MENCARI TETESAN KEAGUNGAN SYURGA DALAM HARI RAYA KITA
Nikmat dari Surga di IDUL FITRI
Lebaran atau Idul fitri bukti betapa Islam tumbuh berkembang dalam rahim kebudayaan manusia. Agama, tak melulu soal yang melangit. Malah lebih sering menitikberatkan ajarannya pada ranah kemanusiaan yang sangat manusiawi.
Dua hari raya umat muslim itu, erat kaitannya dengan tradisi tua bangsa Persia pemuja api (bukan penyembah), Zoroaster, yang diajarkan Zarathustra. Demikian yang tercatat dalam Ensiklopedi Islam.
Sebelum Rasulullah ﷺ lahir di Makkah, masyarakat Arab jahiliyah sudah memiliki dua hari raya yang dikenal dengan nama Nairuz dan Mahrajan. Pada dua hari tersebut, mereka menggelar pesta pora, menari-nari—baik tarian perut, perang maupun ketangkasan, bernyanyi, menyantap hidangan lezat, serta menenggak minuman memabukkan. Sampai di sini, Anda paham kan kenapa dua hari raya kita tak jauh beda dengan yang kami terakan di atas?
‘Setelah kewajiban menunaikan ibadah puasa Ramadan turun pada 2 Hijriyah, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan An-Nasa’i, Rasulullah Saw bersabda, ‘’Sesungguhnya Allah mengganti kedua hari raya itu dengan yang lebih baik, yakni Idulfitri dan Iduladha.’’
Hari Raya Idulfitri untuk pertama kali dirayakan umat Islam, selepas Perang Badr yang terjadi pada 17 Ramadan 2 Hijiriyah.
Dalam pertempuran dahsyat itu, umat Islam meraih kemenangan. Sebanyak 319 kaum Muslimin, berhasil mempermalukan 1.000 tentara kafir Quraisy—dan memaksa mereka pulang dengan kepala tertunduk.
Pada tahun itu, Rasulullah Saw bersama golongan orang-orang beriman (para Sahabat Ra) merayakan dua kemenangan, yakni keberhasilan mengalahkan kaum kafir dalam Perang Badr dan kebahagiaan tak terperi berhasil menjalankan hari perdana berpuasa Ramadan.
Menurut sebuah riwayat, Rasulullah Saw bersama para Sahabatnya menunaikan Salat Id pertama dengan kondisi tubuh disarati luka yang masih belum pulih akibat Perang Badr.
Riwayat lain menyebutkan, Rasulullah Saw merayakan Hari Raya Idulfitri pertama dalam kondisi letih, sehingga Beliau harus bersandar pada Bilal bin Rabbah Ra sambil menyampaikan khutbahnya.
Menurut Hafizh Ibnu Katsir, pada Hari Raya Idulfitri yang pertama, Rasulullah Saw pergi meninggalkan masjid menuju suatu tanah lapang dan menunaikan Salat Id di sana. Sejak itulah, Beliau Saw dan para sahabat menunaikan Salat Id di lapangan terbuka.
Jauh sebelum perayaan Idulfitri, umat Islam baru diwajibkan menunaikan zakat fitrah sahaja. Mereka belum disibukkan oleh kue lebaran, pakaian baru. Hingga kini, Idulfitri telah dilakukan kaum Muslimin sebanyak 1.439 kali.
Sayyidina Hasan Husain lebaran dengan baju surga
Di Madinah pada masa awal Islam itu, dua permata hiasan mata Baginda Nabi Saw, Hasan dan Husain anak Imam ‘Ali, sama sekali belum memiliki pakaian baru, padahal lebaran hampir tiba. Mereka pun bertanya kepada sang ibunda.
“Wahai ibunda, anak-anak di Madinah telah dihiasi dengan pakaian Lebaran, kecuali kami. Mengapa Bunda tidak menghiasi kami?”
Sayidah Fatimah menjawab sambil menyembunyikan perasaannya yang nyaris getun, “Sesungguhnya pakaian kalian masih berada di tukang jahit”.
Ketika malam hari raya tiba dan takbir dikumandangkan oleh Bilal, mereka berdua pun mengulangi pertanyaan serupa. Sayidah Fatimah masih menjawab dengan jawaban yang sama.
Sayidah Fatimah pun menangis karena sebenarnya ia tidak memiliki uang untuk membelikan pakaian baru demi kedua buah hatinya itu.
Ketika malam beranjak dini hari, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah Sayyidina ‘Ali. Sayyidah Fatimah yang masih terjaga lantas bertanya, “Siapa?”
Orang misterius itu menjawab, “Wahai putri Rasulullah, aku adalah tukang jahit. Diutus membawa hadiah pakaian lebaran untuk putra-putramu.”
Mendapat jawaban seperti itu, Sayidah Fatimah lantas membukakan pintu demi menyambut tamunya itu. Tampak seseorang membawa sebuah bingkisan hadiah, lalu diberikan kepada empunya rumah.
Tak sabar melihat isinya, Sayyidah az Zahrah membuka bingkisan tersebut. Di dalamnya terdapat dua buah ghamis, dua potong celana, dua mantel, dua sorban, serta dua pasang sepatu hitam—yang ke semuanya sangat indah terlihat.
Ibu yang dimuliakan Allah ini pun segera membangunkan dua putra kesayangannya, lalu memakaikan hadiah tersebut pada mereka. Tak lama, Rasulullah Saw datang dan melihat dua cucunya sudah dihiasi hadiah yang terdapat dalam bingkisan tersebut.
Kemudian Nabi Muhammad ﷺ menggendong Hasan dan Husain dan menciumi mereka dengan segenap cinta, kasih, dan sayang.
Sembari begitu, Rasulullah Saw pun bertanya pada putri semata wayangnya, “Apakah ananda melihat tukang jahit tersebut?”
“Iya aku melihatnya, Ayah.” Rona kebingungan masih tercitra di wajah Fatimah yang bersinaran.
Rasulullah Saw kemudian berujar, “Duhai putriku, ia bukanlah tukang jahit, melainkan Malaikat Ridwan As, sang penjaga Surga…”
Bahkan para penghuni langit pun tak rela jika kedua cucu Rasulullah dilamun kesedihan. Semoga kita dikumpulkan bersama mereka di telaga Baginda Nabi Saw. Amin.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ…
Allahumma sholli’ala Sayyidina Muhammad wa’ala aali Sayyidina Muhammad.
Ada sebuah kisah yang mudah dilupakan kita, tapi seharusnya tak boleh dilupakan, khususnya ketika Ramadan sudah diambang pintu perpisahan dan sesaat lagi takbir Idul Fitri berkumandang.
Kisah itu tentang keteladanan keluarga Nabi, yaitu datang dari Sayidina Ali, yang disaksikan dua karibnya; Ibnu Rafi’i dan Abu Al Aswad Ad Du’ali, keduanya pernah ikut perang Jamal bersama Ali bin Abu Thalib, dan kedua karib itu termasuk pembesar kelompok pendukung Ali sampai akhir hayatnya. Kisah ini setidaknya termaktub pada dua buku; Sirrah Ashabu an-Nabi, karya Syekh Mahmud al-Misri dan Syiar A’lam An-Nubala’, karya Imam adz-Dzahabi.
Persis usai salat Asar, setelah seharian merasa sedih, karena bulan Ramadan akan segera berakhir, Ali kemudian pulang dari masjid, sesampai di rumah ia disambut sang istri dengan pertanyaan yang bernada penuh perhatian.
“Kenapa engkau terlihat pucat, kekasihku?” demikianlah sapa Sayidah Fatimah, “tak ada tanda-tanda keceriaan sedikitpun di wajahmu, padahal sebentar lagi kita akan menyambut hari kemenangan?”
Ali hanya terdiam lesu, tak berapa lama kemudian ia minta pertimbangan Sang istri untuk mensedekahkan semua simpanan pangannya kepada fakir miskin. “Hampir sebulan kita mendapat pendidikan dari Ramadan, bahwa lapar dan haus itu teramat pedih. Segala puji bagi Allah, yang sering memberi hari-hari kita dengan perut sering terisi…”
Singkat cerita, sore itu juga, beberapa jam sebelum takbir berkumandang, Ali bin Abi Thalib terlihat sibuk mendorong pedatinya, yang terdiri dari tiga karung gandum dan dua karung kurma hasil dari panen kebunnya. Ingat satu pedati (gerobak), bukan hanya sejumput gandum yang nilainya hanya setara 2,5 Kg beras untuk zakat fitrah.
Ia berkeliling dari pojok kota dan perkempungan untuk membagi-bagikan gandum dan kurma itu kepada fakir miskin dan yatim/piatu. Sementara istrinya, Sayidah Fathimah az-Zahra, sambil menuntun dua putranya Hasan dan Husein, nampak di tangannya memegang kantong plastik yang besar.
Mereka sekeluarga, kompak mendatangi kaum fakir miskin untuk disantuni. Begitu mereka berjalan sampai larut malam, tangannya membagikan santunan, bibirnya bertakbir kepada Allah.
Esok harinya tiba salat Idul Fitri. Sayidina Ali naik mimbar dan berkotbah di Masjid Qiblatain, potongan isi khotbah itu di antaranya tentang beberapa tanda-tanda orang yang mendapatkan “taqwa” dari puasanya yang sebulan penuh :
“Yaitu mereka yang peka hati nuraninya, sehingga menggerakkan tangannya untuk peduli kepada sesama, berbagi rezeki, berbagi kebahagiaan, berbagi senyuman yang hangat, sebab kita semua sudah merasakan, bahwa lapar dan dahaga itu sesuatu yang berat…” Begitulah Sayidina Ali, beliau tak akan pernah mengucapkan, sebelum ia sendiri sudah melakukan dan memberi keteladanan.
Setelah salat ‘Id selesai dan hari masih sangat pagi, karib beliau, Ibnu Rafi’i dan Abu Al Aswad Ad Du’ali berkunjung dan bermaksud untuk mengucapkan selamat Idul Fitri kepada keluarga Rasulullah saw itu, oh, begitu pintu terbuka, alangkah kagetnya mereka berdua, kedua hidung dua karib ini lamat-lamat mencium aroma yang tak sedap, dari nampan yang berisi gandum dan roti kering yang sudah basi dan disantapnya makanan yang tak layak konsumsi itu dengan lahapnya. Seketika itu Ibnu Rafi’i dan dan Al Aswad ad-Du’ali berucap istighfar, sambil berpelukan dan menangis, karena kedua dada sahabat ini sakit dan nyeri.
Merasa tak kuat melihat pemandangan itu, mereka kemudian, berpamitan, setelah berpelukan, merekapun pergi menjauh dari pemandangan yang menggetarkan itu, di sepanjang jalan mata Ibnu Rafi’i berlinang air mata, perlahan butiran itu menetes di pipinya dan jatuh ke tanah seperti mengukir sebuah jejak kesedihan sampai ke kediamannya. Idul Fitri yang seharusnya penuh suka cita, tapi pagi itu mereka bersedih.
Sementara Abu Al Aswad ad-Du’ali, terus bertakbir di sepanjang jalan, kecamuk dalam dadanya sangat kuat, setengah lari ia pun bergegas menghadap Rasulullah saw. Tiba di depan Rasulullah, iapun mengadu “Ya Rasulallah. Putra baginda, putri baginda dan cucu baginda,” ujar ad-Du’ali terbata-bata. “Tenangkan dirimu, ada apa wahai sahabatku?” tanya Rasulullah menenangkan.
“Segeralah ke rumah menantu dan putri baginda, ya Rasulalloh. Saya khawatir cucu baginda Hasan dan Husein akan sakit.”
“Ada apa dengan cucuku dan keluargaku?”
“Saya tak kuat menceritakan itu sekarang, lebih baik menengoknya…”
Tak berpikir lama, Rasulullah pun segera menuju rumah putrinya. Tiba sampai di halaman rumah, tak ada apa-apa yang dikhawatirkan oleh ad-Du’ali, keluarga itu tak merasa ada apapun yang aneh, justru senda gurau tawa bahagia mengisi percakapan antara Sayidina Ali, Sayyidatuna Fathimah dan kedua anaknya.
Bahkan yang sedikit aneh, mata ad-Du’ali sendiri menyaksikan, ternyata keluarga itu masih menyimpan sedikit kurma yang layak dikonsumsi untuk menyambut tamu yang datang. Mata Rasulullah pun sembab, beliau terharu, sebab ia sendiri melihat bekas-bekas makanan basi yang sudah disantap keluarga itu dan bauh anyirnya masih menyengat. Tak terbendung juga butiran mutiara bening menghiasi wajah Rasulullah nan bersih.
“Ya Allah, Allahumma Isyhad. Ya Allah saksikanlah, saksikanlah.” Bibir Rasulullah berbisik lembut. Sayidatuna Fathimah tersadar kalau di luar pintu rumah, bapaknya sedang berdiri tegak. Gandum basi yang dipegangnya terjatuh ke lantai.
“Abah, kenapa engkkau biarkan dirimu berdiri disitu, tanpa memberi tahu kami, oh, relakah abah menjadikan kami anak yang tak berbakti?” Berondong Fathima spontan, lalu mencium tangan Abahnya dan mempersilahkan abahnya ke ruang tamu. “Kenapa Abah menangis? Kenapa pula sahabat ad-Duali mengikuti di belakang Abah.”
Rasulullah tak tahan mendengar pertanyaan itu. Setengah berlari ia memeluk putri kesayangannya sambil berujar, “Semoga kelak surga tempatmu Nak. Surga untukmu.” Mereka yang ada di situ lalu menjawab bersama-sama, Allahuma amin…
Air mata Rasulullah tiba-tiba mengucur deras, saat melihat sendiri dengan matanya akan kesederhanaan dan kebersahajaan putri beliau bersama keluarganya.
Di hari yang Fitri, di saat semua orang berkumpul, canda gurau dan berbahagia, di saat semua hidangan kuliner aneka rupa menumpuk di meja makan. Keluarga Rasulullah saw cukup tersenyum bahagia dengan gandum dan sepotong roti basi yang baunya tercium tak sedap, oleh siapapun yang menghampiri.
Ganjil memang, dan orang bisa saja bilang; Duh, segitunya… tetapi orang boleh jadi berbeda dalam penghayatannya pada sesuatu yang bersifat transendental.
Demikianlah, sekelumit kesaksikan sahabat ad Duali dan Ibnu Rafi’i, atas keluarga Rasulullah saw. pada hari Idul Fitri, selalu saja mereka, orang-orang mulia itu, menyantap makanan yang basi berbau anyir. Jika masih tersisa sedikit yang layak konsumsi itu khusus dihidangkan buat tamu.
Ibnu Rafi’i berkata, “Itulah salah satu dampak pendidikan Ramadan bagi keluarga Nabi, dan aku diperintahkan oleh Rasulullah saw agar tidak menceritakan tradisi keluarganya setiap Idul Fitri. Aku pun simpan kisah itu dalam hatiku. Namun, setelah Rasulullah saw. meninggal, aku takut dituduh menyembunyikan hadis, maka terpaksa aku ceritakan agar jadi pelajaran bagi segenap kaum Muslimin untuk benar-benar bisa mengambil hikmah dari madrasah Ramadan.” Demikian tulis Musnad Imam Ahmad, jilid 2, halaman. 232.
Memang ada sesuatu yang amat rumit Ketika kerakusan materi sudah memenuhi diri kita.
Oh, alangkah jauhnya perbedaan keadaan kita dengan para teladan dan panutan kita sendiri.
Wallahu’alam Bisshawab.