KONSEP ISTIHSAN, ISTISHLAH DAN MASLAHAT AL AMMAH
Dinamika hukum Islam dibentuk oleh adanya interaksi antara
wahyu dan rasio. Itulah yang berkembang menjadi ijtihad; upaya
ilmiah menggali dan menemukan hukum bagi hal-hal yang tidak
ditetapkan hukumnya secara tersurat (manshus) dalam syariah
(al-kitab wa sunnah). Dengan demikian, sumber hukum Islam
terdiri atas: al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan akal. Selain dari
sumber hukum primer tersebut, dikenal juga adanya
sumber-sumber sekunder (al-mashadir al-tab’iyyah), yaitu:
syariah terdahulu (syar’ man qablana). Pendapat sahabat Nabi
(qaul al-shahabi), kebiasaan/adat-istiadat (al’urf), Istihsan,
Istishlah dan Istishhab.
ISTIHSAN
Pada saat-saat awal terbentuknya pemikiran hukum Islam yang
metodis (ilmu fiqh), dikenal adanya dua kubu pengembangan
pemikiran hukum Islam; yaitu kubu Irak dan kubu Hijaz. Tokoh
utama kubu Irak ialah Imam Abu Hanifah, dan tokoh utama kubu
Hijaz adalah Imam Malik. Biasanya para ulama pendukung kubu
Irak dikenal sebagai ahl al-ra’y, dan para ulama pendukung
kubu Hijaz dikenal sebagai ahl al-hadits.
Ahl al-ra’y sesuai dengan situasi lingkungannya, dalam
pengembangan pemikiran hukumnya (metoda ijtihadnya) volume
penggunaan rasio lebih besar dari volume penggunaan hadist
(sebagai salah satu sumber syari’ah). Ini tidak berarti,
mereka tidak mengakui keabsahan hadist itu, atau sama sekali
tidak menggunakan sumber hukum itu. Tapi penggunaannya sangat
terbatas.
Di pihak lain kita dapat mengamati, ahl al-hadits sesuai
dengan situasi lingkungannya, mereka dalam pengembangan
pemikiran hukum (metode ijtihadnya) volume penggunaan sumber
hukum hadits lebih besar dari volume penggunaan sumber rasio
(dalam hal ini qias). Ini tidak berarti mereka menolak
penggunaan sumber rasio itu. Kedua kubu tersebut mengakui
keabsahan sumber hukum qias.
Ahl al-ra’y yang volume penggunaan rasionya lebih besar,
ternyata tidak saja menggunakan qias yang merupakan bentuk
penggunaan rasio dengan cara analogis ilmiah ketat, tapi
mereka juga menggunakan analogi yang longgar dan lebih luas.
Dalam hubungan inilah lahir konsep Istihsan.
Istilah “Istihsan” sebagai technische-term banyak beredar di
kalangan tokoh-tokoh (ulama) dari aliran pemikiran hukum
(mazhab) Hanafiyah. Mereka menggunakannya secara tersendiri
atau menyebutnya berdampingan dengan kata/istilah qias. Mereka
sering mengatakan, hukum dalam masalah ini bersumber dari
Istihsan.
Dengan kata lain mereka mengatakan, dalam masalah ini, menurut
qias hukumnya begini, dan menurut Istihsan hukumnya begini.
Kita menggunakan qias dalam masalah ini, atau kita menggunakan
istihsan dalam masalah ini. Sepanjang penelitian guru besar
ilmu-ilmu Syari’ah pada Fakultas Hukum Universitas Kairo,
Syekh Muhammad Zakariya al-Bardisi, mereka yang menggunakan
Istihsan sebagai sumber hukum tidak mempunyai kesepakatan atas
suatu definisi tentang Istihsan itu, bahkan kita menemukan
dari mereka beberapa definisi yang kontradiktif, di antaranya
adalah:
Istihsan itu, ialah peralihan dari hasil sesuatu qias kepada
qias yang lain yang lebih kuat. Menurut al-Bardisi definisi
ini tidak mencakup (ghair jami’), karena tidak dapat menampung
Istihsan yang ditegakkan di luar landasan qias, seperti
Istihsan yang ditegakkan di atas landasan nas, atau ijma’ atau
dharurah.
Definisi yang lain, menyebutkan Istihsan itu suatu qias yang
lebih dalam (khafi), tidak segera dapat ditangkap,
dibandingkan dengan qias yang jelas (jali). Definisi ini
menurutnya, bukan saja tidak mencakup, tapi apa yang dia
maksud dengan qias di sini tidak begitu jelas, apakah itu qias
dalam arti technische-term, atau dalam arti yang mencakup qias
yang lebih luas yang dikaitkan dengan suatu ketentuan umum
atau suatu kaidah-kaidah hukum yang baku.
Sebagian lagi memberikan definisi, istihsan itu ialah semua
ketentuan syar’i (baik yang bersifat nash, atau ijma’, atau
dharurah, atau qias yang lebih dalam) dibandingkan dengan qias
yang jelas. Definisi ini pun belum mencakup, karena ada juga
istihsan yang ditegakkan atas landasan ‘urf atau mashlahah
Secara harfiah Istihsan itu berarti menganggap baik akan
sesuatu baik itu fisik maupun nilai. Kata ini kemudian
digunakan sebagai suatu technische-term yang membentuk
pengertian baru menggambarkan suatu konsep penalaran dalam
rangka penggunaan rasio secara lebih luas untuk menggali dan
menemukan hukum sesuatu kejadian yang tidak ditetapkan hukum
dari sumber syari’ah yang tersurat, atau sumber hukum yang
dipersamakan dengan itu, yakni kesepakatan para ahli yang
berwenang (ahl al-ijtihad) di kalangan umat Islam.
Dalam analogi qias, dibutuhkan adanya suatu ketentuan pokok
yang bersifat terinci (tafshili) untuk dijadikan landasan
mengaitkan sesuatu yang ada persamaannya, dalam hal tujuan dan
sasaran ditetapkannya ketentuan tersebut. Dalam bahasa
tekniknya harus ada ashl dan harus ada ‘illah, untuk
menghasilkan suatu hukum bagi kejadian baru.
Dari uraian ini dapat ditangkap, ada empat elemen dari analogi
qias itu, yakni ketentuan pokok (ashl), landasan penyamaan
(‘illah), kejadian baru (far), ketentuan yang dihasilkan dari
pengaitan (ilhaq) tersebut di atas dan inilah yang disebut
hukum qias. Sebagian ahl al-ijtihad menganggap qias ini
merupakan upaya final dalam penggalian dan penemuan
hukum-hukum dari sumber syari’ah atau sumber yang dipersamakan
(ijma’), tapi sebagian yang lain beranggapan, masih ada upaya
penalaran yang lain seperti Istihsan dan istislah dan
seterusnya.
Analogi Istihsan tidak terikat pada keketatan analogi qias
karena dimungkinkan adanya qias alternatif (qias kahfi) yang
terlepas dari elemen ‘illah (dalam analogi qias biasa), atas
pertimbangan sesuatu alasan yang lebih kuat. Alasan itulah
menjadikan qias jali (biasa) dialihkan kepada qias khafi
(alternatif) dan hasilnya disebut Istihsan. Termasuk pula
dalam kategori Istihsan, pengecualian masalah tertentu dari
suatu ketentuan pokok yang bersifat umum, atau dari suatu
kaidah hukum, karena pengecualian itu didukung oleh suatu
nash, atau ijma’, atau ‘urf atau dharurah, atau mashlahah.
Dengan kata lain pertimbangan adanya ketentuan lain atau
kesepakatan, atau kebiasaan, atau keadaan darurat atau suatu
kepentingan nyata, semua itu merupakan elemen-elemen dalam
hukum Istihsan.
Dalam perkembangan pemikiran hukum Islam, Istihsan ini
ditempatkan sebagai sumber hukum sekunder, di kalangan
penganut aliran pemikiran hukum (madzhab) Hanafiyah. Kemudian
berkembang pula secara terbatas dalam aliran Malikiyah dan
Hambaliyah, sekalipun dengan istilah-istilah yang berbeda.
Yang dicatat sebagai seorang tokoh yang menolak menempatkan
Istihsan itu sebagai suatu sumber hukum sekunder, adalah Imam
Syafi’i, karena beliau berpendapat, kaidah-kaidah interpretasi
atas ketentuan-ketentuan syari’ah (al-Qur’an dan Sunnah)
ditambah dengan analogi qias, sudah cukup, untuk menampung
segala perkembangan yang terjadi, yang perlu ditata dalam
hukum Islam.
ISTISHLAH
Istishlah merupakan suatu konsep dalam pemikiran hukum Islam
yang menjadikan mashlahah (kepentingan/kebutuhan manusia) yang
sifatnya tidak terikat (mursalah) menjadi suatu sumber hukum
sekunder. Karenanya juga konsep ini lebih dikenal dengan
sebutan, al-mashlah al-mursalah atau al-mashalih al-mursalah.
Konsep penalaran ini bermula dikembangkan dalam aliran
pemikiran hukum Islam (madzhab) Malikiyah. Tapi dapat kita
catat, pada hakekatnya konsep ini telah dikenal dan digunakan
oleh angkatan pertama ahl al-ijtihad di kalangan sahabat dan
tabi’in. Dan ternyata kemudian diambil alih juga oleh Imam
al-Ghazali dari aliran Syafi’iyah dengan beberapa
penyempurnaan. Tapi perlu dicatat, konsep ini ditolak oleh
aliran Zhahiriyyah dan Syi’ah.
Landasan pemikiran yang membentuk konsep ini ialah, kenyataan
bahwa, syari’ah Islam dalam berbagai pengaturan dan hukumnya
mengarah kepada terwujudnya mashlahah (apa yang menjadi
kepentingan dan apa yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya
di permukaan bumi). Maka tidak dituntut untuk dilakukan
manusia untuk kepentingan hidupnya, dan manusia tidak dicegah
melakukan sesuatu, kecuali hal-hal yang pada galibnya
membahayakan dan memelaratkan hidupnya. Maka, upaya mewujudkan
mashlahah dan mencegah mafsadah (hal-hal yang merusak) adalah
sesuatu yang sangat nyata dibutuhkan setiap orang dan jelas
dalam syari’ah yang diturunkan Allah kepada semua rasul-Nya.
Dan itulah sasaran utama dari hukum Islam.
Dalam kajian para ahl-ijtihad ada tiga jenis mashlahah, yaitu:
1.Mashlahah yang diakui ajaran syari’ah, yang terdiri dari
tiga tingkat kebutuhan manusia, yaitu:
1.1.Dharuriyyah (bersifat mutlak) karena menyangkut
komponen kehidupannya sendiri sebagai manusia, yakni
hal-hal yang menyangkut terpelihara dirinya (jiwa, raga
dan kehormatannya) akal pikirannya, harta bendanya,
nasab keturunannya dan kepercayaan keagamaannya. Kelima
tersebut biasanya disebut al-kulliyyat al-khams atau
al-dharuriyyat al-khams, yang menjadi dasar mashlahah
(kepentingan dan kebutuhan manusia).
1.2.Hajiyyah (kebutuhan pokok) untuk menghindarkan
kesulitan dan kemelaratan dalam kehidupannya.
1.3.Tahsiniyyah (kebutuhan pelengkap) dalam rangka
memelihara sopan santun dan tata krama dalam kehidupan.
2.Mashlahah yang tidak diakui ajaran syari’ah, yaitu
kepentingan yang bertentangan dengan maslahah yang diakui
terutama pada tingkat pertama.
3.Mashlahah yang tidak terikat pada jenis pertama dan kedua.
Penempatan masalah ini sebagai suatu sumber hukum sekunder,
menjadikan hukum Islam itu luwes dan dapat diterapkan pada
setiap kurun waktu di segala lingkungan sosial. Namun perlu
dicatat ruang lingkup penerapan hukum mashlahah ini adalah
bidang mu’amalat, dan tidak menjangkau bidang ibadat, karena
ibadat itu adalah hak prerogatif Allah sendiri.
Para ahli yang mendukung konsep penalaran ini mencatat tiga
persyaratan dalam penerapan hukum mashlahah ini, yaitu,
- Mashlahah itu harus bersifat pasti, bukan sekadar anggapan
atau rekaan, bahwa ia memang mewujudkan suatu manfaat atau
mencegah terjadinya madharrah (bahaya atau kemelaratan).
- Mashlahah itu tidak merupakan kepentingan pribadi atau
segolongan kecil masyarakat, tapi harus bersifat umum dan
menjadi kebutuhan umum.
- Hasil penalaran mashlahah itu tidak berujung pada
terabaikannya sesuatu prinsip yang ditetapkan oleh nash
syari’ah atau ketetapan yang dipersamakan (ijma’).
AL-MASHLAHAH AL-‘AMMAH
Hukum Islam mengenal mashlahah ‘ainiyah (kepentingan perorang)
dari setiap manusia, yang sifatnya umum yakni yang merupakan
kepentingan setiap manusia dalam hidupnya, seperti yang
digambarkan dalam uraian terdahulu tentang al-kulliyyat
al-khams. Hal-hal ini terkait dengan taklif yang berbentuk
fardhu ‘ain. Seperti misalnya yang menyangkut mashlahah harta
benda/kepentingan seorang manusia memiliki harta benda (untuk
makan, pakaian dan tempat tinggalnya) hal ini bersangkutan
dengan fardhu ‘ain yang dijelaskan dalam tuntunan Rasulullah
saw (thalab-u ‘l-halal faridhatun ‘ala kulli muslim) yaitu
kewajiban bekerja mencari rizki memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari. Seterusnya yang menyangkut mashlahah akal
pikiran, bersangkutan dengan fardhu ‘ain yang dijelaskan dalam
hadits lain yang berbunyi (thalb-u ‘l-‘ilmi faridhatun ‘ala
kulli muslim). Begitu seterusnya menyangkut tiap mashlahah
yang sifatnya dharuriyyah, jelas memperlihatkan keterkaitannya
dengan kewajiban perorangan sebagai imbalan adanya pengakuan
atas mashlahah dharuriyyah yang menimbulkan hak-hak mutlak
perorangan bagi setiap manusia.
Di samping mashlahah tersebut di atas, hukum Islam juga
mengenal mashlahah ‘ammah yang menjadi kepentingan bersama
masyarakat atau kepentingan umum (algemeen blang). Ini
menyangkut hak publik dan berkaitan dengan fardhu kifayah.
Imam Rafi’i menjelaskan,fardhu kifayah itu adalah urusan umum
yang menyangkut kepentingan-kepentingan (mashalih) tegaknya
urusan agama dan dunia dalam kehidupan kita, di antaranya
adalah mencegah kemelaratan orang banyak (kaum Muslim),
menciptakan lapangan kerja untuk mewujudkan mata pencaharian
bagi anggota-anggota masyarakat, menegakkan kontrol sosial
melalui amar ma’ruf nahi mungkar, mencerdaskan kehidupan
masyarakat melalui pendidikan, bimbingan keagamaan (fatwa) dan
penyebaran buku-buku.