KEABSAHAN KEPEMIMPINAN DAN UANG SUAP DALAM PENCALONAN

KEABSAHAN KEPEMIMPINAN DAN UANG SUAP DALAM PENCALONAN

Definisi dzu syaukah

ومعنى ذى الشوكة انقياد الناس وطاعتهم وإذعانهم لأمره وإن لم يكن عنده ما عند السلطان من آلة الحرب والجند ونحوهما مما تقع به الرهبة كرؤساء البلد ورئيس الجماعة وصاحب الحوطة المطاع على الوجه الاعتقاد والاحتشام

“Pengertian konsep dzu syaukah (orang berpengaruh) adalah patuh, taat, dan tunduk pada perintahnya meskipun orang itu tidak memiliki kelengkapan negara layaknya sulthan, seperti alusista militer, tentara serdadu, dan semacamnya yang membuat kedudukannya diperhitungkan. Sebagaimana kelengkapan negara ini lazim dimiliki oleh para pemimpin negara, pemimpin massa, serta pemuka hauthah yang ditaati atas asas kepercayaan dan pengabdian.” (Bughyah al-Mustarsyidin, hlm 527)

 Definisi suap (risywah)

Definisi suap yang lebih sesuai dengan konsep (teori) yakni:

وقبول الرشوة حرام وهي ما يبذل للقاضي ليحكم بغير الحق أو ليمتنع من الحكم بالحق وإعطاؤها كذلك لأنه إعانة على معصية

“Menerima suap haram hukumnya. Suap adalah sesuatu yang diberikan kepada qadhi agar menetapkan hukum yang tidak benar, atau agar penyuap terbebas dari hukum yang benar. Memberi suap juga diharamkan sebab termasuk membantu terjadinya maksiat.” (Nihayatuz Zain, hlm 370)

Sedang definisi suap yang lebih sesuai dengan konteks (realita) yakni:

الرِّشْوَةُ -بِالكَسْرِ- مَا يُعْطِيْهِ الشَّحْصُ الحَاكِمَ وَغَيْرَهُ لِيَحْكُمَ لَهُ أَو يَحْمِلُهُ عَلَى مَا يُرِيْدُ

“Risywah -dengan harakat kasrah pada huruf ra’- adalah sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau selainnya agar menetapkan hukum yang memihak penyuap, atau agar menuruti apa yang diinginkan penyuap.” (al-Mishbah al-Munir, 1/228)

Perbedaan risywah dan hadiah

Keterangan dalam Raudhah:

فرع قد ذكرنا أن الرشوة حرام مطلقا والهدية جائزة في بعض فيطلب الفرق بين حقيقتيهما مع أن الباذل راض فيهما والفرق من وجهين أحدهما ذكره ابن كج أن الرشوة هي التي يشرط على قابلها الحكم بغير الحق أو الامتناع عن الحكم بحق والهدية هي العطية المطلقة والثاني قال الغزالي في الإحياء المال إما يبذل لغرض آجل فهو قربة وصدقة وإما لعاجل وهو إما مال فهو هبة بشرط ثواب أو لتوقع ثواب وإما عمل فإن كان عملا محرما أو واجبا متعينا فهو رشوة وإن كان مباحا فإجارة أو جعالة وإما للتقرب والتودد إلى المبذول له فإن كان بمجرد نفسه فهدية وإن كان ليتوسل بجاهه إلى أغراض ومقاصد فإن كان جاهه بالعلم أو النسب فهو هدية وإن كان بالقضاء والعمل فهو رشوة

“Sub masalah: Telah kami jelaskan bahwa suap haram secara mutlak sedang hadiah boleh dalam sebagian masalah. Dari sini perlu dikemukakan perbedaan esensial antara keduanya ketika pihak pemberi rela baik dalam menyuap ataupun memberi hadiah.

Perbedaannya ditinjau dari dua sisi. Pertama, dikatakan oleh Ibnu Kajj, bahwa suap adalah pemberian yang disyaratkan dalam penerimaannya untuk menetapkan hukum yang tidak benar atau pemberi terbebas dari tuntutan hukum yang benar. Sedangkan hadiah adalah pemberian semata.

Kedua, dikatakan oleh al-Ghazali dalam Ihya, suatu harta-benda adakalanya diberikan untuk tujuan jangka panjang, yakni dalam rangka ibadah dan shadaqah, dan adakalanya diberikan untuk tujuan jangka pendek. Yang jangka pendek ini orientasinya bisa berupa harta, maka dinamakan hibah yang disertai persyaratan/pengharapan timbal-balik, serta bisa juga berupa jasa. Bila jasa itu berupa amaliyah haram atau wajib ‘ain maka dikategorikan suap, bila amaliyahnya mubah maka disebut ijarah atau ju’alah.

Adakalanya juga harta-benda diberikan untuk mendekati atau meraih simpati dari orang yang diberi. Bila hal itu sebatas kedekatan pribadi maka disebut hadiah. Bila dimanfaatkan untuk meraih tujuan tertentu lewat kedudukan orang yang diberi maka disebut hadiah pada orang punya kedudukan lantaran ilmu atau nasabnya, serta disebut suap pada orang yang menyandang kedudukan hakim atau pejabat.” (Raudhah ath-Thalibin, 11/144)

Keterangan dalam Ittihaf, dikutip dari serangkaian analisa as-Subki dalam kitab karyanya Fashl al-Maqal fi Hidayah al-‘Ummal yang membicarakan tentang :

Konsep Dasar Istilah Hadiah dan Risywah

قال التقىي السبكي فإن قلت المهدي يتوصل بهديته الى محبة المهدى اليه والراشي يستميل المرتشي حتى يحكم له فلم اختص كل منها باسم؟ قلت المهدي ليس له غرض معين إلا استمالة القلب, والراشي له غرض معين وهو ذلك الحكم وليس غرضه استمالة القلب بل قد يكون يكرهه ويلعنه ففي الهدية تودد خاص بها وتوصل مشترك بينها وبين الرشوة وإن افترقا في المتوصل اليه, وفي الرشوة توصل خاص لا غير فخصصنا كلا منها باسم وميزنا بينهما بما اختصا به والغينا في الهدية المشترك

“Taqiyyuddin as-Subki berkata: Bila kau mempertanyakan bahwa pemberi hadiah, dengan hadiah yang diberikannya, meraih simpati dari orang yang diberi, sementara pemberi suap membujuk orang yang disuap agar menetapkan hukum yang menguntungkannya, lantas kenapa kedua pemberian ini harus dibedakan istilahnya?

Aku jawab bahwa seorang pemberi hadiah tidak punya tujuan khusus selain untuk meraih simpati, sedang seorang penyuap punya, yakni pada pamrih atas kasus hukum itu. Penyuap tidak bertujuan meraih simpati orang yang diberi, malah kadang sebenarnya benci dan menghujatnya. Sehingga bisa diketahui bahwa dalam istilah hadiah ada unsur simpati sebagai karakter asal, dan ada unsur pamrih yang menjadi karakter bersama dalam hadiah dan suap meskipun dalam bentuk yang berbeda. Sedang dalam suap ada unsur pamrih sebagai karakter asal. Karena itu kita membuat istilah yang berbeda untuk keduanya, dan kita membedakan keduanya berdasarkan karakter asal masing-masing, serta mengabaikan implikasi dari karakter bersama (simpati dan pamrih) yang ditemui dalam konsep hadiah.” (Ittihaf as-Sadat al-Muttaqin, 6/160)

Tinjauan Karakter Bersama Dalam Hadiah dan Risywah

قال التقي السبكي الهدية لا يقصد بها إلا استمالة القلب والرشوة يقصد بها الحكم الخاص مال القلب أم لم يمل فإن قلت العاقل إنما يقصد استمالة قلب غيره لغرض صحيح أما مجرد استمالة القلب من غير غرض أجر فلا قلت صحيح لكن استمالة القلب له بواعث منها أن ترتب عليه مصلحة مخصوصة معينة كالحكم مثلا فههنا المقصود تلك المصلحة وصارت استمالة القلب وسيلة غير مقصود لأن القصد متى علم بعينه لا يقف على سببه فدخل هذا في قسم الرشوة ومنها أن ترتب عليه مصالح لا تنحصر إما أخروية كالأخوة في الله تعالى والمحبة وقيل ثوابها وما أشبه ذلك لعلم أو دين فهذه مستحبة والإهداء لها مستحب ومنها أن تكون دنيوية كالتوصل بذلك إلى أغراض له لا تنحصر بأن يكون المستمال قلبه صاحب جاه فإن كان جاهه بالعلم والدين فذلك جائز وهل هو جائز بلا كراهة أو بكراهة تنزيه اقتضى كلام الغزالي في الإحياء الثاني ومراده في القبول في الهدية وهو صحيح لأنه قد يكون أكل بعلمه أو دينه أما الباذل فلا يكره له ذلك وإن كان جاهه بأمر دنيوي فإن لم يكن ولاية بل كان له وجاهة بمال أو صلة عند الأكابر ويقدر على نفعه فهذا لا يكره الإهداء إليه لهذا الغرض وأما قبوله فهو أقل كراهة من الذي قبله بل لا تظهر فيه كراهة لأنه لم يأكل بعلمه ولا دينه وإنما هو أمر دنيوي ولم يخرج من حد الهدية فلا كراهة

“Taqiyyuddin as-Subki berkata: Pemberian hadiah tidak memiliki tujuan utama selain untuk meraih simpati, sedang suap ditujukan untuk mencapai ketetapan hukum tertentu dan tak peduli akan mendapat simpati ataupun tidak.

Jika kau membantah: Logikanya yang namanya mencari simpati itu dikarenakan ada kepentingan (pamrih) tertentu, sedangkan murni mencari simpati tanpa ada kepentingan itu tidak logis.

Aku jawab: Benar, hanya saja simpati dicari lantaran beberapa faktor. Di antaranya, bila faktor itu karena ada keperluan tertentu, kasus hukum misalnya, lalu kita tahu bahwa yang menjadi motif utama adalah keperluan itu dan simpati hanya menjadi batu loncatan bukan tujuan, dengan pertimbangan sekira keperluan itu bisa terkuak sendiri niscaya tidak akan peduli lagi dengan cara semula, maka yang seperti ini masuk dalam kategori suap.

Bila faktor itu dikarenakan ada keperluan secara umum, yang adakalanya bersifat ukhrawi seperti menjalin ikatan persaudaraan, kasih sayang karena Allah, ataupun pahala ukhrawi, serta yang semacamnya baik lantaran unsur alim ataupun shalihnya orang yang diberi, maka keperluan yang semacam itu dianjurkan oleh syariat, dan pemberian hadiahnya juga dianjurkan.

Bila keperluan itu bersifat duniawi, seperti dijadikan sarana memenuhi keperluan secara umum, di mana orang yang dibutuhkan simpatinya punya kedudukan tertentu dan kedudukannya itu:

– Jika lantaran ilmu dan agama maka hukum pemberiannya diperbolehkan. Apakah boleh di sini dalam kerangka mubah atau makruh? Keterangan al-Ghazali dalam Ihya mengarah pada hukum yang kedua (makruh). Yang dikehendaki al-Ghazali dengan makruh adalah pada penerimaan hadiah itu, dan memang demikian, mengingat hadiah yang digunakan itu bisa dimungkinkan diberi lantaran sifat alim atau shalih pada dirinya (sementara dia belum tentu alim atau shalih, pen). Sedangkan bagi orang yang memberi hadiah hukumnya tidak makruh.

– Jika lantaran perkara duniawi, dan bukan punya kedudukan karena punya semacam kekuasaan, melainkan karena banyak harta ataupun banyak relasi dengan para tokoh sehingga orang itu dianggap berguna, maka pemberian hadiah karena motif semacam ini tidak makruh. Menerima hadiahnya juga lebih sedikit kadar makruhnya dibanding situasi sebelumnya (kedudukan lantaran ilmu dan agama, pen). Bahkan boleh jadi dibilang tidak maruh sebab dia tidak mempergunakan hadiah itu dengan dilatar belakangi ilmu atau agama, melainkan karena perkara duniawi semata serta tidak keluar dari definisi hadiah. Dari sini bisa dipahami bila dikatakan menerima hadiahnya itu tidak makruh.” (Ittihaf as-Sadat al-Muttaqin, 6/160)

Illat atau alasan Pamrih Yang Boleh dan Yang Dilarang Dalam Hadiah dan Risywah

وفي فصل المقال للتقي السبكي فإن قلت فمن ليس متوليا إذا أهدى اليه ليتحدث له في امر جائز عند ذي سلطان قلت اذا كانت تلك الحاجة جائزة ولم يكن المتحدث مرصدا لإبلاغ مثلها بحيث يجب عليه, فان كان لحديثه فيها أجرة بأن يكون يحتاج الى عمل كثير جاز وإلا فلا. اما الجواز فلأنه اجارة او جعالة واما المنع فلأن الشرع لم يرد بالمعاوضة في هذا النوع وان كان قد قصده العقلاء. وقد بان بهذا الفرق يبن الرشوة والهدية

“Tercantum dalam kitab Fashl al-Maqal karangan Taqiyyudin as-Subuki: Jika kau bertanya: Lalu bagaimana pada orang yang bukan penguasa, ketika dia diberi hadiah sesuatu agar mau menyampaikan urusan yang sifatnya mubah di sisi sulthan?

Aku jawab: Jika keperluan itu memang bersifat mubah dan dia bukan berprofesi tetap sebagai penghubung urusan semacam itu, maka hal itu diperbolehkan bila kinerjanya pantas diberi upah semisal harus dilalui dengan banyak usaha, bila tidak demikian maka tidak diperbolehkan.

Diperbolehkan karena hadiah itu diberlakukan sebagai upah ijarah maupun ju’alah. Dan dilarang karena dalam syariat tidak ditemui konsep timbal balik harta dengan bentuk semacam ini” (Ittihaf as-Sadat al-Muttaqin, 6/158)

– Asas Prinsipil Hadiah dan Risywah

وايضا لما كان المتوصل اليه بالهدية محبوبا في الشرع كان هو المعتبر في التسمية ولم ينظر الي السبب ولما كان المتوصل اليه بالرشوة حراما في الشرع لم يعتبر, وانما أعتبر في التسمية السبب فقط لأنه لم يقصد الراشي والمسترشي غيره, فكانت تسمية كل منهما باعتبار مقصد فاعلمهما

“Di samping itu, mengingat muara pemberian hadiah adalah pada hal yang sudah dilegitimasi sebagai anjuran oleh syariat maka poin anjuran ini yang menjadi tolak ukur penamaan hadiah tanpa perlu melihat pada motif pemberiannya. Kemudian mengingat muara pemberian suap berkisar pada hal yang diharamkan syariat maka keharaman ini tidak menjadi standar penyebutan suap, melainkan tolak ukurnya perlu dilihat secara spesifik pada motif pemberian tersebut, sebab tujuan penyuap dan orang yang disuap selalu bermuara pada hal yang diharamkan. Jadi standar penyebutan istilah hadiah atau suap dilihat dari tujuan di dalamnya. Cermatilah.” (Ittihaf as-Sadat al-Muttaqin, 6/160)

Status suap cukup dengan melihat qarinah

وَلَوْ أَهْدَى لِمَنْ خَلَّصَهُ مِنْ ظَالِمٍ لِئَلَّا يَنْقُضَ مَا فَعَلَهُ لَمْ يَحِلَّ لَهُ قَبُولُهُ وَإِلَّا حَلَّ أَيْ : وَإِنْ تَعَيَّنَ عَلَيْهِ تَخْلِيصُهُ بِنَاءً عَلَى الْأَصَحِّ أَنَّهُ يَجُوزُ أَخْذُ الْعِوَضِ عَلَى الْوَاجِبِ الْعَيْنِيِّ إذَا كَانَ فِيهِ كُلْفَةٌ خِلَافًا لِمَا يُوهِمُهُ كَلَامُ الْأَذْرَعِيِّ وَغَيْرِهِ هُنَا ، وَلَوْ قَالَ خُذْ هَذَا وَاشْتَرِ لَك بِهِ كَذَا تَعَيَّنَ مَا لَمْ يُرِدْ التَّبَسُّطَ أَيْ : أَوْ تَدُلَّ قَرِينَةُ حَالِهِ عَلَيْهِ كَمَا مَرَّ ؛ لِأَنَّ الْقَرِينَةَ مُحَكَّمَةٌ هُنَا

“Jika seseorang memberikan hadiah pada orang lain yang menolong dirinya dari orang zhalim agar orang itu tidak mengurungkan pertolongannya, maka pemberian itu tidak boleh diterima. Bila bukan demikian maka boleh diterima, yakni meskipun orang itu menjadi pelaku tunggal yang diwajibkan menolong, berpegang pada qaul ashah yang menyatakan boleh mengambil imbalan atas amaliyah wajib ‘ain yang butuh kerja keras. Hal ini berbeda dengan pendapat al-Adzra’i dan lainnya.

Umpama ada orang berkata: Ambillah dan belilah barang itu dengan uang ini, maka menjadi wajib bagi yang diberi untuk memenuhi selama tidak ada kehendak keleluasaan tasharruf dari pemberi, atau tidak ada qarinah yang menunjukkannya, sebab qarinah dalam konsep hadiah bisa diberlakukan sebagai kepastian.” (Tuhfatul Muhtaj, 26/205)

Syarat suap yang diperbolehkan

فمن اعطى قاضيا أوحاكما رشوة أو أهدى اليه هدية فان كان ليحكم له بباطل أو ليتوصل بها لنيل مالا يستحقه أو لأذية مسلم فسق الراشى والمهدى بالإعطاء والمرتشى والمهدى اليه بالاخذ والرائش بالسعى , وان لم يقع حكم منه بعد ذلك أو ليحكم له بحق أو لدفع ظلم أو لينال ما يستحقه فسق الآخذ فقط ولم يأثم المعطى لاضطراره للتوصل لحق بأى طريق كان

“Bagi orang yang memberikan suap atau hadiah pada qadhi atau hakim, bila ternyata diberikan untuk menghukumi secara bathil, atau sebagai sarana meraih sesuatu yang bukan haknya, atau berakibat menyakiti seorang muslim, maka penyuap dan pemberi hadiah menjadi fasiq sebab pemberiannya, orang yang disuap dan orang yang diberi menjadi fasiq sebab mengambilnya, serta kurir penyuap menjadi fasiq sebab perbuatannya.

Bila hukum di atas tidak terjadi, atau agar pemberi mendapatkan hukum yang benar, atau untuk menolak kezhaliman, atau untuk mendapatkan haknya maka hukum fasiq hanya berlaku pada orang mengambil pemberian itu. Pemberi tidak dianggap berdosa karena dia terpaksa melakukan hal itu sebagai sarana memperoleh hal yang benar dengan segala upaya.” (Is’adur Rafiq, hlm 100)

والمراد بالرشوة التي ذكرناها ما يعطى لدفع حق أو لتحصيل باطل وإن أعطيت للتوصل إلى الحكم بحق فالتحريم على من يأخذها كذلك وأما من لم يعطها فإن لم يقدر على الوصول إلى حقه إلا بذلك جاز وإن قدر إلى الوصول إليه بدونه لم يجز

“Yang dimaksud dengan suap yang kita perbincangkan ini yaitu harta benda yang diberikan untuk menolak kebenaran atau mencapai hal yang bathil. Bila harta itu diberikan sebagai sarana mendapatkan hukum yang benar maka hukum haram hanya bagi yang mengambilnya. Sedangkan ketika orang itu belum memberikannya, ketika haknya tidak bisa dicapai selain dengan cara suap itu maka boleh memberikan harta tersebut, ketika masih bisa mendapatkan haknya dengan cara lain maka tidak diperbolehkan.” (Fatawa as-Subki, 1/204)

* Dalil berkaitan politik uang dalam pemilihan pemimpin

– Hadits larangan suap pada pemilihan pejabat

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ : رَجُلٌ عَلَى فَضْلِ مَاءٍ بِالطَّرِيْقِ يَمْنَعُ مِنْهُ ابْنَ السَّبِيْلِ ، وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا لاَ يُبَايِعُهُ إِلاَّ لِدُنْيَاهُ ، إِنْ أَعْطَاهُ مَا يُرِيْدُ وَفَى لَهُ ، وَإِلاَّ لمَ ْيَفِ لَهُ ، وَرَجُلٌ بَايَعَ رَجُلاً بِسِلْعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ ، فَحَلَفَ بِاللهِ لَقَدْ أُعْطِيَ بِهَا كَذَا وَكَذَا ، فَصَدَّقَهُ فَأَخَذَهَا ، وَلَمْ يُعْطَ بِهَا

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tiga orang yang tidak akan diajak berbicara oleh Allah kelak pada hari kiamat, Allah tidak mensucikan mereka dan mereka akan memperoleh siksa yang pedih. Pertama, orang yang memiliki air berlebih dalam perjalanan dan tidak mau memberikannya kepada musafir. Kedua, laki-laki yang membai’at seorang pemimpin hanya karena faktor duniawi. Apabila pemimpin itu memberinya, ia akan memenuhi pembai’atannya, tetapi apabila tidak diberi, dia tidak akan memenuhinya. Dan ketiga, orang yang menawarkan dagangannya kepada orang lain sesudah waktu ashar, lalu dia bersumpah bahwa barang dagangan itu telah ditawar sekian dan sekian oleh orang lain, lalu pembeli mempercayainya dan membelinya, padahal sebenarnya barang itu belum pernah ditawar.”

” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Nasai, Baehaqi, Ibnu Jarir, dan Abdur Razak, lafazh dari Bukhari

– Pengecualian pada hadits

(فإن تعين على شخص) بأن لم يتعدد الصالح له في الناحية (لزمه) قبوله إن وله الإمام ابتداء ولزمه (طلبه) إن لم يوله الإمام ابتداء, ولو على عدم الإجابة, ولو ببذل مال كثير وإن حرم اخذه منه. فالإعطاء جائز والأخذ حرام

“[Jika kedudukan qadhi hanya mampu disandang orang tertentu] ketika tidak banyak dijumpai orang shalih di daerah itu [maka wajib baginya] untuk menerima ketika imam melantiknya serta wajib baginya [untuk menuntut jabatan itu] ketika imam tidak menunjuknya, meski tuntutannya akan berujung pada penolakan, walau harus dicapai dengan memberikan banyak harta, meski nantinya harta itu haram diambil oleh orang lain. Hukum memberikannya mubah dan hukum mengambilnya haram.” (Tausyikh ‘ala Ibni Qasim, hlm 279)

Pendalaman materi berkaitan

Hasil bahtsu masail PWNU Jatim 2005 pada deskripsi: Pilkada dan Batas Money Politic

Hasil bahtsu masail PWNU Jatim 2008 pada deskripsi: Legitimasi Pemerintah Dalam Pemilu

MENYIMPULKAN

  1. Prinsip dasar perbedaan suap dan hadiah terletak pada haram dan tidaknya konsekuensi dari pemberian barang tersebut.
  2. Suatu pemberian akan dikategorikan hadiah bila: untuk mendapat pahala, untuk meraih simpati, untuk mendapat imbalan materi (hadiah bi tsawab), untuk upah dari amaliyah yang patut diberi upah, atau tidak punya motif melainkan ikhlas lillahi ta’ala.
  3. Suatu pemberian akan dikategorikan suap bila: untuk menetapkan hukum yang tidak benar, untuk lepas dari hukum yang benar, untuk perantara mencapai kepentingan yang haram, untuk upah dari amaliyah yang tidak pantas diberi upah yakni pada amaliyah yang tidak pantas dinilai materi (karena sudah menjadi kewajiban atau tidak ada banyak usaha atau kerja keras di dalamnya).
  4. Pemberian diketahui sebagai suap lewat bukti langsung atau dengan dugaan (zhan) qarinah yang mengarah ke suap.
  5. Pemberian harta agar memilih kandidat yang bersangkutan termasuk suap sesuai dengan nash sharih hadits.
  6. Suap karena dharurat diperbolehkan bagi pemberi bila memenuhi sejumlah ketentuan: dalam rangka menegakkan hukum yang benar, yang bersangkutan adalah orang yang berhak, tidak menyakiti atau merugikan muslim lain yang juga berhak, serta tidak ada jalan lain mencapai haknya selain dengan menyuap.
  7. Dalam prosesi pemilihan pemimpin konsep suap karena dharurat juga bisa diberlakukan dengan tiga persyaratan utama: kandidat memang layak menjadi pemimpin, tidak ada figur kandidat lain yang layak, serta money politic di daerah tersebut sudah sangat parah sehingga bila tidak menyuap tidak akan menang.
  8. Prosesi pemilihan yang dicampuri suap, meskipun suap darurat, tetap termasuk dalam khitab hadits yang melarang suap dalam pemilihan imam, sehingga amaliyahnya fasid, dan konsepsi pemerintahan berjalan secara dzu syaukah

MERUMUSKAN

a.bagaimana hukum pemilihan trsebut?

Hukumnya bisa dianggap sah mengacu pada dharurat kepemimpinan dzu syaukah. Bila memungkinkan untuk diulang maka wajib diulang.

b.bagaimana hukum bg warga yg memilih karena mendapat uang trsebut?

Menerima uang itu berdosa karena tergolong suap. Sedangkan memilih lantaran mendapat uang itu juga berdosa lantaran sama dengan menjual hak suaranya dan amaliyahnya fasid.

Keabsahan kepemimpinan

قال السعد في شرح المقاصد وتنعقد الإمامة بطرق أحدها بيعة أهل الحل والعقد من العلماء والرؤساء ووجوه الناس إلى أن قال والثالث القهر والإستيلاء فإذا مات الإمام وتصدى للإمامة من يستجمع شرائطها من غير بيعة واستخلاف وقهر الناس بشوكته انعقدت الخلافة له إذا كان فاسقا أو جاهلا على الأظهر إلا أنه يعصى بما فعل وتلزم المسلمين طاعة هذا المتغلب للضرورة ومعنى هذا أن سلطة التغلب كأكل الميتة تنفذ عند الضرورة وتكون أقل حالا من الفوضى وأدنى من الهمجية ومقتضى ذلك أنه يجب السعي لإزالتها عند الإمكان فإن كان خلع المتغلب سهلا لا يترتب عليه مفاسد ولا ينجم عنه فتن خلع بلا تأجيل وإلا فإن كان خلعه يستوجب الفتن ويستلزم التفرقة وتزيد بسببه المفسدة على المصلحة فالواجب الصبر والضرورة تبيح المحظورات

“Imam Sa’d ad-Din at-Taftazani dalam Syarh al-Maqashid berkata: Kepemimpinan dinilai sah dengan beberapa hal.

Pertama, dengan baiat ahlu hall wal ‘aqd yang terdiri dari para ulama, para tokoh, dan sekelompok masyarakat…dst. (sampai yang)  Ketiga, dengan pengambil alihan kekuasaan. Ketika pemimpin terdahulu telah wafat sementara muncul pemberontakan dari tokoh lain yang memenuhi syarat pemimpin tanpa melalui baiat atau pergantian kepemimpinan, serta memaksa masyarakat dengan pengaruhnya, maka kepemimpinannya bisa disahkan, begitu juga sah disertai berdosa menurut qaul azhar pada tokoh yang fasiq atau jahil.

Wajib bagi kaum muslimin untuk mentaati pemimpin macam ini karena dharurat. Kekuasaan dengan paksaan kasusnya seperti memakan bangkai yang dilegalkan karena dharurat, konteksnya sedikit lebih ringan dari situasi wilayah yang kacau serta lebih ringan dari situasi pemerintahan yang kejam.

Konsekuensinya yaitu wajib menghilangkan kepemimpinan semacam ini ketika situasi memungkinkan. Bila suksesi berjalan mudah dan tidak berimbas pada banyak kerusakan dan fitnah maka harus dicopot. Namun bila ada kepastian menimbulkan banyak fitnah, perpecahan, dan mafsadah lain yang lebih besar dari mashlahahnya maka yang diwajibkan di sini adalah bersabar, sebab dharurat memperbolehkan hal yang sebenarnya diharamkan.” (Ta’liqat Tahdzib, 7/271-275)

والأصل في مبايعة الامام ان يبايعه على ان يعمل بالحق ويقيم الحدود ويأمر بالمعروف وينهى عن المنكر فمن جعل مبايعته لمال يعطاه دون ملاحظة المقصود في الأصل فقد خسر خسرانا مبينا ودخل في الوعيد المذكور وحاق به ان لم يتجاوز الله عنه وفيه ان كل عمل لا يقصد به وجه الله وأريد به عرض الدنيا فهو فاسد وصاحبه آثم والله الموفق

“Prinsip asal dalam prosesi baiat imam adalah membaiat karena dia dinilai mampu bertindak secara benar, menegakkan hukum, dan menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga barang siapa yang membaiat karena harta yang diberikannya tanpa memperdulikan tujuan dalam prinsip asal maka dia sungguh merugi, masuk dalam ancaman hadits tersebut, serta akan celaka bila Allah tidak mengampuninya. Hadits itu juga menunjukkan bahwa setiap amaliyah yang tidak bertujuan mencari ridha Allah tetapi untuk mencari kesenangan dunia, maka amal itu dianggap fasid dan pelakunya berdosa. Hanya Allah Maha Pemberi Taufiq.” (Fathul Bari, 13/203)

والمراد من المبايعة هنا هو المعاقدة عليه والمعاهدة، فكأن كل واحد منهما باع ما عنده من صاحبه وأعطاه خالصة نفسه وطاعته ودخيلة أمره

“Yang dimaksud dengan baiat di sini adalah akad dan perjanjian baiat. Seakan-akan setiap orang dari pemilih dan yang dipilih membeli aset pihak lainnya dan mau memberikannya demi melancarkan diri sendiri, serta mematuhi dan mengikuti perintah pemberi.” (‘Umdatul Qari, 12/199

Wallahu subhanahu wata’ala a’lam.

Leave your comment here: