BUKTI BAHWA PANCASILA ADALAH SESUAI DENGAN SYARI’AT ISLAM
Akhir-akhir ini suara-suara untuk menegakkan syariat Islam secara keseluruhan kembali mencuat. Seruan ini disertai dengan usaha-usaha untuk menyebarkan ideologi kekhilafahan Islam sebagai dasar negara menggantikan Pancasila dan UUD 45.
Bagi mereka, Pancasila dengan lambang burung Garudanya merupakan salah satu jenis kemusyrikan dan bahkan layak disebut thagut. Jelas pemikiran seperti ini merupakan hasil pembacaan yang nominalis, pembacaan yang fokus kepada nama, bukan semangat yang dikandung nama tersebut.
Dalam Pancasila, tidak ada sila-sila yang dapat menjerumuskan ke dalam sistem kesyirikan atau ke-thagut-an. Coba perhatikan baik-baik lima sila dalam Pancasila. Semuanya merupakan pesan-pesan yang bersesuaian dengan nilai universal Islam.
Pancasila bukanlah agama baru. Esensi dan fungsinya juga berbeda. Pancasila merupakan falsafah yang dihasilkan dari eksplorasi daya pikir manusia yang tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial politik yang melingkupinya. Ia bersifat “ijtihadi” dan profan. Sementara agama bersumber dari wahyu, suci dan bersifat sakral.
Mengenai hal ini Saifudin Zuhri (1981: 54) mengatakan:
Pancasila dan agama memang berbeda secara esensi dan fungsinya kendati tidak bermusuhan secara antagonistik. Pancasila adalah falsafah (hasil penggalian dan eksplorasi daya pikir manusia menggunakan kecermatan bernalarnya), adapun agama adalah wahyu ilahi (yang bersih dari campur tangan apapun dari manusia). Dalam hubungannya dengan cita-cita kenegaraan Indonesia merdeka, pancasila adalah “political philosophy” untuk menjawab masalah-masalah duniawi bangsa Indonesia dalam arti kenegaraan.
Deklarasi Situbondo
Salah satu keputusan penting tentang hubungan antara Agama dan Negara dalam hal ini pancasila dan Islam adalah perumusan yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dalam sebuah dokumen yang kemudian dikenal dengan “Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”. Deklarasi tersebut memuat lima butir penegasan sikap yang menafsirkan salah satu sila terpenting dalam Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut tafsiran ‘islami’ (Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik, 1994: 285). Deklarasi tersebut dirumuskan dalam sebuah piagam yang sangat komprehensif dan konklusif dalam sebuah Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam. Deklarasi penting itu dirumuskan dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo pada tahun 1983. Pernyataan NU dianggap kontroversial dan menggemparkan saat itu. Bagi yang tidak tahu argumennya akan menentang, tetapi yang mengerti argumennya yang begitu rasional dan sistematis serta proporsional itu banyak yang tertegun dan simpati (Abdul Mun’im DZ, Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011).
Berikut ini bunyi Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam sebagaimana tertuang dalam rumusan Munas Alim Ulama NU di Situbondo tahun 1983:
Bismillahirrahmanirrahim
Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesi bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.
Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.
Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Penerimaan NU terhadap pancasila baik sebagai asas tunggal organisasisnya maupun sebagai dasar Negara dapat disimpulkan karena dua hal; pertama, karena nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila itu sendiri merupakan sesuatu yang baik (maslahat). Kedua, alasan penerimaan pancasila ini karena fungsinya sebagai mu’ahadah atau mitsaq. Yakni sebuah kesepakatan, antara umat Islam dengan golongan lain di Indonesia untuk mendirikan Negara (Ali Haidar, 1994: 289-290). Satu tahun setelah deklarasi Situbondo NU menggelar Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur. Muktamar ini adalah muktamar NU yang menjadi catatan sejarah penting yang menandai hubungan antara NU dan Pancasila. Dalam muktamar ini, di samping memutuskan NU kembali ke Khittah 1926, NU secara tegas menerima pancasila sebagai asas organisasi. Asep Saeful Muhtadi (2004) menegaskan: “NU merupakan ormas (organisasi massa) Islam yang pertama menerima pancasila sebagai satu-satunya asas di satu pihak, meskipun di pihak lain, secara formal sesungguhnya belum ada ketentuan yang mengharuskan ormas apapun untuk menerima pancasila sebagai asas organisasi, karena pada saat itu kewajiban tersebut baru berlaku bagi organisasi-organisasi politik.”
Pertanyaannya kemudian, apakah sikap kebangsaan dan kenegaraan NU sebagaimana dijelaskan di atas berkaitan dan atau bahkan merupakan impelementasi dari paham dan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja)? Jawaban atas pertanyaan ini bisa dilihat dari apa yang disampaikan oleh KH. Ahmad Siddiq (Rais Aam PBNU 1984-1991). Beliau menjelaskan bagaimana pandangan NU tentang kehidupan bernegera seperti berikut:
Negara nasional (yang didirikan bersama oleh seluruh rakyat) wajib dipelihara dan dipertahankan eksistensinya;
Penguasa Negara (pemerintah) yang sah harus ditempatkan pada kedudukan terhormat dan ditaati, selama tidak menyeleweng, memerintah ke arah yang bertentangan dengan hukum dan ketentuan Allah;
Kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah, cara mengingatkannya lewat cara yang sebaik-baiknya. (KH. Ahmad Siddiq, 1979: 39)
Pemikiran NU yang melandasi pandangan di atas ini sebenarnya dapat dengan mudah dilacak pada konsep bernegara dalam madzhab Syafii. Dimana dalam pandangan ini, Negara dipilah ke dalam tiga jenis: Dar Islam (Negara Islam), Dar Harb (Negara Anti-Islam), dan Dar Sulh (Negara Damai). (Wahid, 1996: 5, dan Asep Saeful Muhtadi, 2004: 132). Dengan demikian, tidaklah mengherankan bilamana NU hampir selalu berada di garda terdepan dalam mengawal pancasila. Sebab, dalam sejarahnya NU adalah ormas pertama yang menggunakannya sebagai asas organisasi.
Bagi kita yang akrab dengan pemikiran al-Ghazali, as-Syatibi, Izzudin bin Abd Salam, al-Qaffal, Ibnu Asyur, Allal al-Fasi, ar-Raysuni dan lain-lain, ketika membandingkan semangat nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 45 dengan nilai-nilai universal Islam lewat kacamata pemikiran mereka, niscaya kita akan sampai kepada kesimpulan bahwa kedua dasar negara ini sesuai dengan maqasid syariah.
Sila pertama, ke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Sila ini dulu menjadi perdebatan yang hangat di kalangan pendiri bangsa. Dulu sebutannya ialah ‘ketuhanan dengan menjalan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ atau sering juga disebut sebagai Piagam Jakarta. Namun karena ada ketidaksetujuan di sana-sini, sila ini kemudian diubah menjadi ‘ke-Tuhan-an Yang Maha Esa’.
Jika dibandingkan antara redaksi ‘ke-Tuhan-an Yang Maha Esa dan redaksi ‘ketuhanan dengan menjalan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, ternyata yang lebih bernilai tauhid atau yang lebih bersemangat keesaan Tuhan ialah yang pertama. Sedangkan yang kedua, penyebutan ketuhanan, apalagi dengan t kecil, tidak menekankan makna tauhid yang sebenarnya.
Karena itu, sila yang sekarang digunakan jelas sangat bersesuaian sekali dengan semangat kemahaesaan Tuhan yang digaungkan dalam berbagai ayat-ayat al-Quran. Hal demikian misalnya dapat dilihat pada beberapa ayat seperti QS. An-Nisa: 36, QS. al-An’am: 151, QS. an-Nur: 55, QS. Yusuf: 40, QS. Ali Imran: 64 dan masih banyak lainnya. Semua ayat ini mengandung arti perintah selalu untuk mengesakan Tuhan. Sementara itu musuh utama kemahaesaan Tuhan dan keserbamutlakannya ialah sikap mengesakan suatu pendapat sebagai satu-satunya kebenaran dan sikap memutlakkan yang seharusnya tidak berhak dimutlakkan. Gerakan mengkafir-kafirkan orang hanya karena berpaham Pancasila jelas merupakan lawan dari semangat tauhid.
Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Jika kita menolak semangat yang terkandung dalam sila kedua dari Pancasila ini, berarti dengan sendirinya kita menolak menjalin hubungan baik dengan manusia secara beradab dan berakhlak. Konsekwensi logisnya, kalau kita menolak berhubungan baik dengan manusia, sebutan yang pas untuk kita ialah manusia tak bermoral, barbar dan biadab. Na’udzu billah! Dalam al-Quran, banyak sekali ayat-ayat yang berbicara mengenai posisi manusia dan kemanusiaan. Hal demikian misalnya seperti yang dapat kita perhatikan pada QS. At-Taghabun: 3, Hud: 61, Ibrahim: 32-34, Luqman: 20, ar-Rahman: 3-4, al-Hujurat: 13, al-Maidah: 32 dan lain-lain.
Membunuh manusia hanya karena alasan mereka kafir, musyrik menurut pandangannya jelas sangat bertentangan dengan ayat ini. Nabi saja diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia agar mereka menjadi manusia seutuhnya. Jika ada seorang muslim yang tidak memiliki sifat perikamanusiaan, maka dia bertentangan dengan al-Quran dan hadis nabi. Dalam hadis-hadisnya, Nabi sering mendefinisikan seorang muslim sebagai man salima al-muslimun min yadihi wa lisanihi “orang yang mampu menjaga lidah dan tangannya untuk tidak menyakiti sesama.” Jadi orang yang tidak menjaga lidah dan tangannya, dalam definisi hadis Nabi ini, layak disebut sebagai bukan muslim. Artinya sebagai manusia muslim kita harus berperikemanusiaan.
Sila ketiga, persatuan Indonesia. Dalam al-Quran, persatuan merupakan prinsip terpenting dalam membangun komunitas. Dalam al-Quran, ditemukan banyak sekali anjuran untuk bersatu dan kecaman terhadap perpecahan. Bahkan persatuan disebut al-Quran sebagai tali Allah. Hal demikian seperti yang dapat kita lihat pada QS. Ali Imran: 64, 102-107. Semangat persatuan juga dapat kita temukan dalam beberapa ayat al-Quran seperti dalam QS. al-An’am: 153, QS. ar-Rum: 30-32, QS. al-Bayyinah: 1-5 dan lain-lain. Di dalam prakteknya di negara Madinah, Nabi menjalin persatuan dengan kelompok-kelompok sosial dari kalangan Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani, dan kalangan orang musyrik seperti Bani Khuza’ah, Bani Juhainah dan lain-lain yang kemudian dikenal sebagai Piagam Madinah.
Nabi mengajak semua elemen masyarakat untuk bersatu jika kemudian diserang oleh pihak musuh, yakni kaum Musyrik Quraish. Jika dengan kelompok non-muslim saja Nabi menjalin persatuan di negara Madinah, seharusnya umat Islam juga bersatu padu dan bahu membahu dalam kebaikan dengan kelompok selain mereka. Indonesia dengan berbagai macam suku, agama, budaya mampu menyatukan elemen-elemen masyarakat. Dalam perspektif Islam, Indonesia telah mengamalkan semangat al-Quran dan sunnah Nabi untuk menjalin dan menjaga persatuan dari tataran terkecil sampai tataran terbesar.
Jika menolak sila persatuan dan semangatnya ini, berarti dengan sendirinya kita mendukung perpecahan dan kerusakan dan itu artinya kita dapat pula disebut sebagai pembuat keonaran dan pemecah belah umat. Jadi banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan kita untuk bersatu.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Semangat yang terkandung dalam sila ini ialah semangat untuk melawan segala bentuk tirani yang terejawantahkan ke dalam sistem totalitarianisme dan otoritarianisme dalam pemerintahan. Semangat melawan tirani ini jelas semangat yang quranik, karena Islam menolak dengan tegas kekuasaan yang terpusat kepada individu atau segelintir elit tertentu. Kekuasaan yang terkumpul pada satu individu tertentu sangat rawan untuk disalahgunakan dan rawan dari kekeliruan dalam mengambil keputusan dan kebijakan. Dalam al-Quran ilustrasi tentang pemusatan kekuasaan dan kebenaran hanya pada satu sosok tertentu terletak pada model kepemimpinan Fir’aun.
Untuk menghindari itu, al-Quran membuka kanal berupa musyawarah dan pembagian tugas dan wewenang (kullukum ra’in) sebagai solusi agar kekuasaan tidak terpusat kepada satu sosok pemimpin. Nabi dalam QS. Qaf: 45 sering disebut sebagai wa ma anta alayhim bi-jabbar “Kamu bukanlah tipe orang yang bertindak semena-mena terhadap mereka” dan dalam QS. al-Ghasyiyah: 22 sebagai lasta alayhim bi-musaytir “Kamu bukanlah tipe orang yang otoriter”. Dua ayat ini cukup untuk dijadikan rujukan bahwa dalam Islam, tipe kepemimpinan yang otoriter sangatlah dilarang. Ditambah lagi dengan penegasan untuk selalu bermusyawarah seperti yang dapat dilihat pada QS. al-Baqarah: 233, Ali Imran: 159 dan as-Syura: 38 dan semangat pembagian kerja atau perwakilan seperti yang dapat kita temukan pada QS. an-Nisa: 35 dan QS. Yusuf: 55.
Jika kita menolak sila keempat dari Pancasila ini, berarti dengan sendirinya kita menolak sistem perwakilan dan musyawarah serta mendukung sistem otoriter dan itu artinya kita mengadopsi sistem otoritarianisme yang kufur. Semangat perwakilan dan
Sila kelima, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika mereka menolak Pancasila, berarti mereka mengabaikan keadilan dan membela kezaliman. Sila kelima dalam Pancasila sangat menjunjung tinggi keadilan, semangat yang selalu digaungkan al-Quran dalam berbagai ayat-ayatnya. Dalam al-Quran, menjunjung tinggi keadilan merupakan bentuk amal yang dekat dengan ketakwaan. Ayat-ayat yang berbicara mengenai keadilan dapat dilihat pada QS. An-Nisa: 58, 135, al-Maidah: 8, al-An’am: 152-153, al-A’raf: 29, Hud: 84-86 dan lain-lain.
Lebih jauh lagi, jika kita menolak UUD 45 yang bersemangat anti-penindasan dan penjajahan, berarti dengan sendirinya kita pro-penindasan dan pro-penjajahan. Jika demikian halnya, sebagian kita yang melakukan aksi-aksi penindasan yang mengatasnamakan Islam sebenarnya merupakan musuh Islam yang nyata dan musuh bagi Indonesia yang islami ini. Dengan pendasaran teologis terhadap Pancasila dan UUD 45 melalui semangatnya yang sangat quranik, jelaslah bahwa tidak tepat jika kedua dasar sistem kenegaraan kita ini dianggap sebagai tidak Islami.
Meski secara nama, Pancasila dan UUD 45 tidak ada dalam al-Quran dan as-Sunnah, namun seperti yang ditegaskan imam al-Ghazali, yang islami itu bukan sekedar yang ma nataqa an-nash ‘apa yang ada dalam al-Quran dan Sunnah’ tapi lebih dari itu, yakni, yang ma wafaqa as-syar’a ‘yang sesuai dengan semangat syariat’. Pandangan ini cukup untuk membantah keyakinan bahwa semua hukum buatan manusia itu produk kekufuran. Selagi hukum tersebut bersesuaian dengan syariat, tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal, maka jelas Pancasila dan UUD 45 sangatlah islami.
Singkatnya, siapa pun orangnya dan apapun pahamnya yang tegas-tegas menolak keesaan Allah, menentang kemanusiaan, memecah belah persatuan, mengadopsi otoritarianisme dan menghancurkan sendi-sendi keadilan itulah thagut sebenarnya. Jika jaringan teroris yang mengatasnamakan Islam melawan ini semua, bukankah dengan sendirinya mereka itu salah satu thagut yang harus kita perangi?
Wallahu a’lam.