SIKAT GIGI DAN SIWAKAN DI SAAT PUASA RAMADLAN

SIKAT GIGI DAN SIWAKAN DI SAAT PUASA RAMADLAN

Syarah Fathul Qarib :

(والسواك مستحب في كل حال) ولا يكره تنزيها (إلا بعد الزوال للصائم) فرضا أو نفلا؛
وتزول الكراهة بغروب الشمس. واختار النووي عدم الكراهة مطلقا.

Siwak atau Gosok gigi itu disunnahkan pada semua situasi kecuali dimakruhkan dengan hukum makruh tanzih bagi orang yang sedang berpuasa pada siang hari setelah matahari
zawal baik puasa fardhu atau puasa sunnah dan hilanglah kemakruhannya
apabila matahari sudah terbenam (Maghrib), sedangkan menurut Imam Nawawi
beliau memilih tanpa ada kemakruhan secara mutlak.

Telah menjadi kesepakatan atas kebolehan menyikat gigi sebelum masuknya waktu
dzuhur(Qoblaz Zawal), Sedangkan jika di lakukan stelah masuknya waktu
dzuhur(Ba’daz Zawal) maka Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama’
Namun menurut pendapat yang Masyhur di kalangan Ulama’ Syafi’iyah Hukumnya Makruh
الاستياك للصائم
اتفق الفقهاء على أنه لا بأس بالاستياك للصائم أول النهار، واختلفوا في الاستياك للصائم بعد الزوال
Al Mausu’ah : 4/139

وأكثر العلماء وهو المختار: والمشهور الكراهة وسواء فيه صوم الفرض والنفل وتبقي الكراهة حتى تغرب الشمس
Al Majmu’, 1/275

Jika busa dari pasta gigi tersebut sampai tertelan maka puasanya batal.

Siwak dengan kayu basah dan yang kering bagi orang Berpuasa

Imam Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath
وَأَشَارَ بِهَذِهِ التَّرْجَمَةِ إِلَى الرَّدِّ عَلَى مَنْ كَرِهَ لِلصَّائِمِ الِاسْتِيَاكَ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ كَالْمَالِكِيَّةِ وَالشَّعْبِيِّ ، وَقَدْ تَقَدَّمَ قَبْلُ بِبَابِ قِيَاسِ اِبْنِ سِيرِينَ السِّوَاكَ الرَّطْبَ عَلَى الْمَاء الَّذِي يُتَمَضْمَضُ بِهِ
Keterangan ini mengisyaratkan bantahan atas pihak yang memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa, yakni bersiwak dengan kayu basah, seperti kalangan Malikiyah dan Asy Sya’bi’ dan telah dikemukakan sebelumnya tentang qiyas-nya Ibnu Sirin,bahwa bersiwak dengan kayu basah itu seperti air yang dengannya kita berkumur-kumur
(Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari juz 4/158 cet Darul Fikr)

Dijelaskan juga dalam Tuhfah al Ahwadzi disebutkan:
( إِلَّا أَنَّ بَعْضَ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا السِّوَاكَ لِلصَّائِمِ بِالْعُودِ الرَّطْبِ )
كَالْمَالِكِيَّةِ وَالشَّعْبِيِّ فَإِنَّهُمْ كَرِهُوا لِلصَّائِمِ الِاسْتِيَاكَ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ لِمَا فِيهِ مِنْ الطَّعْمِ ، وَأَجَابَ عَنْ ذَلِكَ اِبْنُ سِيرِينَ جَوَابًا حَسَنًا ، قَالَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ : قَالَ اِبْنُ سِيرِينَ : لَا بَأْسَ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ ، قِيلَ لَهُ طَعْمٌ ، قَالَ وَالْمَاءُ لَهُ طَعْمٌ وَأَنْتَ تُمَضْمِضُ بِهِ اِنْتَهَى . وَقَالَ اِبْنُ عُمَرَ : لَا بَأْسَ أَنْ يَسْتَاكَ الصَّائِمُ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ وَالْيَابِسِ رَوَاهُ اِبْنُ أَبِي شَيْبَةَ ، قُلْت هَذَا هُوَ الْأَحَقُّ

Sesungguhnya sebagian ahli ilmu ada yang memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa dengan menggunakan dahan kayu yang basah:
Seperti kalangan Malikiyah dan Imam Asy Sya’bi, mereka memakruhkan orang berpuasa bersiwak dengan dahan kayu basah karena itu bagian dari makanan.
Ibnu Sirin telah menyanggah itu dengan jawaban yang baik. Al Bukhari berkata dalam Shahihnya:
Berkata Ibnu Sirin: Tidak mengapa bersiwak dengan kayu basah, dikatakan bahwa itu adalah makanan Dia (Ibnu Sirin) menjawab:
Air baginya juga makanan, dan engkau berkumur kumur dengannya (air)Selesai. Ibnu Umar berkata:
Tidak mengapa bersiwak bagi yang berpuasa baik dengan kayu basah atau kering,
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah. Aku (pengarang Tuhfah Al Ahwadzi) berkata: Inilah yang lebih benar(Syaikh Abdurrahman al Mubarakfuri)
(Tuhfah Al Ahwadzi juz III/419. Al Maktabah As Salafiyah)

Dengan demikian tidak mengapa bahkan sunah kita bersiwak ketika berpuasa, baik, pagi, siang,atau sore secara mutlak sebagaimana yang dikatakan dalam Tuhfah al Ahwadzi.

وَبِجَمِيعِ الْأَحَادِيثِ الَّتِي رُوِيَتْ فِي مَعْنَاهُ وَفِي فَضْلِ السِّوَاكِ فَإِنَّهَا بِإِطْلَاقِهَا تَقْتَضِي إِبَاحَةَ السِّوَاكِ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَعَلَى كُلِّ حَالٍ وَهُوَ الْأَصَحُّ وَالْأَقْوَى
Dan dengan semua hadits-hadits yang diriwayatkan tentang ini dan keutamaan bersiwak, bahwa keutamaannya adalah mutlak, dan kebolehannya itu pada setiap waktu, setiap keadaan, dan itu lebih shahih dan lebih kuat,

Apakah pasta gigi, dihukumi sama dengan kayu basah, karena sama-sama mengandung air dan rasa.

Dan Imam An Nawawi mengatakan bahwa dengan alat apa pun selama tujuan membersihkan

وَهُوَ كُلّ آلَة يُتَطَهَّر بِهَا شُبِّهَ السِّوَاك بِهَا ؛ لِأَنَّهُ يُنَظِّف الْفَم ، وَالطَّهَارَة النَّظَافَة ذَكَرَهُ النَّوَوِي
Yaitu alat apa saja yang bisa mensucikan dengannya maka dia menyerupai siwak, karena dia bisa membersihkan mulut, bersuci dan membersihkan, demikian kata An Nawawi
(Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi, Syarh An Nasa’i Juz 1 Hal. 7 No. 5. Mawqi Al Islam)

BATASANNYA SETELAH TERGELINCIRNYA MATAHARI

ولا يكره إلا للصائم بعد الزوال ولو صوم نفل

Dan tidak dimakruhkan memakai siwak kecuali bagi orang puasa setelah tergelincirnya matahari meskipun saat menjalani puasa sunah.

As-Siraaj al-Wahhaaj I/17(

ولا يكره ) بحال ( إلا للصائم بعد الزوال ) ولو نفلا لخبر الصحيحين لخلوف الصائم أطيب عند الله من ريح المسك والخلوف بضم الخاء تغير رائحة الفموالمراد الخلوف بعد الزوال لخبر أعطيت أمتي في شهر رمضان خمساثم قال وأما الثانية فإنهم يمسون وخلوف أفواههم أطيب عند الله من ريح المسك والمساء بعد الزوال(Dan tidak dimakruhkan sama sekali memakai siwak kecuali bagi orang puasa setelah tergelincirnya matahari meskipun saat menjalani puasa sunah).

Berdasarkan hadits Nabi “Sungguh bau mulut orang berpuasa lebih harum dari minyak misik (HR. Bukhari Muslim)Yang dimaksud bau mulut diatas adalah bau mulut setelah tergelincirnya matahari berdasarkan hadits nabi yang lain”Diberikan kepada umatku lima perkara dalam bulan Ramadhan.

Seterusnya beliau bersabda : Adapun yang kedua, mereka berada pada saat setelah tergelincir matahari, sedangkan bau mulut mereka di sisi Allah lebih harum dari bau misik” (H.R. al-Hasan bin Sufyan dalam Musnadnya dan Abu Bakar al-Sam’any dalam Amaliah, beliau berkata : “ Ini hadits hasan”.

Seperti ini juga telah dikatakan oleh An-Nawawi dalam Syarah Muhazzab berdasarkan cerita dari Ibnu Shalah)Kata Masaa’ (sore hari) adalah waktu setelah tergelincirnya matahariMughni alMuhtaaj I/56

Makruh setelah masuk waktunya shalat dhuhur bilamana siwakan itu di lakukan bukan karena mulut yang berbau, kalau di lakukan karena berbaunya mulut maka tidak makruh. Bahkan mnurut imam Nawawi tidak makruh walaupun setelah msuknya waktu shalat dhuhur.

و يكره للصائم و لو نفلا السواك بعد الزوال اى الغروب و ان لم يتغير فمه من الصوم بل من نحو نوم عند حج للخبر الصحيح ” لخلوف فم الصائم يوم القيامة اطيب عند الله من الريح المسك” ….بشرى الكريم ٢/٧٥

Dimakruhkan bagi orang yg berpuasa walau puasa sunah menggunakan siwak setelah lingsirnya matahari sampai tenggelamnya…siwak sebelum zawal nda’apa-apa, karena ada pendapat yg mengatakan tidak ada kemakruhan secara mutlak meski ba’da zawal sekalipun.

و هل يكره للصائم بعد الزوال فيه خلاف؟ الراجح فى الرافعى و الروضة انه يكره لقوله عليه الصلاة و السلام لخلوف فم الصائم الطيب عند الله من الريح المسك رواه البخارى.و فى رواية مسلم يوم القيامة. و الخلوف بضم الخاء واللام هو التغييرو خص بما بعده الزوال لان تغيير الفم بسبب الصوم حينئذ يظهر، فلو تغير فمه بعد الزوال بسبب اخر كنوم او غيره فاستاك لاجل ذلك لا يكره و قيل لا يكره الا ستياك مطلقا و به قال الائمة الثلاثة و رجحه النووى فى الشرح المهذبكفاية الاخيار ١/١٦_١٧

Apakah makruh bagi orang yg berpuasa bersiwak setelah lingsir matahari? hal ini terjadi perbedaan pendapat pendapat yg rojeh dari Imam Rofi’i adalah makruh hal ini didasarkan atas hadis dari imam Bukhori dan Imam Muslim Bahwasanya perubahan bau mulut orang yg berpuasa disisi Allah adalah lebih wangi dibanding misik.Dihususkan dgn lingsir matahari, karena pada waktu itu perubaham bau mulut karena berpuasa akan tampak, Apa bila perubahan bau mulut sesudah matahari lengser disebabkan oleh hal lain semisal karena habis tidur maka bersiwak tidak dimakruhkan.

Pendapat yg ke-2 menghukumi tidak makruh secara mutlak dan ini adalah pendapat 3 Imam Madzhab.

Dan Imam Nawawi merojehkan dalam kitabnya Syarah al-Muhadzab

Wallaahu A’laamu Bis Showaab

Leave your comment here: