BENARKAH SURGA HANYA DI MASUKI OLEH ORANG AHLI TASAWUF?
Masuk surga adalah keniscayaan bagi setiap manusia yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya. Agama adalah perintahNya dan laranganNya
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Setiap manusia yang berpegang teguh pada agama atau manusia yang memenuhi perkara syariat atau syarat sebagai hamba Allah yakni menjalankan segala apa yang telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya, wajib dijalankan dan wajib dijauhi, meliputi perkara kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa, menjauhi segala yang telah dilarangNya yang jika dilanggar berdosa dan menjauhi segala yang telah diharamkanNya yang jika dilanggar berdosa maka manusia tersebut niscaya masuk surga.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
Telah menceritakan kepadaku Salamah bin Syabib telah menceritakan kepada kami al-Hasan bin A’yan telah menceritakan kepada kami Ma’qil-yaitu Ibnu Ubaidullah- dari Abu az-Zubair dari Jabir bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Apa pendapatmu bila saya melaksanakan shalat-shalat wajib, berpuasa Ramadlan, menghalalkan sesuatu yang halal, dan mengharamkan sesuatu yang haram, namun aku tidak menambahkan suatu amalan pun atas hal tersebut, apakah aku akan masuk surga? Rasulullah menjawab: Ya. Dia berkata, Demi Allah, aku tidak akan menambahkan atas amalan tersebut sedikit pun (HR Muslim 18)
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya at-Tamimi telah mengabarkan kepada kami Abu al-Ahwash. (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Abu al-Ahwash dari Abu Ishaq dari Musa bin Thalhah dari Abu Ayyub dia berkata, Seorang laki-laki mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seraya bertanya, ‘Tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang mendekatkanku dari surga dan menjauhkanku dari neraka? ‘ Beliau menjawab: ‘Kamu menyembah Allah, tidak mensyirikkan-Nya dengan sesuatu apa pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyambung silaturrahim dengan keluarga.“ Ketika dia pamit maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika dia berpegang teguh pada sesuatu yang diperintahkan kepadanya niscaya dia masuk surga’. Dan dalam suatu riwayat Ibnu Abu Syaibah, Jika dia berpegang teguh dengannya. (HR Muslim 15)
Kaum non muslim atau manusia yang tidak bersyahadat , pastilah akan masuk neraka. Kunci surga adalah syahadat.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “ Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari ummat sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.”
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu“. ( QS Ali Imran [3]:81 )
Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. berkata: ‘Setiap kali Allah subhanahu wa ta’ala mengutus seorang nabi, mulai dari Nabi Adam sampai seterusnya, maka kepada nabi-nabi itu Allah subhanahu wa ta’ala menuntut janji setia mereka bahwa jika nanti Rasulallah shallallahu alaihi wasallam. diutus, mereka akan beriman padanya, membelanya dan mengambil janji setia dari kaumnya untuk melakukan hal yang sama’.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?” Katakanlah: “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya?” Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan. (QS Al Baqarah [2]:140 )
Dalam Al Mustadrok, Imam Al Hakim berkata : Abu Sa’id Amr ibnu Muhammad Al ‘Adlu menceritakan kepadaku, Abul Hasan Muhammad Ibnu Ishak Ibnu Ibrahim Al Handhori menceritakan kepadaku, Abul Harits ‘Abdullah ibnu Muslim Al Fihri menceritakan kepadaku, ‘Abdurrahman ibnu Zaid ibnu Aslam menceritakan kepadaku, dari ayahnya dari kakeknya dari Umar RA, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
لما اقترف آدم الخطيئة قال : يارب ! أسألك بحق محمد لما غفرت لي, فقال الله : ياآدم ! وكيف عرفت محمدا ولم أخلقه ؟ قال : يارب ! لأنك لما خلقتني بيدك ونفخت فيّ من روحك
رفعت رأسي فرأيت على قوائم العرش مكتوبا لا إله إلا الله محمد رسول الله , فعلمت أنك لم تضف إلى اسمك إلا أحب الخلق اليك , فقال الله : صدقت يا آدم , إنه لأحب الخلق إليّ , أدعني
بحقه فقد غفرت لك , ولو لا محمد ما خلقتك
” Ketika Adam melakukan kesalahan, ia berkata Ya Tuhanku, Aku mohon kepada-Mu dengan haqqnya Muhammad agar Engkau mengampuniku.” Allah berkata; Wahai Adam bagaimana engkau mengenal Muhammad padahal Aku belum menciptakanya. “ Wahai Tuhanku, karena ketika Engkau menciptakanku dengan kekuatan-Mu dan Engkau tiupkan nyawa pada tubuhku dari roh-Mu, maka aku tengadahkan kepalaku lalu saya melihat di kaki-kaki ‘Arsy terdapat tulisan “ Laa Ilaha illa Allahu Muhammadur Rasulullah”, maka saya yakin Engkau tidak menyandarkan nama-Mu kecuali nama makhluk yang paling Engkau cintai,” jawab Adam. “ Benar kamu wahai Adam, Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai. Berdo’alah kepada Ku dengan haqqnya Muhammad maka Aku ampuni kamu. Seandainya tanpa Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu,” lanjut Allah.
Imam Al Hakim meriwayatkan hadits di atas dalam kitab Al Mustadrok dan menilainya sebagai hadits shahih ( vol. 2 hal. 615 ). Al Hafidh As Suyuthi meriwayatkan dalam kitab Al Khashais An Nabawiyah dan mengategorikan sebagai hadits shahih. Imam Al Baihaqi meriwayatkanya dalam kitab Dalail Nubuwah, dan beliau tidak meriwayatkan hadits palsu sebagaimana telah ia jelaskan dalam pengantar kitabnya. Al Qasthalanidan Az Zurqani dalam Al Mawahib Al Laduniyah juga menilainya sebagai hadits shahih. vol. 1 hal. 62.
Senada dengan hadits di atas, Abu Nu’aim Al-Hafidh meriwayatkan dalam kitab Dalaailu al-Nubuwwah dan melalui jalur Syaikh Abi al-Faraj. Menceritakan kepadaku Sulaiman ibn Ahmad, menceritakan kepadaku Ahmad ibn Rasyid, menceritakan kepadaku Ahmad ibn Sa’id al-Fihri, menceritakan kepadaku Abdullah ibn Ismail al-Madani dari Abdurrahman ibn Yazid ibn Aslam dari ayahnya dari ‘Umar ibn al-Khaththab, ia berkata : Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda :
لما أصاب آدم الخطيئة رفع رأسه فقال : يارب ! بحق محمد إلا غفرت لي , فأوحى اليه :
وما محمد ومن محمد ؟ فقال : يارب ! إنك لما أتممت خلقي رفعت رأسي إلى عرشك فإذ عليه مكتوب : لا إله إلا الله محمد رسول الله , فعلمت أنه أكرم خلقك عليك إذ قرنت اسمه مع اسمك ,
فقال : نعم , قد غفرت لك , وهو اخر الأنبياء من ذريتك , ولو لاه ما خلقتك.
“Ketika Adam melakukan kesalahan, ia mendongakkan kepalanya. “Wahai Tuhanku, dengan hak Muhammad, mohon Engkau ampuni aku,” ujar Adam. Lalu Adam mendapat pertanyaan lewat wahyu, “Apa dan siapakah Muhammad?” “Ya Tuhanku, ketika Engkau menyempurnakan penciptaanku, aku mendongakkan kepalaku ke arah ‘arsy-Mu dan ternyata di sana tertera tulisan “Laa Ilaaha illa Allaah Muhammadun Rasulullaah”. Jadi saya tahu bahwa Muhammad adalah makhluk Engkau yang paling mulia di sisi-Mu. Karena Engkau merangkai namanya dengan nama-Mu,” jawab Adam. “Betul,” jawab Allah, “Aku telah mengampunimu, dan Muhammad Nabi terakhir dari keturunanmu. Jika tanpa dia, Aku tidak akan menciptakanmu.”
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran,padahal mereka mengetahui.” ( QS Al Baqarah [2]:146 )
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam“. (QS Al Baqarah [2]: 132 )
“illa wa antum muslimuun”, “kecuali dalam keadaan muslim” , “kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam”, kecuali manusia yang berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla, berserah diri dengan mentaati perintahNya dan laranganNya. PerintahNya dan laranganNya telah disempurnakan ketika Muhammad bin Abdullah diutus menjadi Rasulullah.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku,dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” ( QS Al Maaidah [5]:3 )
Jadi penduduk surga pastilah seorang muslim, mereka yang telah bersyahadat.
Permasalahannya setiap penduduk surga mempunyai tingkatan atau maqom (derajat) disisiNya dan penduduk surga akan menempati surga dengan berbagai tingkatannya.
Kaum Sufi adalah mereka atas ridho Allah berupaya mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Allah Azza wa Jalla sebagaimana mereka berupaya mengikuti jalan (tharikat) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, manusia yang paling utama, paling mulia, paling dekat dengan Allah Azza wa Jalla atau dengan kata lain mereka yang atas ridho Allah berupaya menjadi wali Allah (kekasih Allah, manusia yang dicintaiNya)
Kaum Sufi adalah muslim bukan Nabi yang atas ridho Allah Azza wa Jalla menjadi wali Allah (kekasih Allah)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah Swt seorang dari shahabatnya berkata, siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka. Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab dengan sabdanya: Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.”Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS Yunus [10]:62 )
Cara memperjalankan diri kepada Allah atau mendekatkan diri kepada Allah hingga sampai (wushul) kepada Allah atau bertemu kepada Allah atau dapat melihat Allah dengan hati atau mencapai muslim yang Ihsan atau mencapai muslim berma’rifat adalah dengan dzikrullah
Dalam suatu riwayat.
”Qoola A’liyy bin Abi Thalib: Qultu yaa Rosuulolloh ayyun thoriiqotin aqrobu ilallohi? Faqoola Rasullulohi: dzikrullahi”.
artinya; “Ali bin Abi Thalib berkata; “aku bertanya kepada Rasullulah, jalan/metode(Thariqot) apakah yang bisa mendekatkan diri kepada Allah? “ Rasullulah menjawab; “dzikrullah.”
Dalam sebuah hadits Qudsi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan (amal ketaatan/perkara syariat), jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan sunnah (amal kebaikan / dzikrullah), maka Aku mencintai dia”
Bentuk-bentuk dzikrullah untuk memperjalankan diri kepada Allah atau mendekatkan diri kepada Allah untuk mencapai muslim yang Ihsan atau muslim yang berma’rifat atau muslim yang bertemu Allah atau muslim yang dapat melihat Allah dengan hati telah diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/12/25/amalan-dasar-tasawuf/
Bilal ra, memilih bentuk dzikrullah berupa menjaga wudhunya dan menjalankan sholat selain sholat yang telah diwajibkanNya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada Bilal ketika shalat Shubuh: “Hai Bilal, katakanlah Kepadaku apakah amalanmu yang paling besar pahalanya yang pernah kamu kerjakan dalam Islam, karena tadi malam aku mendengar derap sandalmu di dalam surga? ‘ Bilal menjawab; ‘Ya Rasulullah, sungguh saya tidak mengerjakan amal perbuatan yang paling besar pahalanya dalam Islam selain saya bersuci dengan sempurna, baik itu pada waktu malam ataupun siang hari. lalu dengannya saya mengerjakan shalat selain shalat yang telah diwajibkanAllah kepada saya.” (HR Muslim 4497)
Uwais Ra menjadi wali Allah (kekasih Allah) sehingga setiap permintaanya pasti dikabulkanNya dengan bentuk dzikrullah berupa selalu mentaati dan merawat ibunya yang telah seorang diri.
Suatu hari Umar r.a. kedatangan rombongan dari Yaman, lalu ia bertanya :
“Adakah di antara kalian yang datang dari suku Qarn?”.
Lalu seorang maju ke dapan menghadap Umar. Orang tersebut saling bertatap pandang sejenak dengan Umar. Umar pun memperhatikannya dengan penuh selidik.
“Siapa namamu?” tanya Umar.
“Aku Uwais”, jawabnya datar.
“Apakah engkau hanya mempunyai seorang Ibu yang masih hidup?, tanya Umar lagi.
“Benar, Amirul Mu’minin”, jawab Uwais tegas.
Umar masih penasaran lalu bertanya kembali “Apakah engkau mempunyai bercak putih sebesar uang dirham?” (maksudnya penyakit kulit berwarna putih seperti panu tapi tidak hilang).
“Benar, Amirul Mu’minin, dulu aku terkena penyakit kulit “belang”, lalu aku berdo’a kepada Allah agar disembuhkan. Alhamdulillah, Allah memberiku kesembuhan kecuali sebesar uang dirham di dekat pusarku yang masih tersisa, itu untuk mengingatkanku kepada Tuhanku”.
“Mintakan aku ampunan kepada Allah”.
Uwais terperanjat mendengar permintaan Umar tersebut, sambil berkata dengan penuh keheranan. “Wahai Amirul Mu’minin, engkau justru yang lebih behak memintakan kami ampunan kepada Allah, bukankah engkau sahabat Nabi?”
Lalu Umar berkata “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “Sesungguhnya sebaik-baik Tabiin adalah seorang bernama Uwais, mempunyai seorang ibu yang selalu dipatuhinya, pernah sakit belang dan disembuhkan Allah kecuali sebesar uang dinar di dekat pusarnya, apabila ia bersumpah pasti dikabulkan Allah. Bila kalian menemuinya mintalah kepadanya agar ia memintakan ampunan kepada Allah”
Uwais lalu mendoa’kan Umar agar diberi ampunan Allah. Lalu Uwais pun menghilang dalam kerumunan rombongan dari Yaman yang akan melanjutkan perjalanan ke Kufah. (H.R. Muslim dan Ahmad)
Seorang Wali Allah, mereka yang telah berma’rifat, mereka yang disisiNya, mereka yang telah sampai (wushul) kepada Allah Azza wa Jalla, jika mereka memohon kepada Allah Azza wa Jalla , pasti akan dikabulkanNya. Cuma mereka kadang malu untuk memohon kepada Allah karena telah mencukupkan diri kepada pengaturanNya
Dalam sebuah haditas Qudsi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya”. (HR Muslim 6021)
Oleh karenanya kita sebaiknya mentaati atau mengikuti nasehat para pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat, bahwa setelah kita menjalankan perkara syariat, syarat sebagai hamba Allah maka selanjutnya adalah menjalankan tasawuf atau memperjalankan diri agar sampai (wushul) kepada Allah Azza wa Jalla , bertemu dengan Allah ketika kita masih di alam dunia, sehingga mendapatkan nikmat lebih awal dari kaum muslim kebanyakan yang menikmatinya ketika telah menjadi penduduk surga. Sehingga mereka yang menjalankan tasawuf maka perkara syariat bukanlah sebagai beban namun sebuah kenikmatan, kelezatan atau kesenangan sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam “….kesenanganku dijadikan dalam sholat” (diriwayatkan oleh Anas ra) atau sebagaimana yang diriwayatkan bahwa Imam Sayyidina Ali ra minta dicabut anak panah ketika Beliau sedang sholat.
Dengan menjalankan tasawuf kita dapat memahami atau mengalami apa yang dikatakan oleh Imam Syafi’i ra “nikmatnya atau kelezatan taqwa“
Imam Syafi’i ra menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih
dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikannasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 47]
Begitupula dengan nasehat Imam Malik ra bahwa menjalankan tasawuf agar manusia tidak rusak dan menjadi manusia berakhlak baik
Imam Malik ra menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fikih (perkara syariat) rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia ., hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar” .
Dengan menjalankan tasawuf hingga mencapai muslim yang Ihsan , muslim yang baik, muslim berakhlakul karimah adalah mewujudkan tujuan Rasulullah diutus oleh Allah Azza wa Jalla Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Dengan menjalankan tasawuf adalah memenuhi anjuran para ulama pengikut Imam Mazhab yang empat seperti
Imam Nawawi Rahimahullah berkata :
أصول طريق التصوف خمسة: تقوى الله في السر والعلانية. اتباع السنة في الأقوال والأفعال. الإِعراض عن الخلق في الإِقبال والإِدبار. الرضى عن الله في القليل والكثير.الرجوع إِلى الله في السراء والضراء.
“ Pokok-pokok metode ajaran tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqalani berkata :
وروى الخطيب بسند صحيح أن الإمام أحمد سمع كلام المحاسبي فقال لبعض أصحابه ما سمعت في الحقائق مثل كلام هذا الرجل ولا أرى لك صحبتهم . قلت – أي الإمام ابن حجر – إنما نهاه عن صحبتهم لعلمه بقصوره عن مقامهم فإنه في مقام ضيق لا يسلكه كل واحد ويخاف على من يسلكه أن لا يوفيه حقه. وقال الأستاذ أبو منصور البغدادي – عن الحارث المحاسبي – في الطبقة الأولى من أصحاب الشافعي كان إماما في الفقه والتصوف والحديث والكلام وكتبه في هذه العلوم أصول من يصنف فيها
“ Al-Khatib meriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa imam Ahmad mendengar ucapan Al-Muhasibi, maka beliau berkata pada sahabat-sahabatnya “ Aku belum pernah mendengar ucapan tentang hakikat-hakikat seperti ucapan al-Muhasibi ini dan aku berpendapat jangan engkau berteman dengan semisal al-Muhasibi. Aku (Ibnu Hajar) katakana : “ Sesungguhnya imam Ahmad melarang untuk berteman dengan orang semisal al-Muhasibi , karena beliau mengetahui pendeknya maqam (kedudukannya) dibandingkan kedudukan mereka. Karena al-Muhasibi berada di dalam maqam dhiq (sempit) yang tidak mampu ditapaki oleh setiap orang dan dikhawatirkan bagi orang yang menapaki tidak bisa memenuhi haqnya. Ustadz Abul Manshur al-Baghdadi berkata “ Dari al-Harits al-Muhasibi di dalam bab Tingkatan pertama dari pengikut Imam Syafi’i “ Beliau al-Muhasibi adalah seorang imam di bidang ilmu fiqih, tasawwuf, hadits dan kalam. Dan kitab beliau di dalam ilmu ini merupakan ushul / sandaran bagi ulama yang mengarang kitab ilmu “. (Tahdzib at-Tahdzib juz 2 halaman : 117, karya imam Ibnu Hajar al-Asqalani)
Al-Allamah al-Hafidz Ibnu Hajar al-Haitami berkata :
إياك أن تنتقد على السادة الصوفية : وينبغي للإنسان حيثُ أمكنه عدم الانتقاد على السادة الصوفية نفعنا الله بمعارفهم، وأفاض علينا بواسطة مَحبتَّنا لهم ما أفاض على خواصِّهم، ونظمنا في سلك أتباعهم، ومَنَّ علينا بسوابغ عوارفهم، أنْ يُسَلِّم لهم أحوالهم ما وجد لهم محملاً صحيحاً يُخْرِجهم عن ارتكاب المحرم، وقد شاهدنا من بالغ في الانتقاد عليهم، مع نوع تصعب فابتلاه الله بالانحطاط عن مرتبته وأزال عنه عوائد لطفه وأسرار حضرته، ثم أذاقه الهوان والذلِّة وردَّه إلى أسفل سافلين وابتلاه بكل علَّة ومحنة، فنعوذ بك اللهم من هذه القواصم المُرْهِقات والبواتر المهلكات، ونسألك أن تنظمنا في سلكهم القوي المتين، وأن تَمنَّ علينا بما مَننتَ عليهم حتى نكون من العارفين والأئمة المجتهدين إنك على كل شيء قدير وبالإجابة جدير.
“ Berhati-hatilah kamu dari menentang para ulama shufi. Dan sebaiknya bagi manusia sebisa mungkin untuk tidak menentang para ulama shufi, semoga Allah member manfaat kpeada kita dengan ma’rifat-ma’rifat mereka dan melimpahkan apa yang Allah limpahkan kepada orang-orang khususnya dengan perantara kecintaan kami pada mereka, menetapkan kita pada jalan pengikut mereka dan mencurahkan kita curahan-curahan ilmu ma’rifat mereka. Hendaknya manusia menyerahkan apa yang mereka lihat dari keadaan para ulama shufi dengan kemungkinan-kemungkinan baik yang dapat mengeluarkan mereka dari melakukan perbuatan haram.
Kami sungguh telah menyaksikan orang yang sangat menentang ulama shufi, mereka para penentang itu mendapatkan ujian dari Allah dengan pencabutan derajatnya, dan Allah menghilangkan curahan kelembutan-Nya dan rahasia-rahasia kehadiran-Nya. Kemudian Allah menimpakanpara penentang itu dengan kehinaan dan kerendahan dan mengembalikan mereka pada derajat terendah. Allah telah menguji mereka dengan semua penyakit dan cobaan . Maka kami berlindung kepada-Mu ya Allah dari hantaman-hantaman yang kami tidak sanggup menahannya dan dari tuduhan-tuduhan yang membinasakan. Dan kami memohon agar Engkau menetapi kami jalan mereka yang kuat, dan Engkau anugerahkan kami apa yang telah Engkau anugerahkan pada mereka sehingga kami menjadi orang yang mengenal Allah dan imam yang mujtahid, sesungguhnya Engkau maha Mampu atas segala sesuatu dan maha layak untuk mengabulkan permohonan “. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 113, karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami)
Al-Imam Al-Allamah Syaikhul Islam Tajuddin As-Subuki berkata :
حَيَّاهمُ الله وبيَّاهم وجمعنا في الجنة نحن وإِياهم. وقد تشعبت الأقوال فيهم تشعباً ناشئاً عن الجهل بحقيقتهم لكثرة المُتلبِّسين بها، بحيث قال الشيخ أبو محمد الجويني لا يصح الوقف عليهم لأنه لا حدَّ لهم. والصحيح صحته، وأنهم المعرضون عن الدنيا المشتغلون في أغلب الأوقات بالعبادة.. ثم تحدث عن تعاريف التصوف إِلى أن قال: والحاصل أنهم أهل الله وخاصته الذين ترتجى الرحمة بذكرهم، ويُستنزل الغيث بدعائهم، فرضي الله عنهم وعنَّا بهم
“ Semoga Allah memanjangkan hidup para penganut tasawwuf dan mengangkat derajat mereka serta mengumpulkan kita dan mereka di surga. Sungguh telah banyak pendapat miring tentang mereka yang bersumber dari kejahilan akan hakekat mereka disebabkan oknum-oknum yang membuat samar ajaran tasawwuf. Oleh karenanya syaikh Abu Muhammad Al-Juwaini berkata “ Tidak boleh berhenti dalam mendefiniskan mereka, sebab mereka tak memiliki batasan istilah. Yang benar adalah keabsahannya dan definisi shufiyyah adalah orang-orang yang berpaling dari dunia yang menyibukkan diri disebagian besar waktunya dengan beribadah. Kemudian bermunculanlah ta’rif-ta’rif baru tentang tasawwuf..(sampai ucapan beliau) : “..Kesimpulannya ulama tasawwuf adalah keluarga dan orang-orang khusus Allah yang diharapan turunnya rahmat dengan menyebut nama mereka dan turunnya hujan dengan perantara doa mereka. Maka semoga Allah meridhoi mereka dan kita semua dengan sebab mereka “. (Mu’idun Ni’am wa Mubidun Niqam halaman : 140, karya imam Subuki)
Al-Imam Al-Allamah Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthi berkata :
اعلم وفقني الله وإياك أن علم التصوف في نفسه علم شريف رفيع قدره سني أمره ، لم تزل أئمة الإسلام وهداة الأنام قديماً وحديثاً يرفعون مناره وَيُجِلُّون مقداره ويعظمون أصحابه ويعتقدون أربابه ، فإنهم أولياء الله وخاصته من خلقه بعد أنبيائه ورسله ، غير أنه دخل فيهم قديماً وحديثاً دخيل تشبهوا بهم وليسوا منهم وتكلموا بغير علم وتحقيق فزلوا وصلوا وأضلوا ، فمنهم من اقتصر على الاسم وتوسل بذلك إلى حطام الدنيا ، ومنهم من لم يتحقق فقال بالحلول وما شابهه فأدى ذلك إلى إساءة الظن بالجميع ، وقد نبه المعتبرون منهم على هذا الخطب الجليل ونصوا على أن هذه الأمور السيئة من ذلك الدخيل.
“ Ketahuilah, semoga Allah memberikan taufiq-Nya padaku dan kamu, sesungguhnya ilmu tasawwuf itu sendiri adalah ilmu yang mulia, tinggi derajatnya dan luhur urusannya. Para imam Islam dan para ulama penunjuk manusia sejak dulu hingga sekarang selalu mengangkat lambangnya, meninggikan martabatnya dan mengangungkan para pemeluknya dan meyakini kemulian ahlinya. Karena mereka adalah para wali Allah Swt dan orang-orang khusus-Nya dari makhluk-Nya setelah para nabi dan rasul-Nya, akan tetapi masuklah sesuatu yang asing sejak dulu hingga sekarang yang menyerupai penganut tasawwuf padahal sama sekali mereka bukanlah dari ahli tasawwuf. Mereka berbicara tanpa ilmu dan mengerti hakikat, sehingga mereka tergelincir, sesat dan menyesatkan. Di antara mereka ada yang mencukupkan saja dengan nama dan menjadikanperantara untuk mengambil keuntungan dunia. Di antara mereka ada yang belum mencapai hakikat sehingga mereka berucap dengan hulul dan semisalnya, sehingga itu semua membuat munculnya buruk sangka terhadap semua ajaran tasawwuf. Sungguh para pengambil pelajaran dari mereka telah member peringatan atas nasehat mulia ini dan menetapkan bahwa semua perkara buruk ini muncul dari sesuatu yang asing (di luar tasawwuf) tersebut “. (Ta’yidul Haqiqah al-‘Aliyyah Wa Tasyiduth Thariqah asy-Syadziliyyah halaman : 7, karya imam as-Suyuthi)
Al-Imam Al-Allamah Al-Mufassir Fakhruddin Ar-Razi berkata :
الباب الثامن في أحوال الصوفية:اعلم أن أكثر مَنْ حَصَرَ فرق الأمة، لم يذكر الصوفية وذلك خطأ، لأن حاصل قول الصوفية أن الطريق إِلى معرفة الله تعالى هو التصفية والتجرد من العلائق البدنية، وهذا طريق حسن.. وقال أيضاً: والمتصوفة قوم يشتغلون بالفكر وتجرد النفس عن العلائق الجسمانية، ويجتهدون ألاَّ يخلو سرَّهم وبالَهم عن ذكر الله تعالى في سائر تصرفاتهم وأعمالهم، منطبعون على كمال الأدب مع الله عز وجل، وهؤلاء هم خير فرق الآدميين
“ Bab kedelapan : Tentang keadaan-keadaan ahli tasawwuf. Ketahuilah, sesungguhnya kebanyakan orang yang menghitung pembagian golongan umat tidak menyebut golongan ahli tasawwuf dan hal itu salah, karena keseluruhan ucapan ahli tasawwuf adalah sesungguhnya jalan menuju pengenalan kepada Allah Ta’ala adalah Tashfiyyah (penyucian) dan membersihkan diri dari ketergantungan badan, dan jalan ini merupakan jalan yang baik. Beliau juga berkata “ Kaum shufi adalah orang-orang yang menyibukkan diri dengan tafakkur dan membersihkan jiwa dari ketergantungan jasmaniyah, berusaha keras agar hati mereka tidak kosong dari mengingat Allah Ta’ala di dalam gerak-gerik mereka, selalu berpegang dengan kesempurnaan adab bersama Allah, dan merekalah paling baiknya golongan anak manusia “. (I’tiqadaat firaqil Muslimin wal musyrikin halaman : 72-73, Karya imam Fakhruddin Ar-Razi)
Al-Imam Al-Allamah Al-Hafidz Abdu Rauf al-Manawi berkata :
وإني كنت قبل أن يكتب الشباب خط العذار , أردد ناظري في أخبار الأولياء الأخيار , وأتتبع مواقع إشارات حكم الصوفية الأبرار , وأترقب أحوالهم وأسبر أقوالهم … حتى حصلت من ذلك على فوائد عاليات , وحكم شامخات ساميات فألهمت أن أقيد ما وقفت عليه في ورقات , وأن أجعله في ضمن التراجم , كما فعله بعض الأعاظم الأثبات , فأنزلت الصوفية في طبقات , وضربت لهم في هذا المجموع سرادقات , ورتبتهم على حروف المعجم عشر طبقات , كل مائة سنة طبقة , وجمعتهم كواكب كلها معالم للهدي , ومصابيح للدجى , ورجوم للمسترقة
“ Sesungguhnya aku sebelum seorang pemuda dicatat akan catatan alasannya, ingin mencermati kisah-kisah para wali Allah yang terpilih, aku telusuri isyarat-isyarat hokum ahli shufi yang baik dan aku selidiki keadaan-keadaan mereka dan aku kuak ucapan-ucapan mereka hingga aku mendapatkan beberapa faedah yang tinggi sebab itu dan hikmah-hikmah berbobot nan luhur. Lalu aku mendapatkan ilham agar mencatat apa yang aku dalami itu pada sebuah buku, dan agar aku buat isi biografi perjalanan mereka sebagaimana telah dilakukan sebagian besar ulama. Maka aku posisikan ulama shufi dalam beberapa tingkatan dan ku beberkan beberapa tenda dalam kumpulan ini. Aku tertibkan nama mereka menjadi sepuluh tingkatan. Setiap seratus tahun satu tingkatan dan aku kumpulkan bintang-bintang seluruhnya bagaikan petunjuk bagi kebenaran dan penerang bagi kegelapan serta panah api bagi si pencuri “. (Al-Kawaiku Ad-Durriyyah fii Tarajimi ash-Shufiyyah halaman : 3-4, karya imam Abdur Raouf al-Manawi)
Al-Imam Al-Kabir Abdul Qahir Al-Baghdadi berkata :
الفصل الأول من فصول هذا الباب في بيان أصناف أهل السنة والجماعة. اعلموا أسعدكم الله أن أهل السنة والجماعة ثمانية أصناف من الناس… والصنف السادس منهم: الزهاد الصوفية الذين أبصروا فأقصروا، واختَبروا فاعتبروا، ورضوا بالمقدور وقنعوا بالميسور، وعلموا أن السمع والبصر والفؤاد كل أُولئك مسؤول عن الخير والشر، ومحاسب على مثاقيل الذر، فأعدُّوا خير الإِعداد ليوم المعاد، وجرى كلامهم في طريقَيْ العبارة والإِشارة على سَمْتِ أهل الحديث دون من يشتري لهو الحديث، لا يعملون الخير رياء، ولا يتركونه حياء، دينُهم التوحيد ونفي التشبيه، ومذهبهم التفويضُ إِلى الله تعالى، والتوكلُ عليه والتسليمُ لأمره، والقناعةُ بما رزقوا، والإِعراضُ عن الاعتراض عليه. {ذلكَ فضلُ اللهِ يؤتِيهِ مَنْ يشاءُ واللهُ ذو الفضلِ العظيمِ
“ Fasal pertama dari fasal-fasal bab ini, tentang penjelasan kelompok-kelompok Ahlus sunnah waljama’ah. Ketahuilah, semoga Allah membuat kalian bahagia, sesungguhnya Ahlus sunnah waljama’ah ada delapan kelompok manusia..(hingga ucapan beliau)..” Kelompok ke enam di anatara mereka adalah orang-orang yang zuhud dan ahlis shufi yang mereka memandang dengan mata hati hingga mereka bisa berlaku sederhana, mereka mendapat ujian dan mereka mengambil pelajarannya. Mereka ridha dengan ketentuan dan legowo dengan hal yang ringan. Mereka ahli shufi mengetahui bahwa pendengaran, penglihatan dan hati semuanya akan dimintai pertangung jawabannya dari kebaikan atau keburukan dan akan dihisab walau seberat biji atom pun. Maka mereke mempersiapkan diri dengan sebaik-baik bekal untuk hari kembali kelak dan ucapan mereka berjalan di dalam dua jalan ibarat dan isyarat berdasarkan karakter ahli hadits bukan orang yang menjual permainan hadits. Mereka beramal kebaikan tidak dengan pamer dan tidak meninggalkan kebaikan karena malu. Agama mereka Tauhid dan meniadakan Tasybih (penyerupaan) dan mazdhab mereka Tafwidh (menyerahkan makna) kepada Allah Swt, tawakkal dan penyerahan diri kepada perintah Allah. Qonaah terhadap rezeki yang mereka dapat dan berpaling dari mengeluh atas-Nya. Itulah keutamaan Allah yang Allah berikan pada orang yang dikehendaki-Nya dan Allah maha memiliki keutamaan yang agung “. (Al-Farq bainal Firaq halaman : 236)
Al-Imam Al-Hafidz Abu Nu’aim Al-Ashfihani berkata :
أما بعد أحسن الله توفيقك فقد استعنت بالله عز وجل وأجبتك الى ما ابتغيت من جمع كتاب يتضمن أسامي جماعة وبعض أحاديثهم وكلامهم من أعلام المتحققين من المتصوفة وأئمتهم وترتيب طبقاتهم من النساك من قرن الصحابة والتابعين وتابعيهم ومن بعدهم ممن عرف الأدلة والحقائق وباشر الأحوال والطرائق وساكن الرياض والحدائق وفارق العوارض والعلائق وتبرأ من المتنطعين والمتعمقين ومن أهل الدعاوى من المتسوفين ومن الكسالى والمتثبطين المتشبهين بهم في اللباس والمقال والمخالفين لهم في العقيدة والفعال وذلك لما بلغك من بسط لساننا ولسان أهل الفقه والآثار في كل القطر والأمصار في المنتسبين إليهم من الفسقة الفجار والمباحية والحلولية الكفار وليس ما حل بالكذبة من الوقيعة والإنكار بقادح في منقبة البررة الأخيار وواضع من درجة الصفوة الأبرار بل في إظهار البراءة من الكذابين , والنكير على الخونة الباطلين نزاهة للصادقين ورفعة للمتحققين ولو لم نكشف عن مخازي المبطلين ومساويهم ديانة , للزمنا إبانتها وإشاعتها حمية وصيانة , إذ لأسلافنا في التصوف العلم المنشور والصيت والذكر المشهور
“ Selanjutnya, semoga Allah memperbagus taufiqmu, maka sungguh aku telah memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dan menjawabmu atas apa yang engkau mau dari pengumpulan kitab yang mengandung nama-nama kelompok dan sebagian hadits dan ucapan mereka dari ulama hakikat dari orang-orang ahli tasawwuf, para imam dari mereka, penertiban tingkatan mereka dari orang-orang ahli ibadah sejak zaman sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in dan setelahnya dari orang yang memahami dalil dan hakikat. Menjalankan hal ihwal serta thariqah, bertempat di taman (ketenangan) dan meninggalkan ketergantungan. Berlepas dari orang-orang yang berlebihan dan orang-orang yang mengaku-ngaku, orang-orang yang berandai-andai dan dari orang-orang yang malas yang menyerupai mereka di dalam pakaian dan ucapan dan bertentangan pada mereka di dalam aqidah dan perbuatan. Demikian itu ketika sampai padamu dari pemaparan lisan kami dan lisan ulama fiqih dan hadits di setiap daerah dan masa tentang orang-orang yang menisabatkan diri pada mereka adalah orang-orang fasiq, fajir, suka mudah berkata mubah dan halal lagi kufur. Bukanlah menghalalkan dengan kedustaan, umpatan dan pengingkaran dengan celaan di dalam manaqib orang-orang baik pilihan dan perendahan dari derajat orang-orang suci lagi baik, akan tetapi di dalam menampakkan pelepasan diri dari orang-orang pendusta dan pengingkaran atas orang-orang pengkhianat, bathil sebagai penyucian bagi orang-orang jujur dan keluhuran bagi orang-orang ahli hakikat. Seandainya kami tidak menyingkap kehinaan dan keburukan orang-orang yang mengingkari tasawwuf itu sebagai bagian dari agama, maka kami pasti akan menjelaskan dan mengupasnya sebagai penjagaan, karena salaf kami di dalam ilmu tasawwuf memiliki ilmu yang sudah tersebar dan nama yang masyhur “. (Muqoddimah Hilyah Al-Awliya, karya imam Al-Ashfihani)
Al-Imam Al-Kabir Al-Mufassir An-Nadzdzar Abi Al- muzdhaffar Al-Isfirayaini berkata :
في الباب الخامس عشر : في بيان اعتقاد أهل السنة والجماعة وبيان مفاخرهم ومحاسن أحوالهم وسادسها : علم التصوف والإشارات , وما لهم فيها من الدقائق والحقائق , لم يكن قط لأحد من أهل البدعة فيه حظ بل كانوا محرومين مما فيه من الراحة والحلاوة , والسكينة والطمأنينة وقد ذكر أبو عبد الرحمن السلمي من مشايخهم قريبا من ألف ، وجمع إشاراتهم وأحاديثهم ولم يوجد في جملتهم قط من ينسب إلى شيء من بدع القدرية والروافض ، والخوارج ، وكيف يتصور فيهم من هؤلاء وكلامهم يدور على التسليم ، والتفويض والتبري من النفس ، والتوحيد بالخلق والمشيئة ، وأهل البدع ينسبون الفعل ، والمشيئة ، والخلق ، والتقدير إلى أنفسهم ، وذلك بمعزل عما عليه أهل الحقائق من التسليم والتوحيد
Di bab ke-15 : Tentang penjelasan aqidah Ahlus sunnah waljama’ah dan penjelasan kebanggaan serta kebaikan hal ihwal mereka. Fasal yang ke- 6 adalah : Ilmu Tasawwuf dan isyarat dan apa yang mereka miliki dari ilmu-ilmu yang lembut dan ilmu hakikat. Yang tidak akan mendapat bagian sedikitpun dari ilmu ini orang-orang ahli bid’ah bahkan mereka terhalang mendapatkan apa yang ada pada ulama tasawwuf dari ketenangan, manisnya ibadah, sakinah dan tuma’ninah. Abu Abdirrahman As-Salmi telah menyebutkan guru-guru mereka hampir mendekati seribu, mengumpulkan isyarat dan hadits mereka namun tak ditemukan satu pun dari mereka orang-orang ahli bid’ah seperti qodariyyah, rowafidh dan khowarij. Bagaimana bisa tergambar pada mereka padahal ucapan ahli tasawwuf berputar pada taslim, tawakkal dan berlepas dari diri. Dan bertauhid dengan akhlak dan keinginan. Sedangkan ahlul bid’ah menisbatkan perbuatan dan keinginan, akhlak dan pennetuan pada diri mereka. Hal ini bertentangan dengan ahli hakikat dari sifat taslim dan tauhid “. (At-Tabshir fiddin halaman : 164, karya imam al-Isfirayaini).