KOREKSI DIRI DAN MENYESALI DOSA DOSA

KOREKSI DIRI DAN MENYESALI DOSA DOSA

Imam Al-Ghazali mengatakan:“Keresahan yang biasa melanda hati seorang hamba tanpa disadari adalah merupakan kegelapan dari dosa. Demikian juga perasaan hati yang dicekam oleh kekhawatiran menghadapi proses hisab di Hari Kiamat, di samping ketakutan akan kedahsyatan huru-hara kiamat.

Rasulullah SAW bersabda, “Di antara berbagai jenis dosa terdapat sejumlah dosa yang hanya bisa ditebus dengan kesedihan mendalam.” (HR Abu Nu’man)

Sayyidah Aisyah r.a. juga meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jika telah menumpuk dosa-dosa seorang hamba, sedangkan ia sudah tidak memiliki kebaikan untuk menebus dosanya itu, maka Allah akan menimpakan keresahan ke dalam hatinya, sehingga hal tersebut menjadi penghapus dosa-dosanya.”

Mungkin engkau akan bertanya, “Jika seseorang resah dan risau karena persoalan harta, anak atau kedudukan, sedangkan itu semua termasuk perbuatan buruk, bagaimana mungkin hal itu bisa menjadi penghapus dosa?”

Ketahuilah, sesungguhnya mencintai dunia itu merupakan perbuatan buruk, tetapi kegagalan memperolehnya adalah merupakan tebusan (kaffarah) atas dosanya. Sebaliknya, jika orang tersebut berhasil memperoleh kenikmatan dari cintanya kepada dunia, maka lengkaplah keburukannya!

Setiap perbuatan maksiat itu harus diupayakan dihapus dengan mengamalkan kebaikan. Seseorang harus melakukan kebaikan-kebaikan yang sebanding dengan kejahatan atau dosa yang terlanjur dikerjakannya. Jika amal kebaikannya lebih besar dari keburukannya, maka ia adalah orang yang berbahagia. Sebaliknya, jika keburukannya lebih besar, maka ia adalah orang yang merugi.

Allah SWT berfirman, ”Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS Huud: 114)”

–Imam Al-Ghazali dalam Kitab At-Taubah, Ihya Ulumuddin

Jika Imam Syafi’i merasa mendapat bencana saat melihat betis gadis yang tak sengaja tersingkap. Aku malah merasa mendapat nikmat meski tak diungkap.

Jika Umar menginfakkan kebun yang membuatnya ketinggalan shalat ashar. Aku malah biasa saja berulang kali tertinggal meski azan terdengar.

Jika Urwah bin Zubair tak terganggu salatnya saat pisau bedah mengamputasi kaki. Aku bahkan terganggu hanya karena nyamuk yang menggigit ibu jari.

Jika Nabi Ibrahim as. sangat menyesal karena pernah berbohong meski seumur hidup hanya tiga kali. Aku malah santai saja meski jumlah dustaku sudah tak terhitung lagi.

Jika ‘Aisyah menyesali mengatakan “Shafiyah Si Pendek” yang bisa mengubah warna lautan. Lalu bagaimana dengan gunjingan dari mulutku? Mungkin bisa membuat seluruh samudra menjadi busuk dan pekat kehitaman.

Jika Umar bin Abdul Azis bergetar menahan istrinya berbicara di ruangan yang diterangi pelita minyak yang dibiayai negara. Aku malah keasyikkan menggunakan fasiltas perusahaan seakan milikku saja.

Jika serpihan pagar kayu rumah orang yang dijadikan tusuk gigi bisa membuat “Sang Kyai” tertahan untuk masuk surga. Aku malah woles saja menikmati mangga hasil jarahan kebun tetangga.

Sudah begitu … pede pula meminta surga.

Astaghfirullah!

Memang hari ini dunialah yang nyata dan akhirat hanya cerita. Namun sesudah mati, akhiratlah yang nyata dan dunia tinggal cerita.

Leave your comment here: