CARA DARI IMAM ABU HASAN AS-SADZILY AGAR KITA TIDAK WAS-WAS KETIKA SHOLAT
CARA MENCEGAH WAS-WAS DARI IMAM ABUL HASAN AS SYADZILI
Untuk mencegah was was sebagaimana yang di ajarkan syeh Syadzili kepada sahabat sahabat beliau adalah dengan meletakkan tangan kanan di dada kemudian mengucapkan :
”Subhaanal malikil quddus al khollaaaq al fa’aal “ sebanyak tujuh kali kemudian membaca surat fathir ayat 16 dan 17, ini dilakukan sebelum takbirotul ikhrom.
Kitab Nihayatuz Zain imam Nawawi.
وَكَانَ الْأُسْتَاذ أَبُو الْحسن الشاذلي يعلم أَصْحَابه لدفع الوسواس والخواطر الرَّديئَة وَيَقُول لَهُم من أحس بذلك فليضع يَده الْيُمْنَى على صَدره وَليقل سُبْحَانَ الْملك القدوس الخلاق الفعال سبع مَرَّات ثمَّ يقل {إِن يَشَأْ يذهبكم وَيَأْتِ بِخلق جَدِيد وَمَا ذَلِك على الله بعزيز} 35 فاطر الْآيَة 16 17 يَقُول ذَلِك الْمُصَلِّي قبل الْإِحْرَام
PENJELASAN TENTANG 3 UNSUR NIAT SHOLAT
فصل في صفة الصلاة ( أركان الصلاة ) أي فروضها أربعة عشر بجعل الطمأنينة في محالها ركنا واحدا أحدها ( نية ) وهي القصد بالقلب لخبر إنما الأعمال بالنيات ( فيجب فيها ) أي النية ( قصد فعلها ) أي الصلاة لتتميز عن بقية الأفعال ( وتعيينها ) من ظهر أو غيرها لتتميز عن غيرها فلا يكفي نية فرض الوقت
PASAL : SIFAT SHALAT
Rukun shalat ada 14 dengan menjadikan THUMA’NINAH satu rukun
- Niat yaitu memiliki kesengajaan didalam hati berdasarkan hadits “sesungguhnya sahnya suatu amal perbuatan tergantung niatnya”
Maka diwajibkan dalamniat memiliki kesengajaan mengerjakan shalat agar membedakan shalat dengan perbuatan-perbuatan lainnya serta menta’yinnya seperti dengan ditentukan shalat ‘dhuhur’ atau lainnya agar membedakan dengan shalat lainnya, maka tidaklah cukup sekedar niat mengerjakan shalat wajib waktu (sekarang) misalnya.
Fath al-Mu’iin I/127
Keterangan :
Didalam melakukan niat shalat fardlu, diwajibkan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut ;
- Qashdul fi’li (قصد فعل) yaitu menyengaja mengerjakannya, lafadznya seperti (أصلي /ushalli/”aku menyengaja”)
- Ta’yin (التعيين) maksudnya adalah menentukan jenis shalat, seperti Dhuhur atau Asar atau Maghrib atau Isya atau Shubuh.
- Fardliyah (الفرضية) maksudnya adala menyatakan kefardhuan shalat tersebut, jika memang shalat fardhu. Adapun jika bukan shalat fardhu (shalat sunnah) maka tidak perlu Fardliyah (الفرضية).
Jadi berniat, semisal
(اُصَلِّى فَرْضَ الظُّهْرِ اَدَاءً للهِ تَعاَلى
”Sengaja aku shalat fardhu dhuhur karena Allah”, itu saja sudah cukup.
Pengertian Mukallaf atau Taklif
Mukallaf secara bahasa adalah berbentuk ism al-maf’ûl dari fi’il al-mâdli “kallafa” (كَلَّفَ), yang bermakna membebankan. Maka, kata mukallaf berarti orang yang dibebani.
Secara istilah, mukallaf adalah :
الإنسان الذي تعلق بفعله خطاب الشارع أو حكمه”
“Seorang manusia yang mana perlakuannya itu bergantungan dengan ketentuan al-Syâri’ atau hukumnya”.
Dari sini, dapat difahami bahwa mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggung-jawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Pahala akan didapatkan kalau ia melakukan perintah Allah SWT, dan dosa akan dipikulnya kalau ia meninggalkan perintah Allah SWT, begitu seterusnya sesuai dengan krateria hukum taklîfî yang sudah diterangkan.
Sebagian besar ulama Usul Fiqh mengatakan bahwa dasar adanya taklîf (pembebanan hukum) terhadap seorang mukallaf adalah akal (العقل) dan pemahaman (الفهم). Seorang mukallaf dapat dibebani hukum apabila ia telah berakal dan dapat memahami taklîf secara baik yang ditujukan kepadanya. Oleh karena itu, orang yang tidak atau belum berakal tidak dikenai taklîf karena mereka dianggap tidak dapat memahami taklîf dari al-Syâri’. Termasuk ke dalam kategori ini adalah orang yang sedang tidur, anak kecil, gila, mabuk, khilaf dan lupa. Pendapat ini berdasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW:
رفع القلم عن ثلاث: عن النائم حتي يستيقظ و عن الصبي حتي يحتلم وعن المجنون حتي يفيق
رواه البخاري وأبو داوود والترمذي والنسائ وابن ماجة والدارقطني
“Diangkat pembebanan hukum dari tiga (orang); orang tidur sampai bangun, anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai sembuh”
رفع أمتي عن الخطأ والنسيان وما استكره له رواه ابن ماجة والطبراني
“Beban hukum diangkat dari umatku apabila mereka khilaf, lupa dan terpaksa”.
Dari sini, ulama Usul Fiqh memberi kesimpulan bahwa syarat seseorang itu dikenai taklîf atau masuk sebagai predikat mukallaf terdapat dua syarat:
- Orang tersebut harus mampu memahami dalil-dalil taklîf. Ini dikarenakan taklîf itu adalah khitâb, sedangkan khitâb orang yang tidak memiliki akal dan tidak faham itu jelas tidak mungkin (محال). Kemampuan memahami itu hanya dengan akal, karena akal itu adalah alat untuk memahami dan menemukan ide (الإدراك). Hanya saja akal itu adalah sebuah perkara yang abstrak (الخفية). Maka al-Syâri’ sudah menentukan batas taklîf dengan perkara lain yang jelas dan berpatokan (منضبط) yaitu sifat baligh seseorang. Sifat baligh itu adalah tempat pemikiran akal yaitu mengetahui baik, buruk, manfaat, dan bahaya. Maka orang yang gila dan anak kecil tidak termasuk mukallaf karena tidak memiliki kemampuan akal yang mencukupi untuk memahami dalil taklîf. Begitu juga dengan orang yang lupa, tidur, dan mabuk seperti hadis yang di atas.
- Seseorang telah mampu bertindak hukum/mempunyai kecakapan hukum (أهلية).
Secara istilahi, ahliyyah didefinisikan sebagai: “Kepatutan seseorang untuk memiliki beberapa hak dan melakukan beberapa transaksi”.
Ta’rif yang disampaikan Imam Auza’i (ushul Fiqh)
المكلفين : الإنسان البالغ العاقل الذي بلغته الدعوة
Mukallaf adalah orang yang baligh serta berakal dan sampai kepadanya da’wah islam
Ibadah MAHDHOH dan GROIRU MAHDHOH
MAHDHOH dan GROIRU MAHDHOH yang terdapat dalam Madzhab Syafi’i adalah sebuah istilah yang digunakan oleh Ulama Fuqohaa’ (ahli Fiqh) dalam rangka memudahkan mengkelompokkan ibadah-ibadah yang di syariatkan dalam islam, sedang kitab yang menerangkan istilah tersebut juga banyak, di antaranya ibaroh (redaksi kitab) berikut ini :
والحاصل أن العبادة على ثلاثة أقسام إما أن تكون بدنية محضة فيمتنع التوكيل فيها إلا ركعتي الطواف تبعا
وإما أن تكون مالية محضة فيجوز التوكيل فيها مطلقا وإما أن تكون مالية غير محضة كنسك فيجوز التوكيل فيها بالشرط المار
KESIMPULAN :
Ibadah terbagi atas tiga macam :
1.Adakalanya ibadah tersebut bersifat BADANIYAH MAHDHOH (murni dilakukan oleh badan, seperti sholat, puasa dll.) maka tidak diperkenankan diwakilkan pada orang lain kecuali dua rokaat thowaf karena itba’
2.Adakalanya bersifat MALIYAH MAHDHOH (murni berbentuk harta seperti shodaqoh, zakat dll.) maka boleh diwakilkan secara muthlak
3.Adakalanya bersifat MALIYAH GHOIRU MAHDHOH (berbentuk harta yang tidak murni, masih menggunakan badan dalam realisasinya seperti haji) maka boleh juga diwakilkan bila memenuhi sarat-sarat yang telah lewat.
I’anah at-Tholibin III/87
Wallahu a’lamu bisshowab