islam yang meragukan kisah pernikahan Nabi Yusuf as dengan Zulaikha dengan alasan tidak adanya penjelasan langsung dari Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Namun tak salah juga jika kita berusaha mengemukakan referensi dari penjelasan para ulama mengenai kisah ini.
Sebagaimana scan kitab diatas; riwayat pernikahan Nabi Yusuf dengan Zulaikha terdapat dalam kitab Qishosh al-Anbiya’ karangan Quthubuddin Sa’id bin Hibatullah Ar-Rawandi hal.136-137 pasal 6 dijelaskan sbb:
أخبرناهبة الله بن دعويدار, عن أبي عبدالله الدوريسي, عن جعفر بن أحمدالمريسي, عن ابن بابويه, عن جعفر بن علي, عن جده عبدالله بن المغيرة, عمن ذكره, عن ابي عبدالله صلوات الله عليها, قال: استاءذنت زليخا على يوسف, فقيل لها: انانخاف بقدم, أن تقدمي عليه لما كان منك, قالت: أنالا أخاف من يخاف الله, فلما دخلت عليه فقال لها: يازليخا مالي أراك قد تغيرت لونك, قالت: الحمدلله الذي جعل الملوك بمعصيتهم عبيدا, وجعل العبيد بطاعتهم ملوكا.
قال لها: ماالذي دعاك الى ماكان منك؟ قالت: حسن وجهك يايوسف, قال: فكيف لورأيت نبيا يقال له محمدصلى الله عليه وسلم يكون فى أخر الومان يكون أحسن مني وجها, وأحسن مني خاقا, وأسمع مني كفا, قالت: صدقت, فكيف علمت أني صدقت؟ قالت: لآنك حين ذكرته وقع حبه فى قلبي, فأحي الله تعالى الى يوسف أنها صدقت أني قد أحببتها لحبها محمد محمدصلى الله عليه وسلم, فأمره الله تعالى أنيتزوجها.
Menceritakan kepada kami Hubbatullah bin Da’widar dari Abu Abdullah Ad-Duraisi dari Ja’far bin Muhammad Al-Muryasi dari Ibnu Babawih dari Ja’far bin Ali dari kakeknya Abdullah bin Al-Mughirah dari orang yang menceritakannya dari Abu Abdullah semoga shalawat Allah atasnya dia berkata: Zulaikha meminta izin kepada Yusuf. Maka dikatakan kepadanya (Zulaikha), sesungguhnya kami tidak berani menghadap, jika kamu menghadap kepadanya apa keberanianmu? Zulaikha menjawab: Aku tidak takut kepada orang yang takut kepada Allah. Tatkala Zulaikha masuk menghadap kepada Yusuf, maka Yusuf berkata kepadanya: “Hai Zulaikha ada apa denganku, aku melihat perubahan raut (wajah)mu”. Zulaikha menjawab: “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan seorang raja menjadi seorang hamba karena kedurhakaannya, dan menjadikan seorang hamba menjadi seorang raja karena ketaatannya”.
Yusuf berkata kepadanya: “Apa yang membuatmu terpanggil sehingga kamu berada disini?” Zulaikha menjawab: “Karena ketampananmu”. Yusuf berkata: “Bagaimana jika kamu melihat seorang nabi yang disebut Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang adanya di akhir zaman yaang wajahnya lebih tampan daripada ketampananku, lebih baik akhlaknya daripadaku, tangannya lebih pemurah daripada tangaanku”. Zulaikha berkata: “Engkau benar”. Yusuf berkata: “Bagaimana kamu tahu kalau aku mengatakan kebenaran?” Zulaikha berkata: “Sesungguhnya disaat engkau menyebutkannya (Muhammad) ada rasa suka dalam hatiku”. Maka Allah mewahyukan kepada Yusuf bahwa Zulaikha adalah orang benar, (Allah berfirman): “Sesungguhnya aku mencintainya karena kecintaannya kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Maka Allah memerintahkan Yusuf agar menikahinya (memperistri Zulaikha).
Sementara kisah yang sama dijelaskan dalam Kitab Qishosh Al-Anbiya’ karangan Ibnu Katsir pada hal. 268 juz 1 dijelaskan sbb:
ويقال ان قطفير زوج زوايخا كان قدمات فولاه الملك مكانه وزوجه امرأته زوليخا فكان وزير صدق.
“Dikatakan bahwa Qithfir (Al-Aziz) suami Zulaikha setelah meninggal dunia, maka Nabi Yusuf menggantikan menjadi raja dan menikahi Zulaikha sebagai istrinya, dan adalah Nabi Yusuf (saat itu) sebagai bendahara yang jujur.”
Dalam kitab-kitab tafsir banyak yang menceritakan pernikahan Zulaikha dengan Nabi Yusuf as. Imam ath-Thabari meriwayatkan dari Muhammad bin Ishaq bahwa ketika Nabi Yusuf keluar dari penjara dan menawarkan diri menjadi bendaharawan Negara, Firaun pada masa itu menempatkan Nabi Yusuf di posisi al-Aziz yang membelinya. Al-Aziz pun dicopot dari kedudukannya. Tak berapa lama kemudian, al-Aziz meninggal dunia, dan Firaun menikahkan Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz, Ra’il.
Terjadilah dialog romantis antara Ra’il dan Nabi Yusuf: “Bukankah kesempatan seperti ini lebih baik dan terhormat daripada pertemuan kita dahulu ketika engkau menggebu-gebu melampiaskan hasratmu”. Lalu Ra’il menjawab dengan jawaban diplomatis dan romantis: “Wahai orang yang terpercaya, janganlah engkau memojokkanku dengan ucapanmu itu, ketika kita bertemu dulu, jujur dan akuilah bahwa di matamu akupun cantik dan mempesona, hidup mapan dengan gelar kerajaan dan segalanya aku punya, namun ketika itu aku tersiksa karena suamiku tidak mau menjamah perempuan manapun termasuk aku, lantas akupun mengakui dengan sepenuh hatiku akan karunia Allah yang diberikan atas ketampanan dan keperkasaan dirimu.” Nabi Yusuf mendapatkan bahwa Ra’il masih perawan. Mereka menikah dan dikaruniai dua orang anak laki laki, Afra’im (Efraim) dan Misya (Manasye). Imam ath-Thabari dan muhaqqiq tafsirnya tidak menjelaskan keisra’iliyatan riwayat ini.
Kisah yang sama juga diriwayatkan oleh banyak mufassir, diantaranya Imam Fakr ad-Din ar-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghaib, Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-`Azhim, Imam az-Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasysyaf `an Haqa’iq at-Tanzil wa `Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil, dll.
Selain kisah di atas, Imam as-Suyuthi meriwayatkan kisah lain dari Abdullah bin Munabbih, dari ayahnya, yakni ketika Yusuf lewat di sebuah jalan, mantan istri al-Aziz menampakkan diri sembari berkata, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan penguasa sebagai budak karena maksiat kepada-Nya, dan menjadikan budak sebagai penguasa karena taat kepada-Nya.” Yusuf pun mengetahuinya lalu menikahinya, dan Yusuf mendapatinya mantan istri al-Aziz tersebut perawan karena al-Aziz tidak mampu menjamah perempuan.Kisah yang mirip juga diriwayatkan oleh Fudhail bin `Iyadh.
Kisah yang ketiga mengenai nikahnya Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz diceritakan juga oleh Imam as-Sayuthi dari Wahab bin Munabbih, yakni ketika mantan istri al-Aziz memiliki suatu keperluan, lalu ada yang mengatakan kepada, “Jika engkau minta bantuan kepada Yusuf pasti akan dipenuhinya.” Mantan Istri al-Aziz pun minta pendapat kepada orang-orang, mereka mengatakan, “Jangan engkau lakukan, karena kami khawatir terhadapmu.” Mantan Istri al-Aziz pun berkomentar, “Saya tidak takut kepada orang (Yusuf) yang takut kepada Allah.” Dia pun datang menghadap Yusuf dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan hamba sebagai penguasa karena taat kepada-Nya.” Ketika mantan istri al-Aziz tersebut melihat dirinya, dia berkata, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan penguasa sebagai hamba karena maksiat kepada-Nya.” Yusuf memenuhi kebutuhan mantan istri al-Aziz, lalu menikahinya dan dia mendapatinya dalam keadaan perawan. Yusuf pun berkata, “Bukankah kesempatan ini lebih baik dan terhormat dari pada pertemuan yang lalu?” Mantan istri al-Aziz pun menjawab, “Ada empat hal yang membuatku melakukan hal itu: pertama, engkau adalah orang tertampan; kedua, aku adalah orang yang tercantik di masaku; ketiga, aku masih perawan; dan keempat, suamiku adalah orang yang impoten.”
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menceritakan kisah yang panjang mengenai nikahnya Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz. Zulaikha’ ditinggal mati suaminya ketika Yusuf masih dalam penjara. Sedangkan Zulaikha’ senantiasa merindu Nabi Yusuf sampai matanya buta karena tangisannya. Zulaikha’ pun hidup sengsara, tidak ada yang peduli dengannya. Setiap kali Nabi Yusuf lewat pada sebuah jalan, Zulaikha’ pun menantinya. Sampai diusulkan kepadanya untuk mengadukan nasib kepada Nabi Yusuf. Namun sebagian orang melarangnya karena perbuatan jahatnya terhadap Yusuf dahulu. Ketika Yusuf lewat, Zulaikha’ mengatakan dengan suara tinggi, “Maha suci Tuhan yang menjadikan penguasa menjadi budak karena kemaksiatannya, dan menjadi budak menjadi penguasa karena ketaatannya.” Yusuf pun mengetahui hal itu, lalu dia memerintahkan untuk membawa Zulaikha’ ke hadapannya. Setelah bertemu, Zulaikha’ mengadukan segala penderitaan yang diembannya. Nabi Yusuf menangis mendengarkan cerita itu, dan bertanya, “Masih tersisakah rasa cintamu terhadapku? Zulaikha’ pun menjawab, “Demi Allah, melihatmu lebih aku cintai dari dunia dan seisinya.” Tangisan Yusuf pun menjadi-jadi, sampai dia pulang ke rumah. Yusuf terus berfikir akan hal ini, hingga dia mengambil keputusan untuk mengirimkan utusan kepada Zulaikha’ dan berkata, “Jika engkau janda maukah menikah denganku? Dan jika engkau masih berkeluarga, aku akan mencukupimu.” Zulaikha’ menjawab, “Aku berlindung kepada Allah, jika Yusuf memperolokku. Dia tidak menginginkanku ketika aku masih muda, memiliki harta dan kedudukan. Sekarang, dia mau menikahiku di saat aku fakir, buta, dan renta.” Nabi Yusuf memerintahkan Zulaikha’ untuk bersiap-siap menghadapi pernikahan. Lalu dia shalat dan berdoa kepada Allah untuk mengembalikan Zulaikha’ menjadi muda, cantik, dan dapat melihat. Mereka pun menikah, dan Nabi Yusuf mendapati Zulaikha’ dalam keadaan perawan, karena suaminya dahulu impoten.
Mereka hidup bahagia dan melahirkan dua orang putra. Nabi Yusuf sangat mencintai istrinya tersebut, namun, ketika istrinya sudah merasakan cinta Allah, dia pun melupakan segala sesuatu, hanya Allah yang ada dalam hatinya. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam al-Qurthubi dari Wahab bin Munabbih.
Dalam riwayat yang lain, Imam as-Suyuthi meriwayatkan dari Zaid bin Aslam bahwa Nabi Yusuf menikahi mantan istri al-Aziz dalam keadaan perawan, karena suaminya (al-Aziz) impoten.
Dari penjelasan di atas, keterangan menikahnya Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz didapati setidaknya dari empat orang: Muhammad bin Ishaq, Wahhab bin Munabbih, Fudhail bin `Iyadh, dan Zaid bin Aslam. Selain diantara mereka terkenal meriwayatkan riwayat-riwayat isra’iliyat, seperti Wahab bin Munabbih dan Muhammad bin Ishaq, keempat perawi a`la ini adalah tabi’in, kecuali Fudhail bin `Iyadh, beliau adalah tabi’it tabi’in. Dalam meriwayatkan kisah di atas, mereka tidak menisbahkannya kepada sahabat Nabi atau kepada Nabi Muhammad, tapi mereka nisbahkan kepada diri mereka sendiri. Ini berarti riwayatnya terputus.
Untuk menilai riwayat-riwayat di atas, setidaknya kita menggunakan tiga penilaian: penilaian ulama hadits, ulama tafsir, dan ulama tarikh (sejarah). Ulama hadits sepakat, riwayat seperti ini dinilai lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah sama sekali. Sebaliknya, ulama tarikh menerima riwayat seperti ini, karena standar periwayatan sejarah (yang tidak ada kaitannya dengan agama) tidak seketat standar periwayatan hadits, yang berkaitan dengan agama. Sedangkan ulama tafsir berbeda pendapat dalam menerima atau menolak riwayat seperti ini.
Keterangan ini, setidaknya dilihat dari dua sisi.
Pertama, riwayat-riwayat yang berasal dari Tabi’in. Menurut sebagian mufassir, jika riwayatnya shahih, walau berasal dari tabi’in, maka hal ini dapat digolongkan dalam tafsir bil ma’tsur. Namun, ulama tafsir yang lain berpendapat bahwa ungkapan tabi’in tidak terhitung dalam tafsir bil ma’tsur, tapi tergolong dalam tafsir bir ra’yi, jadi boleh diterima boleh tidak karena hanya sebatas pendapat tabi’in saja.
Sisi yang kedua kembali pada hukum periwayatan isra’iliyat di atas. Jika diteliti, riwayat-riwayat di atas tidak bertentangan dengan Al Qur’an, hadits, akidah, atau merusak ibadah, karena hanya berkaitan dengan penamaan istri al-Aziz dan status nikah atau tidaknya antara Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz. Yakin atau tidaknya seseorang akan hal itu tidak sampai merusak akidahnya. Selain itu, riwayat-riwayat ini juga tidak didukung oleh Al-Quran dan hadits-hadits baginda Muhammad Saw. Sebagaimana telah dijelaskan, hukum meriwayatkan riwayat seperti ini tidak menjadi masalah, atau boleh, walaupun tidak menjelaskan status keisra’iliyatannya. Jadi wajar ketika ulama tafsir memasukkan riwayat seperti ini dalam tafsir mereka, dan mereka tidak menjelaskan statusnya.
Bukan bermaksud membesar-besarkan, namun kaum muslimin harus terbiasa bersikap ilmiah. Dalam artian, segala yang disampaikan haruslah memiliki dasar yang jelas. Hal itu telah disampaikan oleh Allah Ta’ala dalam surah Al Isra’ ayat ke 36,
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 36)
Wallohu a’lam bis Showab