DINAR DAN DIRHAM DALAM KAJIAN SEJARAH ISLAM

DINAR DAN DIRHAM DALAM KAJIAN SEJARAH ISLAM

NAR
Jauh sebelum kenabian, penduduk Makkah telah biasa berniaga dengan berbagai negeri dan dari berbagai tempat (QS Quraisy). Makkah adalah pusat transit perdagangan dan terhubung antara jalur sutera laut dan jalur sutera darat sejak berabad-abad. Oleh karena itu mereka telah mengenal timbangan seperti ratl, uqiyah, nasy, nawah, mitsqal, danaq, qirath dan habbah. Uang yang digunakan adalah uang emas dan uang perak atau dikenal dengan sebutan dinar dan dirham. Bahkan Imam Suyuthi dalam Kitab Ad-Durrul Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur mengutip sebuah riwayat yang menyatakan bahwa manusia pertama yang menggunakan dinar dan dirham adalah Nabi Adam AS. (Jilid I hal.326) yang disusun oleh Imam Jalaluddin Suyuthi mengatakan, (dikeluarkan oleh Ibn Abi Syuibah dalam Kitab Al-Mushonnaf).

Uang dalam terminologi Islam merupakan alat barter, tolok ukur, sarana perlindungan kekayaan dan alat pembayaran hutang dan pembayaran tunai. Perniagaan dan pasar ataupun muamalah secara luas yang kuat bersandar kepada uang yang kuat. Dalam hal ini uang yang dimaksud adalah emas dan perak atau dalam Islam dikenal dengan sebutan dinar dan dirham yang murni.

Hakikat uang secara umum merujuk kepada pendapat fuqaha tradisional yang menyatakan uang adalah dinar dan dirham, mereka berpendapat Allah menciptakan emas dan perak untuk menjadi dua mata uang yang dapat dijadikan tolok ukur nilai. Iman Al Ghazali berkata tentang emas dan perak, “Di antara nikmat Allah Ta’ala adalah penciptaan dinar dan dirham, dan dengan keduanya tegaklah dunia. Keduanya adalah batu yang tiada manfaat dalam jenisnya, tapi manusia sangat membutuhkan kepada keduanya”.

Ibn Qudamah berkata, “Sesungguhnya harga emas dan perak adalah nilai harta dan modal dagang, yang dengan itu terjadilah mudharabah dan syirkah, dan ia diciptkan untuk itu. Maka disebabkan keasliannya dan penciptaannya terjadilah perdagangan yang dipersiapkan untuknya”.

Kekuatan uang bersandar kepada pasar dan perdagangan tanpa riba, dan sebaliknya pasar dan perdagangan yang kuat bersandar kepada uang yang kuat, sehingga Islam menetapkan kaidah-kaidah keuangan yang menjamin interaksi perdagangan dan pasar yang bebas dari berbagai praktek riba seperti penimbunan, monopoli, manipulasi, kecurangan timbangan, penipuan, spekulasi dan berbagai bentuk ketidak adilan dalam jual beli. Sesungguhnya nilai dinar dan dirham adalah nilai harta dan modal dagang ygang dengan itu terjadilah mudharabah dan syarikah dan kedua logam ini diciptakan untuk hal itu. Maka disebabkan keasliannya dan penciptaan emas dan perak terjadilah perdagangan yang dipersiapkan untuknya. Islam merlarang cara apapun yang berdampak mudharat terhadap uang, walaupun terjadi perubahan waktu dan tempat.

Orang yang tidak yakin kepada Allah menjadikan fulus sebagai uang adalah bid’ah yang mereka ada-adakan dan kerusakan yang mereka ciptakan tidak ada dasarnya sama sekali dalam ajaran Nabi, dan dalam menjalankannya tidak bersandarkan pada sistem syariah. Membuat uang dari selain emas dan perak adalah yang menjadikan rusaknya segala urusan, kehancuran segala keadaan, dan menyebabkan manusia kepada ketiadaan dan kebinasaan. Dengan Merusak nilai uang (mengganti kepada selain emas dan perak) merugikan orang yang memiliki hak, mahalnya harga, terputusnya suplai dan bentuk-bentuk kerusakan yang lain.

Al Maqrizi mengatakan, “Sesungguhnya uang yang menjadi harga barang-barang yang dijual dan nilai pekerjaan adalah hanya emas dan perak saja. Tidak diketahui dalam riwayat yang shahih dan yang lemah dari umat yang manapun dan kelompok manusia manapun, bahwa mereka dalam masa lalu dan masa kini selalau menggunakan uang selain keduanya, dinar dan dirham”.

Sebelum masa Islam datang, orang arab, bangsa Quraisy telah memiliki hubungan dagang dengan beberapa negara tetangga. Meskipun demikian, mereka tidak memiliki mata uang sendiri yang dicetak, dimana uang emas berasal dari Romawi dan uang perak berasal dari Persia, dan hanya sedikit dirham yang berasal dari Yaman.

Kemudian pada masa Islam, Rasulullah shalallahu alaihi wassalam menetapkan dinar dan dirham sebagai mata uang yang sah dalam perdagangan atau perniagaan (uang sunnah). Adalah Arqam ibn Abi Arqam, sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wassalam yang ahli menempa emas dan perak membantu beliau dalam penetapan timbangan.

Sanad pencetakan (dan mitsqal)  tidak pernah terputus dari masa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam hingga hari ini, dan sanad tersebut bukan di ambil dari buku. Dengan adanya sanad tersebut ilmupun menjadi terjaga, Ibnu Mubarak berkata, “Isnad termasuk agama, tanpa isnad orang akan berkata sekehendaknya.” Sufyan Ats-Tsaury mengatakan, “Sanad adalah senjatanya orang mukmin.”

Adapun para sahabat nabi Muhammad yang ahli di bidang mencetak dinar dan dirham adalah:

  1. Abu Bakar Ash-Shiddiq
    2. Umar bin Khattab
    3. Utsman bin Affan
    4. Ali bin ABi Thalib
    5. Abdurrahman bin ‘Auf
    6. Sa`d bin Abî Waqâs
    7. Arqam bin Abil Arqam
    8. Thalhah bin Ubaidillah
    9. Zubair bin Awwam

Diriwayatkan oleh Baladzuriy dari ‘Abdulllah bin Tsa’labah bin Sha’ir: “Dinar Hiraklius (Romawi) dan Dirham Persia biasa digunakan oleh penduduk Makkah pada masa Jahiliyah. Mereka sudah mengetahui timbangan mitsqal. Dan Rasulullah shalallahu alaihi wassalam menetapkan hal itu. Begitu pula Abubakar meneruskannya, juga ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali. Saat itu kaum muslim telah menggunakan dinar Hiraklius dan dirham Kisra pada masa Rasulullah Abubakar dan pada permulaan masa ‘Umar. Pada masa ‘Umar (*sekitar tahun 642-651M), beliau mencetak dirham yang baru berdasarkan dirham Sasanid di mana bentuknya mengacu kepada dirham Kisra, gambarnya bermotif Bahlawiyah dengan ditambahkan tulisan Arab kufi, dengan nama Allah dan dengan nama Allah Tuhanku

Al Qur’an menyebutkan uang dinar sudah digunakan oleh Kaum Ahli Kitab sebelum Nabi Muhammad (Al Quran, Ali ‘Imran 75). Demikian pula uang dirham telah dipakai pada masa Nabi Yusuf (Al Quran, Yusuf 20).

Rasululllah shalallahu alaihi wassalam menetapkan timbangan dinar sama dengan satu mitsqal dan setiap 10 (sepuluh) dirham itu 7 (tujuh) mitsqal. ‘Umar bin Khattab menselaraskan pelbagai berat drachma menjadi dirham syar’i (yaitu 6 dawaniq) sesuai timbangan Makkah pada masa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam

Pada tahun 682M gubernur Iraq (Mush’ab ibn Az- Zubayr) mencetak dinar. Dan dua tahun kemudian, 684M, Abdul Malik ibn Marwan, Khalifah Bani Umayyah di Damaskus mencetak dinar dengan berat 4,4 gram sesuai timbangan mitsqal (seberat 72 butir gandum). Pada tahun 695 M berat dinarnya dikurangi oleh Hajjaj ibn Yusuf (Gubernur Iraq) menjadi 4,2 gram (seberat 65-66 butir gandum) dan melakukan reformasi keuangan. Namun kemudian dikoreksi kembali oleh Khalifah Harun Al Rasyid karena tidak sesuai timbangan (wazan) yang ditetapkan Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, yaitu mitsqal.

Hal ini diperkuat juga dengan pernyataan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mengatakan bahwa dirham buatan Khalifah Abdul Malik bin Marwan bobotnya kurang, maka perbandingannya bukan 7/10 mitsqal tetapi 7/10.5 mitsqal (disebutkan dalam kitab Adh-Dharaib Fi As Sawad, hal. 65), ini artinya 7 mitsqal = 10,5 x 2.97 gram = 31.1 gr atau 1 troy ounce, artinya berat 1 Dirham adalah 3.11 gram. Dari sini kita dapat tentukan 1 Dinar adalah 31.1 : 7 = 4.44285 gram.

Dinar yang beredar di negeri-negeri muslim berada dalam rentang mitsqal 4.4 – 4.55 gram. Berbagai jenis dinar dapat kita lihat di dalam buku Coinage Of Islam.

Pada masa Kekhalifahan Turki Utsmani ditemukan juga sistem perdagangan menggunakan dinar dan dirham beberapa catatan perniagaan Kesultanan Turki Utsmani mempunyai perdagangan yang kuat dan menjalin hubungan dagang dengan berbagai negara di Eropa, India, Yaman, Cina dan lain lain. Dan dalam sejarah perdagangan Kekhalifahan Turki Utsmani beredar berbagai jenis uang emas dan perak seperti Ducat emas, Gulden emas dan perak, Florin emas, dan Cruzados. Kekhalifahan Turki mencetak koin emas yang disebut Khurus dan koin perak yang disebut Akche (Acke) atau dirhem. Timbangan dan berat yang umum pada saat itu digunakan yaitu ratl, okka, ukiya dan kirat.

Dan dari hal ini diketahui berat dirham dimasa itu, yaitu rata-rata antara 3.0898 – 3.207 gram. seperti yang di jelaskan di bawah ini:

  • Dirham atau Dirhem atau Akche (Acke) = 16 kirat = 64 dang = 3.207 gram.
    • Dirham Bizantium dan awal Islam = 3.125 gr.
    • Dirham menurut shariah dan kanonikal = 3.125 gram.
    • Dirham di Kairo = 3.0898 gram.
    • Dirham di Dimishki = 3.086 gram.
    • Dirham di Tabriz = 3.072 gram.

Hal yang menjadi dasar utam dari kita semua kembali mengamalkan dinar dan dirham adalah kepada keimanan dan ketakwaan, bukan yang lain, karena ini bagian dari perintah Allah yang merupakan urusan akidah Islam dan berkaitan erat dengan salah satu rukun Islam yaitu tiang zakat maal, dimana semua 4 Ulama Madhab menyatakan bahwa zakat maal harus ditarik sebanyak 20 Mitsqal untuk Zakat Emas dan 200 Dirham untuk Zakat Perak, dan kesemuanya dihitung bahan emas dan perak murni[1]

Imam Hanafi mengatakan tentang hal ini:
“Bahwa ukuran Nisab Zakat yang disepakati ulama’ bagi emas adalah 20 Mitsqal, dan telah mencapai haul (1 tahun) dan bagi perak adalah 200 dirham”[2]

Imam Asy-Syafi’I berkata dalam Kitab Al-Umm, Volume 2:
“Rabi’ meriwayatkan bahwasanya Imam Asy-Syafi’I berkata: Tidak ada perbedaan pendapat (ikhtilaf) bahwasanya Dalam Zakat Emas itu adalah 20 Mitsqal (Dinar)”.[3]

Penggunaan dinar dan dirham sebenarnya sudah terjadi sekian lama, jauh sebelum Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam lahir, yaitu yang pertama kali menggunakan dinar dan dirham adalah Nabi Adam alaihis salam, dapat di lihat dalam Tafsir ad-Durrul Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur (Vol. I hal, 326) yang disusun oleh Imam Jalaluddin Suyuthi mengatakan, (dikeluarkan oleh Ibn Abi Syuibah dalam Kitab Al-Mushonnaf). Pada masa Nabi Idris ‘alaihis salam, 9000 tahun Sebelum Masehi, sebagai Rasul Ke-2 yang pertama kali hidup menetap, mengenal tambang emas dan perak, dan mengolahnya menjadi sebuah mata uang yang diberi nama raqim [4] untuk mata uang emas, dan wariq [5] untuk mata uang perak.

Sejarah mata uang raqim dan wariq ini, berlangsung cukup lama mulai dari periode Nabi Idris [6], dilanjutkan ke periode Nabi Nuh, ke periode Hud, ke periode Nabi Sholih, ke periode Nabi Dzulqarnain, ke periode Ashabulkahfi, ke periode Nabi Ibrahim, ke periode Nabi Luth, ke periode Nabi Isma’il dan ke periode Nabi Ishaq. Peristiwa penting ini secara implisit dijelaskan dalam Al-Qur’an di 403 ayat dalam Al-Qur’an.[7]

Penamaan Dinar sebagai mata uang emas, dan Dirham sebagai mata uang perak, baru terjadi Periode Nabi Ya’qub dan Nabi Yusuf. Hal ini termaktub dalam Surah Ali-Imran (3): 75, [8] dan Surah Yusuf 12: 20.[9]

Standarisasi ukuran dinar dan dirham pada masa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam sama dengan ukuran raqim dan wariq pada masa Nabi Idris sampai Nabi Ishaq, dan sama pula ukurannya dengan dinar dan dirham pada masa Nabi Ya’qub sampai Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam. Ukuran ini adalah ukuran yang telah disepakati oleh Jumhur Ulama’. Yaitu: nisab zakat harta yang harus ditarik sebanyak 20 Dinar untuk Zakat Emas dan 200 Dirham untuk Zakat Perak.[10]

Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, menerapkan kaidah timbangan dinar dan dirham ini sesuai dengan “(berat) 7 dinar harus setara dengan (berat) 10 dirham”. Sunnah dinar dan dirham ini kemudian diikuti oleh para Khulafâ’ur Rasyidun yang berlangsung selama 30 tahun, yaitu sejak tahun 11 H sampai 40 H, berlangsung di Madinah yaitu Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, Khalifah Umar bin Khattab, Khalifah Utsman bin ‘Affan dan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib.[11]

Standarisasi dinar dan dirham di atas juga dijaga tradisinya pada masa Bani Umayyah, berjalan selama 92 tahun, sejak tahun 40 H sampai 132 H. dengan 14 orang Khalifah yang berpusat di Damaskus. Khalifah-Khalifah itu yaitu: Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Yazid bin Mu’awiyyah, Mu’awiyyah II bin Yazid, Marwan bin Al-Hakam, Abdul Malik bin Marwan, Walid bin Abdul Malik, Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul ‘Aziz, Yazid II bin Abdul Malik, Hisyam bin Abdul Malik, Walid II bin Yazid, Yazid III bin Walid, Ibrahim bin Walid dan Marwan II bin Ja’diy.[12]

Standarisasi dinar dan dirham di atas juga dijaga tradisinya pada masa Bani ‘Abbasiyyah, berjalan selama 518 tahun, sejak tahun 132 H sampai 656 H. dengan 37 orang Khalifah yang berpusat di Baghdad. Khalifah-Khalifah itu yaitu: Abul ‘Abbas As-Saffah, Abu Ja’far Al-Manshur, Mahdi bin Al-Manshur, Hadi bin Mahdi, Harun ar-Rasyid bin Mahdi, Al-Amin bin Harun Ar-Rasyid, Al-Ma’mun bin Harun Ar-Rasyid, Al-Mu’tashim bin Harun Ar-Rasyid, Al-Watsiq bin Mu’tasyim, Al-Mutawakkil bin Mu’tashim, Al-Mutashir bin Al-Mutawakkil, Al-Musta’in bin Mu’tashim, Al-Mu’tazz bin Mutawakkil, Muhtadi bin Al-Watsiq, Mu’tamid bin Mutawakkil, Mu’tadid bin Al-Muwaffiq, Muktafi bin Mustadhid, Ar-Radhi bin Muqtadir, Al-Muqtaqi bin Muqtadir, Mustaqfi bin Mustaqfi, Al-Mu’thi bin Muqtadir, At-Ta’bin Al-Mu’thi, Al-Qadir bin Ishaq, Al-Qaim bin Al-Qadir, Muqtadi bin Muhammad, Mustazhir bin Muqtadi, Murtashid bin Mustashir, Ar-Rashid bin Murtasyid, al-Muqtafi bin Mu’atshir, Mustanjid bin Muqtafi, Mustadi bin Al-Muqtadi, An-Nashir bin Muatahdi, Az-Zhahir bin An-Nashir, Mustanshir bin Az-Zhahir, Musta’sihim bin Mustansir.[13]

Standarisasi dinar dan dirham di atas juga dijaga tradisinya pada masa kerajaan-kerajaan kecil (Mulukut Thawâif), baik di benua Timur maupun di benua Barat (Andalusia) yang masuk menyelusup di masa Bani ‘Abbasiyyah, yaitu dari tahun 321 H sampai 685 H berjalan selama 350 tahun.[14]

Standarisasi dinar dan dirham di atas juga dijaga tradisinya pada masa Turki Utsmani, berjalan selama 666 tahun, sejak tahun 687 H sampai 1343 H (1924 M) dengan 38 orang Sultan yang berpusat di Istanbul (Kontantinopel).[15]

Bahkan pada masa Sultan Muhammad II Al-Fatah (Sultan Ke-7 dari Kesultanan Turki Utsmani), tahun 855H/ 1451M, Dinar dan Dirham dibawa oleh Duta Muballigh Islam yang dikenal dengan “Walisongo” melalui perdagangan bersistem Dinar Dirham di Wilayah Nusantara (Asia Tenggara).[16]

Dalam catatan Syekh Muhyiddin Khayyat dalam “Durusut Tarekh Al-Islamiy” Juz V, dan Catatan Jarji Zaidan dalam Tarekh Tamaddun Al-Iskamiy, Juz III, menyebutkan bahwa: Standarisasi Dinar dan Dirham di atas juga dijaga tradisinya di beberapa negara-negara Islam, seperti Kesultanan Umayyah di Adaluzie Eropa, mulai tahun 138 H = 755M sampai 407 H/ 1016 M. Juga diterapkan di Kesultanan Fathimiyyah di Afrika Utara dan Mesir sejak tahun 279 H/ 909 M sampai 567H/ 1171M, juga diterapkan di Kesultanan Ayyubiyyah di Mesir dan Syiria sejak tahun 567H/1171 M sampai 657H/1260 M, juga diterapkan di Kerajaan Geznewiyah di Afghanistan dan India sejak tahun 366 H/976M sampai 579H/1183M. Dan di Kesultanan Mongolia di India sejak tahun 932H/1526M sampai 1274 H/1857M.[17]

Mitsqal, Timbangan Berat Dan Kadar Dinar Dan Dirham Dalam Fikih Islam
Berdasarkan rumus “(berat) 7 Dinar harus setara dengan (berat) 10 Dirham”. Wahyu Allah menyebut emas dan perak serta mengaitkannya dengan berbagai hukum , misalnya zakat, perkawinan, hudud dan lain-lain.

Menurut Ibnu Khaldun dalam Mukaddimah, Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad Dimasyqi dalam fikih 4 Madzhab, menyatakan bahwa : Berdasarkan wahyu Allah, Emas dan Perak harus nyata dan memiliki ukuran dan penilaian tertentu (untuk zakat dan lainnya) yang mendasari segala ketentuannya, bukan atas sesuatu yang tak berdasarkan syari’ah (kertas dan logam lainnya). Ketahuilah bahwa terdapat persetujuan umum (ijma) sejak permulaan Islam dan masa Para Nabi dan Rasul, masa Nabi Muhammad, Khulafa’ur Rasyidun, Sahabat serta tabi’in, tabi’it tabi’in bahwa dirham yang sesuai syari’ah adalah yang sepuluh kepingnya seberat 7 mitsqal (bobot dinar) emas. Berat 1 mitsqal emas adalah 72 butir gandum, sehingga dirham yang bobotnya 7/10-nya setara dengan 50-2/5 butir. Ijma telah menetapkan dengan tegas seluruh ukuran ini.[18]

Rujukan di atas adalah salah satu prinsip yang menjadi jalan pembuka untuk kami mengkaji ulang mengenai mitsqal untuk berat dan kadar dinar dan dirham terhadap fikih zakat maal emas dalam hal ini adalah  nishab zakat emas dan perak. Dengan berbagai pertemuan, pembicaraan dan masukan formal dan informal yang kami lakukan baik dengan beberapa kolega kami di Indonesia, Amerika, Afrika Selatan, Malaysia baik secara langsung ataupun tidak langsung, meneliti berbagai literatur sejarah Islam dan dunia dan berbagai catatan dan bukti arkeologi baik langsung dan tidak langsung, maka kami akan mengemukakan beberapa hal penting terkait dengan standar dinar dan dirham terutama terhadap perhitungan nisab zakat emas dan perak di Nusantara dan dunia, yang tentunya hal ini kami niatkan untuk kepada keimanan, ketakwaan dan kelurusan dalam mengamalkan dinar dirham dalam muamalat Islam secara benar dan tepat sesuai dengan syari’at Islam (kitabullah dan sunnah Rasulullah).

Hal lain yang menjadi prinsip dan perhatian dalam menuntun kami sampai kepada  orisinalitas ini adalah, melihat kembali catatan terdahulu dari berbagai sumber kitab Islam yang diketahui bahwa nishab zakat emas adalah 89 (88.8), 91 dan 93 gram kesemuanya dalam emas murni (dzahab khalis), sedangkan nishab zakat emas  85 gram (juga dalam emas murni)  baru muncul dan dikenal kemudian hari yang banyak ditemui dalam buku-buku fikih zakat  kontemporer atau ekonomi Islam, yang menjadi salah satu rujukan fikih zakat kontemporer ini termasuk dalam buku Shaykh Utsaimin dan Dr. Yusuf Qardhawi, yang menyatakan pendapat nishab 85 gram (emas murni), atau dengan kata lain mengambil berat yang teringan (Buku Fikih Islam, Prof Dr. Wahbah Az-Zuhaili), hal ini digunakan untuk mengakomodir ‘fikih’ zakat profesi dari perbankan Islam (zakat profesi sendiri tidak pernah ada dalam Islam). Shaykh Utsaimin dan Dr. Yusuf Qardhawi dan kebanyakan ‘ulama’ kontemporer hari ini menyamakan dinar dan dirham dengan uang kertas, apa yang dilakukan oleh mereka ini bukanlah kehati-hatian dan bukan pula berdasarkan apa yang sudah kami jelaskan di atas.

Memahami Kekeliruan  Mendasar Dari Dinar 4.25 (91.7) atau Tidak Murni
Kekeliruan mendasar yang selama ini terjadi diberbagai buku dikatakan bahwa dinar itu tidak murni, perlu disadari bahwa dinar dan dirham yang di minta dalam ketentuan syariah dinyatakan berbahan murni atau semurni mungkin (dzahab khalis) yang dalam bahasa al Quran disebut kayla (kadar), dan ini tidak ada perubahan dalam hal itu, mengenai hal kemurnian ini yang dikatakan dalam fikih 4 Imam Madhab terkait pelaksanaan penarikan zakat maal untuk emas dan perak. Dan bahwa alasan bahwa emas murni lunak sehingga dibuatlah dinar berbahan campuran (tidak murni), adalah pendapat yang lemah dan semata disandarkan oleh alasan pragmatis dan teknis, ini dibangun dari sebuah pendapat pribadi dan bukanlah terkait hukum Islam. Dapat diketahui dari fakta, bukti sejarah dan arkeologis koin-koin emas murni yang ditemukan telah dapat bertahan hingga 700 tahun bahkan lebih, jadi bukan tiga tahun seperti dalih seorang penggiat dinar dan dirham.

Mengenai adanya kekhawatiran koin tersebut rusak atau beratnya berkurang itu adalah sesuatu yang alamiah, maka yang justru perlu dilakukan adalah mendukung pencetakan dinar dan dirham mandiri seperti Islamic Mint Nusantara (IMN) yang dapat dibantu dan berjalan atas pembiayaan wakaf dari umat muslim, agar koin-koin yang telah rusak atau aus dan berkurang beratnya karena digunakan dalam muamalah dapat ditarik, dilebur dan diganti dengan yang koin baru.

Penjelasan mengenai kadar berdasarkan perintah zakat maal tersebut adalah yang membedakan dinar dengan koin emas lain, jadi penelitian dan penjelasan ini dibuat bukan karena ingin berbeda tapi untuk mendapati kesempurnaan dalam timbangan (adil) yang terkait dengan muamalah Islam secara luas.

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa banyak dinar yang telah beredar saat ini mempunyai berat 4.25 (91.7) atau tidak murni, lalu dimana letak kekeliruannya? secara mendasar kita dapat melihat kekeliruan itu dalam perhitungan nishab zakat maal sebesar 20 dinar, yang akan di jelaskan sebagai berikut:

85 gram : 20 mitsqal= 4.25 gr (dzahab khalis)
Nishab adalah 4.25 gr x 20 = 85 gr (dzahab khalis)

Dalam 1 Dinar 4.25 (91.7) hanya mengandung 3.89 gram emas murni,
nishab adalah 3.89 gram x 20 = 77.8 gram (9999)

Jadi diketahui 20 Dinar (tidak murni) sama dengan 77.8 gram, yang sangat jauh dari fikih zakat kontemporer dengan nishab 85 gram emas (dzahab khalis), apalagi kepada fikih tradisional 89 (88.8), 91 dan 93 gram yang kesmuanya dalam emas murni.

Dari penjelasan di atas menjadi jelas bahwa nishab 85 gram emas murni tidak tercapai dari 20 dinar 4.25 gram berbahan campuran atau tidak murni, artinya jika konsisten mengikuti fikih kontemporer aspek kesempurnaan berat dan kadar terabaikan, karena dinar ini yang dimaksud menurut jumhur Ulama yang adalah emas murni (dzahab khalis) bukan emas campuran ataupun sengaja di campur, tentu hal ini tidak bisa diterima dan tidak bisa diabaikan, dalam praktek perhitungan mitsqal emas campuran bukan lagi menjadi 20 Dinar melainkan menjadi 22 Dinar (tentu kita tidak dapat merubah ketetapan hukum zakat emas sebanyak 20 mitsqal tersebut), artinya jika tetap menggunakan dinar 4.25 (91.7) atau 22 karat maka perhitungannya berat 1 mitsqal menjadi berbeda, yang dapat di jelaskan  berikut:

(24/22) x (85/20)= 4.63 gr (91.7)
nishab emas campuran menjadi 4,63 gr x 20 = 92.6 gr

Sekarang dapat dilihat perbedaan timbangan mitsqal dari 1 Dinar (22K/917) = 4.63 gr dan 1 Dinar (24K/9999) = 4.25 gr jadi kesimpulannya adalah, kalau nishab zakat emas dihitung dalam dengan standar 1 dinar = 4.25 gr (22K) hanya terkandung 77.8 gr emas (murni), dimana ini tidak mencapai nishab zakat mal yang seharusnya adalah 85 gram emas (murni) dalam penetapan fikih zakat kontemporer seperti yang telah dijelaskan di atas.

Dan mengenai pendapat (pribadi) yang menyatakan dinar 4.25 gram adalah 22 karat (91.7) atau tidak murni menyelisihi dan tidak mengikuti 4 madzhab yang mutabar, dan tentu pendapat ini sangat lemah karena tidak berdasarkan kepada nash-nash syar’i, hanya semata karena alasan teknis dan kepraktisan saja. [19] .

Dalam Catatan sejarah, nishab zakat emas dan perak yang dapat kami temui adalah 89, 91 dan 93 sedangkan nishab zakat 85 gram adalah baru dikenal pada abad 20 yang di dukung oleh pendapat Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin dan Dr Yusuh Qardhawi, Fiqh al-Zakah, jilid I. Sumber nishab zakat 93 gram lihat Ibn Qayyim al Jawziyyah, Zad al Ma’ad fi Hadyi Khayr al’ibad (Makkah: al-Maktabah al-’ilmiyyah) jilid I, hh 147-148. Sumber nishab 89 gram lihat Al Isyadat-us Saniyah fi al ahkam il Fiqiyah, bahagian ke-2 halaman 157).

Bersambung…….

Leave your comment here: