KAIDAH FIQH : MASALAH KETIKA SEMAKIN SULIT JUSTRU MENJADI MUDAH

KAIDAH FIQH : MASALAH KETIKA SEMAKIN SULIT JUSTRU MENJADI MUDAH

QAWA’IDUL FIQH

  1. Definisi

Qawa’id adalah jama’ dari qa’idah yang menurut bahasa berarti dasar, maksudnya dasar dari berdirinya sesuatu atau berati fondasi atau pokoknya suatu perkara. Sedang menurut istilah para ulama mendefinisikan dengan redaksi yang berbeda :

  1. Menurut Abu Zahrah :

فهى مجموعة الاحكام المتشابهة التى ترجع الى قياس واحد او الى ضبط فقهي يربطها

Artinya : kumpulan beberapa hukum yang serupa yang kembali pada satu qiyas yang mengumpulkannya atau kepada satu ketentuan hukum yang mengikatnya.

  1. Menurut Al jurjani :

هى قضية كلية منطبق على جميع جزئياتها

Artinya : ketentuan umum ( universal ) yang bersesuaian dengan bagian – bagiannya.

  1. Menurut Assuyuthi :

هى الامر الكلى الذى ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها

Artinya : ketentuan universal yang keberadaannya dapat bersesuaian dengan bagian – bagiannya yang jumlahnya sangat banyak dan hukumnya dapat di fahami dari sisi perkataanya.

Kaidah fiqih itu berjumlah 65, yang terbagi menjadi 3 bab.

  1. Kaidah pokok : 5
  2. Kaidah umum : 40
  3. Kaidah yang di perselisihkan : 20

Hukum – hukum syara’ atau yang biasa di sebut fiqih itu, pada dasarnya dapat di kembalikan kepada lima kaidah pokok.

Tapi imam ‘izuddin bin ‘abdissalam berpendapat bahwa fiqih itu hanya berkisar dan berpusat kepada satu kaidah saja, yakni :

جلب المصالح ودرء المفاسد

Menarik kebaikan dan menolak kerusakan

 

Al-Masyaqqoh Tajlibu at-Taisir

الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

Kesukaran itu dapat menarik kemudahan

  1. Dasar Pengambilan Kaidah

{ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ} [البقرة: 185]

“ Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagi kalian”. ( Qs. Al-Baqarah : 185)

{ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ} [الحج: 78]

“ Dan Dia tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu kesulitan”. ( QS. Al-Hajj: 78 )

الدِّيْنُ يُسْرٌ أحبُّ الدِّيْنِ إلى اللهِ الحنيفيةُ السَّمْحَةُ

“ Agama itu mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan murah”. ( HR. Bukhori dari Abu Hurairah)

“بُعِثْتُ بالحنيفيةِ السمْحَةِ

“ Aku diutus dengan membawa agama yang benar dan mudah “. ( HR. Ahmad dari Ibnu ‘Abbas )

  1. Uraian Kaidah

            Syariah dibuat agar kehidupan manusia bisa teratur dan kemaslahatannya bisa terealisasi, untuk itu syariah telah disesuaikan dengan kemampuan manusia, karena pada dasarnya syariah itu bukan untuk kepentingan Allah, melainkan untuk kepentingan manusia itu sendiri,

Untuk merealisasikan syariah tersebut , Allah memberikan 5 alternatif bagi perbuatan manusia, yaitu positif ( wajib ), cenderung ke positif ( sunnah ), netral ( mubah ), cenderung ke negatif ( makruh ) dan negatif ( haram ). Dan untuk merealisasikan kelima alternatif tersebut, Allah juga memberikan hukuman keharusan ( ‘azimah ) yaitu keharusan untuk melakukan perbuatan yg positif dan sebaliknya.  Akan tetapi tidak semua keharusan itu dapat dilakukan manusia, mengingat kemampuan yang dimiliki manusia berbeda-beda. Untuk itu  Allah memberikan hukum  rukhsoh yakni keringanan-keringanan tertentu dalam kondisi tertentu pula. Sehingga bisa dikatakan antara hukum ‘azimah dengan kebolehan melakukan rukhsoh itu seimbang.

Menurut al-Syatibi, kesulitan itu dihilangkan karena dua sebab. Pertama, karena kawatir  orang ( mukallaf ) akan terputuskan ibadah, benci terhadap ibadah, serta benci terhadap taklif, dan hawatir akan adanya kerusakan bagi orang mukallaf, baik jasad, akal, harta maupun kedudukannya, karena pada hakikatnya taklif itu untuk kemaslhatan manusia. Kedua, karena takut akan terjurangi kegiatan-kegiatan sosial yang berhubungan dengan sesama manusia, baik terhadap keluarga dan masyarakat. Karena hubungan manusia dengan sesama manusia itu juga termasuk ibadah pula.

Mengenai klasifikasi kesulitan, Dr. Wahbah al-Zuhaili  membaginya dalam 2 kategori, yaitu ;

1)      Kesulitan mu’tadah, yaitu kesulitan yang alami, dimana manusia sewajarnya mencari jalan keluarnya. Misal seorang kesulitan mencari pekerjaan, ia dapat pekerjaan yang sangat berat, keberatan itu bukan berarti ia boleh tidak mencari pekerjaan.

2)      Kesulitan ghoiru mu’tadah, yaitu kesulitan yang tidak pada kebiasaan, dimana manusia mampu memikul kesulitan, karena jika ia melakukannya niscaya akan merusak diri dan memberatkan kehidupannya. Kesulitan semacam ini diperbolehkan menggunakan dispensasi ( kemurahan ). Misalnya, diperbolehkan shalat khouf bagi mereka yang sedang berperang.

Menurut Abdu al-Rahman al-Suyuthi , ada 7 macam sebab orang memperoleh keringanan, yaitu ;

  1. Karena safar, diperbolehkan mengqosor shalat, berbuka puasa, dll.
  2. Karena sakit, diperbolehkan tayammum, tidak puasa, dll
  3. Karena ikrah ( terpaksa dan dipaksa ), karena tidak ada makanan apa pun kecuali daging babi dan kelaparan ( kalau tidak makan bisa mati), diperbolehkan makan daging babi.
  4. Karena nisyan ( lupa), karena lupa pada saat puasa makan dan minum, ini dima’fu
  5. Karena jahl ( bodoh) atau buta hukum
  6. Karena ‘usr ( kesulitan) dan umumu al-balwa ( kesulitan yang umum), misal debu dijalan yang bercampur dengan kotoran, pada hakikatnya itu najis. Tetapi karena itu sulit untuk dihindari maka hukumnya dimaafkan
  7. Karena naqish ( kekurangan ), misalnya anak kecil dan orang gila. Mereka tidak mendapatkan beban hukum.

Sedangkan bentuk-bentuk keringanan ada enam, yaitu;

  1. Keringanan pengguguran, misal ibadah haji itu menjadi tidak wajib bagi orang yang mampu karena kondisi tidak aman, dan membahayakan jiwanya.
  2. Keringanan pengurangan, misal diperbolehkan melakukan shalat qashar ketika dalam bepergian.
  3. Keringanan penggantian, misalnya dalam kondisi sakit tidak boleh menyentuh air wudlu, wudlunya boleh diganti tayammum.
  4. Keringanan mendahulukan, misal jama’ taqdim.
  5. Keringanan mengakhirkan, misalnya jama’ ta’khir
  6. Keringanan kemurahan, dalam kondisi sangat lapar kalau tidak makan bisa mati, sedangkan makanan yang ada hanya daging babi, maka itu boleh dimakan.

v      الأشباه و النظائر في قواعد و فروع فقه الشافعية (ص: 77) مكتبة الشاملة

واعلم أن أسباب التخفيف في العبادات وغيرها سبعة:

الأول: السفر.

قال النووي: ورخصه ثمانية منها: ما يختص بالطويل قطعا وهو القصر والفطر والمسح أكثر من يوم وليلة.ومنها: ما لا يختص به قطعا, وهو ترك الجمعة وأكل الميتة.ومنها: ما فيه خلاف, والأصح اختصاصه به وهو الجمع.ومنها: ما فيه خلاف, والأصح عدم اختصاصه به, وهو التنفل على الدابة وإسقاط الفرض بالتيمم. واستدرك ابن الوكيل رخصة تاسعة, صرح بها الغزالي وهي:ما إذا كان له نسوة وأراد السفر, فإنه يقرع بينهن. ويأخذ من خرجت لها القرعة, ولا يلزمه القضاء لضراتها إذا رجع. وهل يختص ذلك بالطويل؟ وجهان, أصحهما: لا.

الثاني: المرض. ورخصه كثيرة, التيمم عند مشقة استعمال الماء, وعدم الكراهة في الاستعانة بمن يصب عليه أو يغسل أعضاءه, والقعود في صلاة الفرض. وخطبة الجمعة والاضطجاع في الصلاة, والإيماء والجمع بين الصلاتين على وجه اختاره النووي والسبكي والأسنوي والبلقيني, ونقل عن النص, وصح فيه الحديث وهو المختار, والتخلف عن الجماعة والجمعة مع حصول الفضيلة كما تقدم, والفطر في رمضان وترك الصوم للشيخ الهرم مع الفدية, والانتقال من الصوم إلى الإطعام في الكفارة, والخروج من المعتكف وعدم قطع التتابع المشروط في الاعتكاف, والاستنابة في الحج وفي رمي الجمار ; وإباحة محظورات الإحرام مع الفدية, والتحلل على وجه. فإن شرطه فعلى المشهور, والتداوي بالنجاسات وبالخمر على وجه, وإساغة اللقمة بها إذا غص بالاتفاق, وإباحة النظر حتى للعورة والسوأتين

الثالث: الإكراه.

الرابع: النسيان

الخامس: الجهل وسيأتي لها مباحث.

السادس: العسر وعموم البلوى. كالصلاة مع النجاسة المعفو عنها, كدم القروح والدمامل والبراغيث, والقيح والصديد, وقليل دم الأجنبي وطين الشارع, وأثر نجاسة عسر زواله, وذرق الطيور إذا عم في المساجد والمطاف وما يصيب الحب في الدوس من روث البقر وبوله  – إلى أن قال –

السبب السابع: النقص

فإنه نوع من المشقة إذ النفوس مجبولة على حب الكمال, فناسبه التخفيف في التكليفات.

فمن ذلك: عدم تكليف الصبي, والمجنون, وعدم تكليف النساء بكثير مما يجب على الرجال: كالجماعة, والجمعة, والجهاد والجزية, وتحمل العقل, وغير ذلك وإباحة لبس الحرير, وحل الذهب, وعدم تكليف الأرقاء بكثير, مما على الأحرار, ككونه على النصف من الحر في الحدود والعدد وغير ذلك

3.Cabang Kaidah

إذَا ضَاقَ الأمْرُ إتَّسَعَ

“ Apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas”.

            Kaidah ini merupakan kaidah yang dibuat oleh Imam Syafi’i. Maksud dari  kaidah ini adalah bila sesuatu itu ada kesempitan / kesukaran dalam menjalankannya, maka dalam kaidah ini “ wilayah-wilayah” yang semula dilarang menjadi diperbolehkan, sehingga wilayah-wilayah menjadi luas. Misalnya seseorang dalam perjalanan, ia tidak mendapatkan makanan apapun kecuali daging babi, bila ia tidak memakannya ia akan mati kelaparan, tapi bila ia memakannya itu diharamkan. Maka dalam keadaan sulit semacam ini ia diperbolehkan makan daging babi itu.

إذَا إتَّسَعَ الأمْرَ ضَاقَ

“ Jika suatu perkara itu luas, maka hukumnya menjadi sempit”.

            Kaidah ini merupakan kebalikan dari kaidah di atas. Maksudnya, bila dalam kondisi sempit / mendesak maka hukumnya menjadi luas ,akan tetapi bila keadaan tidak mendesak / sudah normal kembali maka hukumnya kembali pada keadaan semula ( sempit ). Misalnya setelah seseorang itu sampai di tempat tujuan, dan disana sudah banyak makanan, maka daging babi ( makanan yang haram ) yang asalnya itu boleh dimakan dalam kondisi terpaksa/ sempit, menjadi haram kembali.

            Dua kaidah di atas oleh Imam al-Ghozali digabungkan menjadi satu,yaitu:

كُلُّ مَا تَجَاوَزَ حَدَّهُ إنْعَكَسَ إلَى ضِدِّهِ

“ semua yang melampaui batas, maka ( hukumnya ) berbalik kepada kebalikannya”.

            Misal, dalam keadaan biasa pada dasarnya saksi adalah seorang laki-laki yang terpercaya, namun apabila tiada laki-laki sama sekali maka boleh digantikan pada wanita atau bahkan anak kecil. Tetapi bila dalam kondisi memungkinkan saksi harus laki-laki.

WALLOHU A’LAM

Leave your comment here: