KE RELEVANAN ATURAN THOHAROH FIQH DI BANDINGKAN SAINS

KE RELEVANAN ATURAN THOHAROH FIQH DI BANDINGKAN SAINS

ALLLOH                  Banyak dari kita yang terjebak dengan pemahaman tentang thaharoh ala fikih, mencoba menggabung-gabungkan dengan standar thaharoh ala sains yang ketat. Kerancuan pemahaman ini jugalah yang akhirnya menimbulkan perasaan was-was dan keragu-raguan tentang keabsahan thaharoh kita. “Was-was adalah bukti bahwa orang itu kurang ngaji fikihnya,” kata al-Ghazali.

Padahal jika kita berbicara sejarahnya, thoharoh standar sains adalah “adik kelas” dari thoharoh ala fikih. Thoharoh dengan standar sains baru-baru ini saja digalakkan, sementara thoharoh ala fiqh sudah ada sejak lima belas abad lalu.

Thaharoh ala agama Islam adalah yang terbaik standarnya jika dibandingkan agama-agama samawi lain. Coba tengok Yerussalem sebelum jatuh ke tangan orang-orang Nasrani. Yerussalem, meskipun sederhana memiliki sistem sanitasi yang baik ketika dikelola orang-orang Islam. Orang-orang Islam sudah terbiasa menjaga kebersihan. Orang-orang Islam terbiasa berwudhu dan mensucikan tempat-tempat yang najis. Namun setelah Yerussalem jatuh, kota itu konon menjadi kota yang kumuh, karena buruknya standar bersuci ala agama Nasrani. Dalam literatur fikihpun disebutkan, menurut qaul mu’tamad -meskipun kondisi semacam ini, dalam beberapa tempat hanya pernah terjadi pada masa lalu, makruh hukumnya kita memakai perkakas-perkakas yang biasanya dipakai orang-orang ahlul kitab, Yahudi dan Nasrani. Sebab, meskipun kita tidak tahu persisnya perkakas itu najis atau tidak, setidaknya, kuat dugaan perkakas itu dihukumi najis (Periksa: Ibânah Al-Ahkâm: juz 1. hal 33). Sebagai catatan, kaum ahlul kitab, terbiasa mengkonsumsi arak dan daging babi yang dalam Islam dihukumi najis.

Dalam sebuah dialog antara Nabi Muhammad SAW dan Sahabat Abi Tsa’labah RA, Abi Tsa’labah RA pernah langsung bertanya kepada nabi, “Wahai Rasulallah, aku berada di tengah-tengah komunitas orang-orang ahli kitab. Bolehkah aku makan dengan perkakas mereka?’ Rasulallah pun menjawab, ‘Jangan…kecuali tak kau temukan lagi perkakas selain itu, maka basuh dan makanlah menggunakannya’.” (HR. Bukhari Muslim)

Jika dalam literatur fikih, biasanya bab thaharoh hanya dibahas seperlunya, dengan bahasa yang “datar”, di sana dijelaskan bagaimana cara bersuci yang baik dan benar dengan teori standar, maka para ulama tashawuf dalam karya-karya mereka, menggunakan bahasa yang lebih “keras” dan lebih tegas. Beberapa poin dibahas lebih mendalam, karena memang  banyak salah kaprah masyarakat, yang sehingga membutuhkan sedikit uraian lanjutan. Ujung-ujungnya, mereka mempertegas permasalahan was-was, ragu-ragu, yang memang lumrah dialami banyak orang. Sampai-sampai, banyak orang awam, kata Ibn Jauzy, dalam Talbis Iblis, yang berkali-kali membasuh kembali, tempat-tempat yang sebenarnya sudah suci.

Bahkan kata Al-Ghazali, yang terpenting sebenarnya bukan thaharoh jasad, namun thaharoh qalb.

Beliau menghimbau tegas, “Jangan sampai kita terlalu sering ‘meneliti’ tentang keabsahan bersuci kita, yang justru akan mengakibatkan was-was dan akhirnya memberatkan kita sendiri. Ketika kita menemukan beberapa tetes air yang mengenai pakaian kita, dan kita tidak tahu berasal dari mana, anggap saja itu adalah sisa-sisa air cipratan yang suci. Bahkan kalau toh itu selalu membingungkan kita, cipratkan saja air ke pakaian kita agar kita yakin kalau itu adalah air yang suci. Jangan sampai kita biarkan setan menguasai kita dengan was-wasnya.”

Sebenarnya, thaharoh ala fikih sangat sederhana, tidak berbelit-belit dan penuh “kemurahan”. Kita tentu banyak yang sudah tahu, dalam literatur fikih dibahas panjang lebar bab ma’fuwat, apa-apa saja yang ditoleransi ketika bersuci, yang pastinya tak akan kita temukan dalam aturan sains manapun. Dalam aturan sains, najis adalah najis, dan tidak bisa ditoleransi. Harus dibersihkan sampai tak nampak bekasnya. Itu baru, kata mereka, bersih. Dan dalam aturan agama samawi lain, ada najis-najis yang tidak diatur dalam “undang-undang”. Tapi fikih tampil lebih fleksibel. Fikih mentoleransi gejala-gejala yang sudah sangat kaprah dan tidak bisa dihindari, ‘umumul balwa.

Memperbanyak membaca khazanah klasik dan jangan terlalu sering “mempertanyakan kembali” bagaimana thaharoh yang pernah kita lakukan adalah kuncinya. Jangan membawa pemahaman sains dalam thaharoh, karena sebenarnya kedua disiplin ini jauh berbeda. Ibarat menggabungkan antara sastra eropa dan fisika yang jelas tak sejalan. Tidak semua hal bisa, dan harus dibuktikan dimana sisi logisnya.

Seperti dawuh Sayyidina Aly, “Andaikan saja agama bisa difahami dengan akal, niscaya bagian bawah khuff -muzah- lebih layak dibasuh daripada bagian atasnya. Padahal aku telah melihat sendiri, Nabi Muhammad SAW membasuh bagian atas khuffnya.” (HR. Abi Dawud.)

Leave your comment here: