KISAH KISAHAN : MANISNYA RAYUAN SYAITAN BERBUAH SENGSARA DAN DOSA BESAR

KISAH KISAHAN : MANISNYA RAYUAN SYAITAN BERBUAH SENGSARA DAN DOSA BESAR

Hidup terlelap di antara dekapan malam yang bisu mencekam. Dunia larut dalam kesunyian yang jauh dari glamour dan keindahan. Kegelapan pun menyelimuti rumah-rumah yang saling berdempetan. Terlelaplah semua apa yang ada di dunia dan cakrawala luas ini. Kecuali, cahaya rembulan yang memintalkan benang-benangnya yang bisa menyinari alam persada, dan angin sepoi-sepoi yang menjalar ke seluruh tubuh untuk menyisakan kehangatan dan kenikmatan.

Di malam yang gelap gulita itu, sedang malam terus berlanjut tanpa putus, dan bahkan sudah lewat paruh malam yang pertama, Adil menyelinap dalam kasurnya yang empuk. Senyuman terpampang pada bibirnya. Kebahagiaan membelalakkan kedua matanya. Dia berharap untuk tertidur tapi tak kunjung bisa!! Hati dan pikirannya sibuk memikirkan Rabab, seorang gadis yang cantik rupawan. Ke manakah hati yang terpikat kepada selain Allah ini menyelami tidur penuh kesenangan dan kenikmatan, melainkan di dalam siksa yang kekal dan kesedihan dan kedukaan yang abadi.

Tahukah kamu, siapakah Adil? Siapakah Rabab?! Dan bagaimana dia mengenalnya?!! Adil adalah seorang remaja yang masih belia dari generasi masa kini yang lalai, membelot dari jalan yang benar dan hidayah dan menapaki jalan kesesatan dan kebinasaan. Layaknya kebanyakan remaja bejat, dia hanya sibuk urusan mejeng dan merayu kaum hawa, dan memburu mereka dalam jerat-jeratnya dengan kata-kata rayuan, ungkapan kerinduan, surat-surat cinta dan ucapan manis, baik melalui telepon, sewaktu di mall, ataupun di pintu-pintu sekolah.

Banyak sudah gadis malang yang tak berdosa telah terperangkap di dalam jerat-jeratnya lewat propaganda cinta dan dengan dalih bahwasanya dia bermaksud menikahinya dan menjadi pendampingnya dalam satu atap rumah yang dilingkupi kebahagiaan, cinta kasih dan keharmonisan; yaitu sebuah bahtera mahligai rumah tangga. Sampai-sampai ketika dia telah menyepi dan bisa merengkuhnya, dia pun langsung menerkamnya bak sepak terjang srigala buas ke arah seekor kambing malang.

Jika dia telah dapat memuaskan nafsunya, merenggut kesucian dan kehormatan gadis itu, dan meneguk sari-sarinya, dia pun pergi meninggalkannya dalam keadaan menangis karena sedih bercampur sesal. Wanita itu hanya bisa mengunyah pedihnya aib, kehinaan dan cela. Dia berharap tangisan darahnya bisa menggantikan tetesan air mata sebagai imbalan agar dikembalikan lagi harga dirinya yang tercabik dan kehormatannya yang ternoda. Akan tetapi, mustahil hal itu akan terjadi !!

Sementara Adil, jika sudah selesai menikmati mangsa yang satu, dia bergegas mencari mangsa yang lain. Dan begitulah seterusnya… Pada hari-hari ini, hatinya sedang gundah memikirkan seekor mangsa cantik, seekor kucing betina jinak yang bernama Rabab, yang dikenalnya melalui pembicaraan via telepon. Rabab adalah seorang gadis mojang yang lugu dan penuh kelembutan. Dengan mudah dan cepat, rayuan-rayuan gombal dan kata-kata cinta langsung menggetarkan hatinya. Untuk sekian waktu, komunikasi dan pembicaraan via telepon antara mereka berdua terus berlanjut, dan Adil mulai memperdayainya lewat kata-kata manis, lembut nan indah, dan dia berjanji kepada Rabab untuk menikahinya dan berumah tangga dengannya.

Begitu cepat mangsa ini masuk ke dalam perangkap. Hati Rabab telah terpikat dan cinta kepadanya. Dia meyakini Adil adalah seorang pemuda impian, suaminya di masa depan dan partner hidupnya. Dia tidak tahu bahwasanya Adil adalah seekor srigala yang suka ingkar janji dan seekor musang yang pemalas. Dia tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menerkamnya.

Awal mulanya, hubungan mereka sebatas ucapan-ucapan cinta kasih melalui telepon. Setelah itu, sedikit meningkat pada senyuman dan saling pandang di depan pintu fakultas di mana Rabab kuliah atau di salah satu mall. Kemudian meningkat saat Rabab ikut naik bersama Adil di dalam mobilnya yang mewah.

Setiap saat, Adil menemui Rabab di depan pintu fakultas, mengingat ayahnya selalu mengantarnya hanya sampai depan pintu fakultas untuk kemudian meninggalkannya tanpa meyakinkan apakah dia masuk ruang kelasnya. Rabab menunggu saat ayahnya pergi, lalu keluar menemui sang kekasih yang telah menunggunya di tempat sepi yang berada tak jauh dari kampus. Dia pun ikut naik dalam satu mobil bersama Adil. Keduanya kemudian saling berbicara dan berbagi tawa. Dengan mengendarai mobil, mereka berkeliling sampai hampir waktu Zhuhur.

Menjelang waktu pulang kuliah, Adil pun membawanya kembali ke tempat kuliah. Jika ayahnya sudah tiba, Rabab segera keluar menghampirinya, dan seolah-olah dia telah menghabiskan sepanjang waktunya untuk belajar!! Sang ayah yang pandir itu tak tahu apa yang terjadi sewaktu dia tiada!!

Untuk sekian waktu lamanya, semua berjalan menurut skenario ini. Akan tetapi, Adil belum merasa puas dengan durasi waktu yang dihabiskannya bersama Rabab di dalam mobil beserta semua canda tawa, bisikan, dan lain-lainnya. Dia ingin berduaan bersamanya di apartemennya untuk bisa memangsanya dan merenggut darinya apa yang diinginkannya. Dia telah jenuh dan bosan dengan berbagai canda tawa, ciuman dan kata-kata lembut. Manakala Adil merasa Rabab telah percaya kepadanya dan merasa yakin bahwa dia serius ingin menikahinya dan tidak berniat jahat terhadapnya, dan hatinya telah begitu kuat terpikat kepadanya, maka suatu ketika, Adil mengajaknya untuk mampir ke apartemen pribadinya yang berjarak 15 Km dari kampus Rabab, dengan dalih agar Rabab menyaksikan sangkar pengantin indah yang akan dihuninya setelah menikah nanti, dan agar dia bisa memberi masukan berkaitan dengan ukuran dan perubahan dekorasi juga perabotan apartemen yang cantik yang akan menjadi miliknya yang sangat menakjubkan. Juga, agar mereka bisa sama-sama membahas tentang rincian waktu peminangan, akad bersama, resepsi pernikahan beserta semua tetek bengek-nya.

Akan tetapi, Rabab menolak keras hal itu. Sepanjang hidupnya, dia belum pernah berduaan dengan seorang lelaki asing di dalam rumahnya. Sampai di sini, Adil merasa mangsanya akan bisa lepas dari jeratnya, dan bahwa semua apa yang telah dibangun dan dirancangnya sejak berbulan-bulan hampir gagal dan kandas di dalam pejaman mata. Seketika, keningnya berkerut dan wajahnya pun bermuram durja. Sambil pura-pura marah dan emosi, dia berkata, “Tidakkah kamu mempercayaiku, wahai Rabab?!! Apakah kamu mengiraku termasuk kawanan srigala yang mau menerkam seorang gadis dan merenggut kesuciannya, lalu mereka pergi dan meninggalkannya? Aku bersumpah kepadamu bahwa maksudku baik dan tujuanku mulia!! Aku hanya bermaksud menikahimu, menjadi pendampingmu dan membangun bersama-sama mahligai rumah tangga yang bahagia.”

Di bawah tekanan dan desakan Adil yang terus menerus, juga pengaruh kata-katanya yang manis dan sumpahnya yang begitu kuat, akhirnya Rabab yang malang ini pun sepakat untuk pergi bersama Adil ke apartemennya. Dia berjanji melakukannya esok harinya, dan Adil pun menyetujui hal itu.

Malam itu, Adil duduk sambil berpikir, merenung, menyusun strategi dan mengatur apa yang akan diperbuatnya besok bersama Rabab?!! Bagaimana dia perlahan-lahan bisa sampai pada apa yang dikehendaki darinya?!! Inilah kesempatan telah ada di depan matanya, dan bisa jadi tidak akan terulang lagi untuk kedua kalinya!! Kebahagiaan telah membelalakkan kedua matanya, sedang hatinya menari berbunga-bunga menyambut waktu yang dinantikan pada besok pagi.

Lama dia tak kunjung tidur dan berpikir sambil berbaring di atas ranjangnya. Manakala dia ingin tidur, matanya tak mau terpejam dan rasa kantuk pun seketika sirna.

Ketika Adil sudah frustasi dipermainkan rasa kantuk pada kedua kelopak matanya, dia pun melompat dari ranjangnya dan menghampiri jendela kamarnya yang melongok ke jalan. Dia mulai merenungi hamparan langit yang luas dan berkata pada rembulan yang indah. Dengan terbata-bata, dia berkata, “Hei rembulanku yang bercahaya! Kini saatnya kamu bersembunyi dan terbenam. Wajah Rabab memancarkan sinar dan cahaya. Kami tak butuh kamu lagi setelah malam ini!!”

Adil adalah seorang lelaki gegabah dan suka membual. Kobaran syahwat sedang menggelorakannya dan bara nafsu sedang mempermainkannya. Adil tidak berpikir dengan akalnya atau menuruti panggilan kebaikan dan hidayah di dalam hatinya. Dia telah dikendalikan teman-teman jelek dan yang menghanyutkannya bersama mereka di dalam kesesatan. Di tambah lagi pengabaian kedua orang tuanya untuk memberinya pendidikan yang baik, meski keduanya memberi kepadanya semua fasilitas mainan dan kesenangan, bahkan sekalipun hal itu diharamkan.

Kesemua itu membuat pemikirannya hanya terfokus pada syahwat dan kesenangannya yang diobralnya ke hati para wanita yang bodoh dan terpedaya!! Sampai-sampai dia mengabaikan semua yang berbau pendidikan karena tabiatnya yang menyala-nyala dan syahwatnya yang membabi buta….

Malam itu, Adil memperhatikan menit-menit jam, dan seolah-olah itu bak jam-jam dan hari-hari yang menghalang antara dia dan waktu yang dinantikannya bersama Rabab, sang buah hatinya yang sangat cantik. Kemudian dia membisikkan kata-kata ke dalam hatinya, “Aku merasa strategi yang telah kurancang bakal menuai kesuksesan dan aku akan bisa menggait mangsaku yang sangat berharga!! Rabab adalah impianku yang hilang yang kucari-cari selama ini… Amboi…. betapa dia sangat mempesona, dia sungguh cantik sekali!!”

Kemudian sambil tertawa terbahak-bahak, dia berkata lagi, “Meski demikian, dia sangat bodoh sekali!! Sungguh, dia sangat bodoh sewaktu mengira si srigala yang buas ini mencintai dan tergila-gila padanya. Khayalan dan fatamorgana yang dusta itu telah membutakan pandangan dan mata hatinya. Dia tidak bisa mengetahui apa yang tersembunyi dan terselubung dalam hati Adil yang memendam kehinaan dan kekejian. Sebaliknya, dia malah terbuai kata-kata manisnya yang memimpikan kepadanya mahligai rumah tangga semu, layaknya semua lelaki yang memakai busana kemuliaan. Padahal, hakikatnya dia tak lebih seekor musang yang penuh tipu muslihat dan srigala yang pemalas.”

Sungguh, dia sangat bodoh sewaktu mengira ada lelaki yang rela menikahi wanita yang dikenalnya lewat pembicaraan telepon. Tidak mungkin seorang lelaki menerima wanita semacam ini untuk menjadi istrinya. Karena, dia tahu bahwa wanita itu sebelumnya –melalui telepon- pasti telah mengenal banyak lelaki selain dirinya. Karena orang yang di waktu mudanya demikian, pastilah juga demikian di waktu tuanya.

Pagi itu, Adil bangun dari tidurnya. Dia bergegas membasuh mukanya untuk mengusir rasa kantuknya dan agar dia tidak terlambat dari waktunya bersama Rabab. Dengan cepat, dia mengenakan pakaiannya yang terlihat perlente, lalu mengendarai mobil mewahnya. Dia langsung pancal gas dan mengemudikan setir hingga mobil pun melaju kencang bak air deras yang membelah arus gelombang membawa Adil untuk menggapai sayap-sayap nafsu dan cinta.

Kini… Adil telah sampai di sebelah kampus sesuai jadwal waktu yang telah dibuat antara dia dan Rabab, sang buah hatinya yang telah menodai kehormatannya dan pamor keluarganya yang terhormat dengan berbagai pertemuan-pertemuan nista ini. Adil mulai memperhatikan santapan pagi dan aroma para gadis dengan pandangan seorang pencuri agar bisa selintas memandang dan melihat Rabab.

Selang beberapa menit lamanya, Rabab muncul menghampirinya. Senyumannya yang lebar mendahului aroma parfumnya yang harum semerbak. Sementara tangannya membawa bunga mawar merah. Rabab membuka pintu mobil dan tanpa canggung langsung naik di samping kekasihnya. Mobil pun melintasi jalan dari arah depannya untuk melalui rambu-rambunya yang telah ditetapkan dengan leluasa. Mobil terus melaju pada jalurnya. Setelah beberapa saat, kedua kekasih itu pun sampai ke lokasi apartemen. Rabab menaiki tangga apartemen dengan langkah mendekat bak seekor kambing betina yang sedang diseret seorang jagal ke tempat penyembelihannya.

Keduanya pun duduk, sedang perasaan cinta bergejolak di hati masing-masing setelah panah asmara telah terpatri kuat di antara keduanya. Rabab bukanlah permata yang terawat yang selalu meneguk sari keimanan, kemuliaan dan kesucian. Bahkan, kemolekannya itu menjadi kemalangan baginya setelah dia menyingkap jilbabnya yang indah yang selama ini menutupi wajahnya.

Sepasang kekasih, Adil dan Rabab duduk di sebuah sofa yang berada dalam apartemen. Keduanya saling membisiki kata-kata cinta dan bergantian menancapkan panah asmara dan lain sebagainya. Pada mulanya, Rabab tampak hati-hati. Dia berusaha semampunya untuk bisa mengendalikan perasaan dan emosinya, karena dia tahu bahwa itu merupakan kerugian terbesar dan miliknya satu-satunya jika dia tidak bisa mengendalikan perasaannya yang meledak-ledak.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan pengaruh kata-kata manis yang disuntikkan Adil ke telinganya, perlawanan menghadapi perasaannya itu pun melemah. Dia benar-benar mulai terbawa perasaannya yang menyalanyala seperti kebanyakan gadis yang bermain api, menghampiri fitnah, dan berduaan dengan lelaki asing. Dia mengira dirinya mampu mengontrol emosi dan perasaannya. Dia merasa yakin akan bisa menjaga dirinya agar tak terperosok dalam lembah nista dan dosa. Tapi, bagaimana mungkin sedang selain dirinya dan kekasihnya masih ada setan sebagai pihak ketiga!

Tak ragu lagi, dia nantinya akan menyadari suatu kenyataan yang begitu menyakitkan dan malapetaka yang sangat pahit. Dia benar-benar telah kehilangan kendali terhadap diri dan perasaannya. Dia telah menyerah kepada gelora nafsu dan syahwatnya. Akibatnya, dia pun kehilangan sesuatu yang paling dibanggakan yang dimilikinya!!

Nyata, Rabab pun mulai merasakan kendali itu telah terlepas dari pegangan tangannya. Dia benar-benar tak kuasa lagi mengontrol emosi dan perasaan hatinya!! Pada saat lengah dan terbuai oleh nafsu dan perasaannya itu, Rabab pun tanpa sadar dan terasa telah menyerahkan dirinya kepada seekor srigala yang buas ini. Adil pun langsung merenggut keperawanan dan kesuciannya dan bisa memetik buah “haram” bersamanya, setelah keduanya tenggelam dalam cengkraman seekor srigala yang hina dan nista.

Kemudian Rabab tersadar dari keterbuaiannya dan tergugah dari mimpi dan tidurnya, akan tetapi dia mendapati di depan matanya sebuah kenyataan yang sangat menyakitkan. “Aku telah kehilangan sesuatu yang paling berharga yang kumiliki”. Bahkan, dia sungguh telah kehilangan segalanya… harga diri, kehormatan dan kesuciannya.

Serta merta, dia pun menangis, menjerit dan mengaduh. Namun, Adil segera menenangkan kecemasannya, meringankan kesedihannya dan mempermudah urusannya. Adil berkata kepadanya, “Untuk apa semua tangisan ini?! Apa yang mendorong semua ketakutan dan kesedihan ini?! Kamu adalah kekasihku… istriku… dan patner hidupku… Aku akan meminangmu dalam minggu-minggu ini. Kemudian kita menikah dan hidup bersama, tanpa ada seorang pun yang tahu dengan apa yang telah terjadi di antara kita. Aku bersumpah kepadamu mengenai hal itu!!”

Untuk kesekian kalinya, Rabab terpedaya dengan kata-kata manisnya, janji-janji indahnya dan sumpah-sumpahnya yang begitu meyakinkan. Dia sangat percaya kepadanya dan kata-katanya. Berangsur, kecemasannya mulai reda, dan isak tangisnya pun berhenti. Dia merasa pasrah kepada realitas yang memilukan ini, meski sangat menyesal dan takut terhadap apa yang akan terjadi nanti.

Di sini, Adil berkata kepadanya, “Sekarang, aku akan pergi untuk membeli makanan, sirup dan buah-buahan untuk kita santap sambil mendiskusikan rincian akad nikah, resepsi pernikahan dan perabotan apartemen, duhai ‘istriku’ yang cantik rupawan!!??”

Rabab yang bodoh itu pun menyimpulkan senyuman yang tak mengenal kesucian, senyuman wanita yang rasa malunya telah terampas oleh dosa dan bahkan tampak begitu senang dengan suasana hidupnya yang indah. Dia berkata kepada Adil, “Kamu jangan sampai telat. Aku ingin kembali ke kampus sebelum ayahku tiba tengah siang nanti.”

Adil berjanji kepadanya untuk tidak telat waktu. Kemudian dia berpamitan kepadanya, lalu mengunci pintu apartemen dan bergegas pergi. Dengan tergesa-gesa, Adil keluar dari rumah. Dia naik ke dalam mobil mewahnya dan langsung banting setir dan melaju dengan kecepatan yang luar biasa!! Dia sangat bernafsu untuk bisa kembali kepada Rabab dengan cepat agar tidak gelisah dan takut sendirian di dalam apartemennya, dan agar dia bisa berasyik masyuk bersamanya untuk waktu yang lebih lama lagi, juga agar dia mengulangi kesalahan bersamanya untuk kedua kalinya selagi Rabab percaya bahwa dia akan melamarnya dalam minggu-minggu ini.

Di tengah-tengah Adil mengemudikan mobilnya secara gila-gilaan diiringi dentuman alunan musik yang memekakkan telinga, dengan berjoget senang dan mabuk atas apa yang telah diteguk dari mangsanya yang cantik pagi ini, tiba-tiba dia menerobos jalur sempit dan tikungan yang sangat berbahaya yang mengakibatkan mobilnya yang sedang melaju kencang itu menabrak mobil lain yang ada di jalan tersebut. Spontanitas, tubuhnya bergoncang hebat akibat insiden yang mengerikan itu yang sempat menjadi perhatian orang-orang yang lalu lalang. Adil keluar dari mobilnya dalam keadaan kalut dan panik. Polisi lalu lintas pun datang untuk menginvestigasi kejadian. Setelah mereka mendeteksi tempat kejadian, terbuktilah oleh mereka bagaimana yang sebenarnya terjadi. Polisi penyelidik berkata kepada Adil, “Kenapa kamu kemudikan mobilmu dengan kecepatan yang tinggi?! Tanpa ragu lagi, kamulah yang sepenuhnya bertanggung jawab atas insiden yang tragis ini!!”

Kemudian dia menyuruh untuk menahan dan menyekapnya dalam tahanan di balik terali besi hingga tuntas prosesi hukum yang berkaitan dengan insiden tersebut. Seketika, Adil pun langsung kelenger. Betapa hatinya sibuk memikirkan Rabab dan bagaimana dia kembali ke kampus?!! Apalagi dia telah menguncinya di dalam apartemen. Dia mulai membayangkan malapetaka yang bakal menimpa jika saja ayah Rabab tiba di kampus dan tidak mendapati Rabab ada di sana.

Dia pun memelas dan memohon kepada polisi agar melepaskannya meski hanya satu jam untuk menyelesaikan urusannya yang amat penting lalu setelah itu polisi bisa menawannya sesuka hatinya. Namun, kata-kata dan permohonannya itu berhembus bagaikan angin lalu. Polisi itu tetap bersikukuh pada pendiriannya. Dia meminta polisi ronda (patroli) untuk membawa Adil ke tempat tahanan.

Sementara Rabab terpaksa harus menanti kedatangan Adil, akan tetapi Adil ternyata telat sekali. Kegelisahan mulai menghinggapinya dan keragu-raguan mulai menghantuinya. Dia mengawasi jarum-jarum jam dari waktu ke waktu. Terbayang di kedua pelupuk mata dan lamunannya gambar ayahnya yang mulia sedang menunggunya di pintu kampus untuk membawanya pulang ke rumah seperti sediakala.

Dia kebingungan memikirkan masalahnya. Dia tidak tahu apa yang akan diperbuat? Juga bagaimana dia mengambil sikap? Apalagi pintu apartemen dalam keadaan terkunci. Dia tak punya kunci duplikatnya untuk bisa keluar dan mengurai tabir penutup terha-dap dosa dan kejahatannya, yang jika sampai diketahui ayahnya, niscaya dia akan menyayat-nyanyatnya menjadi beberapa potongan dan akan membuangnya ke hutan rimba sebagai mangsa para binatang buas, demi mengubur aib dan cela, juga sebagai solusi dari dosa yang takkan diampuni oleh masyarakat, dan sekaligus menjadi obat terhadap luka yang tak terobati. Ialah luka harga diri, kehormatan dan kemuliaan.

Rabab duduk di atas kursi yang empuk, tapi seolah-olah dia sedang duduk pada tusukan duri dan jarum, karena saking gelisah dan ketakutan yang akan menimpanya. Pada saat itu, dia berharap kalau saja bumi terbelah di bawah kedua telapak kakinya untuk menelannya sepanjang masa!! Rabab berjalan menuju pintu apartemen dan terduduk di sampingnya sambil menunggu kedatangan Adil dengan penuh sabar, namun tak ada gunanya.

Dia memandangi arloji yang menempel di pergelangan tangannya. Dia pun melihat hanya tersisa waktu sedikit dari kedatangan ayahnya untuk menjemputnya dari kampus. Seketika, dia gemetar dan seluruh persendiannya bergetar karena ketakutan yang akan menampar tulang-tulang rusuknya. Hatinya semakin berdegup kencang. Dadanya terasa sesak. Dia merasa tercekik. Kemudian dia mulai memutari ruangan apartemen bak ular yang melingkar di dalam sarangnya dalam kondisi terkepung api dan meng-inginkan jalan keluar.

Dia terus memikirkan nasibnya dan merenungi aibnya di hadapan ayah, keluarga dan teman-temannya sewaktu dosa yang diperbuatnya bersama Adil itu diketahui mereka. Dia tetap tidak menemukan sebuah solusi meskipun telah lama berpikir dan merenung, selain menutupi mukanya dengan kedua telapak ta-ngannya, meneteskan air matanya yang bercucuran, dan menangis tersedu-sedu serta bercampur takut dan cemas…

Adil masih terdampar di balik terali besi penjara yang hampir mencekik nafasnya. Aliran darah panas pun mulai mendidih di kepalanya…. Dia tidak tahu apa yang akan diperbuatnya untuk bisa menyelamatkan Rabab dari dilema yang dialaminya?? Dia duduk dalam keadaan risau. Dia tak tahu apakah dia berada dalam khayalan atau kenyataan!! Dalam dirinya, dia mulai berpikir tentang cara mengatasi kesulitan yang menakutkan ini!!

Setelah berpikir panjang, muncullah sebuah ide yang menyusup ke otaknya setelah menguras semua jerih payah… Yaitu, dia harus menelpon salah seorang temannya yang mempunyai kunci duplikat apartemennya yang membuat Rabab terkurung di dalamnya, dan memintanya untuk menyelamatkannya dari dilemanya dan segera mengantarnya ke kampusnya secepat mungkin.

Akhirnya, dia minta izin kepada polisi lalu lintas, dan mereka pun mengizinkannya untuk menelpon beberapa saat untuk setelah itu kembali ke tempatnya di tahanan.

Adil bergegas ke tempat telepon dan langsung mengangkat gagang telepon. Dia memencet beberapa nomor dan dalam waktu singkat terdengarlah suara di telinganya berkata, “Halo, dengan siapa?!” Dengan suara bergetar, Adil menjawab, “Hai Hamid, aku temanmu Adil. Dengarkan aku baik-baik dan pahamilah apa yang kuucapkan kepadamu..” Kemudian dia menyambung ucapannya, “Aku ingin kamu mengerjakan suatu urusan penting untuk menyelamatkanku dan menyelamatkan seorang gadis yang bersamaku…”

Adil menceritakan tema bahasan kepada sahabatnya, Hamid, secara singkat sekali dan berkata kepadanya, “Saat ini, aku ingin kamu pergi ke apartemen dan mengantarkan gadis itu ke kampusnya dengan segera sebelum ayahnya datang. Aku takut jika ia tidak mendapati putrinya berada di gerbang kampus, maka terbongkar dan tersingkaplah masalah ini.”

Hamid berkata, “Di mana kamu sekarang, wahai Adil?!”
Adil menjawab, “Aku sekarang ditahan di penjara lalu lintas karena mobilku menabrak mobil lain…Aku tidak bisa menceritakan rincian kejadian kepadamu melalui pesawat telepon. Aku berharap kamu segera berangkat dan mengerjakan apa yang kukabarkan padamu sebelum terlambat…”

Hamid berkata, “Aku segera berangkat melaksanakan apa yang telah kamu kabarkan kepadaku. Percayalah sepenuhnya dan tenanglah mengenai hal itu.”

Dan, pembicaran pun berakhir sampai di situ. Belum sempat Hamid menutup gagang telepon hingga air liurnya mulai mengalir untuk bisa bersenang-senang dengan gadis itu. Dengan terbata-bata dia berkata dalam ha-tinya, “Selagi Adil telah bersenang-senang dengan gadis itu, kenapa aku tidak ikut bersenang-senang dengannya pula? Dia harus menyepakati hal itu?!! Jika dia menolak itu, maka aku akan mengancamnya untuk tidak akan mengantarnya ke kampusnya. Akibatnya, dia akan telat terhadap ayahnya dan terbongkarlah rahasianya?!! Pada saat itulah, dia akan menyerah dan tunduk kepada perintahku…”

Kemudian dia berkata lagi kepada dirinya, “Amboi, rampasan yang amat berharga dan buruan yang begitu mudah!! Dengan cepat, Hamid mengendarai mobilnya menuju apartemen Adil, sambil memimpikan bisa melakukan hubungan mesum bersama gadis yang cantik itu dan memimpikan dirinya akan menikmati pesonanya. Akan tetapi, mewanti-wanti semua yang akan terjadi. Siapa tahu gadis itu menolak ajakannya, dan ketika itulah dia harus memerkosanya dengan memakai kekuatan!! Yang penting, mangsa yang begitu mudah ini tidak tersia-siakan olehnya baik itu dilakukan suka sama suka ataupun secara paksa. Karena itu, dia membawa di saku dalamnya pisau belati untuk menakut-nakuti mangsanya jika sewaktu-waktu dia menolak untuk memberikan apa yang diinginkannya.”

Hamid melaju menuju apartemen Adil dengan kecepatan tinggi, sementara punggungnya terbakar terik matahari demi nafsunya untuk bisa menggaet gadis yang amat mahal itu!! Ketika dia telah tiba di apartemen, dia mengusap keringat di keningnya dan tersendat-sendat nafasnya yang sedang terengah-engah.

Untuk memberi sinyal kepada gadis yang ada di dalam apartemen, Hamid pun mengetuk pintu apartemen dengan ketukan-ketukan ringan, yang terdengar di kedua gendang telinga Rabab seolah pukulan-pukulan nyaring yang menjauhkan darinya segala ketakutan, kegelisahan dan kecemasan. Karena dia meyakini si pengetuk adalah Adil untuk mengembalikannya ke kampus sebelum ayahnya tiba. Kemudian Hamid membuka pintu dan mendorongnya. Dia begitu terobsesi untuk melihat gadis yang sangat cantik itu dan membayangkan dirinya melakukan kehinaan dan dosa bersamanya.

Akan tetapi, betapa ngeri bercampur kaget dan pedih saat Hamid melihat hal yang bisa menghilangkan akal dan nalar sehatnya dan menerbangkan hati dan pikirannya!! Dan andaikan saja dia tidak pernah melihatnya!! Sungguh, Hamid melihat saudarinya, Rabab sedang duduk di dalam apartemen!! Ternyata, Rabab alias adiknya adalah pacar dan kekasih Adil yang telah mengajaknya berkencan di dalam apartemennya!!

Rabab tersentak karena saking kagetnya. Ternyata Hamid, saudara kandung tertuanya sedang berdiri di hadapannya. Apa yang membuatnya datang kemari saat ini!! Bagaimana Hamid bisa tahu dia ada di dalam apartemen ini?!! Apakah Hamid mengetahui dia telah menjual harga diri dan kehormatannya kepada Adil pada pagi hari ini?!! Seketika, pandangannya tampak redup. Mulutnya terbungkam karena risau dan terkekang oleh rasa takut. Dia merasakan adanya ledakan mengerikan yang menyemburkan hawa panas ke dinding-dinding kepalanya di depan pelototan kedua mata kakaknya yang telah hilang akalnya. Dia bisa merasakan tingginya nada suara Hamid sewaktu berteriak ke mukanya seperti orang kalap setelah api cemburu tersembur dari kedua matanya. Hamid berkata, “Apa yang telah kamu perbuat, hai wanita jalang yang mencoreng kehormatan, kemuliaan dan pamor kami?!”

Rabab pun gemetar bagaikan bulu diterpa angin yang sangat kencang, sementara rasa malu membuat merah raut mukanya! Hamid tak butuh bertanya ke-padanya tentang apa yang membuatnya nyasar ke apartemen ini! Adil telah memberitahu kepadanya melalui telepon bahwa dia adalah pacarnya, dan bahwa Adil telah merenggut kegadisan dan kesuciannya.

Hamid mulai menatapnya dengan pandangan yang berapi-api dan menakutkan seperti pandangan yang mendahului kegilaan. Lalu dia menjambak rambut Rabab yang hitam berombak dan mendorongnya dengan kuat hingga Rabab terjerembab ke tanah. Rabab bangun dan bergelayutan pada rumbai baju kakaknya setelah tersungkur di hadapannya dalam keadaan tertunduk dan memohon, sedang air matanya membasahi kedua pipinya. Dia memelas kepada Hamid dengan suara lirih dan sesenggukan, “Berilah kasihan dan ampunan, wahai Hamid. Aku berjanji padamu untuk tidak akan mengulangi perbuatan semacam ini sepanjang hidupku… Sementara darahnya membeku di mukanya, Hamid membalas ucapannya, “Sekarang dan setelah semuanya terjadi, kamu baru mengucapkan kata-kata ini. Sesungguhnya kematianmu lebih baik bagi kami daripada hidupmu. Kamu mencemarkan nama baik kami dan mencoreng muka kami dengan aib dan kehinaanmu di tengah-tengah masyarakat, wahai wanita jalang…”

Sampai sini, Hamid mengeluarkan sebilah pisau yang dibawanya di balik bajunya. Dia mengacungkannya tinggi-tinggi ke atas, lalu menghunjamkannya ke dada saudarinya dan menusuknya dengan tusukan yang menembus ulu hatinya. Rabab mengeluarkan jeritan yang menggema yang membuat dinding apartemen bergoncang. Kemudian dia mengikutinya dengan tusukan-tusukan secara beruntun yang mencabik-cabik isi perutnya, untuk menewaskannya dan mematikan jalinan cinta gelap yang menggelora di hatinya dan menghilangkan aib dan cela bersamanya!! Secara bertubi-tubi, tusukan-tusukan pun dihunjamkan ke tubuh Rabab yang bersimbah dosa. Dia menjerit dan meminta tolong…yaitu jeritan-jeritan yang mencerai beraikan hati. Belum sempat jeritan-jeritan itu merada secara perlahan-lahan, hingga Rabab tersungkur menjadi mayat yang beku dan bersimbah darah segar yang berwarna kemerah-merahan, tanpa mengeluarkan keringat dan mengedipkan mata. Rabab pun telah tewas dibunuh Hamid, kakaknya sendiri sebagai balasan atas harga diri dan kehormatannya yang tercoreng!!

Sampai di sini, Hamid tetap berdiri pada bangkai yang membeku itu, sedang tangannya berlumuran darah. Dia berteriak dan berkata, “Kini… telah mati kehinaan dan aib itu!! Kini… telah terkubur cela itu!” Kemudian dia duduk pada sofa terdekat untuk beris-tirahat dan menghirup nafasnya yang tersengal-sengal… Ketika dia sedang rebahan di atas sofa, tiba-tiba dia mendengar bunyi kunci bergerak di pintu dan mendengar suara sahabatnya, Adil memanggil, “Rabab…. Kekasihku… Ini aku telah kembali kepadamu…”

Kedatangan Adil ke apartemen saat itu adalah suatu hal yang tak terduga, karena semestinya dia masih tertahan di tempat pemarkiran. Akan tetapi, pada seksi lalu lintas itu dia bertemu salah seorang polisi yang mempunyai hubungan erat dengannya. Polisi ini berusaha mengeluarkannya dari tempat tahanan ini dengan jaminan uang. Begitu keluar dari tempat pemarkiran itu, Adil bergegas menuju ke apartemennya untuk memastikan apakah Rabab masih berada di dalamnya. Atau sahabatnya, Hamid telah membawa dan mengantarnya ke kampusnya. Mendengar suara Adil, serentak api cemburu berkobar dalam hati Hamid. Dengan sigap, dia langsung melompat, meraih pisaunya dan bersembunyi di balik pintu. Belum sepenuhnya Adil masuk ke dalam apartemen dan menjulurkan punggungnya ke pintu, hingga Hamid melompat dari belakang dan menghempaskannya ke tanah lalu menduduki dadanya dan menghujamkan pisaunya ke wajah Adil.

Adil terpana dengan pemandangan ini. Dia berteriak memohon dan memelas sambil berkata, “Hamid, apa yang terjadi denganmu?! Apa yang telah menimpamu?! Kenapa kamu menghunjamkan pisau kepadaku sedang aku adalah sahabat, teman dan patner hidupmu?”

Hamid berteriak dan berkata, “Lihatlah mayat itu. Sesungguhnya dia adalah mayat Rabab, kekasihmu. Aku telah membunuhnya dengan kedua tanganku ini. Tahukah kamu siapa Rabab ini, hai Adil? Dia adalah adik dan saudari kandungku dari ibu dan bapakku! Dia adalah saudariku yang telah kamu rampas harga diri, kesucian dan kehormatannya. Aku harus membunuhmu, wahai Adil, seperti aku telah membunuhnya, agar kejahatan dan aib ini sirna seiring kematian kalian!!

Kemudian dia menurunkan pisaunya dan menghunjamkannya secara bertubi-tubi ke dada Adil yang langsung menjerit, meminta tolong dan memelas, tapi sudah tak ada gunanya!! Darah memuncrat dari tubuh Adil, dan dia berusaha melawan sebisanya. Namun, dia tunduk dan menyerah di tangan tukang jagal dan sekaligus sahabatnya, Hamid. Tanpa henti-hentinya tusukan pun dihunjamkan oleh Hamid sampai dia yakin betul bahwa Adil telah tewas dan menjadi mayat yang membeku dan tak bergerak!!

Pada saat itulah, Hamid berdiri pada bangkai Adil yang bermandikan darah segar, lalu dia tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Kini, aku telah membalas harga diri dan kehormatanku darimu, hai orang hina yang biadab…” Kemudian dia membanting tubuhnya yang capek dan letih pada salah satu mebel empuk yang ada di dekatnya dan dia pun berbaring rebahan di atasnya.

Untuk beberapa saat lamanya, Hamid dalam kondisi seperti ini. Lalu dia dikejutkan pintu apar-temen yang didobrak dan dia melihat sekelompok polisi masuk. Polisi langsung berkata, “Jangan bergerak dari posisimu, dan jangan berusaha melawan atau kabur. Rumah ini sudah terkepung oleh polisi.”

Hamid tahu bahwa tak ada gunanya untuk mela-wan dan memungkirinya. Mayat dan darah yang melumuri tanah, juga pakaian dan kedua tangannya yang berlumuran darah sebagai saksi atas apa yang telah terjadi. Hamid menyerah kepada apa yang terjadi. Dia pun diam tak bergerak dan salah seorang polisi menghampirinya lalu memborgol kedua tangannya, tanpa ada perlawanan darinya.

Polisi pun menginterogasinya, lalu mereka berkemas-kemas meninggalkan apartemen dan menuju markas. Pak polisi bertanya, “Apa yang telah terjadi?! Kami menerima informasi dari salah seorang peng-huni gedung apartemen tentang keberadaan seorang lelaki dan wanita di salah satu ruang apartemen dan bunyi suara jeritan dan minta pertolongan dari si wanita. Lalu kami pun datang untuk menyelamatkannya, tapi ternyata kami datang telat dan setelah semuanya terjadi… ”

Hamid menjawabnya dengan sikap dingin dan santai, “Ini sahabatku Adil, dan itu adalah saudariku Rabab. Adil membawanya ke apartemen ini pada pagi ini dan merenggut kehormatannya atas dasar suka sama suka dan kesepakatan bersama, lalu aku pun membu-nuh keduanya untuk menghilangkan kehinaan, cela dan aib bersamanya. Nah, sekarang aku berada di hadapan kalian, maka silahkan kalian memperlakukan aku sesuka hati !!”

Hamid digiring ke markas polisi, dan penyelidikan pun selesai. Dia telah mengakui semua apa yang telah diperbuatnya, dan berkas-berkasnya telah dipindahkan ke Lembaga Pengadilan untuk menjatuhkan vonis yang sebanding dengan tindakannya. Akhirnya, pengadilan menjatuhkan vonis mati terhadapnya.

Pada suatu pagi, terbit koran harian yang memuat pada lembar halaman bagian depan (headline) berita pelaksanaan eksekusi mati terhadap Hamid, dan menceritakan semua rincian tragedi berdarah yang memilukan itu…

Demikianlah terurainya tabir penutup terhadap kesedihan yang meresahkan ini. Demikianlah tragedi yang mengerikan itu berkesudahan dengan terbunuhnya tiga nyawa sekaligus: Adil, Rabab dan Hamid. Penyebabnya adalah iseng-iseng lewat telepon, rayuan manis, kata-kata cinta, menuruti ajakan syahwat yang membabi buta, dan penelantaran oleh kedua orang tua untuk memberi putrinya pendidikan yang baik dan sebaliknya malah mempercayainya secara berlebihan. Demikianlah, buah rayuan itu berbuntut hilangnya kehormatan, terbunuhnya nyawa manusia, serta tersingkapnya cela, kehinaan dan aib. (lihat: Qatilat Al-Hatif, karya Abul Qa’qa’ Muhammad bin Shalih bin Ishaq ash-Shai’ari)

Maka, ambillah (kejadian itu) sebagai pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki pandangan.

Read more https://kisahmuslim.com/1243-rayuan.html

Leave your comment here: