CERPEN KREASI SANTRI : AKU DISINI UNTUKMU WAHAI SANG …….

Sabtu pagi. Mencari sarapan setelah mengaji bandongan kitab Tafsir Jalalain sehabis subuh adalah rutinitas sebagian santri selain antri mandi dan nyuci baju. Ada yang berebut nasi di kantin pondok, ada yang pergi ke angkringan belakang pondok, ada juga yang sampai ke Jalan Bantul ataupun Jalan Parangtritis.
“Wil, udah beli sarapan?” tanya salah satu teman sekamar, mbak Nada, sembari menaruh kitab di rak buku.
“Dereng, Mbak. Sampean badhe tumbas?”
“Yuk, ke Bu Seksi, belom pernah kesana langsung kan? Biasanya nitip, haha.”
“Hehe boleh deh mbak, pake motorku ya.”
Kemudian kita tancap gas ke seorang penjual makanan dimana mbak-mbak pondok menyebutnya “Bu Seksi”. Lima menit kemudian aku dan mbak Nada memasuki warung tersebut dan memesan makanan untuk dibungkus.
“Mbak, katanya Bu Seksi? Kurus gitu kok, malah lebih seksi aku,” kataku berbisik.
“Husstt,, nanti kedengeran sama ibunya,” kata Mbak Nada sembari menahan tawa.
Sampai ke kamarpun, mbak Nada masih tertawa sambil menceritakan kejadian konyol tadi kepada teman-teman sekamar.
“Wilda lho lucu, di depan Bu Seksi malah bilang kek gitu.”
“Ya emang arek-arek nyebutnya Bu Seksi,” mbak Ratna menimpali.
“Aneh ya, padahal tuh warung enggak ada namanya. Di sana juga, namanya Penyetan Pak Ndut tapi yang jual ibu-ibu.”
Ya, itu salah satu hal gak penting dari beberapa hal yang semakin gak penting yang kutemui sebagai santri baru disini, Krapyak. Krapyak yang menjadi cikal bakal berdirinya pesantren Al-Qur’an pertama di tanah Jawa. Krapyak yang kuinginkan untuk menjadi tempat mengajiku setelah Madrasah Aliyah. Krapyak tempatku menaruh banyak cita-cita dan masa depan.
Aih, sudah tiga bulan aku tak menyambangi rumah sejak pertama kali kesini. Tiga bulan adalah waktu yang berat bagiku karena sebelumnya aku sering pulang disebabkan jarak yang dekat dari rumah dan pesantren semasa Aliyah. Ketika mengetahui aku lolos di salah satu PTN di Jogja, aku begitu gembira karena impianku untuk nyantri di Krapyak akan segera terwujud.
“Ibu, aku akan kuliah di Jogja dan nyantri di Krapyak. Aku akan jarang pulang, mungkin setengah tahun sekali. Aku akan bersungguh-sungguh ngaji disana,” kataku bersemangat.
“Semoga berkah,” jawab Ibu dengan senyum teduhnya.
Namun, ekspektasi bergerak miring dengan realita. Satu bulan, kangen rumah. Dua bulan, pengen pulang. Tiga bulan, nangis. Ditambah dengan telepon dari orang tua yang terkadang menanyakan kapan pulang. Terutama Ibu. Setiap saat Ibu memintaku mengirimkan foto apa saja yang ada di sekitarku. Aku sudah seperti Bang Toyib yang enggak pulang-pulang. Aku terus menanam berbagai kata motivasi dalam hatiku untuk dapat menahan kerinduan ini. Salah satunya adalah nasihat dalam novel Negeri 5 Menara yang intinya “Jika tidak sanggup 1 bulan, cobalah 3 bulan. Jika tidak sanggup 3 bulan, cobalah 1 tahun. Jika tidak sanggup 1 tahun, cobalah 2 tahun. Sampai akhirnya kau dipersilahkan keluar dari sini.”
Pada bulan keempat ini adalah bulan yang ditunggu bagi para santri mahasiswa disini. Mayoritas santri mahasiswa libur 2-4 pekan setelah mereka selesai melaksanakan Ujian Akhir Semester di Perguruan Tinggi masing-masing. Begitupun denganku. Tapi, ada yang lebih ditunggu daripada sekedar hari libur. Pulang kampung.
Pengurus Madrasah Salafiyah mulai merekap takziran perbulan. Pengurus keamanan mengumumkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk perizinan pulang. Para santri sibuk menulis catatan-catatan kecil di kalendernya dan membeli tiket untuk pulang. Setiap pagi, tampak segerombol santri yang sedang melaksanakan takziran di sudut-sudut tertentu. Setiap malam, kantor ramai pula oleh santri-santri yang membayar denda takziran. Aku bersyukur uang saku milikku tak perlu berkurang karena denda-denda tersebut.
Malam-malam yang ditunggu pun tiba. Hanya pada Malam Jum’at, malam Sabtu dan malam Ahadlah kami dapat meminta perizinan pulang. Hanya pada liburan semester kuliah, liburan Haul dan liburan Idul Fitri pula kami dapat izin pulang liburan tanpa keperluan khusus. Prosedur meminta izin keamanan, keterangan bebas takziran dari Madrasah Salafiyah, bebas administrasi dari bendahara pondok kulalui dengan cepat.
Ahad pagi. Aku bersegera untuk mandi dan sowan kepada Ibu Nyai. Kemudian aku berangkat ke terminal Jombor lalu menitipkan motor disana. Pak sopir sudah menunggu penumpang untuk cepat masuk ke dalam bis. Aku memilih untuk tidur selama perjalanan Jogja-Kudus. Ibu, akhirnya aku pulang …
Enam jam kemudian bis telah sampai di depan pom bensin yang berdekatan dengan Matahari Mall Kudus. Disanalah bis menurunkan penumpangnya dari pagi sampai sore. Aku segera mencari motor Ayah. Ketika menemukannya, aku segera berlari sambil bersusah payah membawa barang bawaanku. Ayah menyambutku dengan senyumnya.
“Assalamu’alaikum.” Aku mencium tangan Ayah.
“Wa’alaikumussalam. Berapa jam tadi? Tidak ada barang yang ketinggalan di bis kan?” kata Ayah sembari membawakan sebagian barang bawaanku.
“Enam jam, Yah. InsyaAllah tidak ada.” Kemudian kami pulang bersama.
Gang rumah masih seperti biasa. Sepi. Begitu juga dengan depan rumah. Tiba-tiba ..
“Weeehhh Princess pulaanggg,” teriakan alay berkumandang dari dalam rumah. Siapa lagi kalau bukan suara satu-satunya kakakku, yang juga teman satu kamar di rumah. Dia selalu merindukanku, tapi aku biasa saja haha.
Setelah mencium tangan Ibu dan menyalami kakakku, Ibu mengajakku untuk makan. Aduhai senangnya, semua makanan di meja adalah makanan kesukaanku. Tak ada tahu tempe. Mungkin Ibu tahu kalau aku bosan dengan tahu dan tempe kala aku bercerita tentang makanan sehari-hariku di pondok. Bukan benar-benar bosan, entah kenapa ketika di rumah dan mendapati tahu tempe lagi, rasanya seperti sedang tak pulang. Hmm, begini ya rasanya nyantri yang sebenarnya.
Malam pertama di rumah, aku hanya ingin tiduran di kamar sambil memainkan handphoneku, memberi kabar kepada teman-temanku di grup sosial media dan mengajak mereka membuat planning kemanapun selama aku pulang.
085640xxxxxx ~ Wilda
Ciwi-ciwi cantiikk dan ngehiittss ayo maiiinn dedek pulang niih.
081234 xxxxxx ~ Zidna
Ciyee pulang. Berapa hari? Aku masih ujian 2 hari lagi gaes.
089768 xxxxxx ~ Ilma
Waah ada yang pulang nih. Ayoo kalo mau main. Aku terserah kalian tapi jangan dadakan yaa. Rumahku paling pucuk cuy.
097546 xxxxxx ~ Anisa
Aku juga terserah kalian, yang penting aku dijemput hehe.
081546 xxxxxx ~ Farah
Di rumahku aja yuk? Eh tapi lagi rame sodaraku pada nginep sini. Yaudah aku terserah aja.
085640 xxxxxx ~ Wilda
Yaelah terserah semua aja terus sampe nikah -_-.
Aku lebih memilih tarik selimut menunggu datangnya mimpi dibanding menunggu datangnya keputusan mereka.
Hari-hari liburanku lebih banyak terisi dengan agenda mendadak daripada yang direncanakan. Sesuatu yang tidak direncanakan memang memiliki peluang terjadi lebih besar. Tak terasa 6 hari telah terlewati. Hari ini aku harus berangkat ke Jogja kembali. Akan tetapi, hanya membeli tiket pulang saja terasa berat. Tiba-tiba handphoneku berbunyi.
085734 xxxxxx ~ Aji
Bagi seluruh alumni kelas XII IPA 4 a.k.a kita disuruh ke sekolah buat ngambil SKHUN dan legalisir. Besok jam 9. Thanks.
Antara sedih atau seneng karena pesan ini, intinya hatiku mengatakan bahwa aku punya kesempatan untuk izin pulang molor. Akhirnya aku meminta Ayah untuk menelepon mbak pengurus keamanan, dan aku mendapat izin 2 hari. Artinya aku masih bisa di rumah sampai hari Ahad.
Sabtu pagi. Aku begitu bersemangat untuk datang ke sekolah, bertemu dengan mereka kembali, teman-temanku selama 3 tahun. Kami disuruh mengfotocopy SKHUN tersebut dan mengumpulkannya di kantor TU. Ternyata legalisir baru bisa diambil hari Senin. Pusing lagi kepalaku memikirkan jadwal pulang. Mau izin lagi, tak berani. Tapi 3 hari kemudian ada acara yang sangat kunantikan, pertemuan alumni angkatanku.
“Mbak, izinku cuma sampe besok. Tapi besok Selasa aku ada acara di sekolah. Acara besar cuy, masak gak ikut. Udah bayar pula,” curhatku kepada kakak perempuanku.
“Yaudah izin lagi aja, toh kamu pulang enggak tiap bulan kan,” kata kakakku.
“Kalo gak di izinin gimana? Nanti ditakzir.”
“Takzir ya urusan belakangan, yang penting seneng dulu mumpung di rumah. Ibu juga masih ingin kamu di rumah, kan?” kata kakakku. Wah, kalau sudah menyangkut Ibu, aku tak dapat berkata lagi.
Akhirnya kuputuskan untuk izin lagi, tapi melalui SMS. Mengejutkan sekali, SMSku tak berbalas. Husnudzan saja, biasanya mbak pengurus emang enggak semua SMS dibalas ketika izin pulang telat sehari-hari karena ngirit pulsa.
Hari yang ditunggu pun tiba. Sore ini, sekolahku ramai oleh alumni 2015. Adik-adik kelas yang di asrama pun menghampiri kami sekedar menanyakan kabar atau seputar kuliah. Begitu juga dengan teman seangkatan.
“Assalamu’alaikum, Wil. Gimana kabar? Betah di Jogja?” tanya Dewi, teman sekelasku saat bimbel. Sekarang dia kuliah di Semarang.
“Wa’alaikumussalam. Alhamdulillah baik, kamu? Iya dong, Jogja kan istimewa haha.”
“Alhamdulillah baik juga. Btw katanya di Jogja mondok ya? Dimana? Wah enggak sibuk banget tuh kuliah sambil mondok? Enggak bisa keluar malem dong?” tanyanya dengan kepo.
“Iya, di Krapyak. Bukan mondok sih, tapi nyantri hehe. Sibuk tau enggaknya tergantung kita sih. Banyak kok mbak pondok yang ngaji, kuliah, juga aktivis, kerja, magang, ataupun ngajar di TPA. Kata Bunda Asma Nadia, sibuk itu hanya untuk orang-orang yang belum bisa mengatur waktunya hehe.”
“Wah keren. Sukses ya. Kalo udah lulus, bagi-bagi ilmu. Eh aku kesana dulu ya, mau foto bareng sekelas. Assalamu’alaikum.”
“Iya, wa’alaikumussalam.”
Sebenarnya bukan sekali dua kali aku mendapat pertanyaan seperti itu. Tapi, aku teringat kata Ustadz, bahwa ketika di dunia luar, kita tidak boleh malu ataupun minder untuk menunjukkan identiitas kita sebagai santri. Bagaimana caranya kita mampu menunjukkan dan menerapkan kesantrian kita dalam dunia perkuliahan. Bukan hanya membawa dunia perkuliahan dalam pesantren. Aku pun merasakan bahwa setiap waktu dipenuhi dengan ilmu. Setelah Subuh bandongan, pagi sampai sore kuliah, habis Ashar bandongan, habis Maghrib ngaji, habis Isya’ diniyah, setelah itu sorogan dan pengajian Qur’an sampai jam setengah sepuluh malam. Orang tuaku pun tidak terlalu khawatir karena aku jarang pulang malam. Aih, indahnya pesantren …
Acara berlangsung dengan sangat meriah. Rasa rindu kita terobati. Seperti mengulang momen-momen satu angkatan ketika masih disini. Acara selesai pada jam setengah delapan malam. Aku pun pulang ke rumah dengan bahagia. Dan, saatnya besok benar-benar kembali ke pondok.
Rabu sore aku telah kembali ke sebuah desa yang terkenal dengan Panggung Krapyak di ujung selatannya. Teman-teman pun heboh ketika aku masuk kamar. Heboh minta jajan. Tapi, ada yang lebih heboh daripada itu. Diriku sendiri heboh jika bertemu pengurus keamanan.
Saat ini masih pertengahan bulan. Biasanya para pengurus akan merekap takziran pada akhir bulan. Peristiwa tersebut ditandai dengan adanya pengumuman rapat bagi para pengurus masing-masing bidang. Aku terus berdo’a di setiap sujud terakhirku, berharap tidak ditakzir. Apalagi kalau sampai membaca surat pernyataan di hadapan seluruh santri. Jangan sampai. Aku termotivasi oleh salah seorang temanku yang sudah nyantri selama 6 tahun dan tidak pernah ditakzir. Rajin sekali! Aku ingin seperti dia, atau minimal hanya mendapat takzir yang sughra saja.
Pengumuman itu pun tiba. Deg, deg, deg. Malam itu begitu tak menenangkan bagiku. Namun setidaktenangnya aku, masih bisa tidur. Benar saja, keesokan harinya, salah satu mbak pengurus keamanan rayon memasuki kamar dan membagikan beberapa lembar kertas. Jiah, ada namaku. Kertas tersebut seperti kertas undangan khajatan untuk bapak-bapak tetapi dengan keperluan panggilan keamanan. Panggilan tersebut akan terjadi 3 hari kemudian.
Tak kuduga, tak kusangka. Ketika aku akan memenuhi panggilan, ternyata yang mendapat panggilan keamanan banyak sekali. Ada juga yang satu kamar hanya satu orang yang tidak mendapat panggilan. Kantor Badan Pengurus Harian pun ramai seperti pasar. Mbak-mbak yang “sepertinya bukan sekali ini mendapat panggilan” membuat daftar nama urutan sidang. Mereka berebutan untuk masuk duluan. Walaupun begitu, kericuhan tetap saja terjadi. Akhirnya para pengurus keamanan membagi menjadi 2 hari sidang. Aku mendapat sidang besok malam. Hem, deg-deganku belum jadi selesai malam ini.
Malam selanjutnya, aku bersama 4 orang teman sekamarku yang juga mendapat pangilan berencaan untuk datang ke kantor lebih cepat agar tidak lama mengantri. Aku mendapat urutan ketiga. Ketika namaku disebut untuk masuk ke kantor, deg-deganku semakin besar seperti mau dilamar.
“Kamu telat berapa hari?” tanya mbak Sasa, ketua keamanan.
“Sebelumnya kan izin liburan 7 hari mbak, trus aku ada acara legalisir ke sekolah 2 hari, trus aku ada acara lagi di sekolah izin 3 hari,” jawabku dengan cengengesan.
“Acara apa?” tanya mbak Ani, pengurus keamanan rayon lain.
“Reuni angkatan, Mbak,” aku mulai menyadari kegarangan mereka.
“Sudah izin?” tanya mbak Dhea, keamanan rayonku yang mengurusi pulang telat sehari-hari.
“Sudah, Mbak. Sama mbak Mira.”
“Iya Wilda emang izin sama aku. Izin pertama Ayahnya yang menelpon, aku izinin 2 hari. Trus Wild izin lagi, tapi lewat SMS.”
“Mbak enggak bales SMSku,” kataku cemberut.
“Iyalah, mana boleh izin lewat SMS,” kata mbak Mira dengan nada sedikit meninggi.
“Kalo izin pulang telat harian kok boleh?”
“Beda, ini kan posisinya kamu di rumah,” jawab mbak Dhea.
“Pede banget, molor 5 hari. Liburan 7 hari di rumah masih enggak cukup?” bentak mbak Ani. Uh, rasanya pengen nangis saat ini juga.
“Sudah, sudah. Nanti masalahnya enggak selesai-selesai. Gini ya, molor 1 malam itu dendanya lima puluh ribu. Kamu kan molor yang ditakzirnya 3 malam, jadi seratus lima puluh ribu. Gimana?” jelas mbak Sasa sambil menunjukkan ketentuan-ketentuan takziran di sebuah buku besar seperti buku laporan praktikum. Kaget, sedih, bingung. Semua rasa menjadi campur aduk di hatiku. Aku hanya bisa diam.
“Atau kamu mau paket hemat? Denda setengah harga dan takziran kebersihan satu pekan?” sepertinya mbak Sasa mengerti apa yang kupikirkan.
“Paket hemat aja deh mbak.”
“Yaudah, nanti aku nentuin tanggal takzirannya. Dengerin ya, kamu disini nyantri kan, nyari ilmu. Pondok enggak boleh kalah sama kuliahnya. Harus seimbang. Kuliah memang libur, tapi pondok kan tetap masuk. Apalagi sebentar lagi akan ada imtihan. Kalo sudah niat disini, ya harus manut sama peraturan pondok ini. Jangan diulangi lagi ya? Takziran itu diberikan hanya sebagai pelajaran, kita yang di depanmu ini juga dulunya pernah mengalami takziran sepertimu,” kata mbak Sasa.
“InsyaAllah, Mbak.” Lalu aku dipersilahkan keluar dari kantor.
“Gimana tadi? Kok kayaknya keras banget suaranya? Aku jadi takut,” tanya teman sekamarku yang akan masuk kantor. Dia lebih parah dariku, molor 10 hari tanpa izin.
“Nanti juga tau sendiri,” kataku sambil tersenyum misterius.
Setelah sidang itu, aku menelepon Ibuku. Sebelumnya aku memang memberitahu Ibu kalau aku mendapatkan surat panggilan. Aih, aku ini terlalu takut. Aku menceritakan inti dari sidang tersebut.
“Ya sudah, mbak pengurus bener kan, kamu udah niat disana. Di pondok ya gitu, enggak bisa pulang bebas. Tapi, kamu bakalan memiliki ilmu yang lebih. Dijalani saja takzirannya,” kata Ibu. Sebelumnya Ibu sering memintaku untuk pulang. Kali ini, Ibu membiarkanku kapan aku pulang.
“Nggeh, Bu,” Lalu aku menutup telepon.
Tak terasa air mataku pun jatuh. Entahlah, dari dulu aku sering menangis ketika medengar suara Ibu lewat telepon tapi kami terpisahkan jarak yang jauh. Mungkin niatku memang belum sepenuhnya lurus. Ya, aku disini untuk mencari ridho Allah, ridho para Kyai, dan ridho orang tua. Aku disini agar aku dapat menjadi anak yang baik, yang dapat mendoakan orang tua, satu-satunya bekal yang bisa kuberikan di akhirat nanti. Ya, aku disini bukan untuk meninggalkanmu. Aku disini untukmu, Ibu.