CINTA TUHAN ADALAH AKAR CINTA DAN KASIH ANTAR SESAMA MAKHLUK

SEKILAS, tesis Wilson, seorang novelis berkebangsaan Inggris, dalam mukaddimah bukunya Against Religion, Why We Should Try to Live Without It tersebut berbau penghujatan telak terhadap agama. Cinta kepada Tuhan dideklarasikan sebagai akar segala kejahatan. Watak agama yang selalu mengajak pada yang paling luhur, paling murni, dan paling tinggi di dalam jiwa manusia, adalah akar tragedi umat manusia.
Semua agama turut bertanggungjawab atas berbagai peperangan, tirani, dan penindasan terhadap kebenaran. Bukan candu yang membuat orang tertidur seperti dikatakan Karl Marx, tetapi agama membangunkan dan menggerakkan orang untuk menganiaya sesamanya. Agama mendorong orang mengagungkan perasaan dan pendapat pribadi untuk mengklaim kebenaran ada di genggamannya.
Meski penuh rasa curiga, kini kita nyaris tidak bisa mengelak dari pernyataan Wilson. Kontestasi fundamentalisme-radikalisme di tengah kehidupan beragama diam-diam memberikan keabsahan terhadap sikap pesimistik sekaligus pemberontakan Wilson terhadap agama. Keonaran berlabel agama telah memperumit kondisi sosial dan kebangsaan terkini, dan karenanya cara pandang biner–saling bernegasi dan berkontradiksi–terus berkembang dalam pandangan dunia insan beragama.
Dilema ini mendapat perhatian Nurcholis Madjid (Ulumul Qur‘an No 1 Vol IV, 1993: 7). Menurutnya, memang makin baik jika manusia makin yakin kepada agamanya. Tetapi, celakanya “orang baik” itu justru akan makin kuat membenarkan dirinya untuk tidak toleran pada orang lain. “Orang baik” model ini justru menjadi sumber keonaran karena mengabsahkan keyakinannya untuk mengejar-ngejar orang yang tidak sepaham dengannya.
Ya, pandangan Wilson tersebut merupakan pengingatan kepada umat manusia untuk merenungkan cara mereka beragama, cara mencintai Tuhannya, dan cara memanifestasikan loyalitas kepada agamanya. Tetapi, argumen Wilson juga sah untuk dibalikkan atau didekonstruksi. Dekonstruksi yang diproklamasikan oleh Jacques Derrida, filsuf Prancis, adalah metode membaca dan menggumuli teks. Suatu kerja interpretasi yang hendak menafikan kebenaran makna absolut, serta menelanjangi agenda-agenda terselubung yang memuat banyak kepincangan di balik teks (Christopher Norris, 2008: 13).
Dalam konteks diskursus ini, ikhtiarnya adalah untuk membangun ulang kerangka pikir atau logika agama yang lebih optimistik dalam meramalkan realitas kemanusiaan di masa datang. Konsepsi “Cinta kepada Tuhan” sangat mungkin dijadikan landasan “Cinta kepada Sesama” di kalangan umat beragama. Cinta kepada Tuhan bisa diabstraksikan secara luas pada praktik-praktik sosial keagamaan yang inklusif, toleran, cinta damai, serta cinta kasih antarsesama manusia. Patutnya cinta kepada Tuhan bukan sekadar obsesi untuk “menyucikan” atau “menyanjung” Tuhan, melainkan juga berorientasi pada ranah antroposentris: memartabatkan manusia berdasarkan konsep cinta yang rahmatan lil ‘alamin.
Imago Dei
Kajian Imago Dei (Citra Tuhan) sudah berkembang sejak tradisi Yudaisme, Kristiani, hingga Islam. Dalam Kitab Perjanjian Lama (Genesis I) dinyatakan bahwa Tuhan menciptakan Adam dalam citraNya. Tradisi Kristiani menafsirkan citra Tuhan itu diaktualisasikan melalui Yesus Kristus. Islam pun mengenal persepsi Imago Dei tersebut lewat hadits: “Tuhan menciptakan Adam dalam citraNya”. Imago Dei yang membentuk ranah teologi antroposentris ini juga ditemukan dalam Al Quran seperti istilah “Tangan Tuhan” atau “Wajah Tuhan”. (Masataka Takeshita, 2005: 12-24).
Konsep citra Tuhan berkembang dalam teologi emanasi yang dikawal ketat oleh aliran neoplatonisme. Teori emanasi memandang manusia, juga alam semesta, adalah abstraksi atau pancaran Dzat-Nya. Dunia dan alam semesta seolah “Topeng Tuhan”. Begitu juga manusia seolah bentuk “Topeng Tuhan”. Jika topeng dilepas, ia tidak berarti apa-apa lagi kecuali Dzat (eksistensi dan esensi) Tuhan itu sendiri.
Maka sejatinya manusia bisa menemukan Tuhan di dalam penubuhan ciptaanNya. Memandang orang lain dengan kesadaran profetik akan memunculkan keinsyafan religius, bahwasanya orang lain atau liyan (the other) merupakan bagian dari kemanunggalan diri kita sendiri, juga kemanunggalan Tuhan dengan ciptaan-Nya. Perspektif emanasi dalam memandang orang lain semacam ini menjaga seseorang tidak terjerumus dalam logika biner yang menganggap orang lain adalah negasi dari diri kita: aku subyek dia obyek, aku benar dia salah.
Cinta, Wajah dan Keterlibatan
Paradigma kemanunggalan ini akan makin genap dan lengkap dengan bangunan cinta. Sifat-sifat nasut (kemanusiaa) Tuhan yang berciri humanistik seperti al-Rahman (Yang Pengasih) dan al-Rahim (Yang Penyayang) harus diinsyafi sebagai prototipe watak manusia rasional yang menganut silsilah Adam sebagai proklamator monoteisme yang di belakangnya ada Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad. Cinta mendorong manusia untuk berbuat indah, baik, dan benar. Cinta akan membentengi manusia dari perilaku pencederaan dan tirani, melainkan perilaku saling memelihara.
Memandang orang lain penuh cinta kasih adalah landasan bagi rasa tanggungjawab dan keterlibatan individu terhadap orang lain di tengah pluralitas. Emanuel Levinas (1906-1995), filsuf Rusia, berpandangan bahwa ketika kita bertemu orang lain, maka sebetulnya kita tidak sekadar berhadapan dengan obyek atau pengada lain, melainkan berhadapan dengan “wajah”. Wajah, bagi Levinas, merupakan medium di mana “yang lain” (the other) memperlihatkan diri.
Wajah melampaui gagasan tentang yang lain dalam diri aku-subyek. Seseorang bisa melihat wajahnya sendiri melalui sebuah cermin, dan wajah orang lain ibarat cermin: ketika seseorang menghadapinya, ia akan menampaki wajahnya sendiri. “Wajah menatap saya dan memanggil saya. Ia menuntut saya. Apa yang ia minta? Jangan tinggalkan ia sendirian” (Thomas Hidya Tjaya, 2010: 7).
Melalui wajah orang lain, kita dapat mengidentifikasi diri sendiri, bertanggungjawab, dan terlibat dengan orang lain. Liyan adalah konsep yang sebenarnya bagian dari dalam diri kita sendiri yang harus digumuli tanpa harus dinegasikan. Wajah orang lain menghadirkan dunia yang kompleks menyangkut diri kita juga yang mesti diperhitungkan.
Insan beragama perlu memandang dan memahami wajah orang lain, serta mengakuinya ada, meski secara fisik tampak berbeda. Wajah orang lain mesti diaffirmasi, bahkan lebih dari itu dicintai, seperti kita mencintai wajah sendiri. Barangkali, cinta kasih terhadap orang lain dan sesama manusia sepadan makna dengan cinta kepada Tuhan. Keliru jika cinta kepada Tuhan malah menimbulkan kebencian terhadap sesama manusia.