KETELDANAN AKHLAK DARI PRIBADI SAYYIDINA ABU BAKAR ASSIDIQ RA.
Keperibadian Abu Bakar r.a.
Ibnu Sa’d mengeluarkan dari Aisyah, bahwa Abu Bakar adalah seorang pedagang, yang setiap hari pergi ke pasar untuk melakukan jual beli. Dia mempunyai sekumpulan domba yang dia urus sendiri dan terkadang menggembalakannya atau dia serahkan kepada orang lain. Dia juga memerah air susunya untuk diberikan kepada orang-orang kampung. Ketika dia sudah dibaiat sebagai khalifah, ada seorang gadis perempuan yang berkata,
“Tentunya sekarang dia tidak mau lagi memerah air susu untuk diberikan kepada kami”. Abu Bakar ra. sempat mendengar perkataan gadis itu. Maka dia berkata, ‘Aku bersumpah untuk tetap memerah air susu bagi kalian, dan aku berharap agar tugasku yang baru ini tidak merubah kebiasaanku yang lalu.’
Maka dia tetap memerah susu seperti biasanya dan diberikan kepada mereka. Namun kemudian dia perlu mempertimbangkan lagi tugas-tugasnya sebagai khalifah. Maka dia berkata,
“Tidak demi Allah, urusan berdagang bisa mengganggu tugas-tugas ini, dan tugas ini tidak bisa berjalan lancar kecuali jika aku memusatkan perhatian terhadap urusan manusia. Tidak selayaknya aku hanya menyibukkan diri dengan urusan keluargaku.”
Maka dia pun meninggalkan usaha dagangnya.
Untuk keperluan diri dan keluarga dia mengambil gaji dari Baitul-mal milik umat, sekedar untuk mencukupi keperluannya setiap hari, juga untuk keperluan haji dan umrah. Gajinya untuk satu tahun sebanyak enam ribu dirham. Menjelang kematiannya, dia berkata,
“Kembalikan sisa gaji yang ada di tangan kita ke Baitul-mal milik orang-orang Muslim, karena aku tidak ingin mengambil sedikit pun dari harta tersebut. Tanahku yang ada di tempat ini dan itu juga bagi orang-orang Muslim.”
Dia menyerahkan kepada Umar seekor unta yang air susunya biasa diperah, seorang budak dan selembar permadani seharga lima dirham. Umar sempat berkata,
“Dia menyebabkan kesusahan kepada khalifah sesudahnya.”
Wasiat Abu Bakar kepada Umar
Ibnu Asakir mengeluarkan dari Salim bin Abdullah bin Umar, dia berkata, “Ketika Abu Bakar menghadapi ajalnya, maka dia menulis wasiat, yang isinya:
‘Bismillahir-rahmanir-rahim. Ini adalah surat wasiat dari Abu Bakar pada akhir hayatnya di dunia, yang bersiap-siap hendak keluar dari dunia, yang merupakan awal masanya menuju ke akhirat dan yang bersiap-siap untuk memasuki akhirat, yang pada saat-saat seperti inilah orang kafir mau beriman, orang durhaka mau bertakwa dan pendusta mau menjadi jujur, aku telah memilih pengganti sesudahku, yaitu Umar bin Al-Khaththab. Kalau dia berbuat adil, maka memang itulah yang kuharapkan darinya. Namun jika dia semena-mena dan berubah, maka kebaikanlah yang kuinginkan dan aku tidak mengetahui yang gaib. Adapun orang-orang yang berbuat aniaya akan mengetahui di mana mereka akan dibalikkan.’
Begitulah yang disebutkan di dalam Al-Kanzu, 3:146. Ibnul-Mubarak, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Jarir dan Abu Nu’aim meneluarkan dari Abdurrahman bin Sabith, dia berkata, Sebelum ajal tiba, Abu Bakar memanggil Umar, lalu dia berkata kepadanya,
“Wahai Umar, bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa Allah telah menetapkan amalan yang harus dikerjakan pada siang hari, dan Dia tidak menerimanya jika dikerjakan malam hari, dan Allah telah menetapkan amalan yang harus dikeriakan pada malam hari, dan Dia tidak menerimanya jika dikerjakan pada siang hari. Sesungguhnya Allah juga tidak nienerima yang sunat sebelum yang wajib dikerjakan.”
Begitulah yang disebutkan di dalarn Al-Kanzu, 4:363. Ibnu Sa’d mentakhrij dari AI-Muththalib bin As-Sa’ib bin Abu Wada’ah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Abu Bakar menulis surat kepada Arw bin Al-Ash, yang isinya: ‘Aku sudah menulis surat kepada Khalid bin AI-Walid agar dia bergabung ke pasukanmu dan mernbantumu. Jika dia sudah datang, inaka hergaullah yang baik, jangan merasa lebih tinggi darinya, jangan memutuskan perkara sendirian karena engkau merasa lebih tinggi darinya dan dari yang lain, berrnusyawarahlah dan janganlah berselisih dengan mereka. Begitulah yang disebutkan di dalam AI-Kanzu, 31133.
Wasiat Abu Bakar r.a. Sebelum Kematiannya
Abul-Malih meriwayatkan, bahwa tatkala Abu Bakar Radhiyallahu’anhu hendak meninggal dunia, dia mengirim utusan kepada Umar bin Al-Khatab ra, untuk menyampaikan,
“Sesungguhnya aku menyampaikan wasiat kepadamu, dan engkau harus menerimanya dariku, bahwa Allah Azza wa Jalla mempunyai hak pada malam hari yang tidak diterima-Nya pada siang hari, dan Allah mempunyai hak pada siang hari yang tidak diterima-Nya pada malam hari.
Sesungguhnya Dia tidak menerima nafilah (sunat) sebelum yang wajib dilaksanakan. Orang-orang yang timbangannya berat di akhirat menjadi berat, karena mereka mengikuti kebenaran di dunia, sehingga timbangan mereka pun menjadi berat. Sudah selayaknya timbangan yang diatasnya diletakkan kebenaran menjadi berat.
Orang-orang yang timbangannya ringan di akhirat menjadi ringan, Karena mereka mengikuti kebatilan, sehingga timbangan mereka pun ringan pula di dunia. Sudah selayaknya timbangan yang di atasnya diletakkan kebatilan menjadi ringan, Apakah engkau tidak melihat bahwa Allah menurunkan ayat yang ada harapan di dalam ayat yang ada kepedihan, dan ayat yang ada kepedihan di dalam ayat yang ada harapan? Hal ini dimaksudkan agar manusia takut dan sekaligus berharap, tidak menyeret dirinya kepada kebinasaan dan tidak berharap kepada Allah secara tidak benar.
Jika engkau menjaga wasiatku ini, maka tidak ada sesuatu yang tidak tampak namun paling engkau sukai selain dari kematian, dan memang begitulah seharusnya. Jika engkau menyia-nyiakan wasiatku ini, maka tidak ada sesuatu yang tidak tampak namun paling engkau benci selain kematian, dan memang begitulah seharusnya yang engkau lakukan. Engkau tentu mampu melakukannya”.
Ada yang menuturkan, bahwa sebelum ajal menghampiri Abu Bakar Ash-Shidiq ra, Aisyah rha putri beliau menemuinya lalu melantunkan syair,
“Tiada artinya harta kekayaan bagi pemuda
Jika sekarat menghampiri dan menyesakkan dada”.
Abu Bakar ra. menyingkap kain yang menutupi kepalanya, lalu dia berkata, “Bukan begitu. Tetapi ucapkan firman Allah,”
“Dan, datanglah sekaratul-maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya”. (QS. Qaf:19)
Lalu dia berkata lagi. “Periksalah dua lembar pakaianku ini, cucilah ia dan kafanilah jasadku dengan kain ini. Sesungguhnya orang yang masih hidup lebih memerlukan kain yang baru daripada orang yang sudah meninggal”.
Ibnu Qudamah, Mukhtashor Minhajul Qoshidin, Pustaka Al-Kautsar, 1997, hal 499-500
Infak Abu Bakar Ash-Shiddiq ra.
Ibnu Ishaq mengeluarkan dari Asma’ binti Abu Bakar Radhiyallahu Anha, dia berkata, “Saat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hijrah ke Madinah dan Abu Bakar menyertai beliau, maka Abu Bakar membawa semua hartanya sebanyak lima atau enam ribu dirham. Kakekku yang buta, Abu Qahafah memasuki rumah seraya berkata,
“Demi Allah, menurutku Abu Bakar telah membuat kalian risau karena semua hartanya dia bawa.”
“Tidak kakek, masih banyak kebaikan yang dia tinggalkan bagi kita,” kata Asma’.
Lalu aku mengambil kerikil-kerikil dan kuletakkan di sebuah lubang di dalam rumah, yang di tempat itulah biasanya Abu Bakar meletakkan hartanya, kemudian kuletakkan kain di atasnya. Kupegang tangan kakek, sambil kukatakan kepadanya,
“Letakkan tangan kakek ditempat penyimpanan harta ini.”
Setelah meraba tempat itu, kakek berkata, “Tak apalah kalau dia meninggalkan harta ini bagi kalian. Dia memang telah berbuat yang terbaik, dan sudah cukup bagi kalian.” Padahal demi Allah, ayahku tidak meninggalkan apa pun bagi kami. Aku berbuat seperti itu dengan maksud untuk membuat agar kakek merasa tenang.”
Begitulah yang disebutkan di dalam Al-Bidayah, 3:179. Ahmad dan Ath-Thabrany juga mentakhrij yang seperti ini. Menurut Al-Haitsamy, 6: 59, rijal Ahmad shahih, kecuali Ibnu Ishaq. Tapi juga ditegaskan bahwa dia memang mendengarnya.
Pembelaan Abu Bakar ra. terhadap Nabi SAW
Dalam peristiwa yang diberitakan oleh Abi Ya’la dari Anas bin Malik ra. katanya: Suatu kali, pernah kaum Quraisy memukul Nabi SAW sehingga beliau jatuh pingsan. Ada orang yang memberitahu Abu Bakar ra. lalu segera dia meleraikan mereka, seraya berkata: Celaka kamu sekalian! Apakah kamu hendak membunuh orang yang mengatakan ‘Tuhanku Allah!’ Kemudian orang-orang jahat bertanya: Siapa orang ini? Jawab mereka: Inilah Abu Bakar yang sudah gila itu! Mereka pun meninggalkan Nabi SAW lalu berkelahi dengan Abu Bakar.
(Majma’uz Zawa’id 6:17; Hakim 3:67)
Bazzar memberitakan di dalam Musnadnya dari Muhammad bin Aqil dari Ali ra. bahwa pada suatu hari, dia berdiri berpidato kepada orang ramai, katanya: ‘Siapakah orang yang paling berani?’ ‘Engkaulah, wahai Amirul Mukminin!’ jawab orang-orang yang mendengarnya. ‘Memang barangkali aku, kerana tiada siapa yang bertanding pedang denganku, melainkan aku membelahnya menjadi dua!’ Ali lalu berdiam sebentar. Kemudian dia menyambung kata-katanya lagi: ‘Tetapi yang benar-bena rberani adalah Abu Bakar ra. Pada suatu hari kita memdirikan untuk Nabi SAW sebuah pondok, lalu kita berkata: Siapa yang akan menjaga Nabi SAW supaya jangan ada orang musyrik mengapa-apakannya?! Demi Allah, tiada seorang pun yang maju ke depan, melainkan Abu Bakar ra. sedang dia menghunuskan pedangnya di kepala Rasulullah SAW tiada seorang musyrik yang coba mendekati beliau, melainkan diayunkan pedang itu kepadanya. Inilah orang yang paling berani!’ ujar Ali ra.
Kemudian dia bercerita lagi: ‘Pernah aku melihat kaum Quraisy mengancam Rasulullah SAW yang satu mengganggunya, dan yang lain menarik-nariknya seraya mengatakan: Engkaukah orangnya yang menjadikan tuhan-tuhan itu hanya Satu Tuhan saja? Demi Allah aku tidak melihat siapa pun datang untuk menolong beliau, selain Abu Bakar semata, dia memukul si fulan, menghadapi si fulan serta mendorong si fulan dan dia terus-menerus berkata: Celaka kamu! Celaka kamu! Apakah kamu mau membunuh orang yang mengatakan’Tuhanku Allah!?…’
Kemudian Ali ra. menngambil kain burdah yang ada pada badannya, seraya dia menangis terisak-isak hingga membasahi janggutnya. Kemudian Ali ra. menanyai orang-orang yang mendengar pidatonya tadi dengan berkata: ‘Aku meminta kepada kamu sekalian dengan nama Allah, tolongl beritahub aku, apakah orang Mukmin kaum Fir’aun itu yang lebih baik, atau dia (yakni Abu Bakar)? jawablah tuan-tuan sekalian!’ Majlis itu senyap-sunyi, tiada siapa yang mahu menjawabnya, sehingga dia sendiri yang menjawabnya, katanya: ‘Demi Allah, satu detik saja dari Abu Bakar adalah lebih baik dari seisi bumi yang dipenuhi oleh orang Mukmin kaum Fir’aun itu! Mereka itu menyembunyikan imannya! Namun Abu Bakar menampakkan imannya!’ demikianlah Ali ra. mengenalkan kepada orang tentang keutamaan Abu Bakar ra.
(Al-Bidayah Wan-Nihayah 3:271; Majma’uz Zawa’id 9:47)