KISAH SUFI : ABU IBROHIM ALI AL KHOWAS RAHIMAHULLOH
Abu Ishaq Ibrahim al-Khauwash dari Samara adalah seorang sahabat al-Junaid, ia termasyhur karena pengembaraan-pengembaraannya yang lama di padang pasir. Ia meninggal dunia di Rayy pada tahun 291 H/ 904 M.
(Kisah sufi ini penuh dengan kata-kata tingkat tinggi yang mungkin sulit dimengerti orang awam. Bila anda tidak begitu memahami sebaiknya tidak perlu melanjutkan membacanya supaya tidak terjadi salah paham – pen)
IBRAHIM AL-KHAUWASH DI PADANG PASIR
Ibrahim al-Khauwash semasa dengan Junaid dan Nuri, beliau terkenal sebagai pemimpin orang-orang yang berpasrah diri kepada Allah. Sedemikian pasrahnya ia kepada Allah sehingga karena tercium buah apel saja ia mau menempuh perjalanan menempuh padang pasir. Tetapi betatapun uniknya, di dalam kepasrahannya itu, ia tidak pernah lupa membawa jarum, benang, gunting dan botol. Apabila ditanyakan mengapa ia membawa benda-benda itu, maka jawabnya : “Benda-benda yang sedikit ini tidak mengurangi kepasrahanku,”. Berikut ini adalah kisah tentang keanehan-keanehan yang dialaminya di dalam pengembaraannya itu.
Sewaktu aku di tengah padang pasir aku melihat seorang gadis yang berada dalam keadaan fokus dan berjalan-jalan tanpa penutup kepala.
“Wahai anak gadis, tutuplah kepalamu,” aku berseru kepadanya.
“Wahai Khauwash, tutuplah matamu,” balas gadis itu.
“Aku sedang mencinta,” sahutku, dan seorang pencinta tidak akan menutup matanya sedang engkau hanya terpandang olehku secara tidak sengaja.”
“Aku sedang mabuk,” balas gadis itu, ”dan seorang pemabuk tidak akan menutup kepalanya.”
“Di warung manakah engkau telah menjadi mabuk?.” tanyaku.
“Berhati-hatilah Khauwash,” si gadis berseru. “Engkau telah menyakiti hatiku. Selain dari Allah, siapakah yang berada di dua tempat?.”
“Anak gadis apakah engkau ingin aku temani?.” Aku bertanya.
Engkau masih bodoh, Khauwash” jawabku. “Aku bukanlah semacam perempuan yang mendambakan lelaki.”
Pas suatu ketika, sewaktu berada di tengah padang pasir, aku melihat Khidir dalam rupa seekor burung yang sedang terbang. Setelah mengetahui siapa sebenarnya burung itu, segera aku menundukkan kepalaku. Aku takut kepasrahanku kepada Allah akan berkurang. Seketika itu juga Khidir menghampiriku dan berkata:
“Seandainya engkau terus memandangku, niscaya aku tidak akan turun menemuimu.”
Namun aku mengucapkan salam kepadanya karena aku takut kepasrahanku kepada Allah akan berkurang.