URAIAN SINGKAT AKAR KATA CINTA DAN MAKNA MAKNANYA

URAIAN SINGKAT AKAR KATA CINTA DAN MAKNA MAKNANYA

   ALLOHU                 Menurut suatu pendapat, makna asal mahabbah adalah jernih, karena orang Arab menyebut gigi yang putih lagi bersih dengan sebutan hababul asnan. Menurut pendapat yang lain, makna asalnya diambil dari al-habaab yang jartinya gelembung yang timbul di permukaan air manakala hujan sangat lebat. Berdasarkan pengertian ini, mahabbah berarti gelora kalbu saat terguncang oleh kerinduan untuk bersua dengan sang kekasih. Menurut pendapat yang lain, mahabbah berakar dari makna tetap dan mapan. Dikatakan ahabbal ba’iiru apabila seekor unta tetap mendekam (menderumkan dirinya) dan tidak mau bangkit, seperti pengertian yang disebutkan oleh Abu Muhammad Al-Faq’asi dalam bait syairnya:

Kautimpakan pukulan bertubi-tubi pada keledaimu di padang sahara
seperti memukul unta yang mendekam tidak mau bangkit

Seakan-akan orang yang dicintai menetap dan bersemi di dalam kalbu orang yang mencintainya tanpa mau beranjak darinya. Pendapat lain menyebutkan hal lainnya, yaitu berasal dari kegelisahan dan keguncangan. Oleh karena itulah, anting-anting disebut hibbun karena selalu bergoyang dan bergetar di telinga, seperti yang dikatakan oleh seorang penggembala dari Bani Numair dalam bait syairnya:

Semalaman ular derik berada di dekatnya
seraya menggoyangkan ekornya memperdengarkan suara deriknya

Pendapat lain menyebutkan bahwa sebenarnya mahabbah diambil dari kata habbun bentuk jamak dari habbatun, artinya benih sesuatu dan asal mulanya, karena sesungguhnya habbun adalah bibit tanaman dan pepohonan. Pendapat yang lainnya lagi menyebutkan bahwa cinta berasal dari hubbun yang mengandung arti bejana besar yang penuh berisi sesuatu sehingga tidak dapat memuat lainnya lagi. Begitu pula halnya kalbu orang yang dimabuk asmara, tidaklah ia memuat selain orang yang dicintainya. Pendapat yang lain menyebutkan bahwa cinta berasal dari kata hubbun yang artinya penopang sesuatu yang berbentuk empat buah dari batang kayu untuk menyangga kendil atau wadah lainnya. Oleh karena itulah, cinta disebut hubbun karena orang yang dimabuk cinta dapat menahan beban berat demi orang yang dicintainya, sebagaimana penopang kayu dapat menahan wadah yang diletakkan di atasnya. Menurut pendapat lainnya lagi, bahwa cinta berasal dari buah hati yang artinya kandungan lubuknya yang paling dalam. Pengertiannya mirip dengan apa yang dikatakan oleh mereka zhoharohu apabila mengenai punggungnya; ro-asahu apabila mengenai kepalanya; ro-aahu apabila mengenai paru-parunya; dan bathonahu apabila mengenai perutnya. Akan tetapi, makna semua kata kerja tersebut mengandung arti mengenanya pengaruh yang ditimbulkan oleh fa’il (pelaku) kepada maf’ul (objek) yang dikenainya; berbeda halnya dengan mahabbah atau cinta, maka pengaruhnya hanyalah dirasakan oleh pelakunya yang dimabuk asmara.

Sesudah itu perlu diketahui bahwa kata cinta dalam bahasa Arabnya mempunyai dua dialek, yaitu habba dan ahabba, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Ghailan bin Syuja’ an-Nahsyali dalam bait syairnya:

Kusukai Abu Marwan karena buah kurmanya
dan kusadari bahwa sikap lemah-lembut kepada seseorang akan berbuah kasih sayang
Padahal demi Allah, seandainya dia tidak punya buah kurma, tentulah aku tidak menyukainya,
bahkan dia kuanggap tak ubahnya seperti ‘Ubaid dan Musyriq.

Hal yang sama telah dikatakan oleh al-Jauhari dalam bait syair gubahannya yang menghimpun kedua dialek ini. Akan tetapi, ditinjau dari fi’il (kata kerja) dan fa’il-nya (subjeknya), mereka lebih banyak menggunakan fi’il ruba’i (kata [kerja] yang terdiri dari empat huruf). Untuk itu, mereka sebutkan kata kerjanya ahabba dan yuhibbu, sedang untuk subjeknya adalah mihibbun. Adapun ditinjau dari maf’ul-nya (objeknya), mereka lebih banyak menggunakan kata kerja yang berasal dari tiga huruf; untuk itu, mereka mengatakan mahbuubun bukan muhabbun, kecuali hanya jarang seperti dalam ucapan penyair berikut:

Sesungguhnya engkau telah turun istirahat,
maka janganlah engkau mengira diriku
seperti orang yang layak untuk dicintai dan dihormati.

Ini berasal dari kata kerja af’ala. Adapun kata habiib, maka mereka banyak menggunakannya untuk arti orang yang dicintai, seperti dalam ucapan seorang penyair:

Aku mengunjungi Laila bukan karena ingin agar dia mencintaiku
dan bukan pula karena menagih utangku.

Akan tetapi, ada kalanya mereka menggunakannya untuk makna muhibbun, orang yang mencintai, seperti yang terdapat dalam ucapan penyair berikut:

Tidaklah sekali-kali jiwa ini berpaling darimu karena kurangnya perhatiannya kepadamu
dan tidak pula karena kamu tidak berada dalam hatinya.
Akan tetapi, mereka, wahai manusia yang paling baik,
jika aku datang kepadamu, pasti memberikan komentarnya: “Orang ini mencintainya.”

Namun demikian, lafazh ini bisa saja diartikan mahbub (orang yang dicintai) dan bisa pula diartikan muhibbun (orang yang mencintai).

Adapun mengenai lafazh hibbun dengan huruf ha yang dikasrahkan, maka ini merupakan salah satu dialek dari dialek yang artinya sama dengan hubbun (cinta) dan kebanyakan penggunaannya bermakna mahbuubun (orang yang dicintai). Dalam kamus Ash-Shihaah disebutkan bahwa hubbun, mahabbatun, begitu pula hibbun dengan kasrah. Lafazh hibbun juga mempunyai arti habiibun, seperti khidnin (teman) menjadi khodiin. Menurut hemat saya, sama dengan dzibhun (sembelihan) yang berarti madzbuuhun (yang disembelih), nihbun (yang dirampok) yang berarti manhuubun, dan risyqun (yang ditembak) yang berarti marsyuuqun. Termasuk ke dalam bab ini lafazh sibbun yang dapat digunakan, baik untuk isim fa’il maupun isim maf’ul. Abu ‘Ubaid mengatakan bahwa as-sibbu dengan kasrah artinya banyak mencela. Al-Jauhari mengatakan: “Sibbukalladzii yusaabbuka,” artinya kamu dicaci karena banyak mencaci. Hassan mengatakan dalam salah satu bait syairnya:

Jangan sekali-kali engkau mencaciku, aku bukanlah orang yang pantas untuk dicaci,
sesungguhnya yang layak mencaciku hanyalah orang-orang yang mulia.

Yang benar nama penyairnya adalah ‘Abdur Rahman bin Hassan. Penggunaan lafazh hibbun ini ada kalanya dipersekutukan oleh bentuk mashdar dan bentuk isim maf’ul-nya, seperti rizqun. Mereka memberi harakat dhammah pada huruf ha bentuk mashdarnya, karena mengandung faidah yang lembut. Demikian itu karena harakat kasrah lebih ringan diucapkan oleh lisan daripada harakat dhammah, sedang lafazh mahbuubun (orang yang dicintai) terasa lebih berkenan dalam hati daripada lafazh hubbun, maka mereka membubuhkan harakat yang ringan untuk memberikan makna yang ringan dan harakat yang berat untuk makna yang berat. Dikatakan ahabbahu, hubban, dan mahabbatan, selanjutnya lafazh mahbuubun menjadi induk dalam istilah ini.

  1. AL-MAHABBAH (cinta)

Banyak pendapat yang dikemukakan di kalangan ahli bahasa sehubungan dengan definisi mahabbah alias cinta ini.

  1. Cinta adalah kecenderungan permanen yang dialami oleh kalbu orang yang dimabuk asmara.
  2. Cinta adalah sikap memprioritaskan orang yang dikasihi lebih dari semua teman.
  3. Cinta ialah menuruti kemauan yang dicintai, baik di hadapannya maupun di belakanganya.
  4. Cinta adalah kesamaan kehendak antara pihak yang mencintai dan pihak yang dicintai dalam hal selera.
  5. Cinta ialah menyajikan pelayanan disertai dengan menjaga kesucian.
  6. Cinta ialah banyak berkorban untuk orang yang Anda cintai dan enggan merepotkan orang yang Anda cintai.
  7. Cinta ialah bilamana kalbu seseorang selalu ingat kepada orang yang dicintainya.
  8. Cinta pada hakikatnya ialah bila Anda menyerahkan diri Anda secara total kepada orang yang Anda cintai tanpa menyisakan barang sedikit pun bagi diri Anda.
  9. Cinta ialah bilamana kalbu Anda tidak mengingat apa pun selain orang yang Anda cintai.
  10. Cinta ialah kecemburuan yang muncul dalam kalbu bila kehormatan kekasih ada yang melecehkan, dan cemburu bila hati kekasih diberikan kepada orang lain.
  11. Cinta adalah maksud hati yang tidak berkurang meskipun dijauhi dan tidak bertambah meskipun didekati.
  12. Cinta ialah memelihara kesetiaan.

Oleh karena itu, tidaklah benar orang yang mengakui cinta kepada seseorang, sedang dia tidak memelihara kesetiaannya.

  1. Cinta ialah bilamana Anda mau melakukan apa yang disukai oleh orang yang Anda cintai.
  2. Cinta ialah menjauhi hiburan dalam keadaan apa pun.

Seorang penyair mengungkapkan:

Barangsiapa yang merasakan hiburan karena telah lama dimabuk asmara,
maka sesungguhnya cintaku kepada Laila belum pernah merasakannya.
Kebanyakan dari apa yang kuperoleh untuk berhubungan dengannya hanyalah angan-angan belaka
yang tidak pernah terujudkan seperti halnya kilauan cahaya kilat.

  1. Cinta adalah emosi yang membakar kalbu terhadap selain yang disukai oleh sang kekasih.
  2. Cinta ialah ingatan kepada sang kekasih dalam setiap helaan nafas.

Mutanabbi mengungkapkan:

Ingin rasanya melupakanmu dalam kalbu ini, tetapi apa daya
naluri enggan untuk beralih ingatan ke yang lain

  1. Cinta ialah bila kalbu yang bersangkutan tidak mau memandang, kecuali kepada orang yang dicintai, dan telinganya tidak mau mendengar teguran orang-orang yang mencela kecintaannya.

Dalam sebuah hadits disebutkan:

Kecintaanmu kepada sesuatu akan membuatmu buta dan tuli.” (Diketengahkan oleh Ahmad melalui Abu Darda’ dalam kitab Musnad-nya dan Abu Dawud dalam kitab al-Adab-nya)

  1. Cinta ialah kecenderungan hati Anda kepada sang kekasih secara total, sehingga membuat Anda lebih memprioritaskan dia di atas kepentingan jiwa, raga, dan harta benda Anda; lahir dan batin Anda selalu bersesuaian dengannya, namun demikian Anda menyadari bahwa kecintaan Anda kepadanya masih belum maksimal.
  2. Cinta ialah bilamana Anda mengorbankan semua jerih-payah Anda demi memuaskan hati sang kekasih.
  3. Cinta ialah ketenangan tanpa kecguncangan dan keguncangan tanpa ketenangan.

Kalbu selalu berguncang dan tidak pernah mnerasa tenang kecuali dengan sang kekasih. Kalbu selalu berguncang karena rindu kepada sang kekasih dan baru merasa tenang bila berada [dekat] dengannya. Pengertian inilah yang dimaksud oleh sebagian di antara mereka (ahli tashawwuf) yang mengatakan bahwa cinta ialah gerakan kalbu yang terus-menerus karena selalu ingat kepada sang kekasih dan baru merasa tenang bila berada di dekatnya.

  1. Cinta ialah keinginan menemani sang kekasih untuk selamanya.

Seorang penyair mengungkapkan:

Sungguh aneh diriku, mengapa merindukan mereka dan menanyakan kepada siapa pun
yang kujumpai tentang mereka, padahal mereka selalu bersamaku dalam hatiku
Pandangan mataku senantiasa mencari mereka, padahal mereka berada di dalam yang hitam dari bola mataku,
kalbuku selalu merindukan mereka, padahal mereka berada di dalam dadaku

  1. Cinta ialah bilamana sang kekasih terasa lebih dekat oleh orang yang mencintainya daripada jiwanya sendiri.

Seorang penyair mengutarakan:

Wahai belahan hati dan jiwaku, meskipun jauh dari mata dan penglihatanku, engkau adalah jiwaku meskipun aku tak melihatnya
Engkau bagiku lebih dekat daripada segala yang dekat dalam diriku

  1. Cinta ialah bila sang kekasih selalu berada dalam ingatan orang yang mencintainya.

Seorang penyair mengungkapkan:

Bayanganmu selalu di mataku, mulutku selalu menyebutmu,
dan kau selalu di hatiku, mana mungkin engkau terlupakan olehku

  1. Cinta ialah bilamana orang yang jatuh cinta merasakan bahwa tidak ada bedanya antara dekat dan jauhnya rumah sang kekasih.

Seorang penyair mengatakan:

Wahai orang yang bersemayam dalam diri dan rongga dadaku, meskipun rumahnya jauh dariku
Kasihanilah orang yang jatuh cinta tergila-gila kepadamu;
jika tidak kauhubungi dia, niscaya akan hancur berkeping-kepinglah dirinya
Dia tak mampu sadar dari kecintaannya;
Setiap kali mereka menghalanginya darimu, tercabik-cabiklah semua tirai yang menghalanginya

  1. Cinta ialah kesetiaan kalbu untuk tetap merindukan sang kekasih, tanpa mempedulikan celaan dan cacian yang mengecam sikapnya, bahkan hal itu terasa menyenangkan baginya.

Abuss Syiish mengungkapkan melalui bait-bait syair berikut:

Cintaku selalu mengikuti kemauanmu, tanpa ada perasaan apakah aku diacuhkan ataukah diperhatikan
Bila kaulecehkan diriku, aku berupaya keras untuk bersikap sabar, bagiku tidak penting apakah engkau menolah cintaku atau menerimanya
Sikapmu kepadaku mirip dengan musuh-musuhku sehingga aku menyukai mereka
mengingat perlakuan yang kuperoleh darimu sama dengan perlakuan yang kuperoleh dari mereka
Kurasakan celaan orang lain karena mencintaimu begitu menyenangkan,
sebab begitu tulusnya cintaku kepadamu, maka biarkanlah celaan orang-orang yang suka mencela
Kurasakan celaan karena mencintaimu begitu menyenangkan,
karena suka dengan sebutanmu, maka biarkanlah celaan orang-orang yang suka mencela

  1. Al-‘Alaqoh (ketergantungan)

Al-‘Alaqoh berakar dari kata al-‘alaq alias gantungan, memakai wazan al-falaq, merupakan salah satu dari nama lain cinta. Al-Jauhari telah mengatakan bahwa al-‘alaq juga merupakan nama lain dari cinta. Dikatakan nazhrotun min dzil-‘alaq artinya pandangan dari orang yang jatuh cinta. Ibnu Daminah mengatakan dalam sebuah bait syairnya:

Ingin rasanya hatiku melupakanmu, tetapi apa daya
ketergantungan hatiku kepadamu telah mengakar sejak lama

Terkadang dibaca dengan lam fi’il yang dikasrahkan hingga menjadi al-‘aliq; dikatakan ‘aliqa hubbuha bi qolbihi artinya kecintaan kepadanya telah terpaut dalam kalbunya. Cinta disebut hubungan, karena kalbu orang yang bersangkutan telah terpaut kepada si dia. Sorang penyair bernama Al-Mirar Al-Faq’asi telah mengatakan dalam bait syairnya:

Apakah karena keterpautan hatimu dengan Ummul Wulaid,
padahal semua rambut kepalamu yang hitam telah berubah menjadi putih?

  1. Al-Hawa (kecenderungan hati)

Kecenderungan hati kepada sesuatu disebut al-hawa. Bentuk kata kerjanya ialah hawiya, yahwa, hawan, semisal dengan ‘amiya, ya’ma, ‘aman. Berbeda halnya jika dikatakan hawaa yahwi dengan ‘ain fi’il yang difat-hahkan, maka artinya jatuh, bukan cenderung; bentuk mashdarnya al-huwiyyu dengan ha yang dibaca dhammah.

Al-hawa berarti pula diri sang kekasih, seperti yang disebutkan dalam ucapan seorang penyair:

Sesungguhnya wanita yang mengira bahwa hatimu telah bosan kepadanya
dirimu pun telah diciptakan sebagaimana dirinya diciptakan

Pendapat yang lain mengatakan bahwa bila hawa fulanah hawaahu, artinya si Fulanah adalah wanita yang disukai dan dicintainya. Kebanyakan kata al-hawa digunakan untuk menunjukkan makna cinta yang tercela, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya:

Dan adapun orang-orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal[nya]. (QS An-Naazi’aat [79]: 40-41)

Menurut pendapat yang lainnya lagi, bahwa sesungguhnya hawa nafsu disebut al-hawa tiada lain karena ia menjerumuskan pelakunya.

Akan tetapi, ada kalanya digunakan dalam pemakaian yang terbatas untuk menunjukkan makna cinta yang terpuji, seperti yang terdapat dalam sabda Nabi saw. yang mengatakan:

Masih belum beriman seseorang di antara kamu sebelum kecenderungannya mengikuti apa yang disampaikan olehku. (Diketengahkan oleh Al-Baghawi dalam Syarhus sunnah 1/213, Attabrizi dalam Misykatul Mashoobih 167, Ibnu Abu ‘Ashim dalam As-Sunnah 1/12, Al-Muttaqil al-Hindi dalam Kanzul ‘ummal 1084, Ibnu Hajar dalam Fat-hul Bari 13/289, dan Al-Khotib dalam Tarikh Baghdad 4/369)

Dalam kitab Shahihain disebutkan bahwa dahulu Khaulah binti Hakim termasuk wanita yang menghibahkan dirinya kepada Nabi saw. maka ‘Aisyah r.a. berkata: “Tidakkah merasa malu seorang wanita menyerahkan dirinya kepada seorang lelaki?” ketika turun firman-Nya:

Kamu boleh menangguhkan (menggauli) siapa yang kamu kehendaki di antara mereka (istri-istrimu). (QS Al-Ahzaab [33]: 51)

Aku (‘Aisyah) berkata: “Wahai Rasulullah, menurut hemat saya, tiada lain Tuhanmu kecuali hanya bersegera memperturutkan kesukaanmu.”

Dalam kisah para tawanan perang Badar disebutkan bahwa ‘Umar ibnul Khaththab r.a. berkata: “Ternyata Rasulullah lebih menyukai pendapat Abu Bakar dan tidak menyukai pendapatku,” hingga akhir hadits. (Diketengahkan oleh Muslim dalam Al-Jihad hadits no. 58, dan Ahmad dalam kitab Musnadnya, 1/31-32.)

Dalam Kitabus Sunan disebutkan bahwa seorang Arab pedalaman bertanya kepada Nabi saw.: “Aku datang kepadamu untuk menanyakan tentang kecintaan.” Nabi saw. menjawab:

Seseorang akan [dihimpunkan] bersama dengan orang yang dicintainya. (diketengahkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ad-Darimi, dan Ahmad)

  1. Ash-Shobwah (Kerinduan)

Ash-shobwah dan ash-shibaa termasuk nama lain dari cinta juga. Dalam kamus Ash-Shihah disebutkan bahwa ash-shibaa termasuk nama lain dari rindu. Dikatakan tashoobaa, washoban, yashbuu shobwatan, dan shubuwwan maknanya cenderung pada kebodohan. Ashbat-hul jaariyah artinya gadis itu telah membuatnya seperti orang bodoh. Shobiya shoba-an semisal dengan sami’a samaa’an (mendengar), artinya dia bermain-main bersama anak-anak kecil.

Menurut henmat saya, makna asal lafazh ini ialah cenderung. Dikatakan shobaa ilaa kadzaa artinya dia cenderung kepada anu. Shobwah diartikan demikian karena pelakunya cenderung pada wanita yang muda. Bentuk jamaknya ialah shobayaa, seperti mathiyyah (tunggangan) yang bentuk jamaknya ialah mathooyaa. At-Tashoobii artinya dilanda kerinduan, seperti at-tamaayul (kecenderungan) dan seterusnya yang ada dalam babnya.

Leave your comment here: