AGAR LIBURAN KITA SEMAKIN BERKAH DAN SESUAI SYARI’AH

AGAR LIBURAN KITA SEMAKIN BERKAH DAN SESUAI SYARI’AH

  LIB              Saat kita hendak memutuskan kagiatan apa sajakah yang mau dikerjakan untuk mengisi waktu liburan, tentunya pilihan yang kita buat harus tetap bersandarkan pada aturan yang telah ditetapkan Allah. Sebagai seorang muslim, kewajiban kita adalah senantiasa taat pada Rabb-kita. Salah satu pilihan yang mungkin populer ialah wisata alam bersama teman-teman. Heeem, jujur deh, selama ini terpikir tidak dalam benak kita, bahwa wisata itu boleh apa tidak dalam islam? Heehe… Sama-sama mari kita cari tahu jawabannya.

Wisata dalam Islam, Bolehkah?
Pertama kita cari tahu dulu asal-usul kata wisata itu sendiri. Wisata secara harfiah atau bahasa memiliki banyak arti. Tetapi pemahaman akan wisata saat ini lebih dikhususkan pada kegiatan mengunjungi suatu wilayah (objek wisata) atau negara untuk rekreasi atau untuk melihat-lihat, mencari, menyaksikan (sesuatu), dan sejenisnya, bukan untuk bekerja dan menetap (kitab Al-Mu’jam Al-Wasith, 469).

Karena yang menjadi standar acuan perbuatan setiap muslim adalah hukum syara’, sekarang kita cermati bagaimana wisata dalam pandangan syara’ (islam).

Istilah wisata bukan hal baru dalam islam, umat terdahulu sudah mengenal istilah ini namun dengan pemahaman yang jauh berbeda. Mereka memahami wisata dikaitkan dengan upaya mujahadah dan mengharuskannya untuk berjalan di muka bumi, serta membuat badan letih sebagai hukuman baginya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Hani dari Ahmad bin Hanbal, beliau ditanya tentang seseorang yang bepergian atau bermukim di suatu kota, mana yang lebih anda sukai? Beliau menjawab: “Wisata tidak ada sedikit pun dalam Islam, tidak juga perilaku para nabi dan orang-orang saleh.” (Talbis Iblis, 340). Ibnu Rajab mengomentari perkataan Imam Ahmad dengan mengatakan: “Wisata dengan pemahaman   ini telah dilakukan oleh sekelompok orang yang dikenal suka beribadah dan bersungguh-sungguh tanpa didasari ilmu. Di antara mereka ada yang kembali ketika mengetahui hal itu” (Fathul-Bari, karangan Ibnu Rajab, 1/56).

Jadi, disini ada beberapa penafsiran terkait dengan kata ‘wisata’. Para ulama terdahulu, mengharamkan ‘wisata’ dalam artian untuk melakukan sebagaimana di atas. Kemudian, islam meluruskan pemahaman negatif yang berlawanan dengan (makna) wisata serta mengaitkannya dengan tujuan-tujuan yang mulia seperti :

 Mengaitkan wisata dengan ibadah, sehingga mengharuskan adanya safar (wisata) untuk menunaikan haji pada bulan-bulan tertentu; wisata dikaitkan dengan ilmu dan pengetahuan seperti kisah orang yang melakukan perjalanan hanya untuk mendapatkan dan mencari satu hadits saja; wisata untuk mengambil pelajaran dan peringatan.

Allah SWT. berfirman,

“Katakanlah: ‘Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu” (QS. Al-An’am : 11);

Wisata dalam artian berdakwah kepada Allah Ta’ala seperti yang dilakukan para Rasul dan sahabat dengan menyebar hingga ke ujung dunia untuk mengajarkan kebaikan kepada manusia; serta wisata (tafakur alam) untuk merenungi keindahan ciptaan Allah SWT. dan memotivasi (refreshing jiwa) untuk memulai semangat kerja baru.

Dari sini sudah cukup jelas bagaimana islam memandang wisata. Wisata boleh dilakukan oleh seorang muslim, bahkan perlu untuk tujuan-tujuan tertentu seperti penjabaran di atas. Namun wisata akan menjadi haram jika tanpa disertai ilmu seperti berwisata disertai dengan aktivitas yang mengandung maksiat.


Objek Wisata yang Boleh Dikunjungi?
Sebagai seorang muslim yang terikat pada hukum syara’, kita memang harus senantiasa memperhatikan setiap pilihan yang akan kita kerjakan termasuk berwisata dan memilih objek wisata.

Pertama, kita tidak boleh mengunjungi tempat wisata yang mengandung hadlarah seperti melakukan wisata religi dengan maksud mengagungkan tempat tersebut, menyaksikan tempat-tempat   peninggalan kuno terutama peninggalan yang diagungkan manusia yang akan berdampak pada bentuk kesyirikan, kunjungan ke tempat-tempat suci agama lain seperti Vatikan atau patung Budha, candi, dan sejenisnya.

Kedua, dilarang berkunjung ke bekas peninggalan umat terdahulu dan situs-situs kuno yang merupakan bekas tempat turunnya azab, atau tempat suatu kaum dibinasakan sebab kekufurannya kepada Allah SWT.

Rasul SAW bersabda: “Janganlah  kalian memasuki tempat tinggal orang-orang yang telah menzalimi dirinya, khawatir kalian tertimpa seperti yang menimpa mereka,   kecuali kalian dalam kondisi manangis. Lalu beliau menundukkan kepala dan berjalan cepat sampai melewati sungai.” (HR. Bukhari, no. 3200 dan Muslim, no. 2980).

Ketiga, sudah pasti bahwa ajaran islam melarang wisata ke tempat-tempat rusak yang terdapat minuman keras, perzinaan, berbagai kemaksiatan seperti di pinggir pantai yang bebas, pesta perayaan tahun baru, dan tempat-tempat kemaksiatan. Atau juga diharamkan safar (wisata) untuk mengadakan perayaan bid’ah seperti menyaksikan upacara adat, acara kebudayaan agama/kaum tertentu, dan sejenisnya.

Bagaimana kalau Harus Menginap Beberapa Hari?
Menginap beberapa hari? itu berarti melakukan perjalanan jauh (keluar dari rumah) lebih dari 24 jam. Ternyata islam juga punya solusi atas permasalahan ini.

Banyak hadits yang meriwayatkan bagaimana status seorang wanita yang melakukan perjalanan jauh dalam jangka waktu tertentu.

Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda, ”Tidaklah halal bagi wanita muslimah melakukan perjalanan satu malam (masirat lailat), kecuali ditemani (wa ma’aha) seorang laki-laki (rajul) dzu hurmat-nya” (Shahih Muslim nomor 3266. Sunan Abu Dawud nomor 1723).

Mahram disini adalah suami dan laki-laki yang haram untuk dinikahi seorang perempuan, seperti ayah, paman, atau saudara laki-laki. Kalau berwisatanya hanya dilakukan bersama teman-teman perempuan saja bagaimana?, dan jumlahnya juga lebih dari satu, apakah masih perlu adanya mahram? Jawabannya perlu! Seperti kisah Umar yang mengutus orang laki-laki, dan bukan wanita, untuk menemani isteri-isteri Nabi yang sedang berhaji, dan kondisinya para isteri Nabi itu sudah bersama-sama (lebih dari satu). Sehingga jika yang bepergian itu wanita saja berapapun jumlahnya, pada dasarnya tetap perlu orang laki-laki (mahram) untuk menemaninya.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa harus mahram? Jawabnya adalah agar tidak terjadi khalwah (berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan mahram). Apalagi kalau wisata tersebut tidak hanya diikuti teman perempuan saja tetapi juga ada teman laki-laki. Karena dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah dan perbuatan yang dilarang syariat.

“Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (Al-Isra : 32).

Kegiatan wisata pada dasarnya boleh untuk dilaksanakan, tetapi menjadi haram jika di dalamnya terdapat pergaulan bebas antara lelaki dan perempuan, musik yang melalaikan dan tarian yang merangsang nafsu, pakaian yang tidak senonoh dan memaparkan aurat, liburan yang melalaikan melaksanakan ibadah, liburan yang diiringi minuman keras dan narkoba, dan liburan yang menyebabkan syirik kepada Allah SWT.

Meraih Berkah Selama Liburan
Islam hadir untuk menyelesaikan problematika hidup manusia. Islam merupakan agama dan sistim hidup yang sempurna, memahami kebutuhan manusia berdasarkan kecenderungan-kecenderungan dalam diri manusia (nafsu dan kebutuhan jasmani). Islam mengakui fitrah dan instink manusia sebagai makhluk ciptaan Allah, makhluk yang suka bergembira, bersenang-senang, dan bermain-main, sebagaimana mereka diciptakan sebagai mahluk yang suka makan dan minum. Agar liburan kita tidak sia-sia dan tetap mendapat berkah dari Allah, maka ada banyak pilihan kegiatan yang bisa kita lakukan untuk mengisi liburan selain hanya bersenang-senang semata :

–    Liburan, waktu berbagi dengan keluarga :
Selama satu semester mungkin lebih, kita disibukkan dengan berbagai macam aktivitas kuliah dan belajar. Pernahkah kita berfikir sejenak, mungkin ayah dan bunda sangat merindukan perhatian kita. Jadi tidak ada salahnya, kita luangkan waktu dan perhatian kita untuk orang tua, dan memperbaiki komunikasi kita dengan mereka. Membantu aktivitas dan meringankan pekerjaan beliau dirumah.

–    Jalin silaturahmi dengan saudara dan kerabat :
Kalau mungkin liburan ini belum bisa pulang kampung, bukan berarti peluang pahala lenyap begitu saja. Mari sejenak kita luangkan waktu untuk mengunjungi saudara, kerabat, dan teman-teman kita. Menjalin kembali hubungan silaturahmi dengan sesama umat muslim itu sangat mulia di hadapan Allah.

–    Liburan, momen tingkatkan kualitas diri!
Jangan sia-siakan liburanmu hanya sekedar untuk bersenang-senang yang berujung pada maksiat. Dengan memperbanyak membaca dan juga belajar berkoreksi diri akan menjadikan kita semakin bisa menaikan kualitas diri kita.

–    Tafakkur alam, Taqqorub Ilalloh
Tafakur yang menurut bahasa berasal dari bahasa arab, berasal dari kata tafakkaro, watafakkaru, yang artinya berpikir  atau memikirkan.

Luruskan kembali niat kita dalam berwisata alam, bukan untuk mengarah pada maksiat atau menyia-nyiakan waktu, namun berwisata sekaligus memikirkan tentang segala hasil ciptaan Alloh SWT (tafakkur alam).

Leave your comment here: