Kode Etik Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Dalam Telaah Fiqh dan Tashawuf

Kode Etik Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Dalam Telaah Fiqh dan Tashawuf

amr

                 “Serulah (manusia) kepada  jalan tuhanmu dengan hikmah (perkataan tegas dan benar yang dapat membedakan antara hak dan batil), dan pengajaran yang baik, serta berdebatlah dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalannya, dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (Qs.an nahl –125).

Semua umat Islam diharuskan mengajak kepada kebaikan dan meninggalkan segala larangan. Begitu banyak dalil, baik dalam Qur’an maupun hadis yang menyebut soal amar ma’ruf nahi munkar, sehingga terjadi banyak pula perbedaan pendapat dan pandangan tentang bagaimana teknis pelaksanaannya di lapangan.

Disebutkan dalam al-Qur’an,

“Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari yang mungkar,dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Ali Imran: 104)

Jika melihat dalam sebab turunnya, ayat tersebut pertama kali ditujukan hanya untuk para Sahabat Nabi. Namun, para ulama mengkaji ayat tersebut berdasarkan kaidah “al-ibrAh bi umumi al-lafdzi la bikhususi as-sabab” bahwa lafadz yang terkandung dalam dalil ini bersifat umum dan mencakup setiap orang Islam, karena berpatokan pada perintah yang bersifat umum dan bukan pada sebab turunnya.

Pengertian ma’ruf dalam ayat di atas adalah segala hal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT, atau hal-hal yang bisa menjadikan semangat untuk mendekatkan diri kepadaNya. Dan, sebaliknya Munkar berarti hal atau perbuatan yang bisa menjauhkan diri dari Allah SWT.

Lebih lanjut perlu kami tambahkan bahwa mungkar ialah segala bentuk kemaksiatan yang ditetapkan oleh syariat Islam berdasarkan nash Qur’an dan Hadis. Tidak peduli apakah kemaksiatan itu dilakukan oleh orang mukalaf (baligh dan berakal) atau yang belum atau tidak mukalaf. Sehingga andaikan ada orang melihat anak kecil yang belum baligh atau orang gila minum arak, maka ia wajib mencegahnya dan menumpahkan araknya, atau melihat orang gila zina dengan hewan, maka ia wajib mencegahnya. Kewajiban itu berlaku bagi orang yang melihat atau mengetahuinya. Tidak peduli apakah kemaksiatan itu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.(Attasry’ al–Jinai [1]: 492, Itti Hafu Sajah al–Muttaqin [7]: 52)

Di dalam hadis, ada pula riwayat tentang amar ma’ruf nahi munkar, diceritakan oleh Abi Said al-Hudzry, menurut Riwayat Imam Muslim:

“Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangan kekuasaanmu, apabila tidak mampu maka dengan lisanmu, dan apabila tidak mampu maka dengan hatimu, dan ini tergolong sangat lemahnya iman.” (HR. Muslim)

Tahapan Amar Ma’ruf.

Ada beberapa langkah atau tahapan yang semestinya dipenuhi oleh orang yang hendak mengamalkan dalil Amar ma’ruf nahi munkar. Mula-mula ialah dengan ucapan sekedar sebagai pemberitahuan bahwa apa yang dilakukannya tidak benar. Tahap kedua ialah dengan menambahkan nasehat-nasehat yang baik, dengan memberikan solusi bagaimana cara terhindar dari tindak kemaksiatan tersebut. Namun jika langkah itu pun tidak memberikan hasil maka perlu diberikan semacam teguran keras berupa peringatan atau ancaman. Dan, jika langkah itupun mentah maka dengan tujuan kebaikan perlu diambil langkah keras berupa tindakan fisik.

Tahapan-tahapan tersebut harus dilakukan secara berurutan dan dengan prosedur yang tidak menyalahi norma dan hukum setempat. Lalu, andaikan kemaksiatan sudah bisa dihentikan dengan langkah pertama dan kedua, maka tidak perlu menggunakan langkah yang ketiga dan keempat. (Tuhfah al-Muhtaj [6]: 30, Ihya’ Ulumudin [2]: 337)

Amar ma’ruf terhadap penguasa

Amar ma’ruf terhadap penguasa bisa dilakukan hanya dengan tahapan pertama dan kedua. Memberitahukan dan menasehatinya dengan lemah lembut dan bijak. Adapun langkah yang ketiga dan keempat tidak perlu dilakukan kecuali jika kita memiliki jabatan yang lebih tinggi di hadapannya. Dan, hendaknya nasehat itu diberikan tidak di hadapan khalayak umum karena kehormatan dan harga diri sang penguasa harus tetap dijaga.

Rassulullah SAW bersabda:

”Barang sapa yang memuliakan penguasa Allah di dunia maka Allah akan memuliakannya di hari kiamat dan barang siapa yang merendahkan penguasa Allah di dunia maka Allah akan merendahkannya di hari kiamat.” (HR. Bukhori dan Ahmad)

Amar Ma’ruf Terhadap Kedua Orang Tua dan Guru

Amar ma’ruf seorang anak terhadap kedua orang tuanya atau seorang murid terhadap gurunnya itu diperbolehkan karena perintah amar ma’ruf umum kepada siapa saja dan terhadap siapa saja. Mungkin hanya dalam cara dan bentuknya yang berbeda-beda supaya nasehat tidak menyinggung perasaan dan lebih mudah untuk diterima semua orang.

Batasan amar ma’ruf terhadap orang tua, ulama masih banyak terjadi perbedaan pendapat. Imam Ghazali mengatakan bahwa seorang anak diperbolehkan memecah alat malahi, menumpahkan arak, atau mengembalikan harta haram yang berada di rumahnya. Meskipun hal ini bisa membuat orang tua marah dan tersinggung. Hal ini diperbolehkan karena tidak dianggap sebagai tindakan mendurhakai orang tua.

Namun, menurut madzhab yang lain seperti madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali tindakan macam di atas itu tidak diperbolehkan. Adapun metode amar ma’ruf menurut pendapat mereka hanya boleh dengan ucapan yang baik. Jika diterima maka: Alhamdullillah, namun jika tidak maka harus diam saja dan lebih banyak berdoa dan memintakan ampunan kepada Allah atas segala kesalahannya.

Seorang anak juga diperbolehkan melaporkan kejelekan orang tuanya kepada orang lain yang dianggap bisa merubah kesaalahannya. Hal ini setelah peringatannya tidak diterima oleh orang tuanya.

Adapun amar ma’ruf seorang murid terhadap guru, istri terhadap suami, pelayan terhadap majikan ini juga dianjurkan, selama tidak ada dugaan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar setelahnya. Maka dari itu di dalam amar ma’ruf lebih dikedepankan kesopanan dan keramahan. Adapun jalan amar ma’ruf yang terdapat ialah dengan bertanya lebih dahulu dengan niat minta petunjuk dan penjelasan. Apabila kesalahan itu karena lupa maka ia bisa ingat dan membenarkannya. Apabila ia melakukannya karena sengaja maka harus dijelaskan dengan baik dan santun.(Mausu’ah Fiqhiyah [17]: 263-264, Bugyah al-Mustarsyidin: 251). Wallahu a’lam bi ash-shawwab.

Leave your comment here: