KEHANCURAN BANGSA KARENA SALAH MEMILIH PEMIMPIN SERTA SERBA SERBI PEMILU

KEHANCURAN BANGSA KARENA SALAH MEMILIH PEMIMPIN SERTA SERBA SERBI PEMILU

Hancurnya Bangsa karena Salah Memilih Pemimpin

Menjelang pemilihan umum, masyarakat diimbau untuk lebih selektif dalam memilih dan memilah calon pemimpin daerah, dengan tak terprovokasi oleh iklan, atau banyaknya banner, maupun bisikan orang lain. Tapi lebih mengedepankan daya kritis yang tinggi, dan berperan aktif dalam menggali informasi, sehingga pilihannya tepat dan tak tergiur dengan money politic yang akan menyengsarakan rakyat di kemudian hari.

Karena para dasarnya, para calon kebanyakan berpikir tentang cara untuk mengembalikan modal sebagai prioritas utamanya, bukan untuk menjalankan sebuah amanat yang besar di pundaknya, agar tercipta sebuah tatanan masyarakat yang maju dan bermartabat.

Bila yang terpilih orang yang tak mampu memegang amanat, maka tinggal menunggu kehancurannya.

Hal ini seperti disebut di dalam Alquran, dalam Surat Al Isra 16 yang berbunyi:

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

Artinya: Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu).

Imam Thabari dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ketika Allah hendak menghancurkan sebuah negeri, atau daerah maka Ia menjadikan orang yang hidup mewah atau yang mempunyai modal besar menjadi pemimpin mereka, kemudian mereka berbuat  onar, kerusakan, dan kezaliman, yang akhirnya membawa kehancuran daerah itu.

Maka dari itu dalam urusan memilih seorang pemimpin harus benar-benar selektif, terutama dalam mengatur urusan masyarakat dibutuhkan ilmu yang matang, strategi, amanat yang tinggi dan kearifan dalam bertindak. Imam Syafi’i pernah berkata

سِيَاسَةُ النَّاسِ أَشَدُّ مِنْ سِيَاسَةِ الدَّوَابّ

Artinya: Mengatur, mengurusi urusan manusia lebih sulit daripada merawat hewan melata. Dalam sebuah Hadis, Siti Aisyah pernah mendengar bahwa Nabi berdoa:

اﻟﻠﻬﻢ ﻣﻦ ﻭﻟﻲ ﻣﻦ ﺃﻣﺘﻲ ﺷﻴﺌﺎ ﻓﺮﻓﻖ ﺑﻬﻢ ﻓﺎﺭﻓﻖ ﺑﻪ، ﻭﻣﻦ ﺷﻖ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻓﺸﻖ ﻋﻠﻴﻪ.

Artinya: Ya Allah, siapapun orang yang memimpin urusan umatku dengan bijaksana, maka mudahkanlah, dan siapa yang memberatkan umat maka persulit urusannya. (HR. Bukhori Muslim).

Dari penjelasan di atas menjadi jelas bahwa untuk terciptanya sebuah tatanan masyarakat, maupun daerah yang baik, diawali dengan memilih pemimpin yang baik, dengan tak terpengaruh oleh siapa pun, atau iming-iming apa pun, apalagi menjual suara demi sebungkus nasi, hal ini sangat disayangkan.

Teori-teori Politik ala Kitab “Alfiyah Ibnu Malik”

Dalam dunia Islam dikenal salah satu kitab gramatikal Arab yang sangat fenomenal yaitu kitab Alfiyah Ibnu Malik. Di dalamnya tidak hanya membahas tentang masalah seputar Nahwu dan Sharaf saja, namun tersimpan mutiara hikmah terkait ilmu politik, di antaranya:

  1. Pemilihan pemimpin.

Seorang pemimpin yang dicintai rakyatnya terlahir bukan dari hasil rekayasa politik belaka, namun ada usaha yang dinilai berharga sebagai bentuk pengabdian maupun pengorbanan yang akan didedikasikan kepada rakyatnya, sehingga rakyat memilihnya dengan hati nurani dan kepercayaan yang diberikan kepadanya.  Hal ini seperti yang tertuang dalam syair Alfiyah yang berbunyi:

ورفعوا مبتدأ بالابتداء#…………….

Rakyat akan mengangkat seorang pemimpin yang sesuai dengan kerja nyata yang telah dilakukan sebagai bentuk pengabdian terhadap daerah yang akan ia pimpin.

  1. Calon pemimpin ideal.

Di akhir masa kepemimpinan biasanya ada calon pengganti yang telah disiapkan untuk menjadi orang yang berkualitas mengikuti pemimpin sebelumnya dengan meneruskan gaya kepemimpinan yang masih relevan untuk dikembangkan sebagai terobosan baru, sehingga masyarakat mau mendukungnya sesuai langkah konkret yang telah dijalankan. Hal ini tertuang dalam potongan bait di bawah ini.

……… …………… .#كذاك رفع خبر بالمبتداء

Calon pemimpin ada yang diangkat melalui rekomendasi dari pemimpin sebelumnya,  misalnya Umar bin Khaththab menjadi pemimpin atas rekomendasi dari Abu Bakar.

BACA JUGA :

BAHAYANYA IRIHATI DAN IRIHATI YANG DI PERBOLEHKAN

Al-Ghazali dan Kitab Nasihat untuk Para Pemimpin

Adalah Hujjatul Islam, Abu Hamid al-Ghazali (505 H), sang ulama Sunni terkenal dari mazhab al-Asyariah dan bermazhab fikih Syafi’i, penulis prolifik. Semasa hidupnya memang al-Ghazali sangat mencintai ilmu dari berbagai disiplin ilmu Islam, mulai dari fikih, filsafat, hingga tasawuf. Pengalaman berkelananya dalam menjelajahi negeri-negeri Islam, ia tuangkan dalam sebuah kitab yang berjudul al-Tibr al-Masbuq fi Nashaih al-Muluk.

Abdurrahman Badawi dalam Muallafat al-Ghazali mencatat ada beberapa perbedaan penisbatan mengenai originalitas nama kitab ini. Ada yang menyebut judulnya sebagai Gharaib al-Uwal fi ‘Ajaib al-Duwal (Keunikan orang-orang terdahulu pada keistimewaan bangsa-bangsanya).

Badawi menjelaskan bahwa penamaan kitab ini seperti tersebut tidak dikenal (jahil) dalam pandangan para historian. Pendapat yang kuat adalah kitab al-Tibru al-Masbuq fi Nashihat al-Muluk (emas yang didahulukan dalam menasihati para raja).

Kitab tipis ini berisi tentang cerita-cerita nasehat para ulama, ahli zuhud, terhadap para pemimpin (umara).

Dalam pengantarnya, al-Ghazali menyatakan bahwa seorang ulama memberikan nasihat pada pemimpin, dalam kisah, hikmah, dan seruan untuk bersikap adil. Kitab ini kemungkinan didasarkan atas pengamatan al-Ghazali selama menempuh perjalanan di berbagai bangsa, kala itu, sebelum menempuh hidup dari pengasingan diri (uzlah).

Ada beberapa catatan penting yang perlu dilakukan di sini. Yaitu bahwa pemimpin dan ulama merupakan dua pondasi yang penting untuk memakmurkan masyarakat. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi Saw bahwa sebuah negeri akan makmur, jika adilnya para pemimpin, saran dan nasihatnya para ulama, dermanya orang kaya dan doanya orang miskin.

Bahkan al-Ghazali mengutip hadis bahwa seorang pemimpin adil lebih utama dari pada ahli ibadah seratus tahun.

Dari hadis ini, al-Ghazali melihat bahwa kondisi pemimpin yang adil merupakan keharusan untuk memakmurkan masyarakat.

Al-Ghazali sendiri tidak melihat aspek keadilan dalam bentuk satu kategori yang tetap. Hal ini sebagaimana di awal kitabnya, ia mengatakan bahwa kekuasaan (power) merupakan nikmat Allah, maka siapa saja yang tidak menunaikan maka ia telah kufur nikmat. Pesan al-Ghazali di sini cukup bisa dipahami secara tersurat.

Lebih jauh al-Ghazali mengatakan bahwa seorang pemimpin tak ubahnya seperti sebagai penjaga (harish/the guardian) kemaslahatan umat, di sisi lain sebagai representasi agama dan mengatur (al-tanzhim) administrasi urusan perkara duniawi. Tafsiran al-Ghazali tersebut didasarkan atas konsep umum al-Mawardi bahwa al-khilafah hirasthuddin wa siyasatud dunya.

Dalam kitab tersebut diceritakan ada seseorang yang alim zuhud, pernah diundang untuk datang kepada seorang khalifah (raja). Sang raja berkata, “berilah aku nasihat”. Lantas sang alim zahid bercerita bahwa di sebuah negeri nun jauh dikenal dengan negeri Cina, hidup seorang raja yang adil berkuasa dan memerintah rakyatnya dengan penuh penghormatan dan cinta.

Suatu ketika ia menderita penyakit telinga (tuli), lalu ia menangis. Sang penasihat bertanya, apa yang membuatmu menangis. Lantas sang raja berkata, aku menangis bukan karena sakitku. Akan tetapi, aku menangis karena aku tidak mampu lagi mendengarkan keluhan rakyatku yang meminta pertolongan di hadapan singgasanaku. Mendengar hal tersebut, sang penasihat memerintahkan rakyatnya memakai baju merah (ahmar), agar sang raja mengenali bahwa orang tersebut dalam keadaan sulit.

Dari kisah-kisah yang dituliskan, nasehat untuk para pemimpin haruslah dilakukan dengan cara-cara yang baik dan tidak melakukan cara-cara dekstruktif (mafsadat) yang besar. Dari kitab ini tampak bahwa al-Ghazali sangat menekankan keseimbangan antara ulama (intelektual) dan umara dalam melakukan perbaikan untuk mencapai kemaslahatan bagi rakyat.

 

Golput dalam Syariat Islam

Pesta demokrasi rakyat Indonesia melalui pemilu 2019 di berbagai TPS di daerah masing-masing. Tentunya tidak hanya pihak panitian pemilu atau kandidat dan para tim suksesnya, melainkan rakyatpun pasti sudah matang-matang memikirkan untuk menentukan pilihannya.

Pada setiap pemilu, masih banyak kejadian-kejadian yang menyimpang dari aturan baku. Seperti tindak money politik atau tindak golput. Mengenai tindak Golput, istilah singkatan dari golongan putih atau disederhanakan menjadi pemilih abu-abu.

Artinya, mereka tidak menentukan sikap ketika jadwal pencoblosan berlangsung. Mereka enggan memilih salah satu diantara para kandidat kepada daerah. Tindakan ini terntunya menjadi catatan penting yang harus segera ditemukan solusinya agar tidak terulang terus-menerus di setiap waktu pilihan di masa-masa mendatang sampai pada pilpres digelar.

Adapun tindakan golput ini dapat menggugurkan suara dan menciderai proses demokrasi. akibat golput tersebut surat suara menjadi tidak sah atau abstain. Kasus ini, Jika digali lebih dalam, maka tindakan golput memiliki pengertian luas, diantaranya:

Pertama, tidak menentukan pilihan. ini merupakan tindakan yang sia-sia, bagaimana seorang yang datang ke bilik suara (TPS) tanpa mencoblos satu di antara kandidat kepala daerah. bisa juga dia mengosongkan suara suara dan partisipasinya seakan dianggap sebagai formalitas belaka.

Hal ini serupa dengan peristiwa tahkim, di mana sifat aliran qadariyah pada saat itu tidak memihak kepada Ali RA. maupun Muawiyah. Sifat ini sama dengan istilah “cari aman”.

Kedua, mencoblos lebih dari satu pilihan. Golongan ini termasuk dari orang-orang yang bimbang dalam bertindak maupun bersikap. Padahal jelas Rasulullah saw. Bersabda :

(دع ما يريبك إلى ما لا يريبك (رواه الترميذي

Baca Juga :  Kritik Ali Mustafa Yaqub atas Fatwa MUI tentang Penentuan Arah Kiblat.

“Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu”.

Anjuran untuk meninggalkan hal-hal yang meragukan adalah bagian dari syariat islam. Tidak hanya dalam hal pemilihan kepala daerah, terlebih pada urusan ibadahpun sangat diwanti-wanti agar terhindar dari sifat bimbang, sehingga dapat melaksanakan ibadah dengan khusu’ dan khidmat.

Ketiga, tidak memilih karena alasan sedang merantau. Budaya masyarakat Indonesia dalam upaya untuk menyambung hidup yaitu dengan cara bekerja di luar daerah (transmigrasi). Jika pada persyaratan pemilih disesuaikan dengan KTP asal, maka berapa juta jiwa yang tidak bisa ikut memilih pemimpin karena tersebar di berbagai daerah dan KTP tersebut tidak bisa digunakan di daerah tempat mereka bekerja.

Masalah ini harus ditangani secara serius agar semua masyarakat bisa berpartisipasi hajat demokrasi ini tanpa terkecuali. Jika sampai hari ini tidak diperhatikan, maka hal seperti ini dapat dipastikan menjadi kecacatan di tiap periodenya.

Bersandar pada penjelasan sebelumnya, bahwa tindakan golput merupakan tindakan tercela, merusak tatanan aturan yang telah disahkan oleh undang-undang. Tindakan seperti ini tidak dibenarkan dan keluar dari koridor ketentuan.

Menyikapi hal tersebut, dalam sudut pandang islam bahwa tindakan golput bagian dari pelanggaran. Selaras dengan sikap tidak patuh terhadap perintah Al-Qur’an. Firmat Allah dalam surat An-Nisa ayat 59:

أطيعوا الله وأطيعوا الرسول أولي الأمر منكم.

“Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri diantara kalian”.

Mayoritas para ulama menafsirkan kata ulil amri yaitu pemerintah. hasil konsesus menyatakan Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut sistem demokrasi, Maka taat dan menghormati terhadap kebijakan pemerintah bukan hal biasa melainkan perintah Negara dan Agama untuk rakyatnya agar senentiasa mematuhi Pemerintah secara seksama.

Ayat ini menjelaskan hukum wajibnya menaati ulil amri (pemimpin), yaitu orang yang mendapatkan mandat untuk memerintah rakyat. Menaati kepala negara adalah wajib, berarti mengangkat pemimpin pun hukumnya wajib, karena jika pemimpin tidak ada, maka kewajiban untuk menaati pemimpin pun tidak bisa dijalankan. Dengan demikian, hukum mengangkat pemimpin pun menjadi wajib.

Pada tahun 2009, dalam ijtima’ ulama di Padang Panjang Sumatera Barat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang haramnya Golput tersebut. Fatwa ini juga didukung oleh fatwa MUI yang ada di beberapa daerah bahwa nasabul imam atau mengangkat pemimpin adalah wajib, walaupun kadang-kadang tidak menggunakan istilah “Golput.” Ini merupakan ijtihad politik dalam meminimalisir angka dan fenomena Golput.

Oleh karena itu, orang-orang mukmin tidak akan pernah mengambil sikap Golput ketika pilkada, karena mengetahui bahwa memilih pemimpin adalah kewajiban, bukan sekadar hak. Sebagai kewajiban, maka orang-orang mukmin pasti memilih pemimpin yang terbaik dari calon-calon yang ada.

WALLOHU A’LAM BIS SHOWAB

Leave your comment here: