DI ANJURKANYA MENGUCAPKAN SUBHANALLOH DAN MA SYA ALLOH

DI ANJURKANYA MENGUCAPKAN SUBHANALLOH DAN MA SYA ALLOH

PENGGUNAAN KALIMAT MASYA ALLOH

Selama ini kaum Muslim sering “salah kaprah” dalam mengucapkan Subhanalloh (Maha Suci Alloh), tertukar dengan ungkapan Masya Alloh (Itu terjadi atas kehendak Alloh). Kalau kita takjub, kagum, atau mendengar hal baik dan melihat hal indah, biasanya kita mengatakan Subhanalloh. Padahal, seharusnya kita mengucapkan Masya Alloh yang bermakna “Hal itu terjadi atas kehendak Alloh”.

Ungkapan Subhanalloh tepatnya digunakan untuk mengungkapkan “ketidaksetujuan atas sesuatu”. Misalnya, begitu mendengar ada keburukan, kejahatan, atau kemaksiatan, kita katakan Subhanalloh (Maha Suci Alloh dari keburukan yang demikian).

Ucapan Masya Alloh

Masya Alloh  artinya “Alloh telah berkehendak akan hal itu”. Ungkapan kekaguman kepada Alloh dan ciptaan-Nya yg indah lagi baik. Menyatakan “semua itu terjadi atas kehendak Alloh”.

Masya Alloh  diucapkan bila seseorang melihat hal yang baik dan indah. Ekspresi penghargaan sekaligus pengingat bahwa semua itu bisa terjadi hanya karena kehendak-Nya. Sebagaimana firman Alloh Subhanahu wa Ta”ala sbb:

وَلَوْلا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ إِنْ تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنْكَ مَالا وَوَلَدًا

“Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu, ‘Maasya Allah laa quwwata illa billah‘ (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan?” (QS. Al-Kahfi: 39).

Penggunaan kalimat tersebut dikarenakan kalimat “Masya Alloh” (ما شاء الله) bisa di-i’robkan dengan dua cara di dalam bahasa Arab:

I’rob yg pertama dari “Masya Alloh” (ما شاء الله) adalah dengan menjadikan kata “maa” (ما) sebagai isim maushul (kata sambung) dan kata tersebut berstatus sebagai khobar (predikat). Mubtada’ (subjek) dari kalimat tersebut adalah mubtada’ yg disembunyikan, yaitu “hadza” (هذا). Dengan demikian, bentuk seutuhnya dari kalimat “Masya Alloh” adalah :

هذا ما شاء الله

(Hadza Masya Allah)

Jika demikian, maka artinya dalam bahasa Indonesia adalah: “inilah yg dikehendaki oleh Alloh”.

Adapun i’rob yg kedua, kata “maa” (ما) pada “Masya Alloh” merupakan maa syarthiyyah (kata benda yg mengindikasikan sebab) dan frase “syaa Alloh” (شاء الله) berstatus sebagai fi’il syarat (kata kerja yng mengindikasikan sebab). Sedangkan jawab syarat (kata benda yang mengindikasikan akibat dari sebab) dari kalimat tersebut tersembunyi, yaitu “kana” (كان). Dengan demikian, bentuk seutuhnya dari kalimat “Masya Alloh” adalah:

ما شاء الله كان

(Masya Allohu kana)

Jika demikian maka artinya dalam bahasa Indonesia adalah: “apa yang dikehendaki oleh Alloh, maka itulah yg akan terjadi”.

Ringkasnya, “Masya Alloh” bisa diterjemahkan dengan dua terjemahan, “inilah yg diinginkan oleh Alloh apa yang dikehendaki oleh Alloh, maka itulah yg akan terjadi”. Maka ketika melihat hal yang menakjubkan, lalu kita ucapkan “Masya Alloh” (ما شاء الله), artinya kita menyadari dan menetapkan bahwa hal yang menakjubkan tersebut semata-mata terjadi karena kuasa Alloh.

PENGGUNAAN KALIMAT SUBHANALLOH

Dari Abdillah bin Amir bin Rabiah, bahwa Nabi  Shollallohu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مِنْ أَخِيهِ أَوْ مِنْ نَفْسِهِ أَوْ مِنْ مَالِهِ مَا يُعْجِبُهُ فَلْيُبَرِّكْهُ فَإِنَّ الْعَيْنَ حَقٌّ

Apabila kalian melihat ada sesuatu yg mengagumkan pada saudaranya atau dirinya atau hartanya, hendaknya dia mendoakan keberkahan untuknya. Karena serangan ain itu benar. (HR. Ahmad 15700, Bukhari dalam at-Tarikh 2/9).

Kapan Dianjurkan Mengucapkan Subhanalloh?

Terdapat beberapa keadaan, dimana kita dianjurkan mengucapkan Subhanallah. Diantaranya,

Pertama, ketika kita keheranan terhadap sikap.

Tidak ada kaitannya dengan keheranan terhadap harta atau fisik atau apa yg dimiliki orang lain. Tapi keheranan terhadap sikap.

Misalnya, terlalu bodoh, terlalu kaku, terlalu aneh, dst.

Kita lihat beberapa kasus berikut,

Kasus pertama, Abu Hurairoh pernah ketemu Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam  dalam kondisi junub. Lalu Abu Hurairoh pergi mandi tanpa pamit. Setelah balik, Nabi  Shollallohu ‘alaihi wa sallam  bertanya, mengapa tadi dia pergi. Kata Abu Hurairoh, “Aku junub, dan aku tidak suka duduk bersama engkau dalam keadaan tidak suci.” Kemudian Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

سُبْحَانَ اللَّهِ إِنَّ الْمُسْلِمَ لاَ يَنْجُسُ

Subhanalloh, sesungguhnya muslim itu tidak najis. (HR. Bukhari 279)

Kasus kedua, ada seorang wanita yg datang kepada Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam  menanyakan bagaimana cara membersihkan bekas haid setelah suci. Beliau menyarankan, “Ambillah kapas yg diberi minyak wangi dan bersihkan.”

Wanita ini tetap bertanya, “Lalu bagaimana cara membersihkannya.”

Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam merasa malu untuk menjawab dengan detail, sehingga beliau hanya mengatakan,

سُبْحَانَ اللَّهِ تَطَهَّرِى بِهَا

“Subhanalloh.., ya kamu bersihkan pakai kapas itu.”

Aisyah paham maksud Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, beliau pun langsung menarik wanita ini dan mengajarinya cara membersihkan darah ketika haid. (HR. Bukhari 314 & Muslim 774)

Kasus ketiga, Aisyah pernah ditanya seseorang,

“Apakah Nabi  Shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Allah?”

Aisyah langsung mengatakan,

سُبْحَانَ اللَّهِ لَقَدْ قَفَّ شَعْرِى لِمَا قُلْت

Subhanalloh, merinding bulu romaku mendengar yg kamu ucapkan. (HR. Muslim 459).

An-Nawawi mengatakan,

أن سبحان الله في هذا الموضع وأمثاله يراد بها التعجب وكذا لااله إلا الله ومعنى التعجب هنا كيف يخفى مثل هذا الظاهر الذي لايحتاج الإنسان في فهمه إلى فكر وفي هذا جواز التسبيح عند التعجب من الشيء واستعظامه

Bahwa ucapan Subhanalloh dalam kondisi semacam ini maksudnya adalah keheranan. Demikian pula kalimat LA ILAHA ILLALLOH. Makna keheranan di sini, bagaimana mungkin sesuatu yang sangat jelas semacam ini tidak diketahui. Padahal seseorang bisa memahaminya tanpa harus serius memikirkannya. Dan dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya membaca tasbih ketika keheranan terhadap sesuatu atau menganggap penting kasus tertentu. (Syarh Shahih Muslim, 4/14).

Kedua, Keheranan ketika ada sesuatu yang besar terjadi

Misalnya melihat kejadian yang luar biasa.

Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam terkadang tersentak bangun di malam hari, karena keheranan melihat sesuatu yang turun dari langit.

Dari Ummu Salamah Rodhiyallahu ‘anha, bahwa pernah suatu malam, Rasululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam terbangun dari tidurnya.

سُبْحَانَ اللَّهِ مَاذَا أُنْزِلَ اللَّيْلَةَ مِنَ الْفِتَنِ

“Subhanalloh, betapa banyak fitnah yang turun di malam ini.” (HR. Bukhari 115).

Dalam kasus lain, beliau juga pernah merasa terheran ketika melihat ancaman besar dari langit. Terutama bagi orang yang memiliki utang,

Dari Muhammad bin Jahsy rodhiallohu ‘anhu, “Suatu ketika, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melihat ke arah langit, kemudian beliau bersabda,

سُبْحَانَ اللَّهِ مَاذَا نُزِّلَ مِنَ التَّشْدِيدِ

“Subhanalloh, betapa berat ancaman yang diturunkan ….”

Kemudian, keesokan harinya, hal itu saya tanyakan kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai Risululloh, ancaman berat apakah yang diturunkan?’

Beliau menjawab,

وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ رَجُلاً قُتِلَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيِىَ ثُمَّ قُتِلَ ثُمَّ أُحْيِىَ ثُمَّ قُتِلَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ دَيْنُهُ

‘Demi Allah, yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya ada seseorang yang terbunuh di jalan Alloh, lalu dia dihidupkan kembali, kemudian terbunuh lagi (di jalan Allah), lalu dia dihidupkan kembali, kemudian terbunuh lagi (di jalan Allah), sementara dia masih memiliki utang, dia tidak masuk surga sampai utangnya dilunasi.’” (HR. Nasa’i 4701 dan Ahmad 22493).

Kata Ali Qori, Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam  mengucapkan Subhanalloh karena takjub (keheranan) melihat peristiwa besar yang turun dari langit. (Mirqah al-Mafatih, 5/1964).

Wallohu a’lam bis-Showab

Leave your comment here: