WANITA DAN PERANAN PERANANYA DI DALAM KEHIDUPAN

WANITA DAN PERANAN PERANANYA DI DALAM KEHIDUPAN

WA                  Wanita adalah tiang Negara, apabila baik wanita di suatu negara maka akan baik pulalah Negara tersebut, pun pula sebaliknya. Demikian Islam memberi apresiasi atas kedudukan wanita.

Peranan wanita di pelbagai bidang kehidupan, kiranya tidak perlu diragukan lagi. Bukan hanya di dalam bidang biologis dan alamiah, tetapi di dalam bidang apa saja yang kaum laki-laki punya peranan. Tentu saja ada perbedaan besar dan kecilnya peranan dalam suatu bidang tersebut, sesuai dengan sifat-sifat, kodrat yang berbeda antara wanita dan pria. Dari sini, kita sering terkecoh dengan pemaknaan peranan perempuan. Memang, terkadang aktifitas di luar rumah, atau di organisasi juga penting, tetapi kalau semua itu membuat urusan rumah tangga menjadi terbengkalai, anak-anak tidak terurus sebagaimana mestinya maka kiranya kita perlu berpikir beberapa kali.

Berangkat dari hal tersebut, penulis menganggap perlunya bagi kaum wanita untuk mengetahui peranannya dalam kehidupan bermasyarakat. Bagaimana etika ketika bergaul dan bergaya sesuai dengna norma dan agama. Dengan demikian, emansipasi wanita yang sering dikoar-koarkan akan akan selaras dengan pandangan Islam.

Etika bergaya

Maraknya pelanggaran seks di angkutan umum, pelecehan seksual di kalangan remaja dan sejenisnya bisa saja ditengarahi oleh gaya berpakaian wanita yang mengundang syahwat. Andaikan kaum hawa mau menetapi etika dalam berpakaian, niscaya angka pelecehan atau pemerkosaan akan mengecil. Minimal, bagi wanita, ia menjadi agung dan berwibawa ketika bergaul dalam masyarakat. Berikut cara bergaya yang tepat bagi kaum hawa:

  1. Menutup seluruh anggota badan apabila memungkinkan. Jika tidak –seperti bekerja misalnya, maka berkerudunglah dengan hanya wajah dan telapak tangan yang terlihat.
  2. Pakaian yang digunakan tidak transparan dan tidak menampakkan lekuk tubuh yang bisa mengundang hasrat dan syahwat kaum lelaki.
  3. Tidak berlebihan dalam berhias atau menggunakan parfum yang mencolok aromanya.
  4. Tidak bertutur kata yang lebay atau terlalu genit, karena itu juga membuka peluang kepada semua orang untuk menggoda. (Az-Zawajir [2]: 329, Tafsir Ayat al-Ahkam [2]: 276, Fatawi Fiqhiyah al-Kubro [1]: 201)

 

Aurat Perempuan

Seorang wanita wajib menutupi auratnya agar terhindar dari dosa. Adapun aurat wanita merdeka mempunyai 4 perincian:

  1. Seluruh anggota badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan baik yang luar atau yang dalam. Ini adalah aurat wanita dalam salat, sehingga wajib bagi wanita untuk menutup seluruh auratnya.
  2. Anggota badan yang berada di antara pusar dan lutut. Ini adalah aurat wanita ketika dalam keadaan sendiri (kholwah) atau dengan wanita muslimah lain.
  3. Seluruh anggota badan kecuali yang layak terlihat ketika bekerja, seperti wajah. Ini adalah aurat wanita ketika bersama wanita-wanita kafir.
  4. Seluruh anggota tubuh sampai rambut dan kuku, ini adalah aurat wanita ketika bersama laki-laki lain yang bukan mahramnya. (Nihayah az-Zain: 388)

 

Wanita bercadar

Orang muslimin sepakat untuk menghimbau dan menganjurkan pemerintah agar melarang wanita bepergian dengan aurat atau wajah terbuka. Hal ini bukan dikarenakan mengikuti pendapat wajib bercadar (karena memang masih ada khilaf atau perbedaan pendapat). Namun karena di dalam bercadar terdapat hikmah dan maslahat besar, aman dari fitnah dan lebih menjaga muru’ah seorang wanita. Berangkat dari hal ini, Qadli Iyadl berpendapat bahwasanya menutup wajah bagi wanita pada awalnya tidak wajib, namun kaum lelakilah yang wajib menjaga pandangannya. Dan apabila seorang wanita yakin akan dilihat oleh laki-laki yang bukan muhrimnya, maka dia wajib menutup wajahnya.

Meskipun di dalam kewajiban menutup wajah masih banyak kontroversi, namun dalam penganjurannya tidak ada khilaf. Semua sepakat karena begitu banyaknya kemaslahatan di dalamnya. (Khasiyah Jamal ‘ala al-Manhaj [4]: 123).

Catatan: Sebagian ashab Syafi’iyah dan pendapat masyhur ulama Hanafiah mengatakan; Wajah dan kedua telapak tangan bukan termasuk aurat (ketika berada di hadapan laki-laki lain) sehingga bagi wanita sudah dianggap cukup memakai kerudung dan tidak bercadar. Bagi kaum laki-laki boleh melihat apabila tidak ada syahwat (merasa nikmat ketika memandang), tapi apabila syahwat maka haram melihatnya. (I’anah at-Thalibin [3]: 299, Khasiyah al-Bujairimi ‘ala al-Khatib [3]: 372, Al-Fatawi al-Fiqhiyyah al-Kubra [1]: 199, Az-Zawajir an-istirafi al-Kabair [2]: 72, Fatawi Syariyah [1]: 129)

 

Wanita karir

Kebutuhan keluarga terkadang memaksa segalanya. Keberadaan wanita yang semestinya harus menetap di rumah (mulazamat al-askan), terkadang harus keluar rumah demi mempertahankan agar dapur bisa terus mengepul. Hal ini bisa terjadi karena suami sakit atau tidak memiliki pekerjaan yang mampu mencukupi kebutuhan keluarga, lantas bagaimanakah hukumnya wanita bekerja?

Pada dasarnya, nafkah adalah kewajiban dan tanggung jawab suami. Namun apabila suami fakir atau tidak mampu menafkahi (sementara sang istri ridla tanpa dinafkahi), maka sang istri boleh keluar rumah untuk bekerja atau berdagang. Bagi sang suami yang memang tidak bisa sama sekali menafkahi atau bisa tapi tidak mencukupi kebutuhan (seperti dia sedang sakit) maka ia tidak boleh mencegahnya keluar rumah.

Diperbolehkannya istri kerja keluar rumah itu terbatas hanya siang hari, apabila malam tiba maka dia harus pulang. Karena sang suami masih berhak mendapatkan layanan biologis atau lainnya di malam hari. Lain itu, malam adalah waktu yang membahayakan bagi wanita karena tindak kejahatan rawan terjadi saat malam. (I’anah at-Thalibin [4]: 92, Hasyiyah Bujarimi ala Minhaj [4]: 139).

Wanita juru dakwah

Amar ma’ruf dan nahi munkar adalah kewajiban semua umat Islam. Berdakwah  dengan tujuan menegakkan kalimat Allah dianjurkan kepada semua umat. Hal ini tidak terkhusus pada mereka yang berilmu tinggi atau ulama dengan derajat yang luhur. Akan tetapi, semua harus berdakwah sesuai dengan kadar kemampuannya, karena Rasulullah  berpesan “Sampaikanlah (ajarkan) dariku mesti hanya sepotong ayat”.

Orang yang berdakwah  dianjurkan, hendaknya memahami dan mengetahui apa yang akan di sampaikan. Hal ini supaya tidak terjadi kesalahan fatal dalam berdakwah apalagi jika menyangkut syariat,  lebih baik menjawab “tidak tahu” dari pada harus memaksakan jawaban yang tahu kejelasannya. Di samping itu, hendaknya juga para pendakwah adalah mukallafin (muslim, berakal dan baligh). Tidak ada pertentangan yang kuat tentang di perbolehkannya wanita untuk turut berdakwah sebagaimana orang laki-laki, karena dalam hal keilmuan –antara laki-laki dan perempuan- berderajat sama.

Namun perlu diingat, kebolehan wanita untuk keluar rumah (baik bekerja tua berdakwah) ini harus menetapi etika-etika sebagaimana di atas. (Fatawi Imam Abdul Halim Mahmud [2]: 189, Mausu’ah fiqhiyyah [10]: 330).

 

Operasi keperawanan

Kecanggihan tekhnologi terkadang membuat manusia lupa diri, termasuk keinginan sebagian wanita yang ingin selalu perawan dengan operasi. Memang sejauh ini belum di temukan secara pasti efek negatif dalam operasi keperawanan. Namun dalam bingkai syariat setidaknya ada beberapa pelanggaran yang terjadi dalam hal tersebut.

  1. Tadlis (menyembunyikan aib dalam hal pernikahan)
  2. Belum mencapai sebuah derajat suatu alasan untuk melakukan operasi.
  3. Belum cukup alasan untuk di perbolehkanya membuka aurat, meski dokternya perempuan.
  4. Akan terjadi percampuran nasab, hal ini ketika ia operasi saat hamil muda dengan suami pertama, kemudian setelah operasi dia kawin lagi dengan suami kedua.
  5. Ada unsur pengakuan atas kemungkaran. Karena keperawanan bisa di kembalikan, maka akan membuka peluang bagi remaja untuk berzina, tanpa harus memikirkan mahkota keperawanan.
  6. Tidak ada pengakuan dari syariat (ilegal) dan banyaknya dampak yang ditimbulkan, seperti dokter dapat dengan seenaknya menggugurkan kandungan karena bukti ia masih perawan.

Adapun hukum janda yang berhasil mengembalikan keperawanannya sesuai vonis dokter, maka statusnya tidak berubah. Karena yang dimaksud janda ialah  wanita yang sudah hilang keperawanannya karena hubungan intim, baik dengan jalan yang halal (suami), atau tidak halal (zina). Dan termasuk kategori janda di sini ialah janda yang keperawanannya di kembalikan lagi. (Al–Bajuri [2]: 109, Al–Azaz [7]: 482, Al–Kamal Jirahah Attibiyah: 428-429).

 

Leave your comment here: