KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL KE II Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (LBM-PWNU) Sumatera Selatan

KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL KE II Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama  (LBM-PWNU) Sumatera Selatan

KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL KE II Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama

(LBM-PWNU) Sumatera Selatan

Di Pon. Pes. Al-Falah Ds. Putak Kec. Gelumbang Kab. Muara Enim

  1. Amil Zakat

Ada beberapa cara penyaluran zakat yang dilakukan oleh para hartawan dan dermawan di masyarakat kita, baik dengan penyaluran sendiri ke para mustahiq zakat atau melalui lembaga-lembaga tertentu yang menawarkan jasa sebagai penyalur dan pengelola harta zakat, di antaranya seperti BAZIS dan lembaga swasta yang disebut Rumah Zakat. Rumah Zakat Indonesia merupakan Organisasi Pengelola Zakat terbesar pengumpulan donasinya se-Indonesia, sehingga pada tahun 2009 hasil pengumpulan dana zakatnya mencapai 107,3 milyar rupiah.

Pertanyaan:

  1. Siapa saja yang bisa mengangkat Amil sebagai petugas penyalur Zakat?
  2. Adakah batasan bagian bagi Amil yang telah disahkan di dalam harta zakat tersebut?
  3. Bagaimana hukumnya Amil mengelola harta Zakat dengan maksud agar lebih bermanfaat?

Jawaban:

  1. Yang bisa menunjuk dan mengangkat amil (petugas) zakat adalah pemerintah setempat.

اَلْمَوْسُوْعَةُ الْفِقْهِيَّةُ اْلكُوَيْتِيَّةُ: 2/ 10543

اَلْعَامِلُ عَلَى الزَّكَاةِ هُوَ الْمُتَوَلِّي عَلَى الصَّدَقَةِ وَالسَّاعِيْ لِجَمْعِهَا مِنْ أَرْبَابِ الْمَالِ، وَالْمُفَرِّقُ عَلَى أَصْنَافِهَا إِذَا فَوَّضَهُ اْلإِمَامُ بِذَلِكَ .

Kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiah, Juz II, hlm 10543:

“Amil zakat adalah : orang yang mengatur zakat dan mengumpulkannya dari pemilik harta, serta membagikannya pada golongan penerima zakat, hal tersebut apabila dia (amil) diangkat oleh pemerintah untuk mengurusi hal tersebut diatas.”

فِقْهُ السُّنَّةِ: 1/ 386

اَلْعَامِلُوْنَ عَلَى الزَّكَاةِ، وَهُمُ الَّذِيْنَ يُوَلِّيْهِمُ اْلاِمَامُ أَوْ نَائِبُهُ اْلعَمَلَ عَلَى جَمْعِهَا مِنَ اْلاَغْنِيَاءِ. وَهُمُ الْجُبَاةُ، وَيَدْخُلُ فِيْهِمُ الْحَفَظَةُ لَهَا، وَالرُّعَاةُ لِلْاَنْعَامِ مِنْهَا، وَاْلكَتَبَةُ لِدِيْوَانِهَا.

Kitab Fiqh as-Sunnah, Juz I, hlm 386:

“Amil-amil zakat adalah : mereka yang diberi kekuasaan (mandat) dari permerintah atau wakilnya untuk mengerjakan pengumpulan zakat dari orang-orang kaya …….. termasuk amil adalah orang-orang yang menjaga harta zakat, pengembala binatang ternaknya zakat dan orang-orang yang mencatat pada pembukuan zakat.”

  1. Batasan bagian yang diberikan kepada amil adalah ujroh al-mitsl, yaitu sebesar ongkos/upah yang berlaku di wilayah setempat.

شَرْحُ الْبَهْجَةِ الوردية: 14/ 81

(الثَّالِثُ الْعَامِلُ فِيهَا ) أَيْ فِي الزَّكَاةِ وَإِنْ كَانَ غَنِيًّا ( الْأَجْرُ لَهْ ) أَيْ لَهُ أُجْرَةُ الْمِثْلِ دُونَ السَّهْمِ ؛ لِأَنَّ اسْتِحْقَاقَهُ بِالْعَمَلِ ….. فَإِنْ كَانَ سَمَّى لَهُ أَكْثَرَ مِنْ أُجْرَةِ الْمِثْلِ بَطَلَتْ التَّسْمِيَةُ وَاسْتَحَقَّ أُجْرَةَ الْمِثْلِ.

Kitab Syarh al-Bahjah al-Wardiah, Juz 14, hlm 81:

“Yang ketiga adalah  Amil zakat walaupun kaya, dia mendapatkan upah yang sepadan dengan pekerjaannya, tidak mendapatkan bagian pasti karena haknya didapatkan sebab bekerja. Dan apabila bagiannya ditentukan melebihi ujroh al-mitsli, maka tidak dibenarkan dan dia hanya berhak mendapatkan upah sepadan.”

  1. Tidak boleh, apabila tidak mendapat izin dari mustahiq (orang yang berhak atas bagian) zakat tersebut.

اَلْمَجْمُوْعُ شَرْحُ الْمُهَذَّبِ: 6/178

قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى, وَلاَ يَجُوْزُ لِلسَّاعِيْ وَلاَ لِلْاِمَامِ اَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْمَا يَحْصُلُ عِنْدَهُ مِنَ الْفَرَائِضِ حَتىَّ يُوْصِلَهَا اِلَى أَهْلِهَا ِلاَنَّ اْلفُقَرَاءَ اَهْلُ رُشْدٍ لاَ يُوَلىَّ عَلَيْهِمْ فَلاَ يَجُوْزُ التَّصَرُّفُ فِي مَالِهِمْ بِغَيْرِ اِذْنِهِمْ.

Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, Juz 6, hlm 178:

“Kyai pengarang berkata tidak diperbolehkan bagi pengurus zakat atau pemerintah untuk mengelola sesuatu yang terkumpul dari beberapa harta benda yang wajib sehingga menyerahkannya pada pemiliknya, karena orang fakir adalah orang yang cakap dalam mengelola harta maka tidak boleh mengelola hartanya tanpa izin dari mereka.”

  1. Ashnaf (golongan) penerima Zakat.
  2. Bagaimana batasan atau kriteria-kriteria sehingga seseorang dikategorikan sebagai faqir dan miskin yang berhak menerima zakat?
  3. Adakah ketentuan bagi seorang muallaf di dalam lamanya ia memeluk agama Islam (terhitung sejak ia bersyahadah masuk agama Islam), sehingga ia dikategorikan sebagai orang yang berhak menerima zakat?
  4. Di dalam penyaluran zakat, salah satu kelompok yang berhak menerimanya adalah golongan fi sabilillah atau sabilil khoir yang pada masa sekarang termasuk di dalamnya adalah para guru TPA, Khotib, Imam dsb. Bagaimana hukumnya jika mereka menerima bagian zakat, sedangkan mereka sudah menerima tunjangan/gaji dari pemerintah setempat/yayasan terkait?

Jawaban:

  1. Fakir adalah orang yang tidak memiliki kecukupan harta untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan juga tidak memiliki pekerjaan. Termasuk kategori fakir ialah orang yang mempunyai harta dan pekerjaan tetapi semuanya masih dibawah 50% dari kebutuhan hidup dirinya dan keluarga yang wajib ia nafkahi. Jika harta yang dimiliki dan penghasilan dari pekerjaannya sudah mencapai di atas 50% dari kadar kebutuhannya yang layak tetapi masih tidak mencukupi, maka ia tergolong miskin. Untuk batasan kecukupan seseorang yang memiliki pekerjaan adalah tercukupinya kebutuhan sehari-hari. Sedangkan bagi orang yang tidak memiliki pekerjaan (seperti orang lumpuh) adalah tercukupinya kebutuhan seumur hidup (dengan ukuran usia rata-rata manusia/62 tahun).

اَلْفِقْهُ اْلاِسْلاَمِيّ وَأَدِلَّتُهُ: 3 /1952

فَالْفَقِيْرُ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ… ، هُوَ مَنْ لاَ مَالَ لَهُ وَلاَ كَسْبَ اَصْلاً، اَوْكَانَ يَمْلِكُ اَوْ يَكْتَسِبُ أَقَلَّ مِنْ نِصْفِ مَا يَكْفِيْهِ لِنَفْسِهِ وَمَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُ (مَمُوْنُهُ) مِنْ غَيْرِ اِسْرَافٍ وَلاَ تَقْتِيْرٍ. وَالْمِسْكِيْنُ: هُوَ مَنْ يَمْلِكُ اَوْ يَكْتَسِبُ نِصْفَ مَا يَحْتَاجُهُ فَاَكْثَرَ، وَلَكِنْ لاَيَصِلُ اِلَى قَدْرِ كِفَايَتِهِ. وَالْمُرَادُ بِالْكِفَايَةِ فِى حَقِّ اْلمُكْتَسِبِ: كِفَايَةُ يَوْمٍ بِيَوْمٍ، وَفِى حَقِّ غَيْرِهِ: مَا يَبْقَى مِنْ عُمْرِهِ الْغَالِبِ وَهُوَ اِثْنَانِ وَسِتُّوْنَ سَنَةً.

Kitab Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu, Juz 3, hlm 1952:

“Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah Faqir adalah orang yang tidak memiliki harta benda dan pekerjaan sama sekali, atau memiliki harta atau pekerjaan namun penghasilannya tidak sampai separuh dari kecukupannya dan kecukupan orang yang harus ia nafkahi dengan tidak boros dan tidak terlalu hemat (irit). Miskin adalah orang yang memiliki harta benda atau pekerjaan yang penghasilannya mencapai separuh lebih namun masih belum mencukupi kebutuhannya. Yang dimaksud dengan mencukupi bagi yang mempunyai pekerjaan adalah : kecukupan sehari-hari. Bagi yang tidak memiliki pekerjaan (seperti lumpuh) adalah harta yang mencukupi untuk kebutuhan seumur hidup (62 Th).”

  1. Batasan muallaf adalah orang yang baru memeluk agama Islam menurut penilaian umum (urf).

اَلْفِقْهُ اْلاِسْلاَمِيُّ وَأَدِلَّتُهُ: 3/2004

وَأَمَّا الْمُؤَلَّفَةُ الْمُسْلِمُوْنَ فَيُعْطَوْنَ مِنَ الزَّكَاةِ اِتِّفَاقًا اِذَا كَانُوْا حَدِيْثِيْ عَهْدٍ بِإِسْلاَمٍ لِيَتَمَكَّنَ اْلاِسْلاَمُ فِى نُفُوْسِهِمْ كَمَا ذَكَرَ الدَّسُوْقِيُّ،

Kitab Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu, Juz 3, hlm 2004:

“Al-Mu’allafah Al-Muslimun maka mereka diberi zakat menurut sepakatnya ulama’ apabila mereka baru masanya memeluk agama islam supaya agama islam itu menetap dalam hatinya. Seperti penjelasan Imam Ad-Dasuqi.”

اَلْأَشْبَاهُ وَالنَّظَائِرُ: 1/ 180

الْمَبْحَثُ الْخَامِسُ قَالَ الْفُقَهَاءُ : كُلُّ مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ مُطْلَقًا ، وَلَا ضَابِطَ لَهُ فِيهِ ، وَلَا فِي اللُّغَةِ ، يُرْجَعُ فِيهِ إلَى الْعُرْفِ .

Kitab Al-Asybah Wa An-Nadzoir, Juz I, hlm 180:

“Pembahasan yang kelima adalah ungkapan Ulama’ Fiqh: “semua perkara yang dibawa oleh syara’ yang bersifat mutlak, serta tidak memiliki batasan pasti didalam syara’ maupun kebahasaan, maka perkara tersebut dikembalikan pada ‘Urf.”

  1. Mereka yang tersebut di atas tidak berhak lagi menerima bagian zakat dengan meng-atas namakan golongan fi sabilillah/sabilil khair karena telah memperoleh gaji/tunjangan dari pekerjaan atau jasa yang dilakukannya.

شَرْحُ مُخْتَصَرِ خَلِيْلٍ لِلْمَالِكِيِّ: 6/350 – 351

فَقَدْ أَجَابَ سَيِّدِي مُحَمَّدٌ الصَّالِحُ بْنُ سُلَيْمٍ الْأَوْجَلِيُّ حِينَ سُئِلَ عَنْ إعْطَاءِ الزَّكَاةِ لِلْعَالِمِ الْغَنِيِّ وَالْقَاضِي وَالْمُدَرِّسِ وَمَنْ فِي مَعْنَاهُمْ مِمَّنْ نَفْعُهُ عَامٌّ لِلْمُسْلِمِينَ بِمَا نَصُّهُ : الْحَمْدُ لِلَّهِ يَجُوزُ إعْطَاءُ الزَّكَاةِ لِلْقَارِئِ وَالْعَالِمِ وَالْمُعَلِّمِ وَمَنْ فِيهِ مَنْفَعَةٌ لِلْمُسْلِمِينَ وَلَوْ كَانُوا أَغْنِيَاءَ لِعُمُومِ نَفْعِهِمْ وَلِبَقَاءِ الدِّيْنِ كَمَا نَصَّ عَلَى جَوَازِهَا ابْنُ رُشْدٍ وَاللَّخْمِيُّ وَقَدْ عَدَّهُمْ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ الَّتِي تُعْطَى لَهُمْ الزَّكَاةُ حَيْثُ قَالَ {وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ}…. قَالَ شَيْخُنَا السَّيِّدُ مُحَمَّدٌ : هَذَا كُلُّهُ مَا لَمْ يَكُنْ لَهُمْ رَاتِبٌ فِي بَيْتِ الْمَالِ.

Kitab Syarh Muhtashor Kholil Li al-Malikiy, Juz 6, hlm 350-351:

“Sayyidi Muhammad Sholih bin Sulaim Al-Aujali memberikan jawaban ketika ditanya tentang pemberian zakat kepada orang ‘alim yang kaya, Qodhi, Guru, dan orang-orang yang semakna dengan mereka dari golongan orang yang memberikan manfaat secara luas kapada kaum muslimin dengan redaksi jawaban: “ segala puji bagi Allah, diperbolehkan memberikan zakat kepada seorang Qori’(ahli baca al-Qur’an), orang ‘alim, guru, dan setiap orang yang memberi kemanfaatan kepada kaum muslimin meskipun mereka adalah orang kaya, di karenakan memberi manfaat secara luas serta demi kelestarian agama (Islam) sebagaimana diungkapkan pula oleh Ibnu Rusyd dan Al-Lakhmi tentang hukum bolehnya. Dan Allah SWT mengelompokkan mereka kedalam delapan golongan orang-orang yang berhak menerima zakat sebagaimana Allah berfirman “(dan orang yang berjuang di jalan Allah) …… Syaikh Sayyid Muhammad berkata: “hukum ini berlaku selama mereka tidak mendapat tunjangan dari baitul mal.”(red.)

  1. Zakat Fitrah
  2. Dengan tinjauan berbagai Madzhab, bagaimana hukum pembayaran zakat fitrah dengan memakai uang? Jika diperbolehkan, senilai berapa kilogram beras uang yang harus dikeluarkan?

Jawaban:

  1. Membayar zakat fitrah dengan memakai uang diperbolehkan menurut madzhab Hanafiah dengan pertimbangan kemanfaatannya yang lebih besar. Adapun jumlah zakat yang dikeluarkan adalah sebesar harga beras satu sha’ / 2,7 kg menurut Imam Abu Yusuf (seorang ulama pengikut Madzhab Hanafi).

اَلْفِقْهُ عَلَى اْلمَذَاهِبِ اْلاَرْبَعَةِ: 1/989

اَلْحَنَفِيَّةُ قَالُوْا: حُكْمُ صَدَقَةِ اْلفِطْرِ الْوُجُوْبُ بِالشَّرَائِطِ اْلآتِيَةِ…. وَيَجُوْزُ لَهُ أَنْ يُخْرِجَ قِيْمَةَ الزَّكَاةِ الْوَاجِبَةِ مِنَ الْنُقُوْدِ بَلْ هَذَا أَفْضَلُ لِأَنَّهُ أَكْثَرُ نَفْعًا لِلْفُقَرَاءِ.

Kitab Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arbi’ah, Juz 1, hlm 989:

“Ulama’ hanafiah berkata: “zakat fitrah berhukum wajib dengan syarat-syarat yang akan disebutkan …… boleh bagi Muzakki (wajib zakat) untuk membayar zakat wajib dengan uang senilai zakat tersebut; bahkan hal ini lebih utama karena dianggap lebih banyak manfaatnya bagi orang-orang fakir.”

رَحْمَةُ اْلأُمَّةِ فِي اخْتِلاَفِ اْلأَئِمَّةِ: ص.87

وَاتَّفَقُوْا عَلَى أَنَّ الْوَاجِبَ صَاعٌ بِصَاعِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ كُلِّ جِنْسٍ مِنَ الْخَمْسِ إِلاَّ أَباَ حَنِيْفَةَ، فَقَالَ: يُجْزِئُ مِنَ الْبُرِّ نِصْفُ صَاعٍ، ثُمَّ اخْتَلَفُوْا فِي قَدْرِ الصَّاعِ، فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَمَالِكٌ وَاَحْمَدُ وَأَبُوْ يُوْسُفَ: هُوَ خَمْسَةُ أَرْطَالٍ وَثُلْثٌ بِاْلعِرَاقِيّ، وَقَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ: ثَمَانِيَةُ أَرْطَالٍ.

Kitab Rahmah al-Ummah Fi Ikhtilaf al-A’immah, hlm 87:

“Ulama’ bersepakat bahwa yang wajib dikeluarkan (dalam zakat fitrah) adalah satu sho’ dengan takaran sho’-nya Rasulullah SAW dari setiap jenis dari lima jenis makanan pokok, kecuali menurut Abu Hanifah yang berkata: zakatnya gandum putih adalah setengah sho’. Akan tetapi ulama’ berbeda pendapat tentang ukuran satu sho’. Menurut Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Abu Yusuf (ulama’ Hanafiah) : satu sho’ sama dengan 5 rithl Iraq. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah adalah 8 rithl.”

اِتْحَافُ السَّادَةِ الْمُتَّقِيْنَ: 4/ 54

(فَصْلٌ) وَقَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ وَمُحَمَّدٌ الصَّاعُ النَّبَوِيُّ ثَمَانِيَةُ أَرْطَالٍ بِالْبَغْدَادِيّ… وَخَالَفَ فِي ذَلِكَ أَخَرُوْنَ فَقَالُوْا وَزْنُهُ خَمْسَةُ أَرْطَالٍ وَثُلْثُ رِطْلٍ، وَمِمَّنْ قَالَ بِذَلِكَ أَبُوْ يُوْسُفَ.

Kitab Ittihaf as-Saadat al-Muttaqiin, Juz 4, hlm 54:

“(Pasal) Imam Abu Hanifah dan Syaikh Muhammad mengungkapkan bahwa satu sho’-nya Nabi adalah 8 rithl Bagdad….. Ulama’ yang lain berbeda pendapat akan hal ini dengan mengatakan bahwa : “satu sho’ adalah 5 rithl, diantara yang mengungkapkan hal ini adalah Imam Abu Yusuf.”

  1. Shalat dalam Kondisi Sakit

Shalat fardlu lima waktu merupakan kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan dalam kondisi dan situasi bagaimanapun. Namun demikian, syara’ telah memberikan beberapa solusi dan cara bagi orang yang berada dalam kondisi tidak normal atau di luar lazimnya untuk tetap melaksanakan kewajiban salat tersebut, seperti dalam keadaan sakit, perjalanan dan sebagainya. Berkaitan dengan ini, sering kita temukan orang yang menderita sakit stroke (gangguan aliran darah) dengan berefek pada ketidakstabilan kesadaran dan kondisi tubuhnya.

Pertanyaan:

  1. Bagaimana hukum salat dan puasanya orang yang menderita penyakit stroke dengan kondisi yang tidak menentu, terkadang ia sadar atau mampu untuk melakukan gerakan salat dan terkadang sebaliknya? Apakah ia tetap wajib untuk shalat/puasa ataukah tidak?
  2. Bagaimana cara bersuci dan shalatnya orang dalam kondisi tersebut?

Jawaban:

  1. Puasanya tetap dihukumi wajib, sehingga jika ia tidak berpuasa maka wajib untuk meng-qadla’-nya. Sedangkan dalam masalah shalat, jika kesadarannya itu berlangsung lama yang kiranya mencukupi untuk melaksanakan shalat ( جاء المانع ), namun dia belum sempat melaksanakan maka ia tetap diwajibkan meng-qodho’ shalat, dan sebaliknya jika masa kesadarannya itu tidak mencukupi untuk melaksanakan shalat maka ia tidak wajib meng-qadla’ lantaran meninggalkan salat pada waktu itu. Dan apabila sebelum masuk waktu dia tidak sadarkan diri kemudian dia sadar sebelum habis waktu sholat ( زوال المانع ), sekiranya waktu yang tersisa masih mencukupi untuk takbirotul ihrom maka dia wajib meng-qodho’ sholat itu dan shalat sebelumnya bila bisa dijama’.

تخفة المختاج: 5/16

( قَوْلُهُ : أَوْ ذِي جُنُونٍ ، أَوْ إغْمَاءٍ إلَخْ ) سَوَاءٌ قَلَّ زَمَنُ ذَلِكَ أَمْ طَالَ وَإِنَّمَا وَجَبَ قَضَاءُ الصَّوْمِ عَلَى مَنْ اسْتَغْرَقَ إغْمَاؤُهُ جَمِيعَ النَّهَارِ لِمَا فِي قَضَاءِ الصَّلَاةِ مِنْ الْحَرَجِ لِكَثْرَتِهَا بِتَكَرُّرِهَا بِخِلَافِ الصَّوْمِ نِهَايَةٌ وَمُغْنِي ( قَوْلُهُ : أَوْ سُكْرٍ ) وَمِثْلُ مَا ذُكِرَ الْمَعْتُوهُ ، وَالْمُبَرْسَمُ مُغْنِي وَنِهَايَةٌ وَشَرْحُ بَافَضْلٍ وَفِي الْقَامُوسِ الْمَعْتُوهُ هُوَ نَاقِصُ الْعَقْلِ ، أَوْ فَاسِدُهُ ، وَالْمُبَرْسَمُ هُوَ الَّذِي أَصَابَتْهُ عِلَّةٌ يَهْذِي فِيهَا.

Kitab Tuhfah Al-Mukhtaj, Juz 5, hlm 16:

“Memang wajib mengqodho’ puasa bagi seseorang yang pingsannya selama seharian penuh karena adanya kesusahan dalam mengqodho’ sholat dikarenakan banyak serta berulang-ulangnya sholat, lain halnya dengan ibadah puasa.

Seperti hukum di atas adalah orang yang kurang atau rusak akalanya dan orang yang mengidap penyakit radang selaput dada yang bisa mengakibatkan orang mengigau (ngelantur: jawa).”

اَلْفِقْهُ عَلَى الْمَذَاهِبِ الاَرْبَعَةِ: 1/87

اَلثَّانِي : التَّمْيِيْزُ فَلاَ يَصِحُّ مِنْ غَيْرِ مُمَيِّزٍ فَإِنْ كَانَ مَجْنُوْنًا لاَ يَصِحُّ صَوْمُهُ وَإِنْ جَنَّ لَحْظَةً مِنْ نَهَارٍ وَإِنْ كَانَ سَكْرَانَ أَوْ مُغْمًى عَلَيْهِ لاَ يَصِحُّ صَوْمُهُمَا إِذَا كَانَ عَدَمُ التَّمْيِيْزِ مُسْتَغْرِقًا لِجَمِيْعِ النَّهَارِ أَمَّا إِذَا كَانَ فِي بَعْضِ النَّهَارِ فَقَطْ فَيَصِحُّ وَيَكْفِي وُجُوْدُ التَّمْيِيْزِ وَلَوْ حُكْمًا فَلَوْ نَوَى الصَّوْمَ قَبْلَ الْفَجْرِ وَنَامَ إِلَى اْلغُرُوْبِ صَحَّ صَوْمُهُ لِأَنَّهُ مَمَيِّزٌ حُكْمًا.

Kitab Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz 1, hlm 87:

“Yang kedua Tamyiz: maka tidak sah berpuasa bagi selain tamyiz. Apabila seseorang itu gila maka tidak sah puasnya walaupun gilanya hanya sebentar, apabila mabuk atau tidak sadarkan diri maka tidak sah puasanya apabila tidak sadarnya itu selama sehari penuh, dengan demikian bila mana mereka mendapatkan tamyiz di sebagian hari saja maka sah puasnya, dan dalam permasalahan tamyiz ini cukup dengan adanya tamyiz  walaupun sebatas hukum, andai kata seseorang berniat puasa sebelum fajar lalu dia tidur sampai magrib maka puasanya sah karena orang tersebut tamyiz secara hukum.”

رَوْضَةُ الطَّالِبِيْنَ: 1/170

أَمَّا إِذَا كَانَ الْمَاضِي مِنَ اْلوَقْتِ لاَ يَسَعُ تِلْكَ الصّلاَةَ فَلاَ يَجِبُ عَلَى الْمَذْهَبِ وَبِهِ

 قَطَعَ الْجَمَاهِيْرُ وَقاَلَ أَبُوْ يَحْيَى الْبَلْخِي وَغَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِنَا حُكْمُ أَوَّلِ الْوَقْتِ حُكْمُ آخِرِهِ فَيَجِبُ اْلقَضَاءُ بِإِدْرَاكِ رَكْعَةٍ أَوْ تَكْبِيْرَةٍ عَلَى اْلأَظْهَرِ.

Kitab Roudhoh al-Tholibin, Juz I, hlm 170:

“Andai kata waktu yang telah lampau tidak muat untuk melaksanakan sholat maka qodho’ sholat tersebut tidak wajib menurut madzab syafi’i yang juga dipastikan oleh mayoritas ulama, Abu Yahya al-Balkhiy dan sebagian penganut syafi’i mengatakan bahwasannya hukum diawal waktu itu seperti hukum diakhir waktu dengan demikian wajib mengqodho’ sholat karena mendapatkan waktu yang cukup untuk sholat satu rokaat atau takbirotul ihrom berdasarkan qoul yang lebih jelas.”

سلم التوفيق 1 / 72

فَاِنْ طَرَأَ مَانِعٌ كَحَيْضٍ بَعْدَ مَامَضَى مِنْ وَقْتِهَا مَا يَسَعُهَا وَطُهْرُهَا لِنَحْوِ سَلِسٍ لَزِمَهُ قَضَاؤُهَا اَوْ زَالَ الْمَانِعُ وَقَدْ بَقِيَ مِنَ اْلوَقْتِ قَدْرَ تَكْبِيْرَةٍ لَزِمَتْهُ وَكَذَا مَا قَبْلَهَا اِنْ جُمِعَتْ مَعَهَا .

Kitab Sulam al-Taufiq, Juz I, hlm 72:

“Apabila dating sesuatu untuk menghalangi untuk sholat seperti haid setelah lewatnya waktu yang cukup untuk melaksanakan sholat, dan cukup untuk bersuci bagi orang yang selalu hadats maka wajib meng-qodho’ sholat tersebut, atau hilangnya sesuatu yang menghalangi sholat dan masih tersisi waktu yang cukup untuk takbirotul ihrom maka wajib melaksanakan sholat tersebut dan sholat sebelumnya apabila bisa dijama’.”

  1. Bersuci dalam kondisi di atas diperbolehkan dengan mengusapkan kain yang telah dibasahi kepada anggota yang sakit, dengan syarat air basahan kain tersebut bisa menetes pada anggota wudlu’.

شَرْحُ الْوَجِيْزِ:2/295

(اَلْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ) وَيَخَافَ مِنْ اِيْصَالِ الْمَاءِ إِلَيْه فَيُغْسَلُ الصَّحِيْحُ بِقَدْرِ اْلاِمْكَانِ وَيُتَلَطَّفُ إِذَا خَافَ سَيْلاَنَ الْمَاءِ إِلَى مَوْضِعِ اْلعِلَّةِ بِوَضْعِ خِرْقَةٍ مَبْلُوْلَةٍ بِالْقُرْبِ مِنْهُ وَيَتَحَامَلُ عَلَيْهَا لِيَنْغَسِلَ بِالْمُتَقَاطِرِ مِنْهَا

Kitab Syarh al-Wajiz, Juz 2, hlm 290:

“Masalah kedua : mutawadhi khawatir akan mengalirnya air pada luka, orang ini harus membasuh anggota yang sehat semampunya. Dan pelan-pelan dengan meletakkan kain yang dibasahi didekat anggota yang sakit serta menekan sedikit supaya anggotanya terbasuh dengan tetesan air tersebut, bila mana dia takut untuk menalirkan air.”

فَتَاوَى السُّبْكَةِ اْلاِسْلاَمِيَّةِ: 130/296

وَقَالَ آخَرُوْنَ وَهُوَ قَوْلُ أَصْحَابِنَا وَعَامَّةُ الْفُقَهَاءِ: (عَلَيْهِ إِجْرَاءُ الْمَاءِ عَلَيْهِ وَلَيْسَ عَلَيْهِ دَلْكُهُ بِيَدِهِ ).

Kitab Fatawi al-Sabkah al-Islamiyah, Juz 130, hlm 296:

“Berkata ulama’ yang lain yaitu pendapat ulama’ Syafi’iyah dan seluruh ulama’ fiqh bahwa wajib atas orang yang wudhu untuk mengalirkan air pada anggota wudhu, dan tidak dicukupkan hanya sekedar menggosok dengan tangan.”

 

  1. Qadha’ (membayar hutang) Shalat

Fenomena yang banyak kita temukan di masyarakat adalah sikap antusias mereka di dalam menyambut datangnya bulan Ramadlan, seperti dengan berbondong-bondong pergi ke masjid untuk melaksanakan salat sunah tarawih berjamaah, meskipun mungkin ada di antara mereka yang sesekali bahkan sering meninggalkan salat fardlu lima waktu, terutama pada bulan selain Ramadlan.

Pertanyaan:

  1. Berdasarkan kitab I’anah al-Thalibin (Hasyiyah Fath al-Mu’in) Juz 1 hal. 23 (cet. Toha Putra Semarang), bahwa orang yang masih mempunyai tanggungan untuk meng-qadha’ (membayar hutang) shalat, ia diharamkan untuk melakukan shalat sunnah, seperti tarawih. Adakah pendapat yang memperbolehkannya, meskipun masih memiliki tanggungan qhadha’ tersebut?
  2. Bagaimana cara meng-qhadha’ shalat yang jumlahnya tidak diketahui atau lupa?

Jawaban:

  1. Ada, yaitu keterangan dalam kitab Al-Majmu’, bahwa seseorang yang masih mempunyai tanggungan sholat fardhu sah dan mendapatkan pahala bila melaksanakan sholat-sholat sunnah.

اَلْمَجْمُوْعُ شَرْحَ الْمُهُذَّبِ : 4 / 57

(فَرْعٌ) تَصِحُّ النَّوَافِلُ وَتُقْبَلُ وَاِنْ كَانَتِ الْفَرَائِضُ نَاقِصَةً لِحَدِيْثَيْ اَبِي هُرَيْرَةَ وَتَمِيْمٍ الدَّارِيّ السَّابِقَيْنِ فِي الْمَسْأَلَتَيْنِ التَّاسِعَةِ وَالْعَاشِرَةِ: وَأَمَّا الْحَدِيْثُ الْمَرْوِيُّ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “مثل الْمُصَلِّي مِثْلُ التَّاجِرِ لاَ يَخْلُصُ لَهُ رِبْحُهُ حَتىَّ يَخْلُصَ رَأْسُ مَالِهِ كَذَلِكَ الْمُصَلِّي لاَ تُقْبَلُ نَافِلَتُهُ حَتىَّ يُؤَدِّيَ الْفَرِيْضَةَ” فَحَدِيْثٌ ضَعِيْفٌ بَيَّنَ الْبَيْهَقِيّ وَغَيْرُهُ ضُعْفَهُ.

Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhdzdzab, Juz 4, hlm 57:

“(Far’) Sholat-sholat sunnah berhukum sah dan diterima walaupun masih memiliki kekurangan (dalam meng-qodho’) sholat fardhu karna berdasarkan hadits Abu Hurairah dan Tamimi Ad-Dari yang telah disebutkan dalam masalah kesembilan dan kesepuluh : “ perumpamaan orang yang sholat seperti pedagang yang tidak akan bersih labanya sehingga bersih modalnya, begitu juga orang yang sholat tidak diterima sholat sunnahnya sehingga dia melaksanakan sholat wajib. Maka ini Hadits Dho’if, Imam Baihaqi dan yang lain menjelaskan ke-dho’ifan hadits tersebut.”

  1. Jika kepastian jumlah shalat yang ditinggalkan tidak diketahui, maka wajib meng-qadla shalat sejumlah yang diyakini ditinggalkan atau tidak diragukan. Namun menurut qaul mu’tamad, wajib mengqadla’ shalat yang ditinggalkan dengan melebihi jumlah yang diyakini, yaitu dengan membandingkannya dengan jumlah shalat yang telah dilaksanakan. (misalnya; dalam sebulan ia yakin shalat sebanyak 10 hari, maka dia wajib mengqadla’ shalat melebihi 20 hari).

الشَّرْقَاوِيّ:1/275 – 276

لَوْكَانَ عَلَيْهِ فَوَائِتُ وَاَرَادَ قَضَاؤَهَا سُنَّ تَرْتِيْبُهَا … وَاِذَا كَانَ لاَيَعْرِفُ عَدَدَهَا فَقَالَ

الْقَفَّالُ يَقْضِيْ مَا تَحَقَّقَ تَرْكُهُ اَيْ فَلاَ يَقْضِي الْمَشْكُوْكَ فِيْهِ، وَقَالَ الْقَاضِيْ حُسَيْنٌ

يَقْضِيْ مَا زَادَ عَلَى مَا تَحَقَّقَ فِعْلُهُ فَيَقْضِي مَا ذُكِرَ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ. اهـ

Kitab Al-Syarqowiy, Juz 1, hlm 275-276:

“Apabila seseorang mempunyai beberapa hutang shalat, dan ia bermaksud untuk meng-qadha’ maka disunnahkan meg-qadah’ sesuai urutan shalat. Dan apabila ia tidak mengetahui jumlah hutang shalatnya maka menurut Imam Qofal dia wajib meng-qadha’ shalat yang diyakini ditinggalkan artinya dia tidak meng-qadha’ shalat yang diragukan ditinggalkan. Al-Qodhi Husain berkata: “dia diwajibkan meng-qadha’ dengan jumlah yang melebihi dari shalat yang yakin dikerjakan. Pendapat ini adalah pendapat yang kuat.”

 

  1. Aqiqah

Jika ada seorang yang beraqiqah dengan 7 ekor kambing (misalnya; untuk 3 anak laki-laki dan 1 anak perempuan), bolehkan ia menggantinya dengan 1 ekor sapi, sebagaimana hitungan dalam masalah qurban?

Jawaban: Aqiqah dengan 1 ekor sapi seperti di atas diperbolehkan dan sah.

اَلْمَجْمُوْعُ شَرْحُ الْمُهَذَّبِ: 8 /429

(اَلثَّانِيَةُ) اُلسُّنَةُ أَنْ يُعَقَّ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ. فَاِنْ عُقَّ عَنِ الْغُلاَمِ شَاةٌ حَصَلَ أَصْلُ السُّنَةِ لِمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ وَلَوْ وُلِدَ لَه وَلَدَانِ فَذُبِحَ عَنْهُمَا شَاةٌ لَمْ تَحْصُلْ العَقِيْقَةُ وَلَوْ ذَبَحَ بَقَرَةً أَوْ بَدَنَةً عَنْ سَبْعَةِ أَوْلاَدٍ أَوِ اشْتَرَكَ فِيْهَا جَمَاعَةٌ جَازَ سَوَاءٌ أَرَادُوْا كُلُّهُمْ العَقِيْقَةَ أَوْ أَرَادَ بَعْضُهُمْ العَقِيْقَةَ وَبَعْضُهُمْ اللَحْمَ كَمَا سَبَقَ فِي اْلاُضْحِيَةِ.

Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 8, hlm 429:

“Yang kedua: “ sunnah membuat aqiqoh dua kambing untuk anak laki-laki dan satu kambing untuk anak perempuan. Apabila membuat aqiqoh satu kambing untuk anak laki-laki maka sudah mendapat kesunnahan. Apabila seseorang dikaruniai dua anak kemudian menyembelih satu kambing maka belum dianggap aqiqoh. Dan apabila seseorang menyembelih seekor sapi atau unta untuk tujuh anak, atau sekelompok orang bersama-sama menyembelih seekor sapi atau unta maka hal tersebut boleh, baik mereka semua bertujuan untuk aqiqoh, atau sebagian bertujuan aqiqoh dan sebagian yang lain sekedar mengambil dagingnya. Seperti telah dijelaskan dalam bab qurban.”

 

  1. Fidyah dan Kafarat Puasa
  2. Terhadap kakek yang tidak mampu lagi berpuasa Ramadhan, bolehkah membayar semua fidyah-nya sekaligus pada awal bulan Ramadhan?

Jawaban:

  1. Diperbolehkan membayar Fidyah setiap hari setelah keluarnya fajar.

اَلْمَوْسُوْعَةُ اْلفِقْهِيَّةُ : 2/11539

وَقَالَ النَّوَوِيُّ : اِتَّفَقَ أَصْحَابُنَا عَلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ للِشَّيْخِ الْعَاجِزِ وَالْمَرِيْضِ الَّذِيْ لاَ يُرْجَى بَرَؤُهُ تَعْجِيْلُ الْفِدْيَةِ قَبْلَ دُخُوْلِ رَمَضَانَ، وَيَجُوْزُ بَعْدَ طُلُوْعِ فَجْرِ كُلِّ يَوْمٍ

وَهَلْ يَجُوْزُ قَبْلَ الْفَجْرِ فِيْ رَمَضاَنَ ؟ قَطَعَ الدَّارِمِيّ بِالْجَوَازِ وَهُوَ الصَّوَابُ.

Kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, Juz 2, hlm 11539:

“Imam Nawawi berkata: ulama’ Syafi’iyah sepakat bahwa seorang yang tidak mampu lagi serta orang yang sakit yang tidak lagi diharapkan sembuhnya tidak boleh mempercepat membayar fidyah sebelum masuk romadhon, namun diperbolehkan membayar setelah fajar untuk tiap harinya. Apakah boleh dibayarkan sebelum fajar ? Imam Al-Darimiy berkata boleh.”

 

  1. Wakaf Masjid

Di suatu daerah telah berdiri sebuah masjid tanpa memiliki halaman. Melihat kondisi seperti itu, seorang warga setempat mewakafkan tanahnya yang berada di dekat masjid tersebut, yang kemudian tanah tersebut didirikan masjid baru. Sedangkan  lokasi masjid yang lama dijadikan halamannya.

Pertanyaan:

Bagaimana status halaman bekas masjid lama tersebut? Dan bagaimana status wakafnya, apakah masih sebagai Amal Jariyah atau tidak?

Jawaban: Tetap menjadi tanah wakaf, dan menjadi amal jariyahnya

فَتْحُ الْمُعِيْنِ: 211

(وَلاَ يُبَاعُ مَوْقُوْفٌ وَإِنْ خَرِبَ) فَلَوِ انْهَدَمَ مَسْجِدٌ وَتَعَذَّرَتْ إِعَادَتُهُ: لَمْ يُبَعْ، وَلاَ يَعُوْدُ مِلْكًا بِحَالٍ- ِلاِمْكَانِ الصَّلاَةِ وَاْلاِعْتِكَافِ فِي أَرْضِهِ.

Kitab Fath al-Mu’in, hlm 211:

“Dan tidak diperbolehkan menjual barang yang di-waqof-kan walaupun roboh, maka apabila ada masjid roboh dan tidak bisa dikembalikan maka tidak boleh dijual dan tidak kembali menjadi milik waqif, karena masih bisa shalat dan I’tikaf ditanah tersebut.”

Leave your comment here: