ADZAN KETIKA MENGUBURKAN MAYIT DAN POSISI MAYIT KETIKA DI SHOLATI

ADZAN KETIKA MENGUBURKAN MAYIT DAN POSISI MAYIT KETIKA DI SHOLATI

Hukum Adzan Ketika Menaruh Mayat Ke Liang Lahat

Bagaimana hukum adzan ketika menaruh mayat di dalam kubur?

As-Syeikh Isma’il Usman Zein Al-Yamani beliau berfatwa bahwa hal tersebut “TIDAK APA-APA”. Dan hal tersebut (adzan ketika menguburkan mayat atau meletakkan di liang lahat ) mempunyai faedah secara umum dan khusus . Faedah umumnya yaitu adzan ini termasuk dzikir, dan berdzikir ketika memasukkkan mayat ke kubur adalah hal yang terpuji. Adapun faedah khususnya yaitu bahwasanya adzan dan iqamat mempunyai faedah untuk mengusir syaithan.

السؤال : هل يسن الاذان عند وضع الميت اولا؟ بينوا لنا من كلام العلماء فإنه قد عم في أقطارنا جاوا ومدوره

فالجواب والله الموفق للصواب : أن ذلك لا بأس به ولا يخلو عن فائدة عموما وخصوصا. أما عموما فلعموم كون ذلك ذكرا, وذكرالله عند انزال الميت في القبر محمود. واما خصوصا فلخصوص أن الاذان والإقامة يطردان الشيطان.

( Qurratul Ain Bi Fatawa Syeikh Ismail Zein hal: 235).

Adapun keterangan menganalogikan keluarnya seseorang dari dunia dengan lahir ke dunia yaitu: banyak dari para ulama’ yang menyebutkan masalah ini dan mereka menqiyaskan (menganalogikan) adzan ini dengan adzan di telinga bayi ketika dilahirkan kedunia maka disunnahkan juga ketika di keluarkan dari dunia karena agar seseorang yang baru keluar dari perut ibunya menuju dunia diiringi dengan dzikir begitupula baguslah kiranya seseorang yang keluar dari dunia menuju akherat juga diiringi dengan dzikir.

(Qurratul Ain Bi Fatawa Ismail Usman Zein hal 236).

Dalam pandangan ulama Syafiiyah, adzan dan iqamah tidak hanya diperuntukkan sebagai penanda masuknya salat, baik berdasarkan hadis maupun mengimplementasikan makna hadis. Oleh karenanya ada sebagian ulama yang memperbolehkan adzan saat pemakaman, dan sebagian yang lain tidak menganjurkannya. Dalam hal ini ahli fikih Ibnu Hajar al-Haitami berkata:

قَدْ يُسَنُّ الْأَذَانُ لِغَيْرِ الصَّلَاةِ كَمَا فِي آذَانِ الْمَوْلُودِ ، وَالْمَهْمُومِ ، وَالْمَصْرُوعِ ، وَالْغَضْبَانِ وَمَنْ سَاءَ خُلُقُهُ مِنْ إنْسَانٍ ، أَوْ بَهِيمَةٍ وَعِنْدَ مُزْدَحَمِ الْجَيْشِ وَعِنْدَ الْحَرِيقِ قِيلَ وَعِنْدَ إنْزَالِ الْمَيِّتِ لِقَبْرِهِ قِيَاسًا عَلَى أَوَّلِ خُرُوجِهِ لِلدُّنْيَا لَكِنْ رَدَدْته فِي شَرْحِ الْعُبَابِ وَعِنْدَ تَغَوُّلِ الْغِيلَانِ أَيْ تَمَرُّدِ الْجِنِّ لِخَبَرٍ صَحِيحٍ فِيهِ ، وَهُوَ ، وَالْإِقَامَةُ خَلْفَ الْمُسَافِرِ (تحفة المحتاج في شرح المنهاج – ج 5 / ص 51)

“Terkadang adzan disunahkan untuk selain salat, seperti adzan di telinga anak yang lahir, orang yang kesusahan, orang yang pingsan, orang yang marah, orang yang buruk etikanya baik manusia maupun hewan, saat pasukan berperang, ketika kebakaran, dikatakan juga ketika menurunkan mayit ke kubur, dikiaskan terhadap saat pertama datang ke dunia. Namun saya membantahnya di dalam kitab Syarah al-Ubab. Juga disunahkan saat kerasukan jin, berdasarkan hadis sahih, begitu pula adzan dan iqamah saat melakukan perjalanan” (Tuhfat al-Muhtaj 5/51)

Di kitab lainnya Ibnu Hajar secara khusus menjelaskan masalah ini:

( وَسُئِلَ ) نَفَعَ اللَّهُ بِهِ بِمَا لَفْظُهُ مَا حُكْمُ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ عِنْدَ سَدِّ فَتْحِ اللَّحْدِ ؟ ( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ هُوَ بِدْعَةٌ وَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ سُنَّةٌ عِنْدَ نُزُولِ الْقَبْرِ قِيَاسًا عَلَى نَدْبِهِمَا فِي الْمَوْلُودِ إلْحَاقًا لِخَاتِمَةِ الْأَمْرِ بِابْتِدَائِهِ فَلَمْ يُصِبْ وَأَيُّ جَامِعٍ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ وَمُجَرَّدُ أَنَّ ذَاكَ فِي الِابْتِدَاءِ وَهَذَا فِي الِانْتِهَاءِ لَا يَقْتَضِي لُحُوقَهُ بِهِ . (الفتاوى الفقهية الكبرى – ج 3 / ص 166)

“Ibnu Hajar ditanya: Apa hukum adzan dan iqamat saat menutup pintu liang lahat? Ibnu Hajar menjawab: Ini adalah bid’ah. Barangsiapa yang mengira bahwa adzan tersebut sunah ketika turun ke kubur, dengan dikiyaskan pada anak yang lahir, dengan persamaan akhir hidup dengan permulaan hidup, maka tidak benar. Dan dari segi apa persamaan keduanya? Kalau hanya antara permulaan dan akhir hidup tidak dapat disamakan” (al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra 3/166)

 

Tentu yang dimaksud bid’ah disini tentu bukan bid’ah yang sesat, sebab Ibnu Hajar ketika menyebut bid’ah pada umumnya menyebut dengan kalimat “al-Madzmumah”, atau “al-Munkarah” dan lainnya dalam kitab yang sama. Beliau hanya sekedar menyebut bid’ah karena di masa Rasulullah Saw memang tidak diamalkan.

Adzan Pertama Kali di Kumandangkan ketika mayit di Kubur

Awal mula dilakukan adzan saat pemakaman adalah di abad ke 11 hijriyah berdasarkan ijtihad seorang ahli hadis di Syam Syria, sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikh al-Muhibbi:

محمد بن محمد بن يوسف بن أحمد بن محمد الملقب شمس الدين الحموي الأصل الدمشقي المولد الميداني الشافعي عالم الشام ومحدثها وصدر علمائها الحافظ المتقن : وكانت وفته بالقولنج في وقت الضحى يوم الاثنين ثالث عشر ذي الحجة سنة ثلاث وثلاثين وألف وصلى عليه قبل صلاة العصر ودفن بمقبرة باب الصغير عند قبر والده ولما أنزل في قبره عمل المؤذنون ببدعته التي ابتدعها مدة سنوات بدمشق من افادته إياهم أن الأذان عند دفن الميت سنة وهو قول ضعيف ذهب إليه بعض المتأخرين ورده ابن حجر في العباب وغيره فأذنوا على قبره

خلاصة الأثر في أعيان القرن الحادي عشر – ج 3 / ص 32

“Muhammad bin Muhammad bin Yusuf bin Ahmad bin Muhammad yang diberi gelar Syamsuddin al-Hamawi, asalnya ad-Dimasyqi, kelahiran al-Midani, asy-Syafii, seorang yang alim di Syam, ahli hadis disana, pemuka ulama, al-hafidz yang kokoh. Beliau wafat di Qoulanj saat waktu Dhuha, hari Senin 13 Dzulhijjah 1033. Disalatkan sebelum Ashar dan dimakamkan di pemakaman ‘pintu kecil’ di dekat makam orang tuanya. Ketika janazahnya diturunkan ke kubur, para muadzin melakukan bid’ah yang mereka lakukan selama beberapa tahun di Damaskus, yang diampaikan oleh beliau (Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Yusuf) kepada mereka bahwa ‘adzan ketika pemakaman adalah sunah’. Ini adalah pendapat lemah yang dipilih oleh sebagian ulama generasi akhir. Pendapat ini ditolak oleh Ibnu Hajar dalam kitab al-Ubab dan lainnya, maka mereka melakukan adzan di kuburnya” (Khulashat al-Atsar 3/32)

Memang, hal ini masuk dalam kasus fiqhiyah khilafiyah. Sebagian ulama menganggap beradzan dan beriqamah saat hendak mengebumikan mayit merupakan bid’ah karena tidak ada dalil nash yang terwarid. Dan sebagian yang lain mengatakan kesunahannya dengan mengiyaskan pada sunahnya adzan dan iqamah saat lahirnya seorang bayi. Mayit yang akan ditempatkan dalam buminya akan mendapat keringanan menjawab pertanyaan Munkar-Nakir saat ia diadzani dan diiqamahi.

Hal ini sebagaimana jawaban  Syekh al Usbuhi ketika ditanya dalil adat yang berkembang di masyarakat tersebut. Beliau menuturkan, “Aku tidak menemukan dalil baik dalam Alquran maupun sunah mengenai hal tersebut. Hanya saja diceritakan bahwa sebagian ulama mutaakhirin melakukannya dengan menqiyaskan pada kesunahan adzan dan iqamah saat bayi yang baru lahir.

Dalam prakteknya juga terjadi beberapa perbedaan mengenai shighot iqamah saat mengubur mayit. Sebagian dengan menggunakan lafal قد قامت الصلاۃ (Sungguh benar-benar terjadi shalat)  dan sebagian lainnya menggunakan قد قامت القيامة (Sungguh benar-benar akan terjadi hari kiamat).

Mengenai adzan saat mengebumikan mayit memang terdapat pendapat dari ulama yang mengiyaskan saat bayi lahir. Namun untuk pergantian lafalnya tidak diketemukan dalil  yang memperbolehkannya. Lafal adzan dan iqamah sudah ditetapkan oleh baginda Nabi Saw. Setelah sebagian sahabat-termasuk sayyidina Umar- mendapatkan ilham melalui mimpi, berupa ajaran lafal adzan, yang kemudian dihaturkan dan disetujui Rasulullah Saw. Karenanya, tidak diperbolehkan (makruh) mengubah tata tertib atau urutan dari adzan. Dan bila sampai mengubah makna adzan atau iqamah tersebut maka hukumnya haram, dan adzan tersebut tidak sah.

حاشية الشرواني  1 / 468)

قوله فإن جعله أى لفظ حى على خير العمل قوله لم يصح أذانه والقياس حينئذ حرمته لأنه به صار متعاطيا لعبادة فاسدة.

حاشيتا قليوبي  2 / 155)

قوله : ( ويشترط ترتيبه وموالاته ) فلا يعتد بغير ما رتب ويعيده في محله ، ويكره عدم ترتيبه إن لم يغيِر المعنى وإِلا فيحرم ، ولا يصح ولا يعتد بغير المتوالي على ما يأتي والإِقامة كالأذان

Meskipun secara nash tidak tertemukan dalil dalam hal ini, kalangan Syafi’iyyah mensunahkan mengumandangkan adzan pada beberapa kondisi di antaranya saat melepas kepergian seseorang. Hal ini karena tidak ada di antara para imam madzhab empat yang menentang keberadaannya.

قَدْ يُسَنُّ الْأَذَانُ لِغَيْرِ الصَّلَاةِ كَمَا فِي آذَانِ الْمَوْلُودِ ، وَالْمَهْمُومِ ، وَالْمَصْرُوعِ ، وَالْغَضْبَانِ وَمَنْ سَاءَ خُلُقُهُ مِنْ إنْسَانٍ ، أَوْ بَهِيمَةٍ وَعِنْدَ مُزْدَحَمِ الْجَيْشِ وَعِنْدَ الْحَرِيقِ قِيلَ وَعِنْدَ إنْزَالِ الْمَيِّتِ لِقَبْرِهِ قِيَاسًا عَلَى أَوَّلِ خُرُوجِهِ لِلدُّنْيَا لَكِنْ رَدَدْته فِي شَرْحِ الْعُبَابِ وَعِنْدَ تَغَوُّلِ الْغِيلَانِ أَيْ تَمَرُّدِ الْجِنِّ لِخَبَرٍ صَحِيحٍ فِيهِ ، وَهُوَ ، وَالْإِقَامَةُ خَلْفَ الْمُسَافِرِ ( قَوْلُهُ : خَلْفَ الْمُسَافِرِ ) يَنْبَغِي أَنَّ مَحَلَّ ذَلِكَ مَا لَمْ يَكُنْ سَفَرَ مَعْصِيَةٍ فَإِنْ كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يُسَنَّ ع ش

Terkadang adzan disunahkan dikerjakan bukan untuk waktunya shalat seperti adzan untuk orang yang sedang ditimpa kesusahan, ketakutan, sedang marah, orang atau hewan yang jelek perangainya, saat perang berkecamuk, kebakaran, menurut sebagian pendapat saat mayat diturunkan dalam kuburan dengan mengqiyaskan diberlakukannya adzan saat ia terlahir didunia namun aku menolak yang demikian dalam Syarh al-‘Ubaab, dan saat terdapat gangguan jin dan adzan dan iqamah bagi seseorang yang hendak bepergian. (Keterangan bagi seseorang yang hendak bepergian) semestinya letak kesunahannya bukan pada bepergian yang maksiat bila bepergiannya demikian maka tidak disunahkan. [ Tuhfah al-Muhtaaj V/51 ].

وزاد ابن حجر في التحفة الأذان والإقامة خلف المسافر

Imam Ibn Hajar menambahkan dalam kitab at-Tuhfah adzan dzn iqamah juga dikerjakan bagi seseorang yang hendak bepergian. [ Hasyiyah ar-Rodd al-Mukhtaar I/413 ].

ويسن الأذان والإقامة أيضاً خلف المسافر، ويسن الأذان في أذن دابة شرسة وفي أذن من ساء خلقه وفي أذن المصروع اهــــ ق ل

Dan disunahkan juga adzan dan iqamah bagi seseorang yang hendak bepergian, ditelinga binatang yang jelek perangainya, orang yang jelek akhlaknya dan ditelinga orang yang ketakutan. [ Tuhfah al-Habiib I/893 ].

وَيُسَنُّ الْأَذَانُ وَالْإِقَامَةُ أَيْضًا خَلْفَ الْمُسَافِرِ, وَيُسَنُّ الْأَذَانُ فِي أُذُنِ دَابَّةٍ شَرِسَةٍ وَفِي أُذُنِ مَنْ سَاءَ خَلْقُهُ وَفِي أُذُنِ الْمَصْرُوعِ. ا هـ. ق ل.

Dan disunahkan juga adzan dan iqamah bagi seseorang yang hendak bepergian, ditelinga binatang yang jelek perangainya, orang yang jelek akhlaknya dan ditelinga orang yang ketakutan.  [ Hasyiyah al-Bujairomi V/65 ].

الأذان لغير الصلاة.  هذا ويندب الأذان لأمور غير الصلاة: منها الأذان في أذُن المولود اليمنى عند ولادته، كما تندب الإقامة في اليسرى لأنه صلّى الله عليه وسلم ْذَّن في أذ ُن الحسن حين ولدته فاطمة (2) . ومنها الأذان وقت الحريق ووقت الحرب، وخلف المسافر.

[ ADZAN DI LAIN WAKTU SHALAT ] Dan disunahkan adzan diselain shalat dibeberapa kondisi :

1.Diantaranya ditelinga kanan bayi saat baru dilahirkan sebagaimana disunahkan iqamah ditelinga kirinya karena baginda Nabi SAW mengadzani telinga Hasan saat ia dilahirkan Fathimah,

2.Diantaranya saat kebakaran, saat perang, dan bagi seseorang yang hendak bepergian. [ Al-Fiqh al-Islaam I/635 ].

الأذان لغير الصلاة :

51 – شرع الأذان أصلا للإعلام بالصلاة إلا أنه قد يسن الأذان لغير الصلاة تبركا واستئناسا أو إزالة لهم طارئ والذين توسعوا في ذكر ذلك هم فقهاء الشافعية فقالوا : يسن الأذان في أذن المولود حين يولد ، وفي أذن المهموم فإنه يزيل الهم ، وخلف المسافر ، ووقت الحريق ، وعند مزدحم الجيش ، وعند تغول الغيلان وعند الضلال في السفر ، وللمصروع ، والغضبان ، ومن ساء خلقه من إنسان أو بهيمة ، وعند إنزال الميت القبر قياسا على أول خروجه إلى الدنيا .

وقد رويت في ذلك بعض الأحاديث منها ما روى أبو رافع : رأيت النبي صلى الله عليه وسلم أذن في أذن الحسن حين ولدته فاطمة (1) ، كذلك روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : من ولد له مولود فأذن في أذنه اليمنى وأقام في اليسرى لم تضره أم الصبيان (2) . وروى أبو هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : إن الشيطان إذا نودي بالصلاة أدبر (3) . . ” إلخ .

وقد ذكر الحنابلة مسألة الأذان في أذن المولود فقط ونقل الحنفية ما ذكره الشافعي ولم يستبعدوه ، قال ابن عابدين : لأن ما صح فيه الخبر بلا معارض مذهب للمجتهد وإن لم ينص عليه

حاشية الباجورى  1 / 161)

ولا يسن الأذان عند إنزال الميت القبر خلافا لمن قال بسنيته حينئذ قياسا لخروجه من الدنيا على دخوله فيها قال ابن حجر ورددته فى شرح العباب لكن إن وافق إنزاله القبر أذان خفف عنه فى السؤال.

الفتاوى الكبرى لابن حجر 2 / 17)

 ( وسئل ) نفع الله به ما حكم الأذان والإقامة عند سد فتح الميت ؟ ( فأجاب ) بقوله هو بدعة إذ لم يصح فيه شيئ وما نقل عن بعضهم فيه غير معول عليه ثم رأيت الأصبحى أفتى بما ذكرته فإنه سئل هل ورد فيهما خبر عند ذلك ؟ فأجاب بقوله لا أعلم فى ذلك خبرا ولا أثرا إلا شيئا يحكى عن بعض المتأخرين أنه قال لعله مقيس على استحباب الأذان والإقامة فى أذن المولود إهـ

ADZAN DI LAIN WAKTU SHALAT

Pada dasarnya adzan hanya disyariatkan untuk tanda akan shalat hanya saja terkadang disunahkan juga untuk selain shalat dengan tujuan mencari keberkahan, sebagai pelipur atau menghilangkan hal-hal yang tidak disukai.

Ulama yang menilai adzan dapat dipergunakan semacam ini adalah kalangan Syafi’iyyah, mereka berpendapat “Disunahkan adzan ditelingan bayi saat ia dilahirkan, ditelinga orang yang kesusahan sebab dapat menghilangkan kegelisahannya, bagi seseorang yang hendak bepergian, saat kebakaran, saat perang berkecamuk, saat terdapat gangguan jin, saat tersesat dalam perjalanan, untuk orang yang ketakutan, marah, orang atau hewan yang jelek perangainya dan saat mayat diturunkan dalam kuburan dengan mengqiyaskan diberlakukannya adzan saat ia terlahir di dunia.

Dan telah teriwayatkan hadits-hadits mengenai hal tersebut, diantaranya hadits riwayat Abu Rofi’ : “Aku melihat baginda Nabi SAW adzan ditelingan Hasan saat ia dilahirkan oleh Fathimah” (HR. At-Tirmidzi)

Juga hadits bahwa Nabi SAW bersabda “Barangsiapa terlahirkan anak untuknya, kemudian ia adzan ditelinga kanannya dan iqamah ditelinga kirinya maka tidak akan membahayakan bagi anaknya gangguan Ummu as-Shibyaan/Jin wanita yang suka mengganggu anak kecil.” (HR. Abu Ya’la dan al-Baehaqi).

Abu Hurairah ra juga meriwayatkan sebuah hadits bahwa nabi SAW bersabda “Sesungguhnya syetan saat dikumandangkan seruan shalat akan menyingkir….. dst” (HR. Mutafaq ‘Alaih).

Kalangan Hanabilah memberlakukan adzan diselain shalat hanya untuk anak yang baru dilahirkan sedang kalangan Hanafiyah juga menukil keterangan Imam Syafi’i mengenai hal tersebut dan mereka juga tidak menentangnya. Ibn ‘Aabidiin berkata “Karena keautentikan khabar yang tidak terdapat pertentangan berarti menjadi aliran keyakinan bagi para mujtahid meskipun tidak terdapati dalil nash tentangnya”. [ Al-Mausuu’ah al-Foqhiyyah II/372 ].

وفي حاشية البحر للخير الرَّمْلي : رأيت في كتب الشَّافعية أنه قد يسن الأذان لغير الصلاة، كما في أذن المولود، والمهموم، والمصروع، والغضبان، ومن ساء خلقه من إنسان أو بهيمة، وعند مزدحم الجيش، وعند الحريق، قيل وعند إنزال الميت القبر قياساً على أول خروجه للدنيا، لكن رده ابن حجر في شرح العباب، وعند تغوّل الغيلان، أي عند تمرد الجن لخبر صحيح فيه. أقول؛ ولا بعد فيه عندنا ا هـ: أي لأن ما صح فيه الخبر بلا معارض فهو مذهب للمجتهد وإن لم ينص عليه، لما قدمناه في الخطبة عن الحافظ ابن عبد البرّ ، والعارف الشعراني عن كل من الأئمة الأربعة أنه قال: إذا صح الحديث فهو مذهبي، على أنه في فضائل الأعمال يجوز العمل بالحديث الضعيف كما مر أول كتاب الطهارة، هذا، وزاد ابن حجر في التحفة الأذان والإقامة خلف المسافر. قال المدني : أقول: وزاد في شرعة الإسلام لمن ضل الطريق في أرض قفر: أي خالية من الناس. وقال المنلا علي في شرح المشكاة: قالوا: يسن للمهموم أن يأمر غيره أن يؤذن في أذنه فإنه يزيل الهم، كذا عن عليّ رضي الله عنه، ونقل الأحاديث الواردة في ذلك فراجعه ا هـ.

Dalam Hasyiyah al-Bahr Li al-khair ar-Ramly tersirat : “Aku melihat dibeberapa kitab syafi’iyyah tertulis, sesungguhnya adzan terkadang diunahkan diselain shalat seperti adzan ditelingan anak, ditelingan orang yang kesusahan, ketakukan, marah, orang atau hewan yang jelek perangainya, saat perang berkecamuk, kebakaran, menurut sebagian pendapat saat mayat diturunkan dalam kuburan dengan mengqiyaskan diberlakukannya adzan saat ia terlahir didunia namun aku menolak yang demikian dalam Syarh al-‘Ubaab, dan saat terdapat gangguan jin dan adzan dan iqamah bagi seseorang yang hendak bepergian”.

Aku (Imam Romly) berkata : “Yang demikian bagi kami tidaklah asing, karena keautentikan khabar yang tidak terdapat pertentangan berarti menjadi aliran keyakinan bagi para mujtahid meskipun tidak terdapati dalil nash tentangnya, sebagaimana khutbah pembukaan kitab yang kami ambil dari al-Hafidh Ibn Abdil Bar dan al-‘Arif as-Sya’roni dari masing Imam Madzhab empat menyatakan “Bila sebuah hadits dinyatakan shahih berarti menjadi madzhab kami, hanya saja dalam hal keutamaan-keutamaan amal diperbolehkan amal dengan bersandar pada hadits dhaif seperti urauan kami di bab THOHARAH”.

Ibn Hajar dalam at-Tuhfah menambahkan “Dan sunah adzan serta iqamah dibelakang orang yang bepergian”.

al-Madani berkata “Dan dalam Kitab Syar’ah al-Islam terdapat tambahan, dan bagi orang yang tersesat jalan didaerah terpencil”.

al-Manlaa ‘Ali dalam Syarh al-Misykaat berkata “Ulama berfatwa, bagi orang yang sedang kesusahan disunahkan memerintahkan untuk mengumandangkan adzan ditelinganya karena yang demikian dapat menghilangkan rasa sedihnya, demikian yang diambil dari sahabat Ali ra. [ Hasyiyah ar-Rodd al-Mukhtaar I/413 ].

MANFAAT DAN TATA CARA ADZAN DI SELAIN SHALAT

وَمِمَّا جُرِّبَ أَنَّ الْأَذَانَ فِي أُذُنِ الْمَحْزُونِ يَصْرِفُ حُزْنَهُ, وَإِذَا أُذِّنَ خَلْفَ الْمُسَافِرِ رَجَعَ, وَإِذَا أُذِّنَ فِي أُذُنِ مَنْ خُلُقُهُ سَيِّئٌ حَسُنَ خُلُقُهُ, وَمِمَّا جُرِّبَ لِحَرْقِ الْجِنِّ أَوْ يُؤَذِّنُ فِي أُذُنِ الْمَصْرُوعِ سَبْعًا, وَيَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ سَبْعًا, وَيَقْرَأُ الْمُعَوِّذَتَيْنِ وَآيَةَ الْكُرْسِيِّ وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ, وَآخِرَ الْحَشْرِ وَالصَّافَّاتِ, وَإِذَا قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِيِّ سَبْعًا عَلَى مَاءٍ, وَرَشَّهُ عَلَى وَجْهِ الْمَصْرُوعِ فَإِنَّهُ يُفِيقُ

Termasuk yang dapat dicoba dijalankan :

1.Adzan di telinga orang yang kesusahan menghilangkan kesedihannya

2.Adzan di belakang orang yang bepergian ia akan kembali

3.Adzan di telinga orang yang tabiatnya akan membaik akhlaknya

4.Juga dapat dicoba untuk membakar JIN atau orang yang ketakukan sebanyak tujuh kali, membaca al-Fatihah 7X, surat al-Mu’awwidzatain 7X, Ayat Kursi dan Was Samaa-i Wat Thooriq, akhir surat al-Hasyr dan as-Shooffaat..

5.Bila ayat kursi dibaca 7X pada air kemudian dipercikkan diwajah orang yang ketakutan, Insya Allah ia akan segera sadar.  [ Mathoolib Ulin Nuha III/11 ].

ومن فضائل الأذان أنه لو أذن خلف المسافر فإنه يكون في أمان إلى أن يرجع. وإن أذن في أذن الصبي وأقيم في أذنه الأخرى إذا ولد فإنه أمان من أم الصبيان وإذا وقع هذا المرض أيضاً وكذا إذا وقع حريق أو هجم سيل أو برد أو خاف من شيء كما في «الأسرار المحمدية» والأذان إشارة إلى الدعوة إلى الله حقيقة والداعي هو الوارث المحمدي يدعو أهل الغفلة والحجاب إلى مقام القرب ومحل الخطاب فمن كان أصم عن استماع الحق استهزأ بالداعي ودعوته لكمال جهالته وضلالته ومن كان ممن ألقى السمع وهو شهيد يقبل إلى دعوة الله العزيز الحميد وينجذب إلى حضرة العزة ويدرك لذات شهود الجمال ويغتنم مغانم أسرار الوصال

Diantara keutamaan adzan adalah, sesungguhnya bila dikumandangkan dibelakang orang yang bepergian sesungguhnya ia akan aman hingga kembali pulang, bila dikumandangkan ditelinga bayi dan diiqamahkan ditelinga lainnya saat dilahirkan maka ia akan aman dari gangguan Ummi Syibyaan, begitu juga saat terdapat orang sakit, kebakaran, bercucuran keringat dingin, atau takut akan sesuatu seperti keterangan yang diambil dari kitab al-Asraar al-Muhammadiyyah.

Adzan hakikatnya adalah ajakan pada Allah, yang menyeru adalah pewaris ajaran Muhammad, mengajak orang-orang yang lalai, tertutup untuk mendekat dan merapat pada hadratillah. Barangsiapa yang tuli mendengarkan kebenaran maka ia akan mentertawakan seruan dan penyerunya sebab kebodohan dan kesesatannya sudah dalam tahapan yang sempurna. Tapi barangsiapa yang dapat tersentuh pendengarannya dan ia bersaksi maka ia akan menerima ajakan Allah, merapat kehadhirat-Nya, menemukan kelezatan kesaksian kesempurnaan serta meraih rahasia-rahasia wushul (sampai) dihadhirat Allah. [ Ruuh al-Bayaan II/361 ]. Wallaahu A’lamu Bis Showaab.

INILAH POSISI KEPALA MAYAT SAAT DI SHALATI

Menurut keterangan, sebaiknya bila mayat lelaki, bagian kepala diletakkan diarah kirinya orang yang shalat (sebelah selatan untuk konteks Indonesia) sedang bila mayat wanita, bagian kepala diletakkan diarah kanannya orang yang shalat (sebelah utara untuk konteks Indonesia).

– Hasyiyah al-Bujairomi alaa al-Manhaj I/484 :

( قوله : ويقف غير مأموم إلخ ) ويوضع رأس الذكر لجهة يسار الإمام ويكون غالبه لجهة يمينه خلافا لما عليه عمل الناس الآن أما الأنثى والخنثى فيقف الإمام عند عجيزتهما ويكون رأسهما لجهة يمينه على عادة الناس الآن ع ش ، والحاصل أنه يجعل معظم الميت عن يمين المصلي ، فحينئذ يكون رأس الذكر جهة يسار المصلي ، والأنثى بالعكس إذا لم تكن عند القبر الشريف أما إن كانت هناك ، فالأفضل جعل رأسها على اليسار كرأس الذكر ليكون رأسها جهة القبر الشريف سلوكا للأدب كما قاله بعض المحققين .

– Fath al-‘Alaam III/172 :

ويقف ندبا غير مأموم من إمام ومنفرد عند رأس ذكر وعجز غيره من أنثى وخنثى. ويوضع رأس الذكر لجهة يسار الإمام، ويكون غالبه لجهة يمينه، خلافا لما عليه عمل الناس الآن. أما الأنثى والخنثى فيقف الإمام عند عجيزتيهما ويكون رأسهما لجهة يمينه على عادة الناس الآن؛ كذا في الشبرا ملسي والبجيرمي والجمل وغيرهما من حواشي المصريين.

“Bagi Imam sholat dan orang yang sholat sendirian, disunnahkan memposisikan diri -ketika sholat janazah- di dekat kepala mayit laki-laki dan di dekat bokong mayit perempuan dan banci. Kepala mayit laki-laki diletakkan pada posisi arah kiri imam -sedangkan yang mentradisi ada pada arah kanan imam-, hal ini berbeda dengan yang biasa dilakukan masyarakat saat ini. Adapun mayit perempuan dan banci, maka imam memposisikan dirinya di dekat bokong janazah, sedangkan kepala janazah diletakkan pada posisi arah kanan sebagaimana biasa dilakukan saat ini.”

– Tuhfah al-Muhtaaj XI/181 :

وَفِي الْبُجَيْرِمِيِّ مَا نَصُّهُ وَيُوضَعُ رَأْسُ الذَّكَرِ لِجِهَةِ يَسَارِ الْإِمَامِ وَيَكُونُ غَالِبُهُ لِجِهَةِ يَمِينِهِ خِلَافًا لِمَا عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْآنَ وَيَكُونُ رَأْسُ الْأُنْثَى وَالْخُنْثَى لِجِهَةِ يَمِينِهِ عَلَى عَادَةِ النَّاسِ الْآنَ ع ش وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ يُجْعَلُ مُعْظَمُ الْمَيِّتِ عَنْ يَمِينِ الْمُصَلِّي فَحِينَئِذٍ يَكُونُ رَأْسُ الذَّكَرِ جِهَةَ يَسَارِ الْمُصَلِّي وَالْأُنْثَى بِالْعَكْسِ إذَا لَمْ تَكُنْ عِنْدَ الْقَبْرِ الشَّرِيفِ أَمَّا إذَا كَانَتْ هُنَاكَ فَالْأَفْضَلُ جَعْلُ رَأْسِهَا عَلَى الْيَسَارِ كَرَأْسِ الذَّكَرِ لِيَكُونَ رَأْسُهَا جِهَةَ الْقَبْرِ الشَّرِيفِ سُلُوكًا لِلْأَدَبِ كَمَا قَالَهُ بَعْضُ الْمُحَقِّقِينَ ا هـ .

Dalam kitab al-Bujairomi terdapat keterangan yang redaksinya “Dan kepala mayat laki-laki diletakkan disebelah kirinya imam shalat janazah, sebagian besar anggauta tubuh mayat diletakkan sebelah kanannya berbeda dengan kebiasaan shalat janazah yang terjadi sekarang ini. Sedang kepala mayat wanita serta khuntsa (orang berkelamin ganda) diletakkan disebelah kanan imam.

Kesimpulan “Sesungguhnya sebagian besar anggota mayat saat dishlalatkan berada disebelah kanan orang yang menshalatinya, maka kepala mayat laki-laki berada disebelah kirinya orang yang shalat janazah sedang wanita kebalikannya, hal yang demikian bila tidak berada pada kuburan yang mulia sedang bila disana maka sebaiknya meletakkan kepala mayat wanita disebelah kiri orang yang menshalatinya seperti mayat lelaki agar kepalanya kearah kuburan yang mulia demi menjaga sopan santun seperti keterangan yang disampaikan sebagian ulama yang muhaqqiqiin”.

– Tarsyihul Mustafidin141-142 :

ويقف ندبا غير مأموم من إمام ومنفرد عند رأس ذكر وعجز غيره من أنثى وخنثى ويوضع رأس الذكر لجهة يسار الإمام ويكون غالبه لجهة يمينه خلافا لما عليه عمل الناس الآن أما الأنثى والخنثى فيقف الإمام عند عجيزتهما ويكون رأسهما لجهة يمينه على عادة الناس الآن كذا في ع ش وبج والجمل وغيرها من حواشي المصريين قال الشيخ عبد الله باسودان الحضرمي لكنه مجرد بحث وأخذ من كلام المجموع وفعل السلف من علماء وصلحاء في جهتنا حضرموت وغيرها جعل رأس الذكر في الصلاة عن اليمين أيضا والمعول عليه هو النص ان وجد من مرجح لا على سبيل البحث والأخذ وإلا فما عليه الجمهور هذا هو الصواب.انتهى من فتاويه.

هذا إن لم تكن الجنازة عنذ القبر الشريف وإلا فالأفضل جعل رأسها على اليسار ليكون رأسها جهة القبر الشريف سلوكا للأدب وعليه العمل بالمدينة وجرى عليه الرملي وأتباعه.ونظر ابن حجر في استثنائه قال وإن كان له وجه وجيه.إنتهى

 ترشيح المستفيدين ص 141-142

Berbeda dengan pendapat di atas, As Syekh Abdullah Basudan Al Hadlramy yang diikuti As Syekh Isma’il ‘Utsman Az Zayn Al Yamany -dengan argumentasi sholat Rosulullah terhadap janazah (laki-laki dan perempuan) yang sudah dikuburkan- lebih cenderung berpendapat tidak membedakan posisi kepala janazah ketika disholati yaitu pada arah kanan imam/munfarid (arah utara untuk konteks Indonesia), baik janazah laki-laki maupun janazah perempuan atau banci.

– Fath al-‘Alaam III/172 :

قال الشيخ عبد الله باسودان الحضرمي : لكنه مجرد بحث. وأخذ من كلام المجموع وفعل السلف من علماء وصلحاء في جهتنا حضرموت وغيرها جعل رأس الذكر في الصلاة عن اليمين أيضا. والمعول عليه هو النص إن وجد من مرجح لا على سبيل البحث والأخذ، و إلا، فما عليه الجمهور هنا هو الصواب إهـ من فتاويه إهـ

– Al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah I/816 :

لصلاة الجنائز سنن مفصلة في المذاهب مذكورة تحت الخط -إلى أن قال- المالكية قالوا : ليس لصلاة الجنازة سنن بل لها مستحبات وهي الإسرار بها ورفع اليدين عند التكبيرة الأولى فقط حتى يكونا حذو أذنيه كما في الإحرام لغيرها من الصلوات -إلى أن قال- ووقوف الإمام والمنفرد على وسط الرجل وعند منكبي المرأة ويكون رأس الميت عن يمينه رجلا كان أو امرأة إلا في الروضة الشريفة فإنه يكون عن يساره ليكون جهة القبر الشريف وأما المأموم فيقف خلف الإمام كما يقف في غيرها من الصلاة إلخ إهـ

– Ar-Risaalah al-Haaizah Fii ba’dhi Ahkaam al-Janaazah Hal. 10-21 :

ومن فتوى العلامة الجليل المدرس بالحرم المكي المنيف الشيخ إسماعيل عثمان الزين لطف الله به مانصه : بسم الله الرحمن الرحيم (أما بعد) فكثيرا ما يذاكرني بعض الإخوان من طلبة العلم الشريف في مسألة فقهية هي في الواقع مسألة كمالية ليست واجبة ولا لازمة بل هي هيئة مندوبة، ولكن ربما كثر فيها النـزاع وطال، ووقع في فهمها وتطبيقها الخلاف واستطال، حتى صار يغلط بعضهم بعضا فيما هو ليس واجبا ولا فرضا؛ هذه المسألة هي كيفية وقوف الإمام والمنفرد في الصلاة على الجنازة. وسبب النزاع والخلاف يرجع إلى أمرين : (أحدهما) سوء الفهم في معنى عبارة بعض الفقهاء، (وثانيهما) تداول النقل للعبارة حتى صار الخطأ في تفسيرها كأنه ليس بالخطأ. وها أنا إن شاء الله أوضح منها المراد وأسلك فيها مسلك الرشاد والسداد، فأقول، وبالله التوفيق : قال الإمام أبو داود في سننه : (باب أين يقوم الإمام من الميت إذا صلى عليه) وساق سند الحديث إلى أنس بن مالك رضي الله عنه أنه صلى الله على رجل فقام عند رأسه، وصلى على امرأة فقام عند عجيزتها. قال له العلاء بن زياد : هكذا كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفعل ؟. قال : نعم. وفي الصحيحين من حديث سمرة بن جندب رضي الله عنه قال : صليت وراء النبي صلى الله عليه وسلم على امرأة ماتت في نفاسها فقام وسطها. قال العلامة الأمير : فيه دليل على مشروعية القيام عند وسط المرأة إذا صلى عليها، وهذا مندوب. وأما الواجب فإنما هو استقبال جزء من الميت رجلا أو امرأة. وعن الإمام الشافعي رحمه الله أنه يقف حذاء رأس الرجل وعند عجيزة المرأة لما أخرجه أبو داود والترمذي من حديث أنس إلخ يعني الحديث المتقدم. دل ذلك على أمرين : (أحدهما) واجب؛ وهو محاذاة الإمام أو المنفرد بجميع بدنه جزأ من بدن الميت أي جزء كان، سواء كان رأسه أو بطنه أو رجله أو غير ذلك. (ثانيهما) مندوب ومستحب؛ وهو وقوفه عند رأس الرجل وعند عجيزة المرأة. والحكمة في ذلك أن الرأس هو أشرف أعضاء الإنسان فاستحب الوقوف عنده بشرط محاذاة المصلي له بجميع بدنه. واستحب الوقوف وسط المرأة عند عجيزتها لأنه أستر لها. وفي كلا الحالين رأس الميت سواء كان رجلا أو امرأة مما يلي يمين الإمام لا غير. والأمر الثاني أشار له الفقهاء بقولهم : ويندب أن يقف عند رأس الرجل وعجيزة المرأة. وحرصا منهم على حصول المحاذاة الواجبة بيقين قالوا : ويندب أن يكون معظم رأس الرجل عن يمين الإمام أو المنفرد لتتم المحاذاة، لكن بعضهم عبر بالضمير بدلا عن الظاهر فقال : ويندب أن يقف عند رأس الذكر بحيث يكون معظمه على جهة يمين الإمام. ومن هنا حصل التصرف في العبارة ونشأ الغلط، فظن بعضهم أن الضمير في قوله معظمه يعود على الميت حتى أن بعضهم عبر بالظاهر بدل المضمر على هذا الفهم السيئ فقال : بحيث يكون معظم الميت عن يمين الإمام. وهذا كله غلط وسوء فهم. وإنما المراد أن يكون معظم رأس الميت الذكر عن يمين الإمام ليحصل كمال المحاذاة المطلوبة. ومما يؤيد أن ما قلناه هو الصواب وأن عبارة الفقهاء هي خطأ ناشئ عن سوء الفهم وتداول الأيدي للعبارة أنهم قالوا إذا صلى على القبر أي فيقف عند موضع رأس الرجل وعند موضع عجيزة المرأة. وقد ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى على قبر رجل ووقف عند موضع رأسه، وعلى قبر امرأة ووقف عند موضع عجيزتها. فلو كان الحال كما يقول بعض أهل الحواشي من الفقهاء إن رأس الذكر عن يسار الإمام لكان المصلي على القبر مستدبرا للقبلة، فصلاته باطلة. وحاشا النبي صلى الله عليه وسلم أن يصلي صلاة باطلة مستدبرا للقبلة، وحاشا السلف الصالح بل حاشا المسلمين أجمعين من ذلك. فيا من يقول إن رأس الذكر يكون مما يلي يسار الإمام، إفرض أنك تصلي على رجل في قبره بهذه الكيفية، وتصور وتخيل نفسك تماما، فلاتجد نفسك حينئذ إلا مستدبرا للقبلة. فعبارة المتون والشروح كلها مقصورة على ما هو المفهوم من الحديث فقط، فيقولون : ويندب أن يقف عند رأس الرجل وعجيزة المرأة للإتباع. أما قول بعض أهل الحواشي إن رأس الرجل من جهة يسار الإمام فلا أصل له ولا دليل عليه، بل قد يؤدي في بعض الحالات إلى بطلان الصلاة كما لو صلى على القبر كما سبقت الإشارة إليه. فهذا هو القول الصحيح في المسألة وعليه عمل الناس في جميع الأمصار. ومن ادعى أن السنة على خلاف عمل الناس فدعواه ظاهرة البطلان بعيدة عن الإتباع قريبة من الإبتداع مدارها سوء الفهم أعاذنا الله من ذلك وسلك بنا وبجميع المسلمين أوضح المسالك. و صلى الله على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه وسلم تسليما كثيرا. والحمد لله رب العالمين إهـ

Tata Cara Membawa Jenazah Ke Pemakaman

Disunahkan mendahulukan kepalanya untuk mengikuti arah jalan, baik itu berjalan ke arah qiblat maupun bukan.

Sebagaimana diterangkan dalam kitab: Tukhfah al-Mukhtaj Fii Syarhi al-Minhaj:

قَوْلُهُ (اِلَى تَنْكِيْسِ رَأْسِ الْمَيِّتِ) يُؤْخَذُ مِنْهُ اَنَّ السُّـنَّةَ فِىْ وَضْعِ رَأْسِ الْمَيِّتِ فِى حَالِ السَّيْرِ اَنْ يَكُوْنَ اِلَى جِهَّةِ الطَّرِيْقِ سَوَاءٌ اَلْقِبْلَةَ وَغَيْرَهَا بَصْرِىٌّ قَوْلُ الْمَتَنِ.

تحفة المحتاج فى شرح المنهاج فصل فى تكفين الميت ج 4 ص 71

Perkataan (Sampai  membalikkan kepala mayit) diambil dari perkataan tersebut, sesungguhnya sunnah meletakkan kepala mayit ketika berjalan/membawa ke makam sesuai arah jalan yang dilalui, baik menghadap kiblat atau tidak. Seperti dikatakan Sayid Umar Bashry.

 (Tukhfah al-Mukhtaj Fii Syarhi al-Minhaj juz 4 hal. 71)

Juga terdapat dalam kitab Mauhibah dzii al-Fadhli juz 3 hal. 424. Hawasyi al-Syarwani Wa al-Ubadi Fashl Fii Takfini al-Mayit Wa Khamlihi.

Wallohu a’lam bis showab

Leave your comment here: