MENYAMBUT KEPULANGAN JAMA’AH HAJI DAN CIRI HAJI YANG MABRUR
Tradisi Menyambut Jamaah Haji
Di saat memasuki separuh akhir bulan Dzulhijjah seperti sekarang ini, akan mengingatkan umat muslim terhadap saudara mereka yang telah usai melaksanakan ibadah haji. Karena pada waktu itulah para jamaah haji telah menyelesaikan seluruh rangkaian ibadah haji dan pada gilirannya akan diterbangkan kembali menuju tanah air.
Pada waktu ini juga terdapat anjuran untuk menyambut kedatangan jamaah haji. Hal yang demikian sudah pernah dicontohkan para Sahabat ketika menyambut kedatangan Rasulullah saw dari suatu perjalanan. Hadis dari sahabat Abdulah bin Ja’far, beliau menceritakan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ تَلَقَّى بِنَا، فَتَلَقَّى بِي وَبِالْحَسَنِ أَوِ الْحُسَيْنِ، قَالَ: فَحَمَلَ أَحَدَنَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَالْآخَرَ خَلْفَهُ حَتَّى دَخَلْنَا الْمَدِينَةَ
“Ketika Rasulullah Saw datang dari perjalanan kami meyambutnya. Beliau menghampiriku, Hasan, dan Husain. Lalu beliau menggendong salah satu diantara kami di depan, dan yang lain mengikuti di belakang beliau hingga kami masuk kota Madinah,” (HR, Muslim).[1]
Selamatan dan Doa Haji
Suka cita kedatangan seseorang yang telah melaksanakan ibadah haji tergambar jelas saat dia sampai di kampung halamannya. Sebagian dari mereka ada yang merayakan dalam bentuk Selamatan Haji sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan.
Dalam praktek nyata, ada sebuah tradisi untuk menghidangkan makanan kepada para tamu yang mengunjunginya. Tradisi seperti ini disebut dengan nama An-Naqi’ah. Secara pengertian, An-Naqi’ah dapat diartikan sebagai tradisi jamuan makanan yang diselenggarakan oleh seseorang yang baru pulang dari perjalanan. Tentunya melihat konteks ini, tidak hanya terbatas pada perjalanan haji. Namun memiliki cakupan praktek yang lebih luas. Tradisi ini memiliki landasan hukum salah satu hadis:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ مِنْ سَفَرِهِ نَحَرَ جَزُورًا أَوْ بَقَرَةً
“Sesungguhnya Rasulullah Saw ketika tiba di Madinah dari suatu perjalanan, beliau menyembelih unta atau sapi,” (HR. Bukhari).[2]
Namun, tradisi selamatan haji tidak sebatas acara jamuan makan. Namun yang lebih penting dari hal itu adalah mendapatkan berkah doa ampunan dari orang yang yang berhaji. Bahkan hampir dapat dipastikan, tujuan sentral yang paling utama dari adanya Selamatan Haji adalah mendapatkan keberkahan doanya. Adapun permasalahan legalitas syariat dalam memandang polemik tersebut didasarkan pada salah satu hadis, bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:
إِذَا لَقِيتَ الْحَاجَّ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَصَافِحْهُ، وَمُرْهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بَيْتَهُ، فَإِنَّهُ مَغْفُورٌ لَهُ رَوَاهُ أَحْمَدُ
“Ketika engkau bertemu dengan orang yang haji, ucapkanlah salam padanya, dan berjabat tanganlah dengannya, serta mintalah doa ampunan kepadanya sebelum ia memasuki rumahnya. Karena sesungguhnya dia merupakan orang yang telah terampuni” (HR. Ahmad).[3]
Karena bukan rahasia umum lagi, mereka yang baru datang dari ibadah haji bagaikan seorang bayi yang baru lahir tanpa adanya sedikitpun dosa yang berhubungan langsung dengan Allah. Oleh karena itu, keadaan mereka yang tidak memiliki dosa menjadi lebih dekat dengan Allah Swt, sehingga permohonan dan doanya memiliki nilai lebih daripada yang lain.
Dari hadis tersebut juga dapat ditarik pemahaman yang menjelaskan anjuran bagi seseorang yang haji untuk mendoakan ampunan bagi orang lain meskipun orang lain tersebut tidak minta didoakan. Namun dalam keadaan seperti ini, disunnahkan bagi seseorang berada di sekitar orang yang baru menunaikan ibadah haji untuk menunjukkan permintaannya agar didoakan secara langsung. Hal ini ditujukan agar doan yang dipanjatkan juga tercakup dalam doa yang pernah diucapkan oleh Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana dalam redaksi hadis:
للَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْحَاجِّ، وَلِمَنِ اسْتَغْفَرَ لَهُ الْحَاجُّ
“Ya Allah, ampunilah dosa orang yang berhaji. Dan dosa orang yang dimintakan ampunan oleh orang yang berhaji” (HR. Muslim).[4]
Memang benar, para ulama telah sepakat bahwasanya seseorang yang baru pulang dari perjalanan haji memiliki keistimewaan yang berupa doa yang mustajab. Mengenai batasan waktu yang utama untuk doa orang yang baru pulang dari haji masih menyisakan perbedaan pendapat di antara para ulama. Sebagian mengatakan hal tersebut berlaku sejak mereka memasuki kota Mekah hingga kembali ke keluarganya. Sebagian lagi berpendapat sebelum mereka masuk rumahnya. Dan ada yang berpendapat sampai 40 hari terhitung sejak mereka pulang dari haji. Bahkan, dalam kitab Ihya’ Ulumuddin diceritakan berdasarkan cerita dari sahabat Umar Ra, keadaan ini akan terus berlangsung hingga akhir bulan Dzulhijjah, Muharram, dan 20 Rabiul Awwal dalam hitungan kelender Hijriyah.[5]
[1] Shahih Muslim, juz 4 hal 185.
[2] Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz 4 hal 400.
[3] Dalil Al-Falihin, juz 3 hal 237.
[4] Faidh Al-Qodir, juz 2 hal 101.
[5] Hasyiyah Al-Jamal, juz 2 hal 554.
Mengenal Ciri-ciri Haji Mabrur
Sebagai penyempurna rukun Islam, semua orang yang telah melaksanakan ibadah haji juga menginginkan hajinya menjadi haji yang mabrur. Sebuah predikat yang menjadi hak prerogatif Allah untuk hambanya yang telah menunaikan ibadah haji. Dalam beberapa hadisnya, Rasulullah Saw. pernah menjelaskan keutamaan-keutamaan haji mabrur. Seperti hadis populer yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari:
وَالحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّةُ
“Tidak ada balasan yang pantas bagi haji mabrur selain surga”. (HR. al-Bukhari)[1]
Pakar hadis kenamaan, Ibnu Hajar al-‘Asqolani, mengartikan haji mabrur sebagai bentuk ibadah haji yang diterima atau haji yang tidak tercampur dengan perbuatan dosa.[2] Sehingga tak heran Rasulullah Saw. menjelaskan apabila Allah Swt. membalas ibadah haji yang mabrur dengan surga.
Namun pada kenyataannya, tidak semua orang yang pernah berhaji memiliki predikat haji mabrur. Karena ada beberapa ketentuan dan ciri-ciri khusus yang dimilikinya. Adapun ciri-ciri haji mabrur adalah terbentuknya akhlak yang terpuji dan meningkatnya rasa takwa bagi seseorang yang telah menunaikan haji. Sebagaimana penjelasan imam al-Khawash yang dikutib al-Habib Abdurrahman al-Masyhur dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin:
قَالَ الْخَوَّاصُ رَحِمَهُ اللهُ مِنْ عَلَامَاتِ قَبُوْلِ حَجِّ الْعَبْدِ وَأَنَّهُ خُلِعَ عَلَيْهِ خِلْعَةَ الرِّضَا عَنْهُ أَنَّهُ يَرْجِعُ مِنَ الْحَجِّ وَهُوَ مُتَخَلِّقٌ بِالْأَخْلَاقِ الْمُحَمَّدِيَّةِ لَا يَكَادُ يَقَعُ فِيْ ذَنْبٍ وَلَا يَرَى نَفْسَهُ عَلَى أَحَدٍ مِنْ خَلْقِ اللهِ وَلَا يُزَاحِمُ عَلَى شَيْئٍ مِنْ أُمُوْرِ الدُّنْيَا حَتَى يَمُوْتَ
“Imam al-Khawash berkata, di antara tanda-tanda seseorang yang ibadah hajinya diterima ialah bahwa dirinya telah membuka pintu ridho, sehingga ia kembali (dari haji) dengan memiliki perilaku terpuji, tidak mudah melakukan dosa, tidak menganggap dirinya lebih baik atas makhluk Allah yang lain, dan tidak berlomba-lomba dalam urusan dunia sampai ia meninggal dunia”.[3]
Dengan demikian, tak diragukan lagi bahwa predikat haji mabrur bukanlah hal yang remeh. Tak heran semua orang yang telah menunaikan ibadah haji berlomba-lomba memperbaiki diri menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, baik yang berkaitan dengan amal ibadah maupun etika sosial kemasyarakatan. Karena pada dasarnya, haji mabrur tidak hanya memberikan kebaikan untuk orang yang mendapatkannya. Akan tetapi juga memberi dampak kebaikan untuk masyarakat di sekitarnya.
WaAllahu a’lam
[1] Al-Bukhari,Shahih al-Bukhari, vol. 3 hal. 2
[2] Ibnu Hajar al-‘Asqalani,Fath al-Bari, vol. 1 hal. 87, Maktabah Syamilah
[3] Abdurrahman al-Masyhur,Buhyah al-Mustarsyidin, hal. 187 cet. Darul Fikr