KETIKA AKAD JUAL BELI BERCAMBUR DENGAN HIBAH ATAU MEMBERI

KETIKA AKAD JUAL BELI BERCAMBUR DENGAN HIBAH ATAU MEMBERI

Tulisan ini diawali dari sebuah kisah ilustratif. Seorang santri ditugasi mengajar di sebuah tempat yang jauh dari tempat ia mondok. Jauhnya jarak, memaksanya untuk membeli sepeda motor guna mempersingkat waktu. Kebetulan ia mendapati tetangga pondok yang memiliki tiga sepeda. Dorongan antara memenuhi tugas dan kebutuhan memaksa dia memberanikan diri untuk bilang kepada pemilik kendaraan: “Pak, saya minta kerelaan bapak untuk saya beli salah satu sepedanya. Bapak mungkin tidak punya keinginan untuk menjual. Tapi, ini karena saya sendiri yang membutuhkan sepeda itu untuk saya pakai memenuhi tugas mengajar di desa X yang jauh dari sini.” Karena merasa kasihan, dan setelah berpikir sejenak, akhirnya sang bapak itu merelakan sepedanya dibeli oleh si santri, dengan harga sepantasnya.

Akad apakah seperti ini?

Ada dua akad yang bisa kita ambil dari kisah di atas khususnya dari sisi si bapak yang pemilik barang. Pertama, adalah akad yang menunjukkan kerelaan (tabarru’) memberikan (hibah). Kedua, adalah akad yang menunjukkan jual beli (bai’). Jadi, ada dua akad yang terkumpul di situ, antara akad hibah dan akad bai’. Namun, ada catatan bahwa hibah yang diberikan oleh bapak tadi bersifat ta’alluq (berikatan) dengan akad jual beli. Seandainya bukan karena pertimbangan terhadap kondisi santri yang hendak bertugas di tempat yang jauh, ia tidak akan menjual sepeda itu. Atau, seandainya ada orang lain yang hendak membeli sepeda itu, Sang Bapak belum tentu memberikannya, karena ketiadaan hajat untuk menjual. Singkatnya, menjualnya sang bapak terhadap sepeda adalah didahului oleh sikap kerelaan. Apakah boleh jual beli seperti ini?

 Al-Zuhaily menjelaskan dalam Kitabnya al-Fiqhu al-Islâmy wa adillatuhu, sebagai berikut:

وقد يكون التبرع في ابتداء العقد كالقرض والكفالة بأمر المدين، والهبة بشرط العوض، ثم يلزم الطرف الآخر بدفع البدل، فهي تبرع ابتداء، معاوضة انتهاء

Artinya: “Terkadang sikap sukarela muncul mendahului akad, misalnya akad utang-piutang (qardh), penanggung jawab tanggungan (pihak yang berutang) terkait urusannya dengan pihak kreditur (kafâlah), hibah (pemberian) dengan syarat adanya harga ganti (iwadl), sehingga bersifat mengikat kepada pihak lain (lawan transaksi) untuk menyerahkan gantinya. Akad seperti ini adalah contoh akad tabarru’ di awal, pertukaran diujungnya.” (al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islâmy wa Adillatuhu, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.: 4/244)

Apakah akad ini menyalahi tujuan utama akad jual beli yang harus diakhiri dengan kepemilikan? Tentu saja tidak. Hibah yang ada dalam contoh di atas kedudukannya adalah menjadi “sebab” bagi terjadinya akad jual beli.

 Hal yang sama dengan di atas, juga bisa berlaku pada akad yang lain misalnya adalah akad utang piutang (qardh). Perlu diingat bahwa gabungan antara hibah dengan bai’ ini merupakan bagian dari gabungan akad tabarru’ dengan jual beli. Ada beberapa jenis akad tabarru’. Misalnya seperti yang disampaikan oleh al-Zuhaily dalam ibarat berikut ini:

 وإن كان التمليك مجانا بغير عوض فهي عقود التبرعات، كالهبة والصدقة والوقف والإعارة وحوالة الدين

Artinya: “Apabila sifat kepemilikan itu diperoleh dengan jalan gratis tanpa adanya nilai tukar, maka akad seperti ini termasuk akad tabarru’ (suka rela), misalnya seperti hibah, shadaqah, waqaf, i’arah (pinjam-meminjam) dan pengalihan utang (hiwâlah). (al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islâmy wa Adillatuhu, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.: 4/244)

Semua kelompok akad tabarru’ ini bisa dipergunakan sebagai “sebab” bagi berlangsungnya jual beli. Kita perlu membedakan antara menjadi sebab dengan bergabung. Misalnya ada pernyataan seperti ini: “Bang, tolong pinjami saya uang 100 ribu saja!”

Diksi “pinjam” dalam kalimat ini sebenarnya hendak dipergunakan oleh pengucap, bahwa dirinya memerlukan utang. Pinjam merupakan bagian dari akad i’ârah, sementara utang, merupakan akad qardh. Jadi, seolah akad ini berbunyi:

اعارة ابتداء وقرض انتهاء

Artinya: “Pinjam permulaannya, utang yang jadi tujuan akhirnya.”

Sekarang, bandingkan dengan bila hibah ini kita gabung dalam akad jual beli! Contoh, misalnya ucapan ijab dari seorang penjual kepada pembelinya: “Saya “berikan” barang ini kepadamu”. Jawab pembeli: “Saya terima”. Apakah akad seperti ini sah untuk akad jual-beli?

Sudah barang tentu perlu pemilahan. Akad ijab dan qabul merupakan syarat sah jual beli. Jika dalam shighat ijab, penjual menggunakan lafadh “memberikan”, maka dilihat dari dhahirnya, akad ini adalah masuk akad hibah, hadiah atau athiyah, sehingga bertentangan dengan maksud jual beli yang menghendaki iwadl (harga barang). Oleh karena itu, jika lafadh itu digunakan dalam shighat ijab, maka jual belinya tidak sah disebabkan lafadh yang menyatakan “hibah” masuk di dalam aqad. Hibah bersifat menafikan jual beli. Sampai di sini, bandingkan dengan keterangan sebelumnya yang menyatakan bahwa hibah merupakan sebab.

Wallâhu a’lam bish shawâb.

Leave your comment here: