MENCOBA MERAIH HIKMAH DI BALIK BERBAGAI MUSIBAH
Bencana demi bencana mendera bangsa kita. Mulai dari kecelakaan pesawat,gempa bumi, gunung meletus, tanah longsor, demam berdarah, banjir bandang. Musibah itu menerpa laksana cerita komik berjilid-jilid. Bala’ seolah tak kenal kata ”stop”. Kita pun kalang kabut.
Walau demikian, kita sebagai muslim tidak boleh putus asa. Kita harus berkhusnuzh zhaan terhadap Allah SWT. Dengan berpikir positif itu, insya Allah kita mampu menguak hikmahnya. Caranya dengan meneliti tiga kemungkinan berikut.
Pertama, musibah-musibah itu adalah ujian dari Allah SWT. Jika ini benar, maka kita harus bersyukur karena itu pertanda Allah SWT akan meningkatkan derajat bangsa kita di mata-Nya jika lulus dalam ujian itu. Kita bisa menyungging senyum karena ”naik kelas” di ”sekolah” Allah SWT setelah sabar mengahadapi tes rentetan musibah itu. Kita pun bisa tertawa lepas setelah menerima ”ijazah” dari ”tangan”-Nya di acara ”wisuda”-Nya di alam fana ini.
Bukan itu saja. Kita juga akan memperoleh limpahan rahmat dan karunia-Nya yang tanpa batas dalam berbagai bentuk. Alam yang makin tertata rapi dan subur kembali. Iklim yang kembali normal dan bersahabat. Hujan tanpa angin kencang, badai, atau banjir. Kemarau tanpa kekeringan atau kebakaran hutan. Hadirnya pemimpin yang adil yang mampu mewujudkan bangsa dan negara menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur. Dan banyak lagi hikmah yang akan kita terima. Sungguh, nikmat yang tiada tara bila musibah itu semata-mata tes dari Allah SWT. Karena, bila kita mampu melewatinya dengan sabar, pasti rahmat-Nya melimpah ruah di Negeri Gemah Ripah Loh Jinawi tercinta.
Kemungkinan kedua, musibah itu peringatan Allah SWT. Jika ini yang benar, maka itu artinya kita harus segera mawas diri. Apa yang telah kita perbuat hingga Dia memukulkan ”cambuk kecil”-Nya. Mungkin kita mengaku Islam, namun belum kaffah. Islamnya masih sebatas Islam-KTP. Kita harus berani meneliti di mana bercak-bercak diri berada. Kemudian, kita bersihkan dosa-dosa itu dengan amal ‘ubudiyyah yang bernuansa taubatan nasuha. Insya Allah, DIA yang Maha Pengampun berkenan memberikan ”penghapus”-Nya untuk kita pinjam menghapus noda-noda diri.
Yang harus sangat kita khawatirkan adalah jangan-jangan malah kemungkinan ketiga yang terjadi. Musibah itu azab! Kalau ini yang terjadi, maka harus ada akselerasi taubat kepada-Nya. Kita harus terus-menerus memohon ampunan-Nya atas dosa yang telah kita perbuat. Sekecil apa pun dosa itu harus kita istighfari setiap hari. Dengan demikian, terciptalah gerakan taubat secara individual warga yang menasional kepada Allah SWT. Syukur-syukur bila ada political will dari Pemerintah dengan menggelar acara taubatan nasuha skala nasional di tempat dan pada saat yang sama secara berjamaah kemudian dilanjutkan dengan taubat harian secara pribadi.
Langkah taubat nasional itu tampaknya sudah merupakan harga mati. Kita memang harus mengakui betapa banyak dosa yang telah kita perbuat. Kemudian, kita pun harus menyesali dosa yang kian hari makin menumpuk, menggunung, bahkan melimpah ruah bak air bah di samudra. Wujud penyesalan itu kita tumpahkan dalam bentuk linangan air mata yang tulus di hadapan Allah SWT saat qiyam al lail, shalat tahajud, atau pun shalat taubat.
Langkah terakhir dari ritual taubatan nashuha adalah berjanji sepenuh hati tidak akan mengulangi perbuatan dosa itu. Kita berjanji untuk tidak terperosok ke jurang nista yang sama untuk kedua kali. Cukup sampai di sini saja laku kotor itu. Kita berjanji tidak meneruskan tingkah terkutuk yang bikin kita kian terpuruk.
Wujudnya, kita jangan lagi melakukan illegal logging yang membabi buta itu. Ingatlah, kita ini manusia. Bukan babi yang buta! Kita pun jangan mendukung, apalagi melakukan dan memperjuangkan pornografi dan pornoaksi di Indonesia yang agamis ini, sebab itu bak mempertemukan anjing dan kucing. Kita juga harus antikorupsi sebab korupsi membangkrutkan negara. Kita yang mengaku umat beragama Islam, wujudkan amaliah ke-Islaman itu dalam kehidupan sehari-hari. Jangan hanya mengaku Islam, tapi tidak shalat, enggan berzakat, tak sudi mengaji, bahkan malah korupsi.
Masih banyak lagi kemaksiatan yang harus kita hindari dan ”perangi” setiap hari, baik dengan tangan atau kekuasaan yang sesuai tingkat kekuasaan yang diamanatkan dan dilekatkan Allah SWT pada diri kita. Bisa juga mencegah maksiat itu dengan lisan berupa nasihat yang bijaksana kepada saudara-saudara kita yang masih belum mau bertobat. Atau minimal dengan menyatakan ingkar terhadap kemaksiatan itu di dalam hati meskipun langkah terakhir ini mengindikasikan lemahnya iman kita. Pokoknya, paling tidak kita tidak bermaksiat, bahkan bisa mengingkari dalam hati dan mencegahnya dengan kekuasaan.
Akhirnya, kita memohon kepada Allah SWT agar berkenan menerima taubat total kita semua, baik secara individual maupun nasional, agar kita dapat menuai hikmah dari musibah. Amin, ya rabbal ‘alamin.