PENTINGNYA MELURUSKAN KEYAKINAN HATI KITA

PENTINGNYA MELURUSKAN KEYAKINAN HATI KITA

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الْهَادِيْ لِلْعِبَادِ إِلَى الْمَنْهَجِ الرَّشِيْدِ وَالٍمَسْلَكِ السَّدِيْدِ ، اَلْمُنْعِمِ عَلَيْهِمْ بَعْدَ شَهَادَةِ التَّوْحِيْدِ بِحَراسَةِ عَقَائِدِهِمْ عَنْ ظُلُمَاتِ التَّشْكِيْكِ وَالتَّرْدِيْدِ ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى الْمُصْطَفَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ الْمُرْسَلِ إِلَى أَهْلِ التَّوْحِيْدِ ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أُوْلِي الْمَـآثِرِ وَالتَّأْيِيْدِ . أما بعد

 ROS

Pembaca yang arif…

Di tengah-tengah musibah yang melanda di berbagai daerah negara kita, hendaknya itu semua menjadi  cambuk atas kelalaian kita. Mungkin selama ini kita terlalu sibuk mengurusi hal-hal yang bersifat duniawi, sehingga lalai dengan perintah Allah. Allah memperingatkan kita agar segera bertaubat. Ketahuilah! Berapa banyak nikmat yang telah kita rasakan, betapa besar anugerah yang telah diberikan-Nya kepada kita. Sudahkah kita bersyukur? Atau sebaliknya, kita justru kufur atas nikmat tersebut dengan berbuat dosa? Kita teliti diri kita masing-masing! Sesungguhnya Allah tidak akan menghilangkan nikmat yang diberikan pada suatu kaum kecuali kaum itu sendiri mengkufuri nikmat tersebut, sebagaiman firman Allah:

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya: “(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al Amfal: 53)

Dari ayat di atas, kita bisa mengetahui bahwa Allah tidak mencabut nikmat yang telah dilimpahkanNya kepada suatu kaum, selama kaum itu tetap taat dan bersyukur kepada Allah. Sebagaimana umat-umat terdahulu, karena mereka tidak mau beriman kepada Nabi-Nabi yang diutus Allah, mereka akhirnya dibinasakan. Telah jelas, bahwa kerusakan di darat dan lautan disebabkan oleh ulah tangan-tangan manusia, seperti firman Allah dalam ayat lain.

 

Pembaca setia…

Kita sebagai penganut Ahlussunnah wal Jamaah, meyakini segala sesuatu yang terjadi – baik dan buruknya – semata-mata adalah kehendak Allah dan ciptaanNya. Termasuk juga perbuatan kita, jelek dan buruknya adalah ciptaan Allah. Segala sesuatu di dunia ini tidak mungkin lepas dari apa yang telah digariskan Alah pada zaman azali, qadla’ dan qadar-Nya-lah yang mendahului. Allah berfirman:

اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّار

Artinya: “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (QS. Ar Ra’du: 16)

وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ

Artinya: “Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu” (QS. As Shaffat: 96)

Meskipun segalanya adalah kehendak Allah, dan Allah-lah yang menjadikannya. Tetapi tidaklah patut menyandarakan kejelekan kepadaNya. Musibah, bencana, dan mala-petaka yang selama ini menimpa kita, itu akibat dari dosa-dosa kita serta kelalaian kita atas perintahNya. Yang demikian itu adalah sikap yang benar bagi seorang hamba. Seorang hamba harus mempunyai akhlak (tata krama) terhadap Tuhannya. Maka, hendaknya segala kebaikan disandarkan kepada Allah, dan segala kejelekan disandarkan pada diri kita sendiri, yakni disebabkan oleh perbuatan kita sendiri. Walaupun pada hakikatnya, semua itu dari Allah SWT semata, sebagaimana firman Allah:

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ

Artinya: “Apa saja (nikmat) yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja (bencana) yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri” (QS. An Nisa’: 79)

 

Pembaca yang budiman…

Kalau ada yang bertanya: “Jika semua yang terjadi; yang dialami manusia; bahkan perbuatannya sendiri, yang menjadikan adalah Allah. Lalu untuk apa Allah memerintahkan beribadah serta menjahui laranganNya; menurunkan syariat untuk umat manusia; mengutus Rasul; menciptakan surga dan neraka sebagai balasan amal-amal manusia, dan lain sebagainya? Sedangkan manusia tidak mampu apa-apa, neskipun untuk dirinya sendiri. Dengan kata lain manusia adalah majbur (terpaksa), tak ubahnya seperi debu yang berterbangan ke sana kemari tertiup oleh angin.” Maka, pertanayaan seperti itu tidak bisa dibenarkan seperti apa yang diyakini oleh kaum Jabariyah. Jabariyah adalah golongan yang mempunyai keyakinan bahwa manusia tidak memiliki kehendak dan kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Mereka meniadakan perbuatan manusia, dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah (segalanya atas kodrat Tuhan, manusia tidak mempunyai ikhtiar/ pilihan). Keyakinan ini bertolak belakang dangan keyakinan kaum Qodariyah yang meyakini bahwa, manusia mempunyai kekuasan mutlak dan kebebasan untuk menentukan segala perbuatan sesuai dengan keinginannya, tanpa ada campur tangan dari Allah. Allah hanyalah menciptakan saja, selanjutnya Dia tidak ikit campur. Seperti pembuat jam dinding, setelah jadi, jam itu berputar sendiri tanpa campur tangan si pembuatnya.

Maka, yang tepat untuk jawaban pertanyaan di atas ialah, bahwa Allah Maha Perkasa untuk membuat segala sesuatu sesuai kehendak-Nya. Allah yang memiliki semuanya, dan Dia berhak untuk berbuat apa saja terhadap apa yang dimilikiNya. Dan itu, bukan suatu kelaliman. Allah tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya. Tapi  manusialah yang akan ditanya oleh Allah sebagaimana firmanNya:

لاَ يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُوْنَ

Artinya: “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya dan merekalah yang akan ditanyai.”(QS. Al Anbiya’: 23)

يَمْحُوا اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ

Artinya: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitab (Lauh mahfuzh).”. (QS. Ar Ra’du: 39)

 

Pembaca yang kami hormati…

Oleh karena itu, kita harus benar-benar memahami bahwa, semua perbuatan hamba -jelek dan baiknya- yang menjadikan adalah Allah. Namun Allah memberi ikhtiar kepada hamba-Nya, diberi pilihan untuk memilih jalannya menuju kebaikan atau kejelekan. Dan “pilihan” itulah yang menjadi manathuttaklif (ikatan pembebanan syariat Allah atas seorang hamba). Kemudian ikhtiar tersebut diwujudkan dengan kasb/ iktisab (perbuatan manusia), yang karenanya pahala dan siksa akan ada dan tetap. Ini adalah hikmah agung dan sirri yang sangat dalam, jarang diketahui oleh kebanyakan orang. Jadi, menisbatkan perbuatan hamba kepada Allah merupakan penisbatan (penyandaran) secara hakiki, karena Allah yang menghendaki dan menciptakannya. Sedangkan penisbatan perbuatan terhadap hamba adalah penisbatan majazi, karena hamba di sini berposisi sebagai pelaku bukan pencipta. Maka dari itu, bila kita melihat seseorang sedang makan, minum, salat, dan lainnya, tidak boleh dikatakan: “Allah sedang makan, minum, atau salat.” Karena pelaku (fa’il)-nya adalah manusia, bukan Allah, walaupun Allah yang menciptakan (khaliq) perbuatan itu. Pemahaman di atas sebagaimana yang telah dipaparkan dalam Ihya’ ‘Ulum al Din oleh Al Ghazali, salah satu pengikut Al Asy’ari pemuka Ahlussunnah wal Jamaah. Oleh sebsb itu, luruskan keyakinan kita, kokohkan akidah kita, agar jangan sampai berburuk sangka kepada Allah. Kita hanyalah seorang hamba yang tak memilki apa-apa termasuk diri kita sendiri.

Pembaca yang bijak…

Jika kita mendengar satu hadis Nabi SAW:

كُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ {رواه البخاري}

ِArinya: “Setiap hamba diberi kemudahan menuju apa yang telah dijadikan (takdirkan) untuknya” ( HR. Bukhari)

Maka, bisa dipahami, ada suatu pertanda, yakni: apabila seorang hamba selama hidupnya berbuat kebaikan, taat terhadap Allah, maka dia dikehendaki Allah menjadi orang yang baik diridlaiNya. Sebaliknya, jika selama hidupnya dia selalu berbuat kemaksiatan atau dosa, berarti dia dijadikan orang yang jelek dan celaka. Akan tetapi itu hanyalah sebuah “alamat” (tanda), bukan suatu kepastian. Maka, kita tidak boleh mencela, apalagi melaknat pelaku-pelaku dosa, karena belum tentu orang tersebut ditakdirkan sebagai orang yang jelek atau su-ul khatimah. Ketahuilah, bahwa setiap hamba diberi kemudahan menuju takdirnya.

Sebagaimana telah dipaparkan Ibn Hajar dalam Fath Al Bari, bahwa tidak ada yang mengetahui, apakah di akhir hayatnya, seseorang akan su-ul khatimah atau husnul khatimah? Oleh karena itu, kita harus bersungguh-sungguh dalam usaha menjalani perintah, menjadi orang yang diridlai Allah. Kita tidak boleh bermalas-malasan dengan alasan pasrah pada takdir Allah, akibatnya kita akan menjadi orang-orang yang tercela dan kelak mendapat siksa di akhirat akibat meninggalkan perintah. Karena amal perbuatan merupakan pertanda bagi seorang hamba, maka kita harus lebih tekun lagi dalam menjalaini perintah-Nya. Semoga Allah memberi kemudahan dalam meniti takdir kita, semoga kita ditakdirkan menjadi orang baik. Dan jangan lupa untuk berdoa, meminta petunjuk dan pertolongan kepada-Nya. Nas-alullaha husnal khatimah, amin…

Leave your comment here: