WANITA MENYUSUI DALAM PUASA RAMADLAN
Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam dan perintah yang tertuang dalam Al Quran.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”(Q. S. Al Baqarah: 183)
Namun Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang tidak pernah memberatkan hamba-Nya. Terdapat pula keringanan puasa Ramadhan bagi mereka yang tidak mampu menjalankannya. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya: ”Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu suatu kesempitan dalam agama.” (Q. S. Al-Hajj: 78)
أَيَّامًا مَّعْدُودَٰتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ ۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: ” (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah:184)
Salah satu orang yang diberikan keringanan adalah ibu hamil dan menyusui. Keduanya diberikan keringanan untuk menjalankan puasa atau meninggalkannya dan menggantinya di hari lain.
Seorang ibu menyusui yang mampu dan tidak membahayakan bayinya yang disusu jika ia berpuasa, maka sebaiknya ia berpuasa di bulan Ramadhan. Bahkan dalam sebuah penelitian medis yang diajukan oleh tiga orang spesialis pada Konferensi masalah kedokteran dalam al-Qur’an al-Karim yang diadakan di Kairo Mesir pada bulan Muharram 1406 H, dengan tema
“Sebagian perubahan kimia pada wanita hamil dan menyusui akibat berpuasa”, dikemukakan,
“Dengan memperhatikan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para wanita selama bulan Ramadhan mengenai pengaruh puasa bagi wanita hamil dan menyusui, maka aktivitas pengkajian itu telah sempurna. Dan dalam kajian itu telah ditemukan bahwa kadar gula pada darah tidak berpengaruh secara signifikan bagi wanita hamil atau menyusui dibandingkan dengan wanita biasa (yang tidak hamil dan menyusui).
Sebagaimana telah ditemukan bahwa kadar kolestrol meningkat pada wanita hamil, akan tetapi pada batas-batas wajar dan alami.”
Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa tidak ada bahaya bagi wanita hamil dan menyusui untuk tetap berpuasa di bulan Ramadhan.
Namun jika ia berpuasa dan puasanya membahayakan bayi yang disusunya, maka sebaiknya ia tidak berpuasa. Untuk hukum mengganti atau membayar puas abagi ibu menyusui, terdpaat dua perbedaan pendapat di kalangan ulama, Kalangan pertama, mewajibkan ibu menyusui yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan untuk membayar fidyah tanpa perlu mengqodho puasanya di hari lain.
Ibnu Abbas ra. berkata kepada seorang ibu yang sedang mengandung: Engkau sama seperti orang yang tidak mampu berpuasa, maka kamu harus membayar fidyah dan tidak perlu mengqadhanya.”
Sanadnya di shahihkan oleh Ad-Daruquthni sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafidz dalam kitab Talkhisul Habir. Namun dalil ini dianggap lemah dan tidak sesuai dengan ajaran agama
Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa ibu hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah juga wajib mengqada’nya.
Kalau dia khawatir terhadap anaknya maka dia harus mengqadha dan memberi makan orang miskin untuk setiap hari dia tidak berpuasa. Imam syafi’i dan Imam Ahmad memilih pendapat ini. Al-Jassos menyatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu Umar ra.
Dan pada pendapat ketiga mengatakan bahwa ibu hamil dan menyusui wajib mengqada’ puasanya karena posisi ibu hamil dan menyusui sama dengan orang sakit yang dapat sembuh kembali dan dapat menjalankan puasa. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nasa’i (2274) dari Anas radhiallahu’anhu dari Nabi sallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah menggugurkan bagi musafir separuh shalat dan puasa. Begitu pula bagi orang hamil dan menyusui. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Nasa’i.
Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam menjadikan hukum wanita hamil dan menyusui sama seperti musafir. Maka, jika musafir membatalkan puasanya, kemudian wajib baginya mengqadha, begitu pula wanita hamil dan menyusui. Allah berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا۟ ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Pendapat ketiga ini sebenarny lebih kuat karena orang yang sakit parah dan tua renta diperkirakan tidak mungkin bisa berpuasa lagi, bahkan jika dipaksakan berpuasa akan menyebabkan kesehatannya menjadi terancam, sedangkan wanita hamil dan menyusui bisa berpuasa kembali setelah habis masa nifas dan menyusuinya.
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa Allah menggugurkan puasa dari wanita hamil dan menyusui selama mereka masih belum mampu berpuasa, dan setelah mampu, barulah ibu menyusui wajib mengqodho’.
Hal ini sama dengan ketika digugurkannya puasa dari musafir yang masih dalam perjalanan, dan setelah telah sampai di tempat tujuan barulah ia wajib mengqodho’nya. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa mereka diperintah berbuka dan membayar fidyah tanpa wajib mengqodho’.
Diberikannya keringanan fidyah itu adalah sebagai pengganti atau sanksi. Sedangkan bagi ibu menyusui tidak ada kemungkinan lain, selain sebagai pengganti dari berbuka, yaitu mengqodho’.
Maka dari itu, fidyah tidak diperlukan lagi alias gugur bagi ibu menyusui. Adapun riddah (murtad) dan sejenisnya, maka Allah Yang Maha Bijaksana telah menetapkan kaffârah atas dosa-dosa yang memang perlu kaffârah, seperti berjima’ dan sejenisnya.
Saat Allah tidak menetapkan kaffârah untuk selain jima’ kecuali taubat nashuha, maka riddah (murtad) itu dosa yang tidak bisa diampuni selain dengan melakukan taubat nashuha, yaitu dengan masuk Islam dan bersikap istiqamah. Wallahualam