MEMAHAMI AGAMA DAN NEGARA (KONSEPSI DAN CITA CITA)
Jika disebut negara, pasti ia sebuah teritorial kekuasaan (wilayah) dengan seperangkat perundang-undangan (konstitusi) serta adanya penguasa dan rakyat. Dalam hubungannya dengan agama, negara terasa penting sebagai wasilah pembumian konsepsi-konsepsi dalam ranah kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab dari situ akan dapat dikatakan sejauh mana tingkat kebudayaan dan peradaban suatu bangsa, termasuk seberapa besar refleksi keberagaman ter-ejawatah-kan dalam keseharian sebuah pemeritahan. Semua sangat bergantung kepada kemauannya sebagai penguasa karena annasu ‘ala dini mulukihim/ masyarakat itu cenderung mengikuti pola dan perilaku pemimpinnya.
Tentang negara dengan term seperti di atas, oleh al-Qur’an dinamainya dengan Balad. Dalam sejarah Arab klasik, Irak dan Syam disebut balad. Sedangkan Basra dan Damasqus disebut baldah (daerah tertentu dari suatu balad). Akan halnya Makkad yang disebut balad (Qs ; At Tin : 3) (padahal ia sebuah baladah / kota) lebih bertujuan memuliakan kedudukan kota tersebut (Ibnu Mandzur, Lisanul Arab IV, 62). Menarik untuk dikaji, ternyata balad sebagaimana dimaksudkan dalam (Qs Saba’ : 15), mengandung cita-cita negara Islam (Prof Dr Saiful Hadi Permono, S.H M.A) (Konsepsi Umum, Pemerintahan Islami, 17). Hal ini korelatif dengan keberadaan Madinah yang seringkali dianggap sebagai inti pertama negara Islam, meski dari luar lebih tampak sebagai sebuah negara kota (polis). Tapi ibarat sebuah biji ia kemudian tumbuh dan berkembang menjadi pepohonan yang rindang lengkap dengan buah-buah siap dimakan. Dan ibarat mercusuar, cahayanya begitu menerangi alam/ kehidupan. Memang tidak secara eksplisit al-Qur’an memberikan perhatian seputar bentuk negara (Islam) kecuali sebatas spirit dan prinsip-prinsip dasar dalam bernegara (baca mengelola kekuasaan) seperti prinsip permusyawaratan (QS. 42 : 38) yang dilaksanakan dengan penuh amanah dan menjunjung tinggi rasa keadilan (Qs 4 : 58). Namun tidak berarti hal itu bisa dipahami adanya keterpisahan/dikotomi antara agama dengan negara. Sebab al-Qur’an juga menegaskan bahwa fungsi ke-Rasul-an dan, penurunan kitab- kitab suci samawi adalah agar masing-masing nabi memberi putusan tentang perselisihan (sosial politik) antar manusia (Qs. 2 ; 213) disamping tentu sebagai pemimpin spiritual dengan otoritas tertinggi. Dan itu pula yang dijalani Nabi Dawud as ketika Allah resmi mengangkatnya sebagai khalifah, dengan kekuasaan mengelolah suatu wilayah/bumi (Qs ; 38/Shod ; 26). Penugasan mengelola suatu wilayah (bumi) sebagaimana dimaksud dalam ayat diatas, dapat dipahami sebagai tugas politis dan kekuasaan yg meniscayakan ikatan perjanjian dengan Allah (ahd) disatu pihak dan ikatan perjanjian dengan manusia dipihak lain (baiat) (Qurais Shihab ; 1994). Nabi Muhammad SAW juga merupakan pemimpin dan negarawan, dengan Madinah sebagai pusat pemerintahannya. Aktivitas dan kesibukan pemerintahan saat itu ditandai dengan adanya ;
- Adminitrasi surat menyurat yang dikirim Nabi kepada para adikuasa dan dan raja-raja besar kala itu. Dari isi surat-suratnya terbaca jelas, bahwa Islam (agama) disamping berorientasi kedalam berupa pemantapan akidah, pembinaan syari’ah dan peningkatan ubudiyah/akhlak, juga berorientasi keluar dan bersifat universal, dengan pengertian ingin menata seluruh dunia (baca ; negara) dengan landasan prinsip yang lebih manusiawi, berbudaya, dan berkeadilan.
- Adanya ekspansi teritorial guna pengembangan dan perluasan daerah Islam. Karena Islam tidak dimaksudkan untuk kalangan penganut saja, maka kita melihat adanya perlindungan dan hak-hak khusus yang diberikan Islam untuk pemeluk agama lain yang tunduk dan mengikuti aturan pemerintahan Islam. Jika negara dan imperium sebelum Islam seperti Romawi dan Persi serta Cina dan India ekspansinya selalu menimbulkan dan menyisahkan luka kepedihan dan derita berkepanjangan karena selalu identik dengan pembodohan dan pelecehan harkat kemanusiaan juga sangat eksploitatif dalam menguras kekayaan alam yang dijajahnya serta dengan mengucilkan kaum pribuminya dari komunitas internacional. Maka tidak demikian dengan Islam. Ekspansi Islam justru benar-benar rahmat bagi alam, karena tidak saja mengilhami lahirnya negara-negara baru yang dapat diterima sejajar dan diakui secara internasional, juga mengubah setiap bagian dunia yang dikuasainya menjadi mercusuar ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradaban. Dalam kontek ini sesungguhnya Islam satu-satunya ajaran yang merintis jalan ke suatu arah kehidupan yang mengglobal atas dasar moral dan keimanan kepada Allah sang Tuhan. Bukan globalisasi yang eksploitatif dan sarat kepentingan nafsu, sebagaimana yang terlihat saat ini (Dr A. Rahman Zainuddin, Sub Makalah Sejarah Pemikiran Islam, dari buku Reaktulisasi Islam).
Dari dua aktivitas pemerintahan diatas, tampaklah jelas betapa agama begitu dominan menjiwai semangat ke- tatanegara-an saat itu. Dan itu berlanjut hingga periode ke-kholifah-an sesudah nabi SAW dan pada sebagian era daulah-daulah Islamiyah yang pernah berjaya pada masanya. Alhasil, sistem pemerintahan Islam yang diterapkan saat itu memungkinkan terbangunnya tata dunia baru yang relatif agamis dan sangat memanjakan pemeluknya yang variatif. Para pemikir duniapun mengakui peran besar Islam yang begitu kooperatif dalam tata pergaulan global, bahkan kemajuan Eropa dan Barat saat inipun, sesungguhnya juga buah dari peradaban yang telah dibangun Islam dalam wujud negara agama. Sayang, kedengkian Eropa dan Barat lalu mereduksinya dengan menampilkan corak Islam yang konfrontatif dan dikesankan sebagai agama pedang, perbudakan, dan penghambat kemajuan, karena dianggap anti demokratisasi dan kebebasan. Maka -kata mereka- tidak perlu ada agama dalam negara dalam tata kehidupan negara modern. Parahnya paradigma seperti ini juga diamini oleh sebagian pemikir Islam sendiri, entah karena latah dan mencari sensasi atau demi popularitas dan sesuap nasi. Tapi yang jelas virus sekularisisai itu kini sedang getol-getolnya dibiayai dengan dalih studi dan tranformasi, padahal sesungguhnya meracuni. Disisi lain tatanan sosial-politik yang telah dibangun pemerintahan nabi di Madinah telah menerapkan sistem pendelegasian tugas dan wewenang guna menghindari kebijakan yang sentralistik dan sikap-sikap diktatorial. Dan itulah sesungguhnya suatu entitas sosial-politik dalam arti sebuah negara. Praktis tidak ada celah pemisah antara agama dengan negara sebab antara keduanya bersinergi secara simultan. Karena agama adalah seperangkat hukum Tuhan yang dituangkan dalam kitab suci dan sunnah nabi untuk mengatur kehidupan umat manusia dan bersifat apriori, dalam pengertian bahwa agama tidak digunakan sekedar mempertahankan kekuasaan negara melainkan negaralah yang harus melaksanakan norma agama tersebut. Dalam teori ini tidak ada kekuasaan (baca ; negara) yang superior dihadapan agama tapi yang ada kekuasaan mesti berdasarkan agama serta tunduk dan patuh terhadap norma-norma didalamnya. Wacana tentang agama dan negara seperti ini sesungguhnya telah lama mengemuka dalam ranah pemikiran para tokoh madzab dan sekte-sekte dalam Islam. Tak kurang kaum Sunni, Murjiah, Khowarij, dan Imam Abu Hanifa pun termasuk kelompok yang berpandangan bahwa agama dalam arti syari’ah adalah hukum tertinggi yang harus dijunjung dan dan dijiwai oleh negara, dan bahwa penguasa sesungguhnya adalah Allah dengan nabi Muhammad sebagai wakilnya yang harus ditaati. Dan karena penugasan mengelola kekuasaan (negara) itu bersifat pelimpahan dari penguasa yang sejati, maka logikanya segala kebijakan dan hukum yang diberlakukan harus sejalan dengan yang memberi pelimpahan dan penugasan itu (bedah Al Ahkamu Sulthoniyah Almawardi h. 69).
Dari sini dapat diambil suatu pengertian bahwa negara yang tidak mendasarkan kebijakan, peraturan dan perundangan-undangannya pada konsepsi dan prinsip-prinsip dasar yang Islami dapat dikategorikan sebagai Negara sekuler, meski secara subtansi nilai-nilai agama ter-ejawetah-kan diluar struktur negara, dan meskipun negara itu memenuhi kriteria disebut negara Islam karena kwantitas komunitasnya, seperti Indonesia.