KESEDERHANAAN YANG KEHILANGAN SUBYEK WAYANG
Mungkin ada pesona tertentu yang menghubungkan rohani para
penyair. Setahu saya, ada dua penyair yang terpesona pada
kesederhanaan. Yang satu Taufiq Ismail. Yang satu lagi Emha
Ainun Nadjib. Ketika Ki Mohamad Said Reksohadiprodjo
meninggal dunia, Taufiq terharu. Ia merasa kehilangan. Ia
lalu menulis sajak, buat mengenang orang tua sederhana tapi
memancarkan kewibawaan itu.
Yang paling pertama ia ingat tentang orang tua itu ialah
sandal jepitnya, yang selalu berbunyi soh, soh, soh,
menggosok debu Jakarta, menggosok debu Indonesia.
Di rumahnya, Taufiq mencari sepatu lari, yang ia beli di
negara dunia kesatu. Harganya, tentu saja, mahal. Dan itu
membuat Taufiq malu mengenang kesederhanaan Ki Mohamad Said.
Penyair ini silau melihat kehidupan orang tua itu.
Ketika Mohamad Kasim Arifin, mahasiswa IPB yang selama 15
tahun “menghilang” di Waimital, P. Seram, kembali ke IPB
dengan kisah suksesnya membantu petani transmigran yang
miskin, Taufiq juga terharu. Kasim, sahabatnya itu, meraih
keberhasilan dengan swadaya, tanpa sepeser pun bantuan dana
dari pemerintah.
Begitu melihat dirinya sendiri, seorang dokter hewan yang
hanya bersyair-syair saja kerjanya (begitulah diakuinya
dalam sajaknya untuk mengenang Mohamad Kasim Arifin), ia
merasa perlu menyembunyikan wajahnya menyembul di kali
Ciliwung itu. Kasim yang hidupnya tak gemerlapan itu pun,
seperti halnya Ki Mohamad Said, membuatnya merasa malu,
risi, dan bersalah.
Getaran apakah yang membuat kita bisa merasa risau dan
terpojok tak berdaya seperti itu? Mungkin cuma Taufiq
sendiri yang tahu jawaban persisnya.
Tapi, saya kira Taufiq mengharapkan agar kita punya lebih
banyak lagi tokoh seperti Ki Mohamad Said dan Kasim Arifin.
Ia, dengan kata lain, tak ingin melihat Ki Mohamad Said
berangkat meninggalkan kita.
Kematian memang sering bisa memberikan kenangan seperti itu.
Dan, celakanya, kita seperti baru sadar, bahwa orang seperti
itu penting dan kita perlukan.
Dalam “Sajak-sajak Sederhana”-nya, nampak bagaimana penyair
Emha Ainun Nadjib gandrung pada kesederhanaan itu.
“Tuhanku” katanya.
“Ambillah aku sewaktu-waktu.
Kematianku kehendak sederhana saja.
Orang-orang menguburku hendaknya juga dengan sederhana
saja.”
Barangkali, ini pesan Emha. Tapi barangkali juga salah satu
cermin dari pergulatan batinnya sebagai seorang seniman.
Seperti Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib juga kuat
memperlihatkan pada kita pemihakannya pada nilai
kesederhanaan.
Ketika Soedjatmoko meninggal dunia, Emha juga menulis
kenangan. Ada sesuatu yang ia kagumi pada diri intelektual
beken itu. Oleh karena itu, tak segan ia menyebut
Soedjatmoko sebagai ulama. Benar, kata Arab itu artinya
memang persis mencerminkan kehidupan Soedjatmoko: orang yang
banyak ilmu. Tapi pemberian gelar ulama itu jelas memiliki
konotasi lebih: bahwa almarhum bukan cuma berilmu tapi juga,
dan ini yang lebih penting, mampu memberikan teladan laku
bagi siapa saja.
Goenawan Mohamad bahkan menyebut Soedjatmoko bukan cuma
teladan ilmu, melainkan juga teladan “laku”. Bagi
Soedjatmoko, apa yang dikatakan dan yang ditulis tidak cuma
cermin ketangkasan berolah pikir, melainkan juga cermin
pergulatan batinnya.
Orang bilang, keteladanan adalah sesuatu yang hilang dari
kita. Kita tak lagi punya sesuatu yang kita banggakan. Tak
ada lagi sosok pribadi yang layak kita jadikan teladan.
Tampil secara sederhana saja misalnya, juga sesuatu yang tak
mudah. Imbauan untuk menyederhanakan hidup sebetulnya pas
buat kita. Ia bukan cuma problem bagi orang kaya yang
cenderung hidup gemerlapan. Orang miskin pun, entah berkat
rangsangan virus apa, banyak yang tak mau tampil apa adanya.
Mereka tidak gemerlap, mungkin juga memperlihatkan sikap
anti pada gaya hidup itu, barangkali hanya karena belum ada
kesempatan.
Benar kekaguman Taufiq pada Ki Mohamad Said, karena orang
itu telah membuktikan dalam hidupnya. Ia bukan cuma orang
sederhana, melainkan mungkin kesederhanaan itu sendiri.