HUKUM WANITA HAIDL MEMBACA DAN MENGAJAR AL QUR’AN
Bagaimana hukumnya seorang wanita yang sedang haidl lalu belajar dan atau mengajarkan Al-Qur’an? boleh atau tidak? Karena sejauh ini pendapatnya berbeda, ada yang membolehkan juga ada yang tidak. Terkadang juga menjadi bahan perdebatan.
Jawaban
Bahwa dalam masalah membaca Al-Qur’an bagi orang yang sedang haidl memang terdapat perbedaan di antara para ulama. Pada dasarnya menurut jumhurul ulama, orang yang sedang haidl tidak diperbolehkan membaca Al-Qur`an. Hal ini didasarkan kepada beberapa dalil. Di antaranya adalah firman Allah SWT:
لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ – الواقعة: 79
“Tidak ada yang menyentuhnya (al-Qur`an) kecuali hamba-hamba yang disucikan” (Q.S. Al-Waqi’ah [56]: 79)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” لَا تَقْرَأُ الحَائِضُ وَلَا اْلجُنُبُ شَيْئاً مِنَ القُرْآنِ – رواه الدارقطني
“Dari Ibnu Umar ra ia berkata: Rasulullah saw bersbada: Tidak boleh orang yang haid dan orang yang dalam keadaan junub membaca ayat Al-Qur`an” (H.R. Ad-Daruquthni)
Namun jika perempuan yang haidl ketika membaca al-Quran tujuannya bukan membaca, tetapi misalnya tujuannya adalah untuk mengajar atau membenarkan bacaan yang salah maka dalam kasus seperti ini diperbolehkan. Hal ini sebagaimana orang yang dalam keadaan junub yang masih diperbolehkan membaca Al-Quran selama tidak diniati untuk membaca (misalnya untuk tujuan berdoa, yang ada ayat Al-Qur’annya).
وَتَحْرُمُ قِرَاءَةُ القُرْآنِ عَلَى نَحْوِ جُنُبٍ بِقَصْدِ القِرَاءَةِ وَلَوْ مَعَ غَيْرِهَا لَا مَعَ الِإطْلَاقِ عَلَى الرَّاجِحِ وَلَا بِقَصْدِ غَيْرِ الْقِرَاءَةِ كَرَدِّ غَلَطٍ وَتَعْلِيمٍ وَتَبَرُّكٍ وَدُعَاءٍ – عبد الرحمن باعلوي، بغية المسترشدين، بيروت-دار الفكر، ص. 52
“Dan haram membaca al-Qur`an bagi semisal orang junub dengan tujuan membacanya walaupun dibarengi dengan tujuan lainnya, dan menurut pendapat yang kuat tidak haram baginya bila memutlakkan tujuannya. Dan juga tidak haram tanpa adanya tujuan membacanya (al-Qur`an) seperti membenarkan bacaan yang keliru, mengajarkannya, mencari keberkahan dan berdoa,”. (Abdurrahman Ba’alwi, Bughyah al-Mustarsyidin, Bairut-Dar al-Fikr, h. 52)
Bahkan madzhab maliki memperbolehkan perempuan yang haidl membaca Al-Quran secara mutlak. Bahkan bagi perempuan yang mengajar atau diajar (guru-murid) yang dalam kondisi haidl boleh juga menyentuh mushaf. Alasannya adalah bahwa orang junub itu bisa dengan mudah menghilangkan hal yang bisa membuatnya dilarang untuk menyentuh al-Quran yaitu hadats besar dengan cara mandi besar. Kondisi tersebut berbeda dengan orang yang sedang haidl atau nifas. Hal ini didasarkan pada keterangan dibawah ini:
وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْحَائِضَ يَجُوزُ لَهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فِي حَال اسْتِرْسَال الدَّمِ مُطْلَقًا، كَانَتْ جُنُبًا أَمْ لاَ، خَافَتِ النِّسْيَانَ أَمْ لاَ. وَأَمَّا إِذَا انْقَطَعَ حَيْضُهَا، فَلاَ تَجُوزُ لَهَا الْقِرَاءَةُ حَتَّى تَغْتَسِل جُنُبًا كَانَتْ أَمْ لاَ، إِلاَّ أَنْ تَخَافَ النِّسْيَان – وزارة الأوقاف والشؤن الإسلامية الكويت، الموسوعة الفقهية الكويتية، الكويت- دار السلاسل، ج، 18، ص. 322 –
“Kalangan dari madzhab maliki berpendapat bahwa orang yang haid boleh baginya membaca Al-Qur`an dalam kondisi masih mengeluarkan darah secara mutlak, baik dalam keadaan atau tidak, atau adanya kekhawatiran lupa hafalan Al-Qur’an-nya atau tidak. Adapun setelah haidnya terputus maka ia tidak boleh membacanya sebelum mandi besar, baik dalam keadaan junub atau tidak, kecuali ia khawatir akan lupa hafalannya”. (Wazarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Dar as-Salasil, juz, 18, h. 322 H)
إلَّا لِمُعَلِّمٍ وَمُتَعَلِّمٍ وَإِنْ حَائِضًا لَا جُنُبًا : أَيْ يَحْرُمُ عَلَى الْمُكَلَّفِ مَسُّ الْمُصْحَفِ وَحَمْلُهُ، إلَّا إذَا كَانَ مُعَلِّمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا، فَيَجُوزُ لَهُمَا مَسُّ الْجُزْءِ وَاللَّوْحِ وَالْمُصْحَفِ الْكَامِلِ، وَإِنْ كَانَ كُلٌّ مِنْهُمَا حَائِضًا أَوْ نُفَسَاءَ لِعَدَمِ قُدْرَتِهِمَا عَلَى إزَالَةِ الْمَانِعِ. بِخِلَافِ الْجُنُبِ لِقُدْرَتِهِ عَلَى إزَالَتِهِ بِالْغُسْلِ أَوْ التَّيَمُّمِ. وَالْمُتَعَلِّمُ يَشْمَلُ مَنْ ثَقُلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ فَصَارَ يُكَرِّرُهُ فِي الْمُصْحَفِ – أبى البركات أحمد بن محمد بن أحمد الدرديري، الشرح الصغير على أقرب المسالك إلى مذهب الإمام مالك، بيروت-دار المعارف، ج، 1، ص. 150-
“(Kecuali bagi orang yang mengajar atau orang yang belajar meskipun dalam kondisi haid atau junub), artinya haram bagi mukallaf menyentuh mushhaf dan membawanya kecuali dalam kondisi sebagai pengajar atau orang yang belajar maka boleh bagi keduanya menyentuh sebagian atau papan tulis yang bertuliskan ayat-ayat Al-Quran (lauh) dan seluruh mushhaf meskipun keduanya dalam keadan haid ata nifas kerena ketidakmampuan keduanya untuk menghilangkan penghalang. Hal ini berbeda dengan orang junub karena kemampuannya untuk menghilangkan penghalang dengan mandi atau tayammum” (Abi al-Barakat Ahmad bin Muhamad bin Ahmad ad-Dardidi, Asy-Syarh ash-Shaghir ‘ala Aqrab al-Masalik ila Madzhab al-Imam Malik, Bairut-Dar al-Ma’arif, juz, 1, h. 150).
Demikian penjelasanya. Jadi yang bisa di simpulkan, Bahwa banyak ulama yang memperbolehkan para ustadzah atau guru mengaji (TPA/TPQ) tetap mengajar meskipun sedang dalam keadaan haidl. Demikian juga para murid perempuan yang sedang belajar mengaji.
Semoga kita dimudahkan dalam belajar agama, serta dikaruniai ilmu yang bermanfaat dan amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT.