ABU LAHAB DI NERAKA DI BERI KERINGANAN SIKSA KARENA BAHAGIA DENGAN LAHIRNYA ROSULULLOH SAW.

ABU LAHAB DI NERAKA DI BERI KERINGANAN SIKSA KARENA BAHAGIA DENGAN LAHIRNYA ROSULULLOH SAW.

MULUDAN

Allah berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا

“Katakanlah: ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya hendaklah (dengan itu) mereka bergembira’ “. (QS.Yunus: 58) Allah Ta’ala memerintahkan kita bergembira atas rahmat_Nya dan Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam jelas merupakan rahmat Allah terbesar bagi kita dan semesta alam.

Allah berfirman:

وَمَا أرْسَلـْنَاكَ إلَّا رَحْمَةً لِلعَالَمِـيْنَ

“Dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta”. (QS.Al-Anbiya:107)

Didalam Tafsir Ruhul Ma’ani juz VIII halaman 41, karya Syeikh Al Alusi (wafat tahun 1270 H) di jelaskan :

وَأَخْرَجَ أَبُو الشَّيْخِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا أَنَّ الْفَضْلَ اَلْعِلْمُ وَالرَّحْمَةَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Imam Abusy Syeikh mengeluarkan (meriwayatkan) dari shahabat Ibnu Abbas –radhiyallaahu Ta’aalaa ‘anhumaa- :
“Sesungguhnya AL FADHL (karunia Allah) adalah ilmu dan sesungguhnya ARRAHMAH (rahmat Allah) adalah Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam.”

Dalam Kitab Shahih Bukhari juz VI halaman 125 di jelaskan :

قَالَ عُرْوَةُ وثُوَيْبَةُ مَوْلَاةٌ لِأَبِي لَهَبٍ كَانَ أَبُو لَهَبٍ أَعْتَقَهَا فَأَرْضَعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ قَالَ لَهُ مَاذَا لَقِيتَ قَالَ أَبُو لَهَبٍ لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ خَيْرًا غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ثُوَيْبَةَ

Imam ‘Urwah bekata:
“Tsuwaibah adalah hamba sahaya Abu Lahab. Dia memerdekakan Tsuwaibah, kemudian Tsuwaibah menyusui Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Ketika Abu Lahab meninggal, salah satu keluarganya bermimpi melihat dia dalam keadaan yang buruk. Sebagian keluarganya tersebut bertanya: “Apa yang engkau temui?”. Ia menjawab, “Setelah meninggalkan kamu, aku tidak menemui kebaikan kecuali aku diberi minuman didalam ini karena aku memerdekakan Tsuwaibah.”

Al Hafizh Ibnu Hajar (wafat tahun 852 H) dalam kitab Fat_hul Bari (9/145-146) mengutip penjelasan Imam Baihaqi sebagai berikut:

مَا وَرَدَ مِنْ بُطْلَانِ الْخَيْرِ لِلْكُفَّارِ فَمَعْنَاهُ أَنَّهُمْ لَا يَكُوْنَ لَهُمُ التَّخَلُّصُ مِنَ النَّارِ وَلَا دُخُوْلُ الْجَنَّةِ ، وَيَجُوْزُ أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمْ مِنَ الْعَذَابِ الَّذِيْ يَسْتَوْجِبُوْنَهُ عَلَى مَا ارْتَكَبُوْهُ مِنَ الْجَرَائِمِ سِوَى الْكُفْرِ بِمَا عَمِلُوْهُ مِنَ الْخَيْرَاتِ

Riwayat batalnya kebaikan untuk orang-orang kafir, maksudnya bahwasanya mereka tidak terbebas dari neraka dan tidak pula masuk syurga.
Boleh saja mereka diringankan dari siksa yang mereka dapati atas dosa-dosa yang mereka lakukan selain kekufuran, dengan kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan.

Beliau juga mengutip keterangan Imam Qurthubi sebagai berikut:

هَذَا التَّخْفِيْفُ خَاصٌّ بِهَذَا وَبِمَنْ وَرَدَ النَّصُّ فِيْهِ
Diringankan ini khusus dengan orang ini (Abu Lahab), dan manusia, diriwayatkan adanya nash untuk hal yang demikian

Dan apa yang dikatakan oleh Imam Ibnul Munir:
لَمْ يَكُنْ عِتْقُ أَبِيْ لَهَبٍ لِثُوَيْبَةَ قُرْبَةً مُعْتَبَرَةً ، وَيَجُوْزُ أَنْ يَتَفَضَّلَ اللهُ عَلَيْهِ بِمَا شَاءَ كَمَا تَفَضَّلَ عَلَى أَبِيْ طَالِبٍ

Memerdekakannya Abu Lahab terhadap Tsuwaibah tidak dianggap sebagai perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah.
Boleh saja Allah memberi anugerah kepadanya dengan apa yang Dia kehendaki sebagaimana Dia memberi anugerah atas Abu Thalib

Selanjutnya al Hafizh menutup syarah riwayat diatas dengan ucapan beliau:

وَتَتِمَّةُ هَذَا أَنْ يَقَعَ التَّفَضُّلُ الْمَذْكُوْرُ إِكْرَامًا لِمَنْ وَقَعَ مِنَ الْكَافِرِ اَلْبِرُّ لَهُ وَنَحْوُ ذَلِكَ ، وَاللهُ أَعْلَمُ.
Melengkapi hal ini, pemberian anugerah tersebut merupakan bentuk memuliakan kepada manusia, yang mana orang kafir itu berbuat baik kepada orang tersebut dan sebagainya.

Dalam Kitab ‘Arf ut-Ta’rif bil Maulidisysyarif halaman 21, karya al-Hafizh Syamsuddin bin al-Jazari (wafat tahun 823 H) di jelaskan :

وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ أَبَا لَهَبٍ رُؤِيَ بَعْدَ مَوْتِهِ فِي النَّوْمِ ، فَقِيْلَ لَهُ : مَا حَالُكَ ، فَقَالَ فِي النَّارِ ، إِلَّا أَنَّهُ يُخَفَّفُ عَنِّيْ كُلَّ لَيْلَةِ اثْنَيْنِ وَأَمُصُّ مِنْ بَيْنَ أَصْبُعِيْ مَاءً بِقَدْرِ هَذَا – وَأَشَارَ إِلَى نُقْرَةِ إِبْهَامِهِ – وَأَنَّ ذَلِكَ بِإِعْتَاقِيْ لِثُوَيْبَةَ عِنْدَمَا بَشَّرَتْنِيْ بِوِلَادَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِإِرْضَاعِهَا لَهُ

“Abu Lahab diperlihatkan di dalam mimpi setelah ia mati, ditanyakan kepadanya, “Bagaimana keadaanmu?”. Ia menjawab, “Di dalam neraka, hanya saja azabku diringankan setiap malam Senin. Aku menghisap air diantara jari jemariku sekadar ini – ia menunjuk ujung ibu jarinya-. Itu aku dapatkan karena aku memerdekakan Tsuwaibah ketika ia memberikan kabar gembira kepadaku tentang kelahiran Muhammad dan ia menyusukan Muhammad”.

إِذَا كَانَ أَبُوْ لَهَبٍ اَلْكَافِرُ الَّذِيْ نَزَلَ الْقُرْآنُ بِذَمِّهِ جُوْزِيَ فِي النَّارِ بِفَرْحِهِ لَيْلَةَ مَوْلِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَمَا حَالُ الْمُسْلِمِ الْمُوَحِّدِ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَرُّ بِمَوْلِدِهِ وَيَبْذُلُ مَا تَصِلُ إِلَيْهِ قُدْرَتُهُ فِيْ مَحَبَّتِهِ ؛ لَعَمْرِيْ إِنَّمَا يَكُوْنُ جَزَاؤُهُ مِنَ اللهِ الْكَرِيْمِ أَنْ يُدْخِلَهُ بِفَضْلِهِ جَنَّاتِ النَّعِيْمِ

Jika Abu Lahab yang kafir, kecamannya disebutkan dalam al-Qur’an, ia diberi balasan di dalam neraka karena gembiranya pada malam kelahiran Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam,
Lalu bagaimana keadaan orang Islam yang bertauhid dari umat Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, yang mana dia gembira dengan kelahiran Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan memberikan sekedar kemampuannya karena kecintaan kepada beliau,
Maka demi usiaku, balasan bagi orang yang gembira dengan kelahiran Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam dari Allah Yang Maha Kariem adalah memasukkannya dengan anugerah_Nya ke dalam Jannah Na’iem

Adapun orang yang bermimpi bertemu dengan Abu Lahab adalah shahabat Abbas –radhiyallaahu ‘anhu-

Dalam kitab al Bidayah wa an Nihayah juz III halaman 407, karya Al Hafizh Ibnu Katsier (wafat tahun 774 H) dijelaskan:

وَذَكَرَ السُّهَيْلِيُّ وَغَيْرُهُ : أَنَّ الرَّائِيَ لَهُ هُوَ أَخُوْهُ اَلْعَبَّاسُ وَكَانَ ذَلِكَ بَعْدَ سَنَةٍ مِنْ وَفَاةِ أَبِيْ لَهَبٍ بَعْدَ وَقْعَةِ بَدْرٍ

Imam Suhaili dan yang lainnya menuturkan bahwa orang yang bermimpi bertemu Abu Lahab adalah saudaranya, shahabat Abbas.
Hal itu terjadi setelah setahun wafatnya Abu Lahab usai perang Badar.

Al Hafizh Ibnu Hajar (wafat tahun 852 H) berkata, sebagaimana diterangkan oleh al Hafizh As Suyuthi (wafat tahun 911 H) dalam kitab Al Haawi Lil Fataawi juz I halaman 282:

وَ قَدْ ظَهَرَ لِي تَخْرِيجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ وَهُوَ مَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَيْنِ مِنْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَسَأَلَهُمْ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ أَغْرَقَ اللَّهُ فِيهِ فِرْعَوْنَ وَنَجَّى فِيهِ مُوسَى فَنَحْنُ نَصُومُهُ شُكْرًا للهِ تَعَالَى }

Telah tampak bagi saya, mengeluarkan (mendasarkan) amaliyah maulid atas landasan yang kuat, yaitu hadits dalam hadist shahihain (shahih Bukhari dan shahih Muslim) bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, beliau menemukan orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura, maka beliau bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab, “Itu hari dimana Allah menenggelamkan Firaun, menyelamatkan Musa, kami berpuasa sebagai ungkapan syukur kepada Allah Ta’ala.”

فَيُسْتَفَادُ مِنْهُ فِعْلُ الشُّكْرِ لِلَّهِ عَلَى مَا مَنَّ بِهِ فِي يَوْمٍ مُعَيَّنٍ مِنْ إسْدَاءِ نِعْمَةٍ وَدَفْعِ نِقْمَةٍ وَيُعَادُ ذَلِكَ فِي نَظِيرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ كُلِّ سَنَةٍ

Berikut riwayat Imam Muslim tentang berpuasa Asyura yang dilakukan oleh orang Yahudi:

وَحَدَّثَنِيْ ابْنُ أَبِيْ عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَيُّوْبَ عَنْ عَبْدِ الهِة بْنِ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا – أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُوْدَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – « مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوْا هَذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ أَنْجَى الهُْ فِيْهِ مُوْسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوْسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُوْمُهُ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- « فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوْسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.

Telah menceritakan saya, Ibnu Abi Umar, telah menceritakan kami, Sufyan bin Ayyub, dari Abdullah bin Said bin Jubair, dari bapaknya, dari Ibnu Abbas –radhiyallaahu ‘anhumaa- :

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tiba di Madinah mendapati kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Hari apakah ini sehingga kalian berpuasa padanya?” Mereka menjawab: ”Ini adalah hari agung dimana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun beserta kaumnya, lalu Musa berpuasa pada hari itu sebagai ungkapan syukur sehingga kamipun berpuasa.” Maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: ”Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian. Maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam-pun berpuasa dan menyuruh berpuasa hari Asyura”

Sumber:
Shahih Muslim juz III halaman 150, hadits nomor 2714.
Dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa boleh melakukan syukur kepada Allah atas apa yang Dia anugerahkan pada hari tertentu berupa pemberian nikmat dan penyelamatan dari mara bahaya, dan setiap tahun dilakukan setiap bertepatan pada hari itu.

وَالشُّكْرُ لِلَّهِ يَحْصُلُ بِأَنْوَاعِ الْعِبَادَةِ كَالسُّجُودِ وَالصِّيَامِ وَالصَّدَقَةِ وَالتِّلَاوَةِ وَأَيُّ نِعْمَةٍ أَعْظَمُ مِنْ النِّعْمَةِ بِبُرُوزِ هَذَا النَّبِيِّ الَّذِي هُوَ نَبِيُّ الرَّحْمَةِ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ

Bersyukur kepada Allah bisa dicapai dengan macam-macam ibadah, seperti bersujud, berpuasa, bersedekah dan membaca Al Quran.
Nikmat mana yang lebih agung melebihi datangnya Nabi ini pada hari itu. Beliau merupakan rahmat.

وَ عَلَى هَذَا فَيَنْبَغِي أَنْ يُتَحَرَّى الْيَوْمُ بِعَيْنِهِ حَتَّى يُطَابِقَ قِصَّةَ مُوسَى فِي يَوْمِ عَاشُورَاءَ وَمَنْ لَمْ يُلَاحِظْ ذَلِكَ لَا يُبَالِي بِعَمَلِ الْمَوْلِدِ فِي أَيِّ يَوْمٍ مِنْ الشَّهْرِ بَلْ تَوَسَّعَ قَوْمٌ فَنَقَلُوهُ إلَى يَوْمٍ مِنْ السَّنَةِ
….. إلخ

Atas hal yang demikian, maka seyogyanya diusahakan Maulid dilaksanakan pada hari tersebut.
Adapun orang yang tidak memperhatikan hal yang demikian maka dia tidak perduli dalam hari apa dari bulan tersebut dia mengadakan Maulid, bahkan ada orang-orang yang memperluas, mereka memindahkankannya ke hari dari setahun…

Leave your comment here: