HARI SANTRI NASIONAL DAN LIGA SANTRI PONDOK PESANTREN

HARI SANTRI NASIONAL DAN LIGA SANTRI PONDOK PESANTREN

22 Oktober merupakan peringatan Hari Santri Nasional. Peringatan ini adalah sebuah pengakuan negara atas eksistensi santri dan perannya dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Perlu diketahui bahwa Hari Santri yang ditetapkan sejak 2015 ini merujuk pada keluarnya fatwa ‘Resolusi Jihad’ KH. Hasyim Asy’ari untuk mengusir penjajah dari tanah air pada tahun 1945. Itulah sekilas tentang dasar penetapan Hari Santri Nasional.

Jika dulu santri selalu identik dengan kaum sarungan, identik dengan para pelajar kitab-kitab suci di sebuah pondok pesantren, kini identitas tersebut mengalami perluasan. Santri masa kini tidak sekedar mendalami ilmu agama saja. Kalangan santri sudah banyak memberikan kontribusi di berbagai lini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setelah keluar dari pondok pesantren, para santri itu tidak melulu menekuni bidang keagamaan saja tapi banyak dari mereka menduduki posisi stategis termasuk terjun ke dunia sepakbola.

Dunia santri adalah dunia yang unik, yang sekilas memang menimbulkan kesan tak mungkin dari kalangan santri ada yang bisa menjadi pemain sepakbola profesional. Jika Anda pernah mondok atau pernah berkunjung di salah satu pesantren, mungkin Anda akan menemui kejanggalan dalam sepakbola santri. Para santri itu kalau main bola suka pakai sarung, biasanya juga pakai peci.

Layaknya sepakbola di kampung-kampung, mereka tak perlu lapangan mulus. Asal ada lahan agak luas, tak perlu gawang sempurna, asal ada bola, permainan pun sudah bisa berjalan. Tidak perlu wasit, pelanggaran atau tidak, bisa diputuskan berdasarkan keputusan mufakat antara pemain di atas lapangan yang jumlahnya kadang tidak sama antara kedua kubu.

Kalau kebetulan Pak kiai atau ustaz ikut main, mendadak permainan yang mulanya berjalan keras bisa tiba-tiba mengendur. Lalu aliran bola pun cenderung mengalir ke arah kaki kiai karena para santri itu takut kualat untuk ‘mengelabuhi’ gurunya. Itulah gambaran sepakbola di pesantren pada umumnya. Tapi dari model sepakbola semacam itu sebenarnya banyak dari para santri yang menyimpan potensi dalam mengolah si kulit bundar.

Para santri sangat beruntung ketika akhir-akhir ini bergulir turnamen Liga Santri yang melibatkan pondok-pondok pesantren di seluruh nusantara. Sehingga, para santri yang kakinya gatal jika tidak menendang bola, punya panggung untuk menumpahkan bakatnya tersebut.

Dan terbukti, dari Liga Santri ini, pelatih timnas Indonesia U-19, Indra Sjafri, bisa menemukan pemain bagus seperti Muhammad Rafli Mursalim untuk mengisi lini serang timnya. Rafli sendiri adalah santri Pondok Pesantren Al-Asy’ariyah Tangerang yang menjadi top skor Liga Santri tahun 2016. Rafli kemudian juga ikut membela timnas ketika bertarung di Piala AFF U-18 Myanmar kemarin. Ia mencetak enam gol dalam turnamen tersebut dan Indonesia keluar sebagai juara tiga.

Kecintaan santri pada sepakbola tidak tumbuh baru-baru ini saja. Para santri senior yang kini sudah menjadi ulama kondang di Indonesia seperti KH. Ahmad Mustofa Bisri yang akrab disapa Gus Mus adalah pemain sepakbola tulen. Ahli tafsir Quran, Dr. H. Muhammad Quraish Shihab, ketika masih muda bahkan ia dikenal sebagai bek handal. Bersama dengan KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, salah satu pimpinan pondok modern Gontor, para kiai tersebut di atas pernah tergabung dalam ‘Timnas Indonesia’ yang mewakili Persatuan Pelajar Indonesia di Mesir.

Quraish Shihab sendiri diketahui pernah bergabung dengan tim junior di Mesir, Zamalek. Ia bisa menjadi Sergio Ramos-nya klub tersebut seandainya terus melanjutkan profesinya sebagai pemain sepakbola mengingat serunya pertandingan antara Zamalek dengan Al Ahly di Mesir yang setara dengan El Clasico La Liga antara Real Madrid dan Barcelona .

Sementara itu, cucu dari KH. Hasyim Asy’ari, yang tak lain dan tak bukan adalah Gus Dur (Abdurrahman Wahid) juga pencinta sepakbola sejati. Ia memang tidak pernah tercatat sebagai pemain di klub profesional manapun. Sebagai cendikiawan, Gus Dur lebih suka menunjukkan kecintaannya pada sepakbola dengan tulisan.

Ia sering menulis kolom sepakbola mulai dari tahun 1982 hingga tahun 2000. Salah satu tulisannya yang dimuat di Harian Kompas pada tahun 1994 berjudul ‘Mengendalikan, Tapi Kalah’. Dalam tulisan itu, presiden Indonesia ke-4 tersebut bicara soal analisa mendalam terkait taktik Italia yang ditangani Arrigo Sacchi ketika menghadapi Brasil yang dilatih Carlos Alberto Parreira dalam final Piala Dunia 1994.

Perlu diketahui bahwa menulis sepakbola pada zaman Gus Dur tidak semudah seperti sekarang karena keterbatasan informasi. Jika melakukan analisa, ia harus mencari data-data dari media cetak yang berserakan. Ia perlu membuat kliping untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan.

“Kliping Bapak banyak banget. Bapak punya satu koper isinya guntingan artikel-artikel tentang bola dari koran,” ungkap putri sulung Gus Dur, Alissa Qotrunnada.

Benar-benar, kegilaan Gus Dur pada sepakbola mungkin bisa dikatakan melebihi kita semua.

Beda dengan Gus Dur, KH. Hasyim Muzadi mantan ketua umum organisasi Nahdlatul Ulama, punya cara sendiri untuk mengekspresikan cintanya pada sepakbola. Pendiri pondok pesantren Al Hikam Malang tersebut bukan hanya menyumbangkan gagasannya saja untuk kemajuan sepakbola. Putra kelahiran Tuban yang meninggal dunia pada bulan Maret 2017 lalu tersebut memiliki peran besar terhadap keberlangsungan sebuah klub sepakbola di Malang, Arema.

Kisahnya, pada tahun 2001, Arema pernah mengalami kendala pendanaan setelah terjadi pergantian pengurus. Berkat campur tangannya, Arema akhirnya mendapat suntikan dana senilai 1 milyar dari Kanzen, sebuah perusahaan pemasaran produk sepeda motor asal Tiongkok. Selain itu, Hasyim Muzadi juga pernah menjadi penengah ketika terjadi sengketa antara Arema dan Persebaya Surabaya dalam transfer Bejo Sugiantro.

Kesimpulannya, santri dan sepakbola memiliki hubungan yang sangat erat baik dari luar lapangan dan di dalam lapangan. Kecintaan santri pada sepakbola tampaknya tak akan pernah sirna sepanjang masa karena sepakbola bukan sesuatu yang dilarang meskipun tidak ada pada zaman nabi.

Tapi ada satu pesan dari kalangan santri agar sepakbola tetap menjadi olahraga, hiburan yang menyenangkan, dan halal. Harapannya, sepakbola harus bersih dari perjudian baik di antara penonton dan di tengah para pengurus sepakbola sendiri.

“Praktek judi itu merusak jiwa persepakbolaan. Kalau berjudi itu penonton, masih masuk akal, tapi kalau berjudi itu adalah pengurus PSSI sendiri, kan jadi kacau,” pesan KH. Hasyim Muzadi semasa hidupnya.

 

Leave your comment here: